Share

Ternyata Seorang CEO

Author: AgilRizkiani
last update Last Updated: 2025-11-24 20:54:49

Kali ini pulang fisioterapi membuat kananta sedikit lebih tenang, walaupun tadi ada sedikit gangguan dari sang mantan yang benar-benar tidak diharapkan.

Seperti jelangkung yang datang tidak diundang, tapi berperawakan seperti kuyang!

"Ayah!"

Monster kecil itu berlari memeluknya. Bumi, putra sematawayang yang didapatkan dengan begitu sangat sulit. Tiga kali gagal dalam proses bayi tabung. Menghabiskan banyak sekali uang, tapi Kananta bersyukur karena memiliki anak seceria lincah dan juga cerdas Bumi.

"Wah, wah anak ayah. Ada apa ini sepertinya bahagia sekali?" Kananta dengan satu tangan saja mampu mengangkat tubuh putranya itu.

Membawanya ke sofa panjang yang berada di ruang tamu.

"Ayah tau tidak? Hari ini aku berhasil mencium tiga gadis di kelas. Hebat kan aku?" Bumi mengangkat kedua alisnya, seolah-olah apa yang dia lakukan itu adalah hal yang sangat membanggakan.

Kananta terperangah, dirinya tidak menyangka ternyata Bumi se-playboy itu padahal masih kecil. Dulu ia sepertinya tidak begitu. "Wow, benar-benar keren anak ayah. Lanjutkan Nak besok kalau bisa gadis kamu cium dan sama missnya tentunya," ujar Kananta.

Belum sempat menutup mulut tiba-tiba saja telinganya sudah dijewer ia meringis kesakitan dan melihat jika sang ibu tengah melototinya.

"Kamu, ini Kanan bukannya memberikan contoh yang baik malah memporak-porandakan pikiran anakmu!"

Sejak Bumi masih bayi, ia yang selalu mengurusnya bahkan tumbuh kembang anak itu pun dirinya yang menyaksikan tanpa bantuan baby sitter apalagi Maya.

"Bumi, kamu ke kamar sekarang istirahat. Ada yang mau Oma bicarakan dengan ayahmu."

Kananta melihat anaknya yang berlari ke kamar dengan begitu sangat bahagia, lalu kedua orang tuanya langsung saja duduk. Sepertinya dirinya akan disidang lagi?

Menghela napas yang begitu sangat panjang lalu menepuk kepala. "Aku salah apa lagi ini, sampai-sampai harus disidang berulang kali?"

Apa Maya berulah lagi? Gosip apa yang disebar sekarang?

Kedua orang tua dari Kananta pun ia tersenyum. Selalu menyerahkan sebuah berkas-berkas. "Ini adalah saham-saham perusahaan, sekarang menjadi hak milik kamu. Setelah kamu bercerai dengan Maya barulah Papa berani menyerahkannya."

Ya, sudah bukan rahasia lagi jika orang tuanya memang tidak pernah setuju saat ia menikah dengan Maya. Bahkan dirinya pun harus hidup pantang-panting dan seluruh tabungannya habis untuk mengikuti gaya hedon dari mantan istrinya itu.

Kananta membacanya dengan detail matanya terperangah jadi selama ini dirinya adalah CEO.

Seperti drama Cina, yang sering dirinya tonton tentang orang miskin Yang ternyata selama ini adalah seorang CEO itu adalah dirinya.

Mimpi apa ia semalam?

"Ma, tampar aku Ma! Biar aku merasa ini benar-benar nyata!"

Papa Kananta langsung saja menoyor kepala anaknya itu dengan begitu sangat keras. "Dasar, bodoh. Sudah punya anak pun kamu masih bersikap seperti ini Kanan, pantas aja dulu kamu dijadikan keset oleh mantan istrimu itu!"

Kananta menyeringai. Tak menyangka padahal selama ini, dirinya hanya tahu jika ayahnya itu hanya pemilik toko di beberapa kota saja tak menyangka jika memiliki saham di perusahaan bahkan pemiliknya.

"Jadi selama ini Mama, Papa sengaja menyembunyikan ini semua dari anak tunggal yang tampan ini?"

Papa Kananta hanya menggeleng, "Seandainya kamu, dulu tidak menikah dengan Maya. Sudah dari lama kamu menjadi seorang CEO. Bukan babysitter!"

Kananta tersenyum langsung saja memeluk kedua orang tuanya dengan begitu sangat bahagia. Jalannya semakin mulus untuk membuat sang mantan istri menyesal.

Setelah dirinya sembuh, ia yakin Maya akan memohon-mohon meminta kembali lagi.

***

Dua minggu kemudian ....

  Kananta datang dengan perasaan campur aduk. Ia masih merasa malu dan bersalah atas kejadian sebelumnya, tapi juga penasaran dengan kelanjutan terapi ini. Ia tidak bisa memungkiri, ada sesuatu yang menariknya pada Zinia, sesuatu yang lebih dari sekadar rasa terima kasih.

  Saat masuk, Zinia menyambutnya dengan senyum tipis, bersikap profesional seperti biasa. Namun, Kananta bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya, sedikit lebih lembut, sedikit lebih tertarik.

  Mereka kembali ke ruang terapi, di mana manekin wanita itu masih berdiri tegak. Kananta menelan ludah, merasa gugup saat melihatnya.

  "Hari ini, kita akan melanjutkan terapi sentuhan," ucap Zinia dengan tenang. "Tapi kali ini, aku ingin kau lebih fokus pada sensasi yang kamu rasakan. Jangan terlalu memikirkan apa yang seharusnya kau lakukan, tapi biarkan dirimu terbawa oleh perasaanmu."

  Kananta mengangguk, mencoba untuk mengikuti instruksi Zinia. Ia mendekati manekin itu dengan ragu-ragu, lalu mengulurkan tangannya untuk menyentuh payudaranya.

  "Harus seperti ini?" Ia sedikit grogi.

  Zinia mengangguk. "Ya."

  Awalnya ragu, memejamkan mata berusaha mengikuti instruksi yang diberikan oleh Zinia.

  Saat menyentuh payudara manekin itu, tiba-tiba Kananta membayangkan Zinia. Ia membayangkan wajah Zinia yang cantik dan lembut, senyumnya yang menawan, dan tatapannya yang penuh perhatian.

  Apalagi Minggu yang lalu ia bisa, melihat jelas ukuran dari dada sang dokter cantik.

  "Rasakan," bisik Zinia, suaranya serak.

  Kananta tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa memejamkan matanya, menikmati setiap sensasi yang menjalar di tubuhnya. Ia merasa seperti berada di ambang jurang, di mana ia harus memilih antara menyerah pada godaan dan mempertahankan kendali dirinya.

  Pada mantan istrinya saja ia tidak bisa merasakan hal seperti ini. Tapi dengan membayangkan Zinia? Mengapa justru dirinya seperti gigolo?

  "Aku … aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan," ucap Kananta, dengan suara yang bergetar.

  "Lakukan apa yang kamu inginkan," bisik Zinia, dengan suara yang nyaris tidak terdengar. "Lakukan apa yang membuatmu bahagia."

  Tanpa menunggu lebih lama lagi, Kananta terbuai dan mulai meraba payudara manekin itu dengan lebih intens. Ia membayangkan Zinia ada di hadapannya, membiarkannya menyentuh tubuhnya dengan bebas.

  Namun, saat Kananta semakin terbawa suasana, tiba-tiba Zinia menghentikannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Komite Sekolah

    Namun, saat Kananta semakin terbawa suasana, tiba-tiba Zinia menghentikannya.“Stop.”Suaranya terdengar seperti rem tangan ditarik mendadak di tikungan. Kananta berhenti freeze dengan pose tangan masih nemplok di dada si manekin—pose yang kalau difoto, bisa masuk grup WA keluarga dan bikin Mama pingsan.Zinia mendekat. Sangat dekat. Aroma parfumnya—mahal, segar, sedikit mint—mengikis sisa-sisa kewarasan yang masih tersisa di kepala Kananta.“Kananta,” ucapnya sambil menatap lurus ke matanya, “sekencang itu kamu imajinasinya?”Kananta menelan ludah. “Sa-saya cuma fokus pada sensasi?”Berusaha mencari alasan yang tentu saja mimik wajahnya seperti buku dengan tulisan capslock semua.“Fokus?” Zinia mengangkat alis. “Kamu dari tadi ngelus kayak orang lagi nyari koin jatuh.”Wajah Kananta memanas. Ini bukan terapi. Ini roasting session. Beginilah rasanya jika dokter yang menangani mantan yang pernah tersakiti. Mantan yang ia tinggalkan untuk menikahi wanita durjana. Mungkin memang benar

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Ternyata Seorang CEO

    Kali ini pulang fisioterapi membuat kananta sedikit lebih tenang, walaupun tadi ada sedikit gangguan dari sang mantan yang benar-benar tidak diharapkan. Seperti jelangkung yang datang tidak diundang, tapi berperawakan seperti kuyang! "Ayah!"Monster kecil itu berlari memeluknya. Bumi, putra sematawayang yang didapatkan dengan begitu sangat sulit. Tiga kali gagal dalam proses bayi tabung. Menghabiskan banyak sekali uang, tapi Kananta bersyukur karena memiliki anak seceria lincah dan juga cerdas Bumi."Wah, wah anak ayah. Ada apa ini sepertinya bahagia sekali?" Kananta dengan satu tangan saja mampu mengangkat tubuh putranya itu. Membawanya ke sofa panjang yang berada di ruang tamu. "Ayah tau tidak? Hari ini aku berhasil mencium tiga gadis di kelas. Hebat kan aku?" Bumi mengangkat kedua alisnya, seolah-olah apa yang dia lakukan itu adalah hal yang sangat membanggakan. Kananta terperangah, dirinya tidak menyangka ternyata Bumi se-playboy itu padahal masih kecil. Dulu ia sepertinya t

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Terapi Sentuhan

    Kananta dirinya langsung saja menggenggam lengan Maya untuk segera keluar dari ruangan. Dia tidak peduli tatapan orang-orang di luar—untung saja keadaan sudah sepi karena memang dia pasien terakhir hari itu. Tak menyangka si ratu nyinyir dunia daring, kembali lagi hadir untuk mengobrak-abrik hatinya. "Apa sih maksud kamu?" tanya Kananta dengan suara marah, menarik Maya keluar sampai ke koridor. "Kamu ini ya benar-benar sangat menyebalkan!" Maya berbalik, pakaiannya benar-benar seksi baju tanpa lengan yang ketat menyoroti bentuk badannya, dan rok hanya satu jengkal dari paha yang putih bersih. Dia bergoyang-goyang di hadapannya seolah-olah menggoda, rambutnya tergelincir ke satu sisi. "Kamu nggak lihat ya? Aku cuma mau cek apakah kamu beneran berobat atau cuma main-main sama dokter cantik itu," ujarnya dengan nada menggoda. Maya, setelah cerai dari dirinya benar-benar seperti wanita lajang bahkan lebih mirip jalang. Pole dance, tanpa mengenakan pakaian yang layak mungkinkah itu

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Kejadian Di Ruang Terapi

    Kananta tersentak, keringat dingin keluar di keningnya. “Dokter aku harus siap mental dulu?” “Sangat. Tapi waktu sudah habis.” Dia merinding sampai badan gemetar. “Apakah aku akan selamat dari terapi ini?” Zinia tersenyum tipis—senyum yang bikin hati berdebar lebih kencang, seperti ada getaran listrik di udara. “Tergantung seberapa patuh kau sebagai pasienku.” Kananta berdiri tegak meskipun tulang belakangnya kaku. “Baik dokter.” “Mulai hari ini, Kan .…” Ia menepuk dadanya dengan pulpen yang ada di tangannya—sentuhan itu ringan tapi bikin dada berdebar kencang, seolah mau melompat keluar dari tulang rusuk. “Kau milikku sebagai proyek penelitian.” Kananta hanya bisa membuka mulutnya, mata bengkak dengan kaget: “Apa?” Dia menatap Zinia dengan harap yang membanjiri. "Benarkah? Bagaimana caranya ….” Bagian dalam dirinya berteriak “Jangan terlalu percaya! Jangan terlalu percaya!”—Zinia terlalu misterius, terlalu sulit ditebak. Setiap kali ia mencoba mendekatinya, ia justru semakin t

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Terapi Pertama

    Kananta keluar dari ruang pemeriksaan seperti orang yang habis disodok kenyataan pahit. Pintu menutup klik, dan semua kepala di ruang tunggu langsung menoleh ke arahnya.Termasuk kakek tadi—yang senyumnya lebarnya kayak baru menikah lima kali.“Gimana, Nak?” Kakek itu mencolek lengannya dengan jari yang kaku seperti kayu. “Dokternya hebat, kan?”Kananta menghela napas panjang. “Kalau saya jawab, saya tambah stres.”Kakek mengangguk dramatis. “Ah, berarti cocok.”Kananta melangkah cepat keluar sebelum ada yang minta testimoni.Begitu keluar klinik, ia langsung menatap langit.“Tuhan … kalau ini cara-Mu mendewasakanku, boleh nggak cari cara lain yang nggak memalukan?”Tidak ada jawaban. Hanya burung lewat sambil berak di kap mobilnya.“Serius, Tuhan? Bahkan burung pun ngetawain aku?”Ia masuk ke mobil, banting pintu, dan menghela napas panjang.Dalam perjalanan pulang, ia mendengar suaranya sendiri mendengkus, “Aku nggak balik lagi. Titik.”Sampai rumah, baru buka sepatu bootnya yang be

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Pemeriksaan Mantan

    Kananta sudah pasrah ketika Zinia menunjuk kursi pemeriksaan sambil mengangkat dagu.“Duduk, Kananta. Kudengar ‘junior’-mu ngadat?”Kananta duduk. Kaku. Beku. Batu nisan pun lebih hidup dibanding dia.Zinia menyilangkan kaki—klik—stocking hitamnya memantul seperti cermin. Roknya pendek sekali, dokter mana yang lulus etik begini? Seolah dia sengaja beli rok di toko baju malam.“Itu rumor,” bantah Kananta cepat, bibirnya kaku.“Rumor?” Zinia nyengir tipis, mata menyipit seperti ular yang melihat mangsa. “Atau kau memang sudah nggak bisa memuaskan siapa pun? Apa senjatamu karatan sampe bisa dipajang di museum?”“Bukan urusanmu,” gumamnya, suara sekeras semut.“Tentu urusanku. Aku doktermu. Tugas dokter? Memastikan barang pasiennya masih layak edar. Kalau nggak, mending aku rekomendasikan ke toko spare part.”Kananta ingin menghilang jadi gas helium, terbang ke atap dan keluar dari klinik tanpa ada yang lihat.Zinia mendekat. Parfumnya menusuk hidung—dulu manis kayak permen, sekarang vers

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status