Beranda / Fantasi / Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin / Bab 108. Konsekuensi Bayangan

Share

Bab 108. Konsekuensi Bayangan

Penulis: Quennnzy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-17 21:19:21

Lorong Vellen Thar kini terasa lebih asing daripada sebelumnya. Setiap batu, setiap ukiran, bahkan udara dingin yang menusuk seolah memiliki kesadaran sendiri. Alura melangkah perlahan, tangannya masih menggenggam erat Rafael, meski ia tahu bayangan yang menilai mereka tidak terlihat—tidak sepenuhnya. Tapi pengaruhnya terasa di setiap hembusan napas, di setiap denyut jantung.

"Rasakan ini," bisik Rafael, suaranya serak tapi tegas. "Bayangan itu… sekarang berada di sekeliling kita, tapi kau tidak melihatnya. Itu menilai setiap gerakan kita."

Alura menelan ludah. "Aku merasa… seperti ditarik dari dalam. Seperti ada sesuatu yang ingin aku lupakan, tapi kau paksa untuk ingat."

Rafael mengangguk. "Iya. Dan setiap ingatan itu… akan membentuk langkah kita selanjutnya. Kau dipilih bukan untuk diselamatkan, tapi untuk diuji."

Mereka melangkah lebih jauh ke dalam lorong yang berliku-liku, dan setiap langkah terasa seperti menapaki ruang yang hidup. Dinding di sekeliling mereka bergerak perl
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 120. Dunia yang Tidak Sama

    Udara pertama yang menyambut mereka ketika menembus batas itu bukanlah udara kebebasan yang mereka bayangkan. Alura menarik napas panjang, tapi paru-parunya terasa seolah menghirup sesuatu yang asing, dingin, tipis, dan berbau besi. Bukan aroma tanah basah, bukan pula wangi pepohonan seperti yang biasa ia kenal di hutan atau lembah. “Ini...” suara Alura tercekat. Ia menoleh pada Rafael, yang berdiri di sisinya dengan wajah tegang. Rafael tidak langsung menjawab. Matanya menyapu ke sekeliling, menilai setiap detail. Di depan mereka terbentang hamparan tanah luas, tapi warna tanahnya pucat, hampir kelabu. Tak ada rerumputan, tak ada pohon, hanya retakan kering seperti kulit yang mengelupas. Langit di atas mereka berwarna abu-abu gelap, seolah matahari enggan muncul, dan kabut tipis bergulir perlahan di permukaan tanah. “Seharusnya kita sudah keluar,” bisik Rafael, tapi nada suaranya tak menunjukkan kepastian. Alura memeluk lengannya sendiri, mencoba menahan rasa dingin yang menusuk

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 119. Jalan yang Tidak Pernah di Janjikan

    Udara di sekitar mereka terasa semakin padat. Setiap tarikan napas seolah menelan debu tak kasat mata, membuat dada mereka berat dan langkah semakin terseret. Alura merasakan kakinya mulai kehilangan tenaga, tapi ia memaksa dirinya untuk terus berjalan. Rafael, yang berjalan setengah langkah di depan, menoleh sekilas kepadanya. Pandangannya tajam, namun juga menyimpan kekhawatiran yang jarang sekali ditunjukkannya dengan terang. “Bertahanlah sedikit lagi,” ucap Rafael lirih, nyaris hanya berbisik. Alura mengangguk pelan. Bibirnya kering, tapi ia tahu tidak ada gunanya mengeluh. Sejak awal, tempat ini memang tidak memberi ruang bagi kelemahan. Lorong yang mereka susuri terus berubah. Dinding yang tadi bertekstur batu perlahan merata seperti logam, kemudian retak-retak seperti kayu lapuk, lalu kembali lagi menjadi permukaan hitam polos. Semuanya seakan hidup, bergerak mengikuti langkah mereka. Alura sempat merasakan ngeri, seolah ada sesuatu yang sedang mempermainkan mereka dari bali

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 118. Di Ambang Keluar

    Langkah-langkah mereka terasa semakin berat, seakan setiap inci dari lorong itu dipenuhi dengan sesuatu yang sengaja menghisap tenaga. Dinding yang sejak tadi tampak kokoh kini seperti berdenyut halus, hidup, bernafas bersama udara yang menekan dari segala sisi. Alura menggenggam jubahnya lebih erat, jemarinya bergetar bukan hanya karena dingin yang merambati tulang, tetapi juga karena kesadaran bahwa lorong ini tidak mungkin terbentang tanpa maksud. Dari jauh, samar-samar, ia melihat sebuah cahaya. Bukan cahaya dari api, bukan pula pantulan kristal. Itu lebih menyerupai seberkas sinar putih keperakan yang memantul dari ujung lorong, tipis namun memanggil. “Rafael,” bisiknya, suaranya nyaris lenyap tersedot ruang yang sepi. “Kau melihat itu?” Rafael berhenti sejenak, matanya yang tajam menyipit ke arah sumber sinar. “Aku melihatnya,” jawabnya pelan. Tidak ada ketergesaan dalam nadanya, hanya kewaspadaan. Ia tahu, di tempat seperti ini, setiap tanda harapan bisa saja hanya umpan. N

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 117. Ruangan yang Menolak Diam

    Langkah kaki mereka berdua menggema pelan, seperti gema itu tak ingin hilang, melainkan mengikuti mereka dari belakang. Alura menatap dinding-dinding batu di sekelilingnya, tapi ia merasa seolah dinding itu bernapas. Retakan-retakan kecil di batu mengalirkan hawa dingin, seperti ada sesuatu di baliknya yang menunggu untuk keluar. "Ruangan ini … tidak biasa," gumam Alura, suaranya hampir hilang ditelan gaung. Rafael berjalan di sampingnya, tatapannya lurus ke depan. Mata kelamnya meneliti setiap detail tanpa menoleh. Ia tidak banyak bicara, tapi dari rahangnya yang mengeras, Alura tahu suaminya itu juga merasakannya. Udara makin berat. Setiap napas seperti melewati air yang kental. Lantai di bawah kaki mereka tidak rata, beberapa batu terasa lebih hangat dibandingkan yang lain, seolah baru saja dilewati sesuatu. "Apakah kau mendengarnya?" tanya Alura tiba-tiba, berhenti sejenak. Rafael memutar kepalanya sedikit. "Suara apa?" Alura menggigit bibir. "Seperti … bisikan. Sangat jauh,

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 116. Bisikan yang Menolak Diam

    Langkah Alura terasa berat ketika ia memasuki ruangan itu. Pintu yang mereka buka sebelumnya sudah menutup rapat di belakang, menimbulkan gema yang seolah mengunci mereka dari segala jalan kembali. Dinding-dinding batu yang berdiri kokoh di sekeliling tak lagi terlihat seperti batu biasa. Ada retakan halus yang berdenyut pelan, seakan-akan ruangan itu bernafas, hidup, dan mengawasi setiap gerak mereka. Udara di dalam sini pekat, bukan sekadar dingin, melainkan menekan, seperti tangan tak kasat mata yang perlahan mencengkeram paru-paru. Alura menarik napas panjang, namun dadanya tetap terasa sesak. “Ini… berbeda,” gumamnya. Rafael tidak menjawab. Ia berdiri beberapa langkah di depan, tatapannya tajam meneliti sekeliling. Ada kilatan singkat di matanya, dingin seperti biasanya, tapi juga berhati-hati. Tangannya sudah dekat dengan gagang pedang, meski ia tahu senjata tidak selalu berguna menghadapi apa pun yang menunggu mereka di balik pintu-pintu Gerbang. Beberapa saat, hanya ada k

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 115. Jejak yang Terkubur Dalam

    Langkah Alura terdengar jelas di ruang batu itu. Suara kecil dari sepatu yang menyentuh lantai seolah menjadi satu-satunya tanda bahwa mereka masih ada di dunia nyata, bukan sekadar tersesat dalam mimpi buruk yang dipenuhi bayangan. Udara di dalam sini semakin berat. Bukan hanya karena ruangan itu dipenuhi dengan debu yang tidak pernah bergerak, tapi juga karena bisikan yang seakan mengisi rongga telinga. Bisikan yang sama, berulang kali menyebut nama - nama yang sudah mereka kenal. Silvanna. Alura merasakan kulitnya meremang setiap kali gema itu terdengar. Nama itu sudah tidak asing lagi, tapi cara ruang ini mengulanginya, seolah menekan luka yang belum kering. Rafael berjalan di sampingnya dengan langkah mantap, tidak terganggu. Setidaknya, begitu tampaknya. Tapi Alura sudah cukup lama bersamanya untuk tahu: setiap kali rahang Rafael mengeras, setiap kali tangannya terkepal meski tidak ada musuh, itu berarti ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan. “Berapa jauh lagi menurutmu?” s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status