Share

Apartemen

Author: AgilRizkiani
last update Last Updated: 2025-11-25 22:51:23

Ketua komite baru saja selesai melempar-lempar kode, aroma manja-mautnya masih beterbangan di udara ketika Kananta akhirnya menyerah pada kondisi. Ia mengangkat kedua tangan seperti tahanan yang baru ketangkap.

“Baik, Bu Komite. Saya minta maaf,” katanya hati-hati, menjaga intonasi supaya tidak menimbulkan harapan palsu. “Bumi tidak akan melakukannya lagi. Saya janji.”

Entahlah, Bumi titisan anak seperti apa. Sejak kecil virus buaya daratnya sudah kelihatan.

Bumi langsung interupsi. “Ayah, tapi—”

“Diam.”

Satu kata. Penuh tekanan. Penuh ancaman jenaka.

Bumi langsung menutup mulut dan berdiri tegak seperti murid kena push-up.

Ketua komite menghela napas panjang—panjang sekali sampai dua gunung kembar itu ikut bergerak ke atas dan ke bawah kayak roller coaster slow motion.

“Kalau begitu, baiklah,” katanya sambil memiringkan kepala. “Tapi kalau butuh bantuan mendidik, nomor saya bisa dipakai kapan saja. Kapan saja, Pak Kananta.”

Karena suara “kapan saja”-nya kedengarannya tidak sehat, Kananta langsung pura-pura tidak dengar.

Guru-guru yang nonton dari sudut ruangan sudah mau pecah tawa.

Sopir di luar pintu memegangi dada, berdoa supaya Pak Kananta tidak digoreng istrinya orang.

Setelah 20 menit drama berakhir, Kananta akhirnya menyeret Bumi keluar dari ruang guru. Pulang. Sudah cukup kerusuhan hari ini.

Kananta mengemudi sambil menggeleng-geleng lelah. Dirinya salah, ia kira apa yang diucapkan tidak akan dilakukan. Tapi anaknya benar-benar super nekat.

“Bumi.”

“Ya, Ayah?”

“Tidak ada cium-cium teman sekolah lagi. Ngerti?”

Bumi manyun. “Tapi mereka duluan yang minta cium—”

“BUMI.”

Anak itu langsung diam. Menatap jalanan.

Lima detik kemudian ia nyeletuk lirih,

“Kalau gitu … boleh cium kakak kelas?”

“BU—MI—NO.”

Bumi akhirnya menyerah. Sambil mengunyah permen, ia membuka HP dan tenggelam dalam dunianya.

Kananta memang selalu menganggap bumi monster karena anak itu selalu saja menguji imannya. Menguji kesabarannya bahkan setiap hari ada saja gebrakan masalah yang dibuatnya.

Baru beberapa meter mobil melaju, Kananta tiba-tiba melihat sesuatu di pinggir jalan.

"Tidak ada cium, tidak ada berkelahi. Kecuali jika kamu dipukul lebih dulu maka balas!"

Bumi hanya mengangguk, matanya terlalu fokus dengan ponsel.

Seseorang berdiri di trotoar.

Seseorang dengan kacamata bulat tipis, jas dokter.

Zinia.

Zinia sedang … menunggu tumpangan?

Di pinggir jalan?

Dengan rok selutut dan wajah yang jelas sedang tidak ingin membayar ojek online?

Kananta langsung ngerem. Hampir loncat dari kursi.

“Dokter?!”

Zinia menoleh.

Wajahnya datar.

“Oh? Kamu,” katanya santai.

“Mobilku mogok. Bengkel baru bisa datang 30 menit lagi.”

“Dokter mau saya antar?” tanya Kananta. Dirinya berharap justru wanita itu akan menerima tumpangannya. Agar ia bisa mengetahui Di mana tempat tinggal dari sang mantan.

Zinia melirik mobil, lalu melirik Kananta, lalu melirik Bumi di belakang yang asyik main game tanpa peduli dunia.

"Saya, antar gratis," ujar Kananta.

"Boleh,” jawabnya akhirnya. “Daripada aku keburu diculik om om cabul.”

Kananta bukain pintu depan.

Zinia naik—dan langsung duduk di kursi penumpang dengan rok yang … ya naik setengah senti karena desainnya memang niat.

Paha mulus itu muncul, bersinar, memantulkan cahaya matahari.

Kananta langsung tegang—bukan yang begitu—tapi tegang mental.

Ini ujian hidup.

Ini Ujian Nasional Danrologi bagian praktik.

Zinia mengatur posisi duduk sambil mengibas rambut.

“Tolong hati-hati bawa mobilnya, Kananta. Aku masih butuh hidup untuk terapi kamu minggu depan.”

“Ah … iya, Dok.”

Kananta benar-benar masih canggung, seperti dulu saat dirinya bujangan mendekati Zinia.

Rasanya ingin menanyakan kabar, Tapi tidak untuk situasi saat ini.

Bumi mengangkat kepala dari ponselnya.

“Halo Bu Dokter! Ayah tadi digoda ibu komite lho!”

KANANTA NYARIS NUBRUK POHON.

Zinia melirik.

“BUMI. Jangan ceritakan hal-hal privat di publik.”

“Kenapa? Tapi memang benar bukan, ibu komite tadi sepertinya naksir ayah?"

“Bumi—”

“Katanya Ibu komite bisa mengurus yang kecil dan yang besar.”

Zinia langsung batuk tersedak udara.

Kananta ingin teleportasi ke dimensi lain.

“Ayah … hebat ya bisa membuat Ibu komite terpesona?” Bumi lanjutin polos.

“Diam,” bisik Kananta sambil memegang kemudi erat-erat.

Zinia mendengus kecil, melirik ke luar jendela dengan pipi samar memerah.

Hening beberapa detik.

Lalu Zinia bersuara, pelan tapi menusuk.

“Rumahmu jauh dari klinik?”

“Lumayan. Kenapa?”

Ia memutar kepala, menatap Kananta dengan intensitas yang bisa membakar kaca mobil.

“Aku butuh bicara sesuatu soal terapi kita.”

Nada suaranya berubah.

Lebih rendah.

Lebih dalam.

Lebih berbahaya.

Kananta menelan ludah.

Jantungnya jungkir balik lagi.

“Bicara tentang apa?”

Zinia tersenyum kecil.

"Sepertinya lebih bagus jika kita bicarakan di apartemenku, sambil minum kopi dan istirahat sejenak?"

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Hati bahagia, Kananta. Memang itulah tujuan dirinya mengantarkan Zinia, agar bisa tahu di mana tempat tinggalnya.

Hingga akhirnya 15 menit perjalanan, bumi pun sudah terlelap di kursi belakang.

Mereka tiba di apartemen Zinia—dan wow.

Apartemen itu terlalu rapi untuk manusia normal.

Terlalu wangi untuk orang yang bangun kesiangan.

Terlalu sunyi untuk seseorang yang katanya “sibuk”.

Dengan kata lain

Zinia jelas hidup sendiri.

Atau minimal hidup dengan kehidupan yang sangat terjadwal. Kananta rasa yang dulu pernah hilang kini sepertinya mulai tumbuh lagi.

“Ayo masuk,” katanya sambil membuka pintu dengan satu tangan, rok selutut itu ikut bergoyang pelan seperti mengundang bahaya.

Kananta menggendong Bumi yang tertidur seperti karung beras edisi premium. Ia langsung merasa menua sepuluh tahun.

“Tidurkan saja Bumi di kamarku. Biar kita bisa bicara di ruang tamu,” ucap Zinia sambil melangkah masuk dan menaruh tasnya.

Kananta mengangguk dan melangkah ke arah kamar. Pintu kamar terbuka.

Lampu lembut. Ranjang queen-size dengan sprei putih mulus tanpa kerutan.

Semuanya serba minimalis—warna pastel, meja rias kecil, diffuser lavender.

Dan kemudian …

Kananta melihatnya.

Di kursi dekat meja rias, tergeletak set lingerie warna maroon.

Bra—lace tipis. Celana dalam—matching. Semuanya terlalu niat.

Terlalu seksi. Terlalu “aku nggak nyangka kamu bakal datang tapi aku juga nggak protes.”

Kananta langsung freeze. Langkahnya berhenti. Otaknya blank.

Jantungnya sprint kayak atlit.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Insiden

    Bumi menggeliat pelan di kamar, lalu tiba-tiba muncul di ambang pintu ruang tamu sambil garuk-garuk mata—masih setengah ngantuk, rambut acak-acakan kayak singa kecil baru bangun tidur.“Ayah?”Rey dan Zinia otomatis menoleh bersamaan.Kananta membeku.Rey melotot.Dan Bumi—anak kecil polos tanpa dosa—langsung memeluk kaki Kananta begitu melihat ayahnya duduk di sofa.“Ayah! Aku aku mimpi buruk!"Hening.Hening memalukan.Hening yang levelnya setara tabrakan dua galaksi.Rey mengedip. Sekali.Dua kali.Ketiga kalinya, dia ngomong, suaranya turun satu oktaf.“Dia … punya anak?”Zinia mencubit batang hidungnya. “Iya, itu Bumi. Anaknya Kananta.”Bumi menatap Rey dengan polos, tanpa filter. “Om siapa? Musuh ayah?”Rey tersedak batuk udara. “Ha—apa?!”Kananta buru-buru mengangkat Bumi ke pangkuan, wajahnya merah padam. “Astaga, Bumi, jangan bilang sembarangan!”“Emang muka Omnya serem,” bisik Bumi—dan sayangnya terdengar seisi ruangan.Rey terdiam.Matanya melirik ke Zinia. “Jadi pasienmu b

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Kananta VS Rey

    Kananta berdiri di ambang pintu seperti orang yang baru saja diseret ke realitas yang terlalu HD untuk kepalanya. Tanktop tipis Zinia? Ya Tuhan. Ini bukan cuma HD-ini 4K tanpa sensor.Zinia, santai banget, menyibak rambutnya ke samping. "AC-nya rusak," gumamnya sambil mengibaskan tangan ke arah wajah.Kananta mengatupkan rahang. "Eh ... aku- maksudnya saya ....""Kananta," potong Zinia sambil berjalan ke meja kerja, pinggulnya bergerak dengan percaya diri khas perempuan yang tau persis efek visualnya. "Kita lagi di rumah, bukan klinik. Santai aja.""Ba-baik."Wibawa duda keren mendadak hilang seperti sinyal 3G di pedalaman.Zinia mengambil tablet medis, duduk di sofa, lalu menepuk ruang kosong di sebelahnya. "Duduk. Biar aku jelasin dulu terapinya sebelum kamu ya, kamu tau lah ... panik duluan."Kananta merasa lututnya mendadak kayak spons basah, tapi ia duduk juga. Jarak mereka cuma sejengkal. Wangi lotion Zinia-manis, dingin-langsung nempel di hidungnya."Terapi andrologi itu," Zini

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Apartemen

    Ketua komite baru saja selesai melempar-lempar kode, aroma manja-mautnya masih beterbangan di udara ketika Kananta akhirnya menyerah pada kondisi. Ia mengangkat kedua tangan seperti tahanan yang baru ketangkap.“Baik, Bu Komite. Saya minta maaf,” katanya hati-hati, menjaga intonasi supaya tidak menimbulkan harapan palsu. “Bumi tidak akan melakukannya lagi. Saya janji.”Entahlah, Bumi titisan anak seperti apa. Sejak kecil virus buaya daratnya sudah kelihatan.Bumi langsung interupsi. “Ayah, tapi—”“Diam.”Satu kata. Penuh tekanan. Penuh ancaman jenaka.Bumi langsung menutup mulut dan berdiri tegak seperti murid kena push-up.Ketua komite menghela napas panjang—panjang sekali sampai dua gunung kembar itu ikut bergerak ke atas dan ke bawah kayak roller coaster slow motion.“Kalau begitu, baiklah,” katanya sambil memiringkan kepala. “Tapi kalau butuh bantuan mendidik, nomor saya bisa dipakai kapan saja. Kapan saja, Pak Kananta.”Karena suara “kapan saja”-nya kedengarannya tidak sehat, Kan

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Komite Sekolah

    Namun, saat Kananta semakin terbawa suasana, tiba-tiba Zinia menghentikannya.“Stop.”Suaranya terdengar seperti rem tangan ditarik mendadak di tikungan. Kananta berhenti freeze dengan pose tangan masih nemplok di dada si manekin—pose yang kalau difoto, bisa masuk grup WA keluarga dan bikin Mama pingsan.Zinia mendekat. Sangat dekat. Aroma parfumnya—mahal, segar, sedikit mint—mengikis sisa-sisa kewarasan yang masih tersisa di kepala Kananta.“Kananta,” ucapnya sambil menatap lurus ke matanya, “sekencang itu kamu imajinasinya?”Kananta menelan ludah. “Sa-saya cuma fokus pada sensasi?”Berusaha mencari alasan yang tentu saja mimik wajahnya seperti buku dengan tulisan capslock semua.“Fokus?” Zinia mengangkat alis. “Kamu dari tadi ngelus kayak orang lagi nyari koin jatuh.”Wajah Kananta memanas. Ini bukan terapi. Ini roasting session. Beginilah rasanya jika dokter yang menangani mantan yang pernah tersakiti. Mantan yang ia tinggalkan untuk menikahi wanita durjana. Mungkin memang benar

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Ternyata Seorang CEO

    Kali ini pulang fisioterapi membuat kananta sedikit lebih tenang, walaupun tadi ada sedikit gangguan dari sang mantan yang benar-benar tidak diharapkan. Seperti jelangkung yang datang tidak diundang, tapi berperawakan seperti kuyang! "Ayah!"Monster kecil itu berlari memeluknya. Bumi, putra sematawayang yang didapatkan dengan begitu sangat sulit. Tiga kali gagal dalam proses bayi tabung. Menghabiskan banyak sekali uang, tapi Kananta bersyukur karena memiliki anak seceria lincah dan juga cerdas Bumi."Wah, wah anak ayah. Ada apa ini sepertinya bahagia sekali?" Kananta dengan satu tangan saja mampu mengangkat tubuh putranya itu. Membawanya ke sofa panjang yang berada di ruang tamu. "Ayah tau tidak? Hari ini aku berhasil mencium tiga gadis di kelas. Hebat kan aku?" Bumi mengangkat kedua alisnya, seolah-olah apa yang dia lakukan itu adalah hal yang sangat membanggakan. Kananta terperangah, dirinya tidak menyangka ternyata Bumi se-playboy itu padahal masih kecil. Dulu ia sepertinya t

  • Rayuan Maut Dokter Cantikku    Terapi Sentuhan

    Kananta dirinya langsung saja menggenggam lengan Maya untuk segera keluar dari ruangan. Dia tidak peduli tatapan orang-orang di luar—untung saja keadaan sudah sepi karena memang dia pasien terakhir hari itu. Tak menyangka si ratu nyinyir dunia daring, kembali lagi hadir untuk mengobrak-abrik hatinya. "Apa sih maksud kamu?" tanya Kananta dengan suara marah, menarik Maya keluar sampai ke koridor. "Kamu ini ya benar-benar sangat menyebalkan!" Maya berbalik, pakaiannya benar-benar seksi baju tanpa lengan yang ketat menyoroti bentuk badannya, dan rok hanya satu jengkal dari paha yang putih bersih. Dia bergoyang-goyang di hadapannya seolah-olah menggoda, rambutnya tergelincir ke satu sisi. "Kamu nggak lihat ya? Aku cuma mau cek apakah kamu beneran berobat atau cuma main-main sama dokter cantik itu," ujarnya dengan nada menggoda. Maya, setelah cerai dari dirinya benar-benar seperti wanita lajang bahkan lebih mirip jalang. Pole dance, tanpa mengenakan pakaian yang layak mungkinkah itu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status