Hening setelah kehilangan itu berbeda dengan hening biasa. Ia bukan sekadar diam tapi kehampaan yang mencekam. Alura berdiri di tepi tanah yang masih basah oleh jejak darah, bekas pengorbanan Arga. Namun yang mengganggunya bukan hanya kehilangan itu, melainkan cara Arga pergi. "Aku tidak mau menjadi hantu dalam hidupmu." Suara itu terus menggema di pikirannya. Setiap detiknya menyayat, seolah kata-kata itu adalah kutukan paling manis dan paling kejam yang pernah dia terima. "Arga..." Suara Alura pecah di tengah reruntuhan Vellen Thar. Tapi tidak ada gema, tidak ada jawaban. Hanya angin dingin yang membawa bau besi dan abu. Rafael berdiri di belakangnya, diam. Tidak menyentuh, tidak memaksa. Ia tahu ini bukan waktunya menjadi pelindung atau suami. Ini adalah waktunya untuk membiarkan Alura menelan sakitnya sendiri dalam sunyi yang suci. Namun tanah mulai bergetar. "Bumi ini… bernapas," gumam Rafael, matanya menelusuri retakan tanah yang merambat seperti akar tapi hidup. Retak
Langkah mereka melewati ambang Gerbang Kedelapan bukan seperti melangkah dari satu ruang ke ruang lain. Itu seperti keluar dari tubuh sendiri dan masuk ke versi dunia yang terlalu diam, terlalu gelap, terlalu... kosong. Alura tidak bisa mendengar detak jantungnya. Bahkan napas Rafael yang biasanya bisa ia rasakan di belakang tengkuknya hilang. Yang ada hanya kesunyian dan suara... itu lagi. Detak. Detak. Detak. Tapi detak itu bukan dari dunia luar. Itu datang dari dalam dirinya. Dari sesuatu yang tertinggal setelah Silvanna mencengkram jiwanya. Sesuatu yang tidak pergi meski Gerbang telah tertutup di belakang mereka. “Jangan mundur,” suara Rafael lirih, hampir tak terdengar. Alura mengangguk tanpa suara. Tapi dalam pikirannya, suara lain yang muncul. Kau tidak boleh lemah, Ratu. Kalau kau jatuh, siapa yang akan menegakkan darah ini? Suara itu tidak asing. Dan yang paling menyesakkan, suaranya terdengar seperti... Arga. ... Mereka tiba di pelataran batu yang terbelah dua.
Suara detak itu bukan berasal dari jantungnya. Alura tahu betul. Detak itu datang dari tanah yang dia pijak dari retakan-retakan darah yang mengalir seperti akar, menyebar di sekelilingnya, menciptakan irama yang tidak mengikuti waktu. Setiap hentakan bukan hanya suara, tapi desakan dari sesuatu yang ingin lahir… dari dalam dirinya sendiri.“Alura?” suara Arga lirih, nyaris tak terdengar. Tapi di dunia ini, yang menggantung di antara realita dan gema jiwa, bisikan pun bisa menggelegar seperti guntur.Ia menoleh. Arga duduk bersandar di tiang gerbang yang setengah tenggelam, napasnya pendek, wajahnya pucat seperti dikuras dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan ujung jari-jarinya. Tapi yang lebih menyakitkan dari luka fisik adalah tatapan mata Arga penuh ragu dan kehilangan."Aku di sini," bisik Alura. Tapi suaranya tak lagi seperti miliknya. Ada gema dalam nada bicaranya, seolah dua suara berkata bersamaan.Silvanna… dan sesuatu yang lain.Langit di atas mereka terbelah perlahan.
Tanah itu tidak lagi terasa seperti tanah. Ia berdenyut, seolah-olah darah mengalir di balik lapisan bebatuan merah tua. Langit di atas mereka pecah dalam guratan ungu yang menyala, membentuk retakan yang tak berhenti berdesis seperti napas terakhir dari sesuatu yang pernah hidup.Alura berdiri diam di tengah pusaran itu.Suara Gerbang Kesembilan bukan lagi hanya bisikan. Ia kini memenuhi udara. Kadang terdengar seperti nyanyian, kadang seperti lolongan makhluk yang kehilangan nama. Kadang seperti suara ibunya. Kadang seperti dirinya sendiri."Kau yang membawa luka paling tua. Maka kaulah kunci."Darah Alura terasa berdesir. Bukan karena ketakutan, tapi karena sesuatu yang lebih tua dari rasa takut itu kenangan yang bukan miliknya, namun bersemayam dalam tulangnya.Rafael mendekat pelan, memanggil namanya. Tapi suara itu seperti diredam, tenggelam dalam kabut merah yang mulai melingkupi tubuh Alura."Aku di sini," bisik Rafael.Alura menoleh, matanya bersinar samar. Tapi ia tidak menj
Langkah-langkah mereka terhenti begitu suara dari dalam gerbang kembali terdengar, kali ini bukan hanya gemuruh… melainkan bisikan serak, penuh parau, seolah dibentuk dari abu dan serpih kutukan yang tak bisa dibakar habis oleh waktu. Arga menggenggam pinggiran mantel lusuhnya. Tubuhnya gemetar, bukan karena takut, tapi karena sesuatu dalam dirinya... merasa terlalu akrab dengan suara itu. "Apa itu..." gumam Alura pelan, jemarinya menekan pelan dinding batu yang berdenyut seolah hidup. Rafael berdiri satu langkah di depan mereka. Punggungnya tegang, dan matanya menatap Gerbang Kedelapan seolah mencoba menembus lapisan-lapisan gaib yang tak terlihat. "Aku kenal suara itu," lirih Arga, dan untuk pertama kalinya sejak mereka tiba di reruntuhan ini, suaranya terdengar seperti anak kecil yang tersesat. "Itu bukan dari luar... itu dari aku." Alura menoleh cepat, matanya mencari wajah Arga, seolah mencoba membaca ulang semua ingatan yang pernah ia tolak. “Arga... kamu yakin?” Arga men
Langkah kaki mereka tak lagi menggema. Bukan karena lantai berubah, tapi karena suara itu sendiri tak lagi hidup di tempat ini. Alura berdiri diam di tengah ruangan tanpa dinding, tanpa langit, tanpa tanah. Sekelilingnya hitam, tapi tidak kosong. Bayangan menggeliat seperti asap, membentuk siluet tubuh manusia tapi tak satu pun memiliki wajah. Di hadapannya berdiri sebuah cermin, tinggi menjulang, nyaris seperti gerbang itu sendiri. Tapi permukaannya… tidak memantul. Hanya gelap, seperti menatap sumur yang tidak berujung. Rafael menarik napas pelan, menahan ketegangan. Ia berdiri beberapa langkah di belakang Alura, matanya menyapu sekitar dengan waspada. Di sisi lain, Arga mencengkeram lengan kirinya yang masih berlumuran darah, tapi sorot matanya tak lepas dari Alura. “Apa ini...?” gumam Rafael, lebih kepada dirinya sendiri. Alura mendekati cermin perlahan. Satu langkah. Dua langkah. Dan sesuatu dalam dirinya bergerak. Ada suara tidak keluar dari luar, tapi dari dalam. Suara it