Seakan belum usai derita yang menoreh luka di diri Aliya, di akhir tahun itu, Aliya harus kehilangan sosok pelindung yang paling ia cintai.Adnan Hafizuddin mengembuskan napas terakhir karena komplikasi penyakit yang dideritanya.Aliya bersimpuh di sisi jenazah sang papa yang terbujur kaku dan ditutupi kain. Tanpa kata, tanpa airmata.Tatapannya terpancang pada tubuh kaku itu, bahkan tanpa berkedip. Hatinya begitu sakit, matanya telah membengkak karena airmata yang tumpah ruah saat mendapati Adnan melepas napas terakhirnya di Rumah Sakit.Jika ia ditanya, ia pasti akan menjawab; Ia tidak ingin apa-apa, hanya ingin sang Papa kembali bersamanya.Bagi Aliya, sosok pelindung sejati dan sebenar-benarnya, hanyalah ayahnya.Dua kali kecewa dan mengalami kandas dalam rumah tangganya, oleh lelaki yang ia anggap kejam, membuat ia tidak mau lagi mempercayai lelaki mana pun, kecuali sang papa.Namun kini, lelaki yang sangat berarti dan berharga itu pun, meninggalkan dirinya.“Al..” Suara serak Lai
“Guru Anda… ternyata kakek Aliya?” Nawidi yang biasa berwajah datar, saat ini terlihat mengerutkan keningnya.Dean mengangguk. “Saya tidak pernah menyangka ini. Betul-betul tidak. Terutama saat tahu, sebenarnya kakek Aliya telah tiada jauh sebelumnya. Saat Aliya sendiri masih balita. Bagaimana bisa…” Dean tidak melanjutkan kalimatnya.“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, jika Tuhan menghendakinya.” Nawidi kembali menatap ke depan sana.Dean mengangguk lagi dan melepas napas perlahan. “Pantas saja, saat saya memegang kembali kalung Aliya --pemberian mendiang, Guru muncul dan memberi peringatan.”“Peringatan?”“Ya. Itu salah satu alasan terkuat saya segera kembali ke sini,” ujar Dean.“Kalung Aliya masih dipegang Anda?”“Ya. Saya sempat ingin menyerahkan pada Einhard. Namun dia meminta saya memegangnya dulu. Sampai hari ini, ka
Satu tahun berlalu.Itu adalah 2021, ketika Aliya akhirnya memiliki pekerjaan sendiri. Aliya tidak mungkin terus bergantung pada Laila atau dari sisa-sisa tabungan yang dimiliki olehnya.Aliya lolos seleksi penerimaan pegawai honor di salah satu instansi pemerintah daerah. Ia menangani orang-orang yang membutuhkan asistensi sosial. Entah bagaimana awal mulanya, namun Aliya dengan lancar lolos semua tahapan seleksi untuk pekerjaan yang sangat jauh dari bidang yang dikuasai Aliya.Namun satu hal, Aliya sungguh menikmati pekerjaannya. Mungkin karena seorang Elemen Bumi, Aliya seseorang yang sangat hangat dan mudah memahami kesulitan orang lain.Orang-orang yang dibantu Aliya, menyukai wanita muda itu.Siang hari itu, Aliya baru saja selesai melakukan home visit atau kunjungan ke rumah seorang lanjut usia yang terlantar di wilayah desa Cikahuripan.Ia sedang asyik mengendarai motornya --yang setengah tahun lalu ia beli untuk lebih memudahkan mob
“Apa tidak apa-apa?” Laila menatap cemas ke depan. “Fayza baru masuk SD, tapi sudah dimasukkan pesantren seperti ini.”Aliya tersenyum masam mendengar kekhawatiran sang mama. “Mau bagaimana lagi, Ma? Fayza yang memintanya. Dia benar-benar ngotot sejak TK, bahwa saat SD ia minta masuk pesantren.”“Aliya bisa apa…” Ia pun mengesah.“Darimana keinginan itu muncul? Dia baru juga tujuh tahun menjelang delapan. Bisa-bisanya minta jauh dari ibu dan neneknya,” ujar Laila lagi dengan nada sedih.Mereka berdua lalu terdiam, melambaikan tangan ke arah Fayza yang berjalan masuk ke dalam gedung pesantren.“Lihat! Bahkan bocah itu tidak menoleh ke belakang, ke kita…” Laila mengeluh dengan sakit hati.Cucu dari putri sulungnya itu seolah telah melupakan dirinya dan juga Aliya --ibu kandungnya.Laila mendesah.Memang lokasi pesantren itu, tidaklah jauh. Aliya
“Apa maksudmu dengan kehilangan kemampuan elemennya? Einhard?” Dean mengulang pernyataan Oki dengan pertanyaannya.“Ya Pak,” Oki mengangguk. “Saat saya sedang mengambil peralatan untuk persediaan pelatihan di satu pusat perbelanjaan, saya kebetulan melihat pak Einhard di basement. Ada sedikit kecelakaan yang hampir terjadi.”Dean terlihat menyimak serius pemuda di depannya, demikian pula Nawidi dan Guntur.“Apa yang terjadi?”“Satu mobil kehilangan kendali saat turun dari lantai atas dan hampir menabrak pak Einhard. Maaf, saya tidak membantu beliau, karena saya pikir itu hal kecil untuk beliau. Ternyata tidak demikian,” Oki menjeda kalimatnya.“Pak Einhard terserempet --tanpa melakukan hal apapun yang seharusnya seorang elemen lakukan, dan ia jatuh lalu terluka. Saya benar-benar melihat pak Einhard terluka.”Dean dan Nawidi saling melempar pandang.Dean kembali menanyai Oki. “Apa saat itu di sekitar ada orang?”“Jika maksud Pak Dean orang umum yang mungkin melihat kejadian itu, tidak
Mei 2022Membuka mata, Aliya melihat beberapa rangkaian bunga mawar putih yang mengelilingi ruang. Ruang dimana ia kini duduk di sebuah kursi menghadap cermin cukup besar.Aliya menengadahkan kepalanya, lalu pandangan ia timpakan pada rangkaian panjang mawar putih sepanjang langit-langit kamar. Tanpa terputus.Seolah rangkaian itu mengelilingi ruang tempat ia berada dan menjadi pagar cantik baginya.Kini kedua mata Aliya turun lalu menatap sosok yang terpantul dari cermin di depannya. Itu dirinya.Namun, tampak berbeda.Begitu tampak luar biasa cantik.Aliya memicingkan mata, seolah melihat makhluk memesona dalam cermin tersebut.‘Ah, iya. Itu memang benar diriku….’Bola mata itu miliknya. Alis yang menaungi dua mata itu, miliknya. Bentuk hidung itu, miliknya.Aliya lalu mencoba tersenyum.‘Nah. Itu bibir dan garis senyum milikku juga….’Entah b
Dua hari setelah mimpi itu, Aliya menerima pesan masuk dari Diani.[Apa kabar bu?][How’s life?]Aliya lalu mengetikkan balasan. [Alhamdulillah baik, sis][My life? So-so lah sis…][Gimana kabar Fayza? Sehat?] Diani bertanya lagi.[Alhamdulillah sehat. Dia betah di pesantrennya. Aku agak kesepian sebenernya ini teh…][Yup. Pastilah.] respon Diani.[Suka ditengokin?]Aliya mengetik lagi balasan. [Hanya boleh ditengok sebulan sekali, sis. Bulan ini udah aku tengokin pas awal bulan][Oh gitu….][Fayza ga pernah nanyain ayahnya?]Aliya terdiam sesaat. Lalu jarinya kembali bergerak. Kali ini bukan mengetik, namun menekan tombol telepon.Sambungan telepon itu dijawab oleh Diani tanpa menunggu lama.“Ya kalau ngomong secara langsung, ngga sis. Tapi dia pernah kedapetan lagi melamun,” Aliya menjawab pertanyaan Diani melalui pesan sebelumnya.‘Apa ayahnya ngga pernah nengokin?’ tanya Diani lagi.“Sejak talak gue, dia kagak pernah nengokin. Mana mungkin sekarang dia nengok.”‘Ya kali aja sekaran
Aliya terdiam sesaat mendengar pertanyaan Diani itu.“Kalo aku memang harus nikah lagi, mending sama Dean.” Akhirnya Aliya memberikan jawaban itu, meskipun lirih.Sebenarnya itu hanya jawaban random dan asal. Tapi saat Diani bertanya, memang nama Dean lah yang pertama melintas di kepalanya.‘Noted’ balas Diani cepat. (Dicatat)“Apaan sih ah, Sis. Aku gak kepikiran buat nikah lagi! Lelah sis. Capek.” Kata-kata beruntun itu terucapkan Aliya pada Diani.‘Gue paham,’ ucap Diani.‘Ini sih kalo misalnya aja… Misal lu kudu kawin lagi,’ Diani memancing lagi.“Ga ah sis… Sudah enjoy dengan hidupku yang seperti ini,” jawab Aliya cepat.‘Bohong.’Aliya membatin.‘Aku kesepian Sis. Namun lukaku masih sangat dalam dan belum kering. Bagaimana aku bisa berhubungan dengan pria lain?’Aliya lalu mend