“Apa tidak apa-apa?” Laila menatap cemas ke depan. “Fayza baru masuk SD, tapi sudah dimasukkan pesantren seperti ini.”
Aliya tersenyum masam mendengar kekhawatiran sang mama. “Mau bagaimana lagi, Ma? Fayza yang memintanya. Dia benar-benar ngotot sejak TK, bahwa saat SD ia minta masuk pesantren.”
“Aliya bisa apa…” Ia pun mengesah.
“Darimana keinginan itu muncul? Dia baru juga tujuh tahun menjelang delapan. Bisa-bisanya minta jauh dari ibu dan neneknya,” ujar Laila lagi dengan nada sedih.
Mereka berdua lalu terdiam, melambaikan tangan ke arah Fayza yang berjalan masuk ke dalam gedung pesantren.
“Lihat! Bahkan bocah itu tidak menoleh ke belakang, ke kita…” Laila mengeluh dengan sakit hati.
Cucu dari putri sulungnya itu seolah telah melupakan dirinya dan juga Aliya --ibu kandungnya.
Laila mendesah.
Memang lokasi pesantren itu, tidaklah jauh. Aliya
“Apa maksudmu dengan kehilangan kemampuan elemennya? Einhard?” Dean mengulang pernyataan Oki dengan pertanyaannya.“Ya Pak,” Oki mengangguk. “Saat saya sedang mengambil peralatan untuk persediaan pelatihan di satu pusat perbelanjaan, saya kebetulan melihat pak Einhard di basement. Ada sedikit kecelakaan yang hampir terjadi.”Dean terlihat menyimak serius pemuda di depannya, demikian pula Nawidi dan Guntur.“Apa yang terjadi?”“Satu mobil kehilangan kendali saat turun dari lantai atas dan hampir menabrak pak Einhard. Maaf, saya tidak membantu beliau, karena saya pikir itu hal kecil untuk beliau. Ternyata tidak demikian,” Oki menjeda kalimatnya.“Pak Einhard terserempet --tanpa melakukan hal apapun yang seharusnya seorang elemen lakukan, dan ia jatuh lalu terluka. Saya benar-benar melihat pak Einhard terluka.”Dean dan Nawidi saling melempar pandang.Dean kembali menanyai Oki. “Apa saat itu di sekitar ada orang?”“Jika maksud Pak Dean orang umum yang mungkin melihat kejadian itu, tidak
Mei 2022Membuka mata, Aliya melihat beberapa rangkaian bunga mawar putih yang mengelilingi ruang. Ruang dimana ia kini duduk di sebuah kursi menghadap cermin cukup besar.Aliya menengadahkan kepalanya, lalu pandangan ia timpakan pada rangkaian panjang mawar putih sepanjang langit-langit kamar. Tanpa terputus.Seolah rangkaian itu mengelilingi ruang tempat ia berada dan menjadi pagar cantik baginya.Kini kedua mata Aliya turun lalu menatap sosok yang terpantul dari cermin di depannya. Itu dirinya.Namun, tampak berbeda.Begitu tampak luar biasa cantik.Aliya memicingkan mata, seolah melihat makhluk memesona dalam cermin tersebut.‘Ah, iya. Itu memang benar diriku….’Bola mata itu miliknya. Alis yang menaungi dua mata itu, miliknya. Bentuk hidung itu, miliknya.Aliya lalu mencoba tersenyum.‘Nah. Itu bibir dan garis senyum milikku juga….’Entah b
Dua hari setelah mimpi itu, Aliya menerima pesan masuk dari Diani.[Apa kabar bu?][How’s life?]Aliya lalu mengetikkan balasan. [Alhamdulillah baik, sis][My life? So-so lah sis…][Gimana kabar Fayza? Sehat?] Diani bertanya lagi.[Alhamdulillah sehat. Dia betah di pesantrennya. Aku agak kesepian sebenernya ini teh…][Yup. Pastilah.] respon Diani.[Suka ditengokin?]Aliya mengetik lagi balasan. [Hanya boleh ditengok sebulan sekali, sis. Bulan ini udah aku tengokin pas awal bulan][Oh gitu….][Fayza ga pernah nanyain ayahnya?]Aliya terdiam sesaat. Lalu jarinya kembali bergerak. Kali ini bukan mengetik, namun menekan tombol telepon.Sambungan telepon itu dijawab oleh Diani tanpa menunggu lama.“Ya kalau ngomong secara langsung, ngga sis. Tapi dia pernah kedapetan lagi melamun,” Aliya menjawab pertanyaan Diani melalui pesan sebelumnya.‘
Aliya terdiam sesaat mendengar pertanyaan Diani itu.“Kalo aku memang harus nikah lagi, mending sama Dean.” Akhirnya Aliya memberikan jawaban itu, meskipun lirih.Sebenarnya itu hanya jawaban random dan asal. Tapi saat Diani bertanya, memang nama Dean lah yang pertama melintas di kepalanya.‘Noted’ balas Diani cepat. (Dicatat)“Apaan sih ah, Sis. Aku gak kepikiran buat nikah lagi! Lelah sis. Capek.” Kata-kata beruntun itu terucapkan Aliya pada Diani.‘Gue paham,’ ucap Diani.‘Ini sih kalo misalnya aja… Misal lu kudu kawin lagi,’ Diani memancing lagi.“Ga ah sis… Sudah enjoy dengan hidupku yang seperti ini,” jawab Aliya cepat.‘Bohong.’Aliya membatin.‘Aku kesepian Sis. Namun lukaku masih sangat dalam dan belum kering. Bagaimana aku bisa berhubungan dengan pria lain?’Aliya lalu mend
18 November 202223:56Malam hari itu.Perbincangan iseng dengan Diani melalui aplikasi chat instan, berujung pada ditemukannya beberapa nomor aneh dalam daftar kontak Aliya.Mulanya tiga kontak dengan nama kontak aneh. ‘???’, ‘A’ dan yang satunya bernama ‘Dean’.Nomor tersebut tidak satupun aktif, begitu pula nomor berjudul ‘Dean’, yang justru muncul di Diani sebagai ‘Saifanah’ dengan gambar foto Aliya.Meski Aliya tidak pernah merasa terkait dengan nomor tersebut, ia anggap itu sebagai petunjuk awal.Entah bagaimana sebenarnya yang ia pikirkan atau ia rasakan.Aliya merasa perlu untuk mengetahuinya. Setelah nomor tersebut ternyata tidak aktif juga, ada perasaan kecewa dalam hatinya.Namun kemudian, Aliya menemukan nomor lainnya.Sebuah nomor dengan nama kontak bergambar bintang. Aliya memberitahukan Diani bahwa ia menemukan kontak aneh lainnya.D
Beberapa saat kemudian.Aliya terbangun setelah terlelap dan mendapati dirinya berada pada kehampaan.Semua kosong dan gelap seperti malam. Namun ia bisa melihat sekelilingnya. Seolah berada di ruang angkasa.Meski serba hitam, tapi ia tidak merasa pengap ataupun terbutakan.Semua begitu jelas.Tak lama setelah ia memutar pandangan pada sekelilingnya itu, terdengar desau angin. Halus.Begitu embusan angin itu berlalu, satu sosok berdiri di hadapan Aliya, tak jauh, hanya beberapa meter darinya.Tinggi.Dengan sweater turtle neck berwarna coklat gelap bermotif salur dan celana kargo berwarna krem. Wajah tampan dengan tatapan terpancar hangat dari kedua bola mata berwarna hazel.Garis rahang yang kuat, hidung mancung khas keturunan eropa, alis cukup lebat melekuk seperti pedang, bibir tipis terukir indah, dihiasi dengan kumis halus yang menyambung ke jambang dan janggut tipisnya.‘Itu….. ‘
Kebencian yang mengendap dalam diri Aliya sejak empat tahun lalu itu, luruh sudah, sama sekali tak berbekas.Karena Aliya sesungguhnya tahu, ini semua bukan salah Dean. Bukan salah mereka. Ini bukan berada dalam kekuasaan mereka juga.Mereka pun pasti menderita, karena mengerti kehancuran hati Aliya, namun tak kuasa berbuat apapun, meski hanya untuk mendekat pada Aliya atau memberikan dan mengucapkan kata-kata semangat itu.“Maaf….. Maafkan aku,” terdengar Dean berbisik lirih. “Maafkan kami semua…”Meski tangis Aliya telah mereda, namun ia masih terisak. Tangannya kembali melingkari pinggang Dean, dan mencengkeram kuat-kuat sweater Dean dengan jemarinya.Aliya takut. Ia takut tiba-tiba Dean menghilang lagi.“Maaf, karena kau harus melaluinya sendirian…” ujar Dean lirih.“Aku tidak akan kemana-mana,” lanjut Dean menenangkan Aliya. “Aku akan berada di sisimu mula
“Iya Sis. Kenapa itu?” Meskipun Aliya sudah memiliki jawaban dalam hatinya, namun ia tetap bertanya pada Diani untuk memperkuat dugaannya.‘Karena kalian udah terikat secara sukma. Alias bu Aliya sudah beneran jadi istri pak Dean.’“Emmhh… Iya sih, masuk akal. Tapi kan aku gak tau juga itu valid atau nggak.”‘Ya intinya.. kalau suami sukmanya beneran pak Dean, diterima kan?’ Diani kembali menggoda Aliya.“Emm… ya gimana lagi. Tapi ini aja kan belum jelas,” sahut Aliya.‘Hehehe… tuh pak Dean, bu Aliya nerima kok kalo nikahnya sama pak Dean mah,’ tukas Diani dari seberang telepon.“Hadeuh dia mah…” keluh Aliya sambil menggelengkan kepala.‘You know, menurut gue sih bukan pak Dean ngga ngasih kejelasan sama dirimu.’ Diani bersuara lagi.‘Tapi dia kayanya lebih berhati-hati aja takut dirimu kaget dengan