Raga membiarkan Amira menariknya. Mereka berlari tanpa arah sebelum akhirnya Amira melihat sebuah jalan kecil.
“Lewat sini!” Amira berteriak sambil menunjuk ke sisi kiri. Dia menyempatkan diri menoleh ke belakang, hanya untuk mendapati jika mobil hitam yang mengejar mereka semakin dekat.
Mobil itu telah berhenti sempurna di jalan. Lima orang berpakaian hitam lengkap turun dari mobil dan mulai mengejar.
“Cepat!” pekik Amira. Dia membuat kedua kakinya melaju lebih kencang.
Raga menoleh ke belakang. Kali ini ia melihat dengan kedua matanya sendiri jika nemang ada gerombolan yang mengejar mereka.
“Sembunyi!” Raga tidak ragu lagi setelah melihat bukti. Kali ini dia yang menarik Amira.
Amira tidak protes saat Raga memimpin dan menariknya melewati jalan kecil berkelok. Dia tahu jika Raga sedang mencoba untuk membuat mereka terbebas dari pengejaran.
“Naik!” Perintah Raga membuat Amira melotot.
Amira menatap pagar di depannya. Tidak tinggi tapi cukup untuk membuatnya meloncat. Masalahnya Amira ini memakai rok.
Melihat keraguan Amira, Raga memilih untuk bergerak duluan. Ia melompat ke sisi seberang lalu memberikan uluran tangan.
“Cepet!” Seruan Raga membuat Amira tidak berpikir lagi. Dia menerima bantuan Raga.
Amira meloncat. Gadis itu mendarat lembut dalam pelukan Raga.
Raga mengulurkan tangan menghentikan pagar yang bergetar. Dia gegas menarik Amira untuk bersembunyi di balik rimbunan pohon.
“Jangan bersuara.” Raga menutup mulut Amira dengan sebelah tangan. Dia mendorong Amira ke sudut, menutupi tubuh Amira dengan tubuhnya sendiri.
Amira mencoba mengatur nafasnya yang tersengal. Kakinya terasa lemas. Andai saja Raga tidak mengajaknya bersembunyi, mungkin Amira sudah terjatuh karena kehabisan tenaga.
“Dimana dia?” Terdengar suara berisik.
Amira memejamkan mata erat. Dia menahan nafas karena takut suara mereka terdengar. Derap langkah kaki semakin dekat, membuat Amira panik dan tanpa sadar memegang ujung seragam Raga kencang.
“Cari ke sebelah sana! Cepat! Jangan sampai lolos!”
Kedua mata Amira terasa panas. Dia susah payah menahan tangis. Amira menutup mulut, tidak bersuara. Sampai keadaan aman, sampai semua derap langkah terdengar menjauh dan benar-benar menghilang.
Perhatian Raga teralih pada Amira yang masih berdiri kaku di depannya. Gadis itu terpaku dengan tubuh gemetar.
Raga menunduk, menyamakan tinggi dengan Amira. Dia menatap wajah ketakutan gadis itu. “Elo enggak papa?”
Amira terkejut. Dia mendorong Raga menjauh. Amira menyempatkan diri menghapus air mata yang penuh di pelupuk. “Gue enggak papa.”
Raga berdecak kesal sesaat. Meski Amira mengatakan jika dia tidak apa-apa, Raga yakin gadis itu tidak baik-baik saja.
“Kita harus cepat pergi dari sini.” Raga meraih ponselnya dari saku. Dia menekan satu nomor kontak yang langsung tersambung. “Jemput gue sekarang!”
Pelan Raga melangkah. Dia keluar dari tempat persembunyian, mencoba mengecek situasi. “Aman,” ucapnya kemudian.
Amira menyambut tangan Raga untuk kedua kalinya. Dia membiarkan cowok itu membantu sekali lagi untuk melompati pagar rumah entah milik siapa. Keduanya kembali menyusuri jalan.
“Pegang tangan gue!” Raga menuntut tangan Amira. Dia menariknya tanpa menunggu Amira yang meragu. “Jangan sampe kepisah.”
Amira mengikuti langkah Raga. Mereka menyusuri jalan kecil. Terus berjalan tanpa menoleh. Sayangnya, gerakan mereka terendus.
“Akh!” Pekik Amira keras. Dia menabrak Raga yang tiba-tiba saja berhenti di depannya. “Kenapa?”
Raga memutar tubuh. “Lari!”
Amira melihat bayangan para penculik itu. Mereka ketahuan. Keduanya mulai berlari lagi. Kali ini lebih cepat dari sebelumnya.
“Sial!” Pekik Amira kesal. “Kata lo tadi, elo enggak punya musuh!”
Raga menggeleng. “Emang enggak! Gue juga enggak tau mereka siapa!”
“Terus kenapa ngejar elo? Mereka mau apa?!” Amira ngotot ingin dijawab, tapi Raga sendiri tidak tahu jawabannya.
Amira menggerutu. Dia mulai menyesali keputusannya. “Harusnya gue enggak usah bantuin lo! Percuma! Semuanya bakalan tetep terjadi!”
Andai saja Amira tidak peduli seperti biasanya. Dia seharusnya sudah ada di rumah dan bersantai di atas kasur. Bukannya ikut kejar-kejaran bersama para penculik ini!
“Berisik!” Raga menarik tangan Amira lebih keras. Dia harus mempercepat langkah jika tak ingin ditangkap. “Lari lebih cepet lagi! Pakai kaki lo, bukan mulut!”
Amira mendengus. Apa yang Raga katakan memang benar. Dia harusnya lari, bukan mengeluh. Penyesalan tidak akan berguna sekarang.
Beruntung gang kecil itu berakhir. Sekarang jalan utama yang menyapa.
“Di sini!” Raga melambaikan tangan. Di kejauhan, terlihat sebuah mobil berwarna silver yang mendekat.
Mobil itu berhenti tepat di depan Raga dan Amira. Pintunya terbuka, dan Raga langsung mendorong Amira masuk ke dalam. Mobil pun melaju cepat.
“Itu tadi hampir,” gumam Raga lelah. Dia mengatur nafasnya yang tersengal.
“Kaki gue rasanya mau copot.” Amira tanpa sadar bersandar pada Raga, melepaskan lelahnya.
“Lain kali gue enggak mau nolongin orang lagi,” keluh Amira. “Untungnya buat gue apaan?”
Cerita Amira dan Raga selesai sampai di sini. Tak bisa dilanjutkan lagi karena nanti jadi 18+. Hehe 🤭 Yang mau aku melanjutkan Amira dan Raga season dua, berikan like dan komentarnya sebanyak-banyaknya, ya! Terima kasih untuk semua yang sudah membaca dan memberikan dukungan. Cinta banyak-banyak. 🥰 Salam hangat, -Dewiluna-
“Pergi, dulu.” Setelah meminta izin pada Gavin, Andini, dan Heri, Raga dan Amira diantar oleh Ken. Alex sedang cuti untuk sementara waktu. Di asrama, Dika dan Dina menyambut Amira. Memang sedang libur semester, jadi suasana sekolah sepi. “Kak Amira mau pindah ke mana?” Dika bertanya penasaran. Amira tidak bisa memikirkan jawaban, jadi Raga yang mewakili. “Apartemen,” jawab Raga singkat. “Di sini ternyata enggak aman.” Amira tidak membantah. Dia biarkan saja Raga semaunya merangkai kebohongan tentang status juga tempat tinggal mereka. Terdengar hela kecewa dari mulut Dika. Meski begitu, Dika tetap membantu Amira berkemas. Dina pun melakukan hal yang sama. Dia tidak masalah di mana pun Amira tinggal, selama hubungan mereka baik. “Hati-hati di jalan ya!” Dina dan Dika melambai bersamaan. Kedua bersaudara itu mengantar Amira sampai ke depan gerbang. Amira memang tidak membawa semua barangnya. Dia cuma mengambil baju dan barang-barang penting. Sisanya bisa diambil nanti. “D
“Gue enggak ngerasa ini beneran,” ucap Amira. Setelah Amira dinyatakan benar-benar sembuh, Raga mengajaknya masuk ke dalam kediaman keluarga Wijaya. Raga tidak membiarkan Amira berhenti di depan pintu. Dia menarik Amira masuk ke dalam. Kali ini, tangan Amira tak terlepas dari genggaman. “Udah gue bilang, kan? Lo percaya aja sama gue,” sahut Raga sombong. Gavin dan Andini datang kemudian. Mereka menyambut Amira. “Kamu langsung bersiap saja.” Andini mendorong Amira masuk ke dalam salah satu ruangan. Di sana, sudah ada penata rias lengkap dengan para pelayan yang membantunya bersiap. Amira terus-menerus curiga, tapi tidak ada yang terjadi. Bahkan dia sudah mengecek masa depan dengan memegang semua orang, dan hasilnya sama. Tak akan terjadi apa pun. Semuanya berjalan lancar seperti seharusnya. “Sudah selesai.” Ucapan penata rias itu membuat Amira tertegun sesaat. Dia menghadap cermin lalu mendapati pantulan dirinya di sana. “Apa ada yang mau diperbaiki?” Penata rias itu
“Gimana keadaan Bapak?” Tanya Amira saat menjenguk Reynald. Amira langsung menyeret Raga ke ruang rawat Reynald setelah tahu gurunya sudah sadar. Reynald tersenyum. “Baik.”Febby yang kemudian mewakili Reynald bicara lebih banyak. “Keadaannya udah stabil, jadi lo enggak perlu khawatir lagi.”Dia menepuk lengan Amira lembut. “Jangan merasa bersalah lagi, ya,” sambungnya. Amira mengangguk pelan. Melihat Febby yang tak lagi menangis membuat Amira merasa lega. “Mending lo istirahat, sana.” Febby membalikkan badan Amira. Dia menunjuk pintu keluar. “Tidur di atas kasur.”Amira menggeleng–menolak, tapi Febby memaksa. “Harus!”Perintah itu akhirnya dituruti Amira. Dia dibimbing Raga kembali ke dalam ruang rawatnya. Di sana, Raga langsung menyuruh Amira berbaring. “Akhirnya!” Raga ikut naik ke atas ranjang, berbaring di samping Amira. “Gue bisa tidur juga.”“Raga! Turun, ih!” Pekik Amira.Amira berusaha mendorong Raga menjauh, tapi pacarnya itu tidak bergerak. “Raga, gue tendang ya!” An
“Pendarahannya parah,” gumam Febby, dengan suara putus asa. Amira menarik napas dalam, mencoba meredam rasa bersalah yang menyesakkan. Namun, dia tahu jika ini bukan waktunya untuk lemah, apalagi mengeluh.“Ayo kita berdoa, Kak. Gue yakin, Pak Reynald pasti bisa melalui ini semua.”Febby hanya mengangguk dengan tatapan kosong. Dia tidak ingin berharap, tapi hanya harapan yang tersisa untuknya. Amira ikut berdoa dalam hati. Dia sungguh tidak bisa membayangkan jika Reynald benar-benar pergi. Amira tak mampu hidup dalam rasa bersalah.“Amira,” panggil Raga lembut. Raga duduk di samping Amira, menemaninya. “Sini, deketan sama gue,” ucap Raga seraya memberikan satu bahunya agar Amira bisa bersandar.“Gue enggak ngantuk,” jawab Amira, keras kepala.Amira mungkin mengatakan jika dia tidak lelah, tapi wajahnya sudah kusut dan kedua matanya hampir terpejam.Hanya butuh beberapa menit sebelum akhirnya Amira be
“Bangkeee!” Evan menjulurkan tangan, ingin menempeleng Raga. Namun, luka di tangannya membuat dia mengurungkan niat. Michelle sampai membantu Evan duduk kembali dengan tenang di kursinya. “Elo serius enggak punya rencana apa-apa?!” Evan memekik tak percaya. Padahal lagak Raga tadi sudah seperti orang serius. “Ada,” jawab Raga singkat. “Ini Amira lagi ngeliat rencana gue.” Amira yang mewakili Evan menyikut Raga. Dia juga kesal pada sikap pacarnya yang seenak udel begini. “Ngomongnya mau bikin perusahaan saingan. Hampir aja gue percaya!” Evan misuh-misuh. Sementara Raga, masih santai di samping Amira. Dia cuma mengangkat bahu sambil menjawab tenang. “Ya bagus, kan! Artinya tampang gue meyakinkan.” Raga menggampangkan masalah yang dia buat. Evan sudah sibuk mengomel. Michelle pun sama. Keduanya menatap Raga tak percaya. Mereka tidak pintar, tapi juga tidak bodoh untuk menyadari jika Raga hanya melakukan tindakan impulsif tanpa persiapan.“Terserah lo aja, deh!” Evan jadi lelah s