LOGINSetelah membersihkan diri dan beristirahat sejenak, aku melangkah keluar dari unit apartemen dengan kewaspadaan tingkat tinggi. Jaket hoodie menutupi kepalaku, dan langkahku kupercepat menuju area parkir. Beruntung, hingga aku memacu motor keluar dari gerbang apartemen, sosok Vina tidak terlihat. Namun, perasaan diawasi itu tetap ada, menempel di tengkukku seperti hawa dingin yang tak kunjung hilang.Sesampainya di tempat gym, aroma keringat dan dentuman musik upbeat menyambutku. Bau ini biasanya memberiku energi, tapi hari ini terasa sedikit menyesakkan karena beban pikiran yang menumpuk."Woi, anak Bandung sudah balik!" teriak Bang Hadi dari meja kasir. Wajahnya berseri-seri, ia tampak baru saja menghabiskan sisa kopinya. "Gimana kabar Ibu? Oleh-oleh buat gue mana?"Aku terkekeh, menyalami pria yang sudah kuanggap kakak sendiri itu. "Aman, Bang. Salam dari Ibu sudah disampaikan. Tenang, peuyeum sama rengginang ada di tas, nanti kita makan bareng pas istirahat.""Mantap! Ya sudah, ga
Malam di Desa Sukamaju semakin larut, namun keheningan yang menyelimuti perkampungan ini tidak mampu meredam kegaduhan yang berkecamuk di dalam dadaku. Udara dingin yang merayap menembus dinding-dinding kayu rumah seolah membekukan setiap sel sarafku, tapi pikiranku justru mendidih. Aku bangkit dari ranjang tua yang berderit, melangkah sepelan mungkin agar tidak membangunkan Ibu atau Alisa, lalu keluar menuju teras depan.Aku duduk di kursi kayu yang sudah mulai lapuk, menatap kegelapan pematang sawah di kejauhan. Di bawah sinar bulan yang temaram, aku merenungi ancaman Vina. Video dan foto itu adalah bom waktu. Jika aku menghadapinya dengan amarah, dia akan meledak dan menghancurkan segalanya—karirku, studiku, dan yang paling menakutkan, kehormatan keluargaku di mata Ibu.Aku tidak boleh memakai otot kali ini, batinku sambil mengepalkan tangan. Vina adalah tipe wanita yang haus akan pengakuan dan kasih sayang yang obsesif. Jika aku ingin menghapus bukti itu, aku harus masuk ke dalam
Malam itu, Sukamaju terasa sangat sunyi. Sabrina akan menginap di kamar Alisa. Sebelum tidur, kami sempat mengobrol sebentar di teras belakang yang menghadap ke sawah."Kak, Ibumu baik banget. Aku merasa bersalah bohong sama beliau," bisik Sabrina."Aku juga, Sab. Tapi ini demi ketenangan Ibu. Kamu lihat kan betapa senangnya dia punya teman baru?"Sabrina menggenggam tanganku. "Aku akan jaga rahasia ini, Kak. Demi kamu."Tepat saat itu, ponselku di dalam saku bergetar. Sebuah pesan WhatsApp masuk. Dari Vina.[Mas, jangan kelamaan di kampung. Aku kangen, ingin segera merasakan keperkasaanmu. Jangan lupa, aku masih simpan video itu. Kalau kamu macam-macam di sana dengan perempuan lain, jangan salahkan aku kalau video ini sampai menyebar.]Senyumku langsung hilang. Ancaman Vina seperti petir di malam yang cerah ini. Di depanku ada wanita yang kucintai, di belakangku ada Ibu yang harus kulindungi, dan di Jakarta... ada iblis yang siap menghancurkan segalanya.Pagi di Desa Sukamaju selalu
Aku berhenti mengelap motor. "Wah Kang, tempat kerja saya itu khusus kebugaran. Saya sekarang fokus jadi pelatih gym dan atlet binaraga. Kalau mau kerja di sana, minimal harus punya sertifikasi atau fisik yang terlatih. Tapi nanti kalau ada info lowongan security atau staf di apartemen tempat saya tinggal, saya kabari.""Mantap, Bim. Jangan lupakan kami ya," sahut mereka.Aku melihat mereka menatapku dengan tatapan kagum. Ada rasa puas tersendiri saat kita bisa membuktikan bahwa kerja keras membuahkan hasil, tapi aku tetap harus rendah hati. Aku tahu, di balik semua ini, masih banyak masalah yang menantiku di Jakarta; Vina dengan ancamannya, dan status rahasiaku dengan Sabrina.Malam mulai turun menyelimuti Sukamaju. Udara semakin dingin, tapi di dalam rumah kecil ini, kehangatan baru saja dimulai. Aku berbaring di kamar lamaku yang sempit, menatap langit-langit kayu. Besok adalah hari perpisahan Alisa, dan.... besok lusa Sabrina akan datang. Aku harus menyiapkan rencana dengan matang
Deru mesin motor sport 250cc milikku membelah kesunyian Desa Sukamaju. Suaranya yang berat dan gahar memantul di dinding-dinding rumah semi-permanen dan pagar bambu yang berjejer di sepanjang jalan desa. Angin gunung yang sejuk menerpa jaket riding-ku, tapi jantungku berdegup lebih kencang daripada getaran mesin di bawah dekapanku.Jakarta ke Bandung memang bukan perjalanan singkat, tapi rasa lelah itu menguap saat aku melihat gapura kecil bertuliskan "Selamat Datang". Aku sengaja memacu motorku perlahan saat memasuki gang menuju rumah. Aku ingin menikmati setiap jengkal kenangan di tanah kelahiranku ini.Namun, kedatanganku ternyata tidak sesenyap yang kuharapkan.Di depan rumahku, pemandangan berubah drastis. Biasanya, gang rumahku hanya diisi oleh anak-anak yang bermain kelereng atau ibu-ibu yang mengobrol di teras. Tapi siang ini, orang-orang berkumpul seolah-olah sedang ada demonstrasi atau pembagian bansos. Mereka berdiri berdesakan, mata mereka tertuju pada sosok pengendara mis
Malam itu, kafe yang kami kunjungi terasa sangat tenang. Cahaya lampu kekuningan menambah kesan romantis. Kami duduk di sudut ruangan, menikmati udara malam Jakarta yang mulai mendingin. Sabrina menyesap cokelat panasnya, lalu menatapku dengan mata yang berbinar."Kak, besok kan Kakak mau pulang ke Bandung. Aku... boleh ikut nggak?" tanyanya tiba-tiba.Aku tersedak kopi hitamku. "Ikut? Tapi kan kamu ada jadwal kuliah, Sab.""Besok jadwal kuliahku memang full, tapi lusa aku libur. Aku mau nyusul ke sana hari berikutnya. Aku pengen ketemu Ibu sama Alisa," katanya dengan nada bersikeras.Jantungku berdegup kencang. Pikiranku langsung melayang pada pesan Ibu. Jangan pernah berhubungan dengan orang kaya. Aku tidak tahu apa maksudnya, sampai sekarang itu semua menjadi misteri. Jika sampai Ibu tahu Sabrina adalah anak orang kaya, Ibu pasti akan marah padaku."Sab, Bandung itu jauh. Rumahku di pelosok, di perkampungan. Kamu nggak bakal betah," aku mencoba memberi alasan."Aku nggak peduli seb







