Saat ini, Raga dan Amira sedang duduk di kursi belakang. Keduanya ada di dalam mobil Raga yang tengah melaju di jalan. Suasana hening beberapa detik sebelum akhirnya Amira membuka mulut.
“Enggak punya musuh kepala lo!” Cemooh Amira. “Tadi semuanya ngejar kita!”
Raga menanggapi Amira santai. Dia bersandar di kursi mobil nyaman, memandang Amira dengan tatapan datar.
“Ya mana gue tau. Gue nggak kenal mereka siapa,” jawab Raga jujur.
Raga meraih handphone dari saku. Tangannya mengangkat benda itu tinggi, menunjukkan layar yang menyala di depan Amira.
“Ini gue baru mau bilang ke bokap gue. Biar dia yang urus. Tapi ….”
Ucapan Raga terhenti sesaat. Wajahnya kini menoleh ke Amira, menatap penuh curiga.
“Lo sendiri gimana bisa tau kalau ada yang ngejar gue?”
Amira mengalihkan pandang, menghindar dari tatapan menyudutkan Raga. Tapi tetap saja, Amira tidak bisa lepas dari cowok itu.
“Kok lo bisa tau? Gue penasaran.”
Raga terus membuat Amira terdesak. Amira jadi menyesal. Berada di dalam satu mobil dengan Raga memang bukan pilihan bijak. Apalagi mobil itu sedang melaju kencang sekarang.
“Kebetulan aja gue liat,” jawab Amira asal. “Kan keliatan, pakai mata.”
Memang secara teknis Amira tidak salah. Amira sudah jujur dengan mengatakan jika dia memang kebetulan melihat, melihat masa depan. Dia hanya menghilangkan sedikit bagian tentang kemampuan indigonya.
“Lo pikir gue enggak punya mata?” Sahut Raga ketus.
Kalau membicarakan masalah mata, tentu saja Raga juga punya.
“Ya kalo gitu kenapa nanya?” Balas Amira sama sinis.
Tapi Raga tidak bisa menerima jawaban asal seperti itu. Dia mengulurkan tangan ke arah Amira, membuat gadis itu memekik. Lengan panjang Raga mengurung Amira di sisi pintu mobil yang terkunci.
“Jangan ngelak, jangan bohong!” Ujar Raga.
Suara Raga tegas, penuh dengan penekanan.
“Jawab pertanyaan gue! Elo tau darimana?”
Amira berjengit. Tubuh dan kakinya bergerak mundur secara otomatis menghindari Raga.
Amira terus bergeser di atas kursi, beringsut menjauh, sampai dia mendapati rasa perih yang menyengat. Sensasi panas menjalar cepat di kaki Amira, membuatnya menunduk.
“Aw ….”
Amira terkejut saat mendapati kakinya terluka. Dan saat itu juga, Raga tanpa sadar menyibak rok Amira, hendak melihat luka Amira dengan lebih jelas.
“Jangan!” Jerit Amira.
Amira langsung mendorong Raga menjauh, lalu menampar pipi cowok itu begitu saja.
“Lo barusan nampar gue?”
Raga melongo tak percaya. Dia terpaku menatap Amira. Tangannya bergerak mengusap pelan bekas tamparan yang memerah.
“Jangan deket-deket!” Teriak Amira keras.
Amira menatap Raga waspada. Tangannya bersiap memberikan pukulan lain jika Raga masih memaksa mendekat setelah ini.
Raga mendelik, bingung dengan perubahan sikap Amira. Padahal sebelum ini mereka sedang bicara biasa saja. Tapi kenapa sekarang Amira jadi tantrum begini?
“Heh!” Teriak Raga. “Yang bener aja! Emangnya lo pikir gue bakal ngapain?”
Raga jadi bingung sendiri. Amira tiba-tiba saja marah dan menamparnya tanpa peringatan.
Amira menutup mulutnya rapat. Dia tak bisa mengatakan jika apa yang Raga lakukan tadi membuatnya mengingat hal buruk di masa lalu.
Dua tahun yang lalu, saat Amira pingsan di makam sang nenek, ada yang menolongnya. Orang itu adalah Anto, penjaga makam, yang kemudian membawa Amira kembali ke rumah.
Namun ternyata Anto bukanlah orang baik. Pria beristri itu menggerayangi tubuh Amira tanpa izin. Amira mengingat jelas apa yang Anto lakukan pertama kali. Hal itu adalah menyibak rok Amira.
“Gue mau turun! Berhentiin mobilnya!”
Amira menggedor pintu dengan wajah cemas. Kedua sudut matanya memerah, tampak menahan tangis.
Raga heran melihat Amira yang sekarang jadi ketakutan. Sungguh, dia bingung.
“Lo diem dulu,” ucap Raga dengan suara tertahan.
Raga juga berusaha mengendalikan emosinya. Dia jelas masih kesal karena ditampar. Tapi melihat Amira yang hampir menangis, dia tidak bisa tidak peduli.
“Pintu itu bakal kebuka kalau luka lo udah diobatin.”
Raga sudah memberikan penawaran, tapi Amira menggeleng. Amira terus menarik roknya turun. Tidak membiarkan Raga membantu sama sekali.
“Gue mau obatin di rumah aja,” sahut Amira pelan.
Amira terus menggeleng, menolak semua niat baik Raga.
Namun, Raga tidak bisa membiarkannya. Raga tak mungkin membiarkan Amira terluka. Apalagi luka itu karena dirinya.
“Enggak,” tolak Raga tegas. “Gue enggak mau punya hutang sama lo.”
Raga bukan cowok yang tak tahu balas budi. Amira pasti mendapatkan luka itu saat lari bersamanya tadi. Jadi dia harus bertanggung jawab.
Tangan Raga memanggil supir yang sedang menyetir. “Dimana kotak obatnya?”
Raga mendapatkan satu kotak lengkap berisi obat-obatan. Saat Raga akan membuka kotak itu, tangan Amira merebutnya cepat.
“Gue aja,” sela Amira. “Tapi habis ini berhentiin mobilnya, gue mau balik!”
Raga melihat Amira yang mengobati lukanya asal. Amira bahkan tidak membersihkan luka itu dulu. Amira hanya meneteskan obat luka dan menempelkan plester seadanya.
“Udah!” Jari Amira menunjuk ke luar. “Sekarang bilang ke supir lo buat berhenti. Kebetulan rumah gue udah deket.”
Raga mengangguk setuju. “Oke. Sekalian gue anterin lo sampe rumah.”
Cerita Amira dan Raga selesai sampai di sini. Tak bisa dilanjutkan lagi karena nanti jadi 18+. Hehe 🤭 Yang mau aku melanjutkan Amira dan Raga season dua, berikan like dan komentarnya sebanyak-banyaknya, ya! Terima kasih untuk semua yang sudah membaca dan memberikan dukungan. Cinta banyak-banyak. 🥰 Salam hangat, -Dewiluna-
“Pergi, dulu.” Setelah meminta izin pada Gavin, Andini, dan Heri, Raga dan Amira diantar oleh Ken. Alex sedang cuti untuk sementara waktu. Di asrama, Dika dan Dina menyambut Amira. Memang sedang libur semester, jadi suasana sekolah sepi. “Kak Amira mau pindah ke mana?” Dika bertanya penasaran. Amira tidak bisa memikirkan jawaban, jadi Raga yang mewakili. “Apartemen,” jawab Raga singkat. “Di sini ternyata enggak aman.” Amira tidak membantah. Dia biarkan saja Raga semaunya merangkai kebohongan tentang status juga tempat tinggal mereka. Terdengar hela kecewa dari mulut Dika. Meski begitu, Dika tetap membantu Amira berkemas. Dina pun melakukan hal yang sama. Dia tidak masalah di mana pun Amira tinggal, selama hubungan mereka baik. “Hati-hati di jalan ya!” Dina dan Dika melambai bersamaan. Kedua bersaudara itu mengantar Amira sampai ke depan gerbang. Amira memang tidak membawa semua barangnya. Dia cuma mengambil baju dan barang-barang penting. Sisanya bisa diambil nanti. “D
“Gue enggak ngerasa ini beneran,” ucap Amira. Setelah Amira dinyatakan benar-benar sembuh, Raga mengajaknya masuk ke dalam kediaman keluarga Wijaya. Raga tidak membiarkan Amira berhenti di depan pintu. Dia menarik Amira masuk ke dalam. Kali ini, tangan Amira tak terlepas dari genggaman. “Udah gue bilang, kan? Lo percaya aja sama gue,” sahut Raga sombong. Gavin dan Andini datang kemudian. Mereka menyambut Amira. “Kamu langsung bersiap saja.” Andini mendorong Amira masuk ke dalam salah satu ruangan. Di sana, sudah ada penata rias lengkap dengan para pelayan yang membantunya bersiap. Amira terus-menerus curiga, tapi tidak ada yang terjadi. Bahkan dia sudah mengecek masa depan dengan memegang semua orang, dan hasilnya sama. Tak akan terjadi apa pun. Semuanya berjalan lancar seperti seharusnya. “Sudah selesai.” Ucapan penata rias itu membuat Amira tertegun sesaat. Dia menghadap cermin lalu mendapati pantulan dirinya di sana. “Apa ada yang mau diperbaiki?” Penata rias itu
“Gimana keadaan Bapak?” Tanya Amira saat menjenguk Reynald. Amira langsung menyeret Raga ke ruang rawat Reynald setelah tahu gurunya sudah sadar. Reynald tersenyum. “Baik.”Febby yang kemudian mewakili Reynald bicara lebih banyak. “Keadaannya udah stabil, jadi lo enggak perlu khawatir lagi.”Dia menepuk lengan Amira lembut. “Jangan merasa bersalah lagi, ya,” sambungnya. Amira mengangguk pelan. Melihat Febby yang tak lagi menangis membuat Amira merasa lega. “Mending lo istirahat, sana.” Febby membalikkan badan Amira. Dia menunjuk pintu keluar. “Tidur di atas kasur.”Amira menggeleng–menolak, tapi Febby memaksa. “Harus!”Perintah itu akhirnya dituruti Amira. Dia dibimbing Raga kembali ke dalam ruang rawatnya. Di sana, Raga langsung menyuruh Amira berbaring. “Akhirnya!” Raga ikut naik ke atas ranjang, berbaring di samping Amira. “Gue bisa tidur juga.”“Raga! Turun, ih!” Pekik Amira.Amira berusaha mendorong Raga menjauh, tapi pacarnya itu tidak bergerak. “Raga, gue tendang ya!” An
“Pendarahannya parah,” gumam Febby, dengan suara putus asa. Amira menarik napas dalam, mencoba meredam rasa bersalah yang menyesakkan. Namun, dia tahu jika ini bukan waktunya untuk lemah, apalagi mengeluh.“Ayo kita berdoa, Kak. Gue yakin, Pak Reynald pasti bisa melalui ini semua.”Febby hanya mengangguk dengan tatapan kosong. Dia tidak ingin berharap, tapi hanya harapan yang tersisa untuknya. Amira ikut berdoa dalam hati. Dia sungguh tidak bisa membayangkan jika Reynald benar-benar pergi. Amira tak mampu hidup dalam rasa bersalah.“Amira,” panggil Raga lembut. Raga duduk di samping Amira, menemaninya. “Sini, deketan sama gue,” ucap Raga seraya memberikan satu bahunya agar Amira bisa bersandar.“Gue enggak ngantuk,” jawab Amira, keras kepala.Amira mungkin mengatakan jika dia tidak lelah, tapi wajahnya sudah kusut dan kedua matanya hampir terpejam.Hanya butuh beberapa menit sebelum akhirnya Amira be
“Bangkeee!” Evan menjulurkan tangan, ingin menempeleng Raga. Namun, luka di tangannya membuat dia mengurungkan niat. Michelle sampai membantu Evan duduk kembali dengan tenang di kursinya. “Elo serius enggak punya rencana apa-apa?!” Evan memekik tak percaya. Padahal lagak Raga tadi sudah seperti orang serius. “Ada,” jawab Raga singkat. “Ini Amira lagi ngeliat rencana gue.” Amira yang mewakili Evan menyikut Raga. Dia juga kesal pada sikap pacarnya yang seenak udel begini. “Ngomongnya mau bikin perusahaan saingan. Hampir aja gue percaya!” Evan misuh-misuh. Sementara Raga, masih santai di samping Amira. Dia cuma mengangkat bahu sambil menjawab tenang. “Ya bagus, kan! Artinya tampang gue meyakinkan.” Raga menggampangkan masalah yang dia buat. Evan sudah sibuk mengomel. Michelle pun sama. Keduanya menatap Raga tak percaya. Mereka tidak pintar, tapi juga tidak bodoh untuk menyadari jika Raga hanya melakukan tindakan impulsif tanpa persiapan.“Terserah lo aja, deh!” Evan jadi lelah s