LOGINNamun, saat Kananta semakin terbawa suasana, tiba-tiba Zinia menghentikannya.
“Stop.” Suaranya terdengar seperti rem tangan ditarik mendadak di tikungan. Kananta berhenti freeze dengan pose tangan masih nemplok di dada si manekin—pose yang kalau difoto, bisa masuk grup WA keluarga dan bikin Mama pingsan. Zinia mendekat. Sangat dekat. Aroma parfumnya—mahal, segar, sedikit mint—mengikis sisa-sisa kewarasan yang masih tersisa di kepala Kananta. “Kananta,” ucapnya sambil menatap lurus ke matanya, “sekencang itu kamu imajinasinya?” Kananta menelan ludah. “Sa-saya cuma fokus pada sensasi?” Berusaha mencari alasan yang tentu saja mimik wajahnya seperti buku dengan tulisan capslock semua. “Fokus?” Zinia mengangkat alis. “Kamu dari tadi ngelus kayak orang lagi nyari koin jatuh.” Wajah Kananta memanas. Ini bukan terapi. Ini roasting session. Beginilah rasanya jika dokter yang menangani mantan yang pernah tersakiti. Mantan yang ia tinggalkan untuk menikahi wanita durjana. Mungkin memang benar penyesalan datangnya terakhir, seandainya saja ia dulu memilih untuk tetap bersama dengan Zinia mungkin ia sudah sembuh dari dulu. “Tapi setidaknya ada progres,” lanjut Zinia sambil mengamati gerakan tangannya. “Meski agak terlalu bersemangat. Manekinnya sampai geser tiga senti, loh.” “Astaga,” Kananta menutup muka. “Aku kayak orang kesurupan hormon.” Entahlah ternyata berimajinasi itu sangatlah menyenangkan. Dia kira terapi itu menyeramkan, ternyata justru ah sudahlah. Zinia mengedikkan bahu. “Ya namanya juga terapi andrologi. Yang penting kamu bisa kendalikan diri bukan manekinnya kamu banting.” Kananta cuma bisa pasrah. Kalau ada lubang, dia udah nyemplung. Zinia memutar tubuh, mengambil tablet catatan medisnya. “Oke. Untuk sesi berikutnya, aku ingin kamu—” BRAK. Pintu ruang terapi terbuka dengan suara seperti meteor jatuh. Keduanya menoleh bersamaan. Dan berdirilah di sana … Bumi. Kananta heran, mengapa putranya bisa tahu ia ada di sini? Dengan napas ngos-ngosan dan rambut berantakan, seperti baru kabur dari tawuran kantin TK. “Ayah!!!” pekiknya. “Miss sekolah bilang … AYAH HARUS DATANG SEKARANG!” Ada suster, satpam bahkan supir yang mengikutinya dari belakang. Lari Bumi seperti kilat yang tidak bisa ditangkap. Kananta langsung panik. “Kenapa? Kamu berkelahi lagi?” Dirinya yang tengah berbaring pun langsung saja duduk. “Bukan!” Bumi mengangkat dadanya bangga. “Aku … aku berhasil cium LIMA gadis hari ini! Tapi salah satunya anak ketua komite dan ayahnya tentara.” Kananta langsung pucet. “Ya ampun, Bumi, kamu mencari mati? Kamu mau ayah dipecah jadi sate?” Tak menyangka jika ada saja gebrakan yang dilakukan oleh putranya itu. Memang Bumi pantas disebut sebagai monster. Zinia memegangi kening. “Astaga … DNA siapa yang lebih dominan di anak ini?” Kananta menunjuk dirinya tanpa malu. “Jelas bukan ibunya.” Tak akan rela anak yang dirinya besarkan sejak bayi harus mengikuti jejak ibunya. Zinia mendengus. “Jelas.” “Ayah harus ke sekolah sekarang! Ketua komitenya marah. Tadi dia ngelempar kursi, Ayah! Kuat banget! Aku pikir komite itu orang baik!” Kananta melirik ke arah sopir yang mengantarkan anaknya, memang ia selalu memberitahu sopir kemanapun dirinya pergi karena ya seperti ini putranya selalu membuat masalah. Kananta sudah mau nangis. “Nak, komite itu bukan Komnas Anak.” "Komnas Anak, dia tidak akan marah jika anak gadisnya aku cium berulang kali?" Kananta, sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Putranya itu selalu saja di luar dugaan. "Tidak seperti itu konsepnya, Bumi." Anak itu berkecak pinggang dengan kedua pipi memerah dan juga keringat di dahi. Benar-benar seperti pria sejati yang tengah membela harga diri saja. Zinia menyilangkan tangan, menatap Kananta seperti dokter yang sudah terlalu sering menghadapi pasien bodoh. “Kanan, kamu pergi sana sebelum kamu digoreng komite.” Kananta buru-buru berdiri. Tapi sebelum ia sempat mengambil tas, Zinia tiba-tiba menahan lengannya. “Kananta.” Ia menoleh. Zinia menatapnya lama—ada sesuatu yang lain di sana. Bukan profesionalitas. Bukan canggung. Bukan marah. Sesutu yang … lebih dari itu. “Kita belum selesai,” ucap Zinia pelan, suaranya rendah, hampir seperti bisikan yang merayap ke lehernya. “Sesi berikutnya akan lebih intens.” Jantung Kananta langsung salto. “Jadi … jangan hilang. Aku belum selesai mengurus kamu.” Kananta tersenyum—atau lebih tepatnya tersentak-sentak menahan degup jantung liar. “Tentu, Dokter.” Saat ia keluar bersama Bumi, Zinia berdiri di pintu, memandang punggung mereka dengan tatapan rumit. *** Kananta baru turun dari mobil, napasnya masih ngos-ngosan karena drama tadi. Ia memegang pundak kecil Bumi yang tampak tidak bersalah meski sudah mencium lima gadis dan hampir menyinggung suami tentara. Begitu melangkah masuk ke ruang guru, suasananya tegang—seperti ruang sidang. Para guru melongo ke arah mereka. Dan di tengah ruangan, berdiri ketua komite. Astaga. Wanita itu bukan sekadar seksi. Dia seperti MILF versi deluxe limited edition. Rambut terurai, rok pensil ketat, blus putih yang yah, butuh penguatan struktural. Begitu melihat Kananta? Matanya langsung membesar seperti lampu sorot konser K-Pop. “Wow,” gumamnya sambil mengedip pelan. “Ayahnya Bumi … seperti dewa Yunani turun dari Olympus.” Bumi langsung cengar-cengir bangga. “Aku kan anaknya, Bu. Wajar kalau tampan.” Kananta hanya bisa menepuk dahinya. Ketua komite yang tadinya marah seperti macan betina kini berubah jadi kucing rumahan yang baru lihat ikan segar. Langkahnya mendekat—sangat mendekat. Dan setiap langkahnya diiringi goyangan dua gunung kembarnya yang bergetar seperti efek gempa skala kecil. “Pak Kananta ya?” Suaranya mendayu. “Wah, saya kaget sekali. Saya pikir ayah Bumi yaaa biasa-biasa saja.” Kananta cuma bisa cengengesan bingung. “Hehe saya yah begini adanya.” Wanita itu mendekat lagi. Dekat sekali. Sampai parfum mawar mahalnya menghantam hidung Kananta. “Boleh bicara lebih pribadi?” tanyanya sambil menggoyangkan tubuh sedikit—dan dua hal di depan dadanya ikut bergelombang seperti jello goyang kompetisi. Bumi menatap itu semua dengan polos. “Bu, itu kenapa kayak mau jatuh? Perlu aku pegangin?” Ketua komite hampir tersedak napas. Guru-guru menahan tawa. Kananta ingin mati di tempat. “Eh, Bu Komite.” Kananta mencoba menahan jarak. “Masalahnya apa ya? Saya dengar Bumi mencium teman kelasnya?” Ketua komite tiba-tiba berubah dramatis. “Oh, iya! Iya! Masalah itu!” Nada suaranya mendadak tinggi, tapi tetap manja. “Anak saya salah satu yang dicium, Pak.” Bumi mengangkat tangan. “Yang berambut kepang? Yang pipinya wangi stroberi?” “Ya itu!” Ketua komite memegangi dada—lebih tepatnya gunung-gunung itu sampai naik-turun dengan dramatis. “Tapi yaaa .…” Ia menatap Kananta dari atas ke bawah tanpa malu. “Kalau saya lihat ayahnya saya jadi maklum.” “Bu, maksudnya?” Ketua komite mendekat lagi, mencondongkan badan begitu rendah sampai Kananta refleks memundurkan kepala. “Kalau ayahnya tampan begini… gen-nya kuat sekali ya.” Ia melirik ke tubuh Kananta dari bahu sampai pinggang. “Pantas anaknya … agresif.” Kananta tersedak udara. “Bu, ini SD, bukan ajang gosip dewasa.” Ketua komite malah memainkan ujung rambutnya sambil mendesah kecil. “Pak Kananta kalau Bumi butuh bimbingan saya bisa bantu. Saya sering mengurus anak-anak kecil.” Lalu ia menatapnya dari bawah ke atas. “Tapi … saya juga bisa mengurus yang besar.”Namun, saat Kananta semakin terbawa suasana, tiba-tiba Zinia menghentikannya.“Stop.”Suaranya terdengar seperti rem tangan ditarik mendadak di tikungan. Kananta berhenti freeze dengan pose tangan masih nemplok di dada si manekin—pose yang kalau difoto, bisa masuk grup WA keluarga dan bikin Mama pingsan.Zinia mendekat. Sangat dekat. Aroma parfumnya—mahal, segar, sedikit mint—mengikis sisa-sisa kewarasan yang masih tersisa di kepala Kananta.“Kananta,” ucapnya sambil menatap lurus ke matanya, “sekencang itu kamu imajinasinya?”Kananta menelan ludah. “Sa-saya cuma fokus pada sensasi?”Berusaha mencari alasan yang tentu saja mimik wajahnya seperti buku dengan tulisan capslock semua.“Fokus?” Zinia mengangkat alis. “Kamu dari tadi ngelus kayak orang lagi nyari koin jatuh.”Wajah Kananta memanas. Ini bukan terapi. Ini roasting session. Beginilah rasanya jika dokter yang menangani mantan yang pernah tersakiti. Mantan yang ia tinggalkan untuk menikahi wanita durjana. Mungkin memang benar
Kali ini pulang fisioterapi membuat kananta sedikit lebih tenang, walaupun tadi ada sedikit gangguan dari sang mantan yang benar-benar tidak diharapkan. Seperti jelangkung yang datang tidak diundang, tapi berperawakan seperti kuyang! "Ayah!"Monster kecil itu berlari memeluknya. Bumi, putra sematawayang yang didapatkan dengan begitu sangat sulit. Tiga kali gagal dalam proses bayi tabung. Menghabiskan banyak sekali uang, tapi Kananta bersyukur karena memiliki anak seceria lincah dan juga cerdas Bumi."Wah, wah anak ayah. Ada apa ini sepertinya bahagia sekali?" Kananta dengan satu tangan saja mampu mengangkat tubuh putranya itu. Membawanya ke sofa panjang yang berada di ruang tamu. "Ayah tau tidak? Hari ini aku berhasil mencium tiga gadis di kelas. Hebat kan aku?" Bumi mengangkat kedua alisnya, seolah-olah apa yang dia lakukan itu adalah hal yang sangat membanggakan. Kananta terperangah, dirinya tidak menyangka ternyata Bumi se-playboy itu padahal masih kecil. Dulu ia sepertinya t
Kananta dirinya langsung saja menggenggam lengan Maya untuk segera keluar dari ruangan. Dia tidak peduli tatapan orang-orang di luar—untung saja keadaan sudah sepi karena memang dia pasien terakhir hari itu. Tak menyangka si ratu nyinyir dunia daring, kembali lagi hadir untuk mengobrak-abrik hatinya. "Apa sih maksud kamu?" tanya Kananta dengan suara marah, menarik Maya keluar sampai ke koridor. "Kamu ini ya benar-benar sangat menyebalkan!" Maya berbalik, pakaiannya benar-benar seksi baju tanpa lengan yang ketat menyoroti bentuk badannya, dan rok hanya satu jengkal dari paha yang putih bersih. Dia bergoyang-goyang di hadapannya seolah-olah menggoda, rambutnya tergelincir ke satu sisi. "Kamu nggak lihat ya? Aku cuma mau cek apakah kamu beneran berobat atau cuma main-main sama dokter cantik itu," ujarnya dengan nada menggoda. Maya, setelah cerai dari dirinya benar-benar seperti wanita lajang bahkan lebih mirip jalang. Pole dance, tanpa mengenakan pakaian yang layak mungkinkah itu
Kananta tersentak, keringat dingin keluar di keningnya. “Dokter aku harus siap mental dulu?” “Sangat. Tapi waktu sudah habis.” Dia merinding sampai badan gemetar. “Apakah aku akan selamat dari terapi ini?” Zinia tersenyum tipis—senyum yang bikin hati berdebar lebih kencang, seperti ada getaran listrik di udara. “Tergantung seberapa patuh kau sebagai pasienku.” Kananta berdiri tegak meskipun tulang belakangnya kaku. “Baik dokter.” “Mulai hari ini, Kan .…” Ia menepuk dadanya dengan pulpen yang ada di tangannya—sentuhan itu ringan tapi bikin dada berdebar kencang, seolah mau melompat keluar dari tulang rusuk. “Kau milikku sebagai proyek penelitian.” Kananta hanya bisa membuka mulutnya, mata bengkak dengan kaget: “Apa?” Dia menatap Zinia dengan harap yang membanjiri. "Benarkah? Bagaimana caranya ….” Bagian dalam dirinya berteriak “Jangan terlalu percaya! Jangan terlalu percaya!”—Zinia terlalu misterius, terlalu sulit ditebak. Setiap kali ia mencoba mendekatinya, ia justru semakin t
Kananta keluar dari ruang pemeriksaan seperti orang yang habis disodok kenyataan pahit. Pintu menutup klik, dan semua kepala di ruang tunggu langsung menoleh ke arahnya.Termasuk kakek tadi—yang senyumnya lebarnya kayak baru menikah lima kali.“Gimana, Nak?” Kakek itu mencolek lengannya dengan jari yang kaku seperti kayu. “Dokternya hebat, kan?”Kananta menghela napas panjang. “Kalau saya jawab, saya tambah stres.”Kakek mengangguk dramatis. “Ah, berarti cocok.”Kananta melangkah cepat keluar sebelum ada yang minta testimoni.Begitu keluar klinik, ia langsung menatap langit.“Tuhan … kalau ini cara-Mu mendewasakanku, boleh nggak cari cara lain yang nggak memalukan?”Tidak ada jawaban. Hanya burung lewat sambil berak di kap mobilnya.“Serius, Tuhan? Bahkan burung pun ngetawain aku?”Ia masuk ke mobil, banting pintu, dan menghela napas panjang.Dalam perjalanan pulang, ia mendengar suaranya sendiri mendengkus, “Aku nggak balik lagi. Titik.”Sampai rumah, baru buka sepatu bootnya yang be
Kananta sudah pasrah ketika Zinia menunjuk kursi pemeriksaan sambil mengangkat dagu.“Duduk, Kananta. Kudengar ‘junior’-mu ngadat?”Kananta duduk. Kaku. Beku. Batu nisan pun lebih hidup dibanding dia.Zinia menyilangkan kaki—klik—stocking hitamnya memantul seperti cermin. Roknya pendek sekali, dokter mana yang lulus etik begini? Seolah dia sengaja beli rok di toko baju malam.“Itu rumor,” bantah Kananta cepat, bibirnya kaku.“Rumor?” Zinia nyengir tipis, mata menyipit seperti ular yang melihat mangsa. “Atau kau memang sudah nggak bisa memuaskan siapa pun? Apa senjatamu karatan sampe bisa dipajang di museum?”“Bukan urusanmu,” gumamnya, suara sekeras semut.“Tentu urusanku. Aku doktermu. Tugas dokter? Memastikan barang pasiennya masih layak edar. Kalau nggak, mending aku rekomendasikan ke toko spare part.”Kananta ingin menghilang jadi gas helium, terbang ke atap dan keluar dari klinik tanpa ada yang lihat.Zinia mendekat. Parfumnya menusuk hidung—dulu manis kayak permen, sekarang vers







