LOGINAku mencoba tetap sopan dan profesional, meskipun rasanya risih juga. "Maaf ya Kak, satu-satu saja fotonya. Jangan ganggu member lain yang lagi latihan ya."Bang Hadi hanya tertawa dari kejauhan. Tapi di tengah keramaian itu, aku melihat ada seorang pria berdiri di sudut gym. Dia memakai topi, kacamata hitam, dan masker. Dia hanya berdiri diam sambil menatapku tajam. Perasaanku tidak enak. Apa itu orang yang memberikan iPhone dan memasang penyadap di rumahku?Saat aku akan menghampirinya, pria itu langsung buru-buru keluar. Aku ingin mengejarnya tapi ditahan sama fans cewek yang ingin foto.Malamnya saat mau pulang ke apartemen, aku makin merasa hidupku ini penuh bahaya dan godaan. Saat keluar dari lift, pintu unit Mbak Susi terbuka sedikit. Mbak Susi berdiri di sana hanya memakai handuk saja, seperti habis mandi."Mas Bima... baru pulang ya? Duh, keran air di dapur Mbak bocor lagi nih, airnya ke mana-mana. Mas Bima kan kuat, tolongin Mbak sebentar dong di dalam," goda Mbak Susi sambi
Suara gedoran pintu dari Vina di luar unitku terdengar sangat keras, memecah kesunyian lorong apartemen yang biasanya hanya diisi suara bising AC. Di tanganku, alat penyadap kecil itu masih berkedip-kedip, seolah-olah mata merah itu sedang menertawakanku. Aku harus tenang. Aku tidak boleh panik. Aku sudah memutuskan untuk menghadapi ini dengan kepala dingin."Mas Bima! Buka pintunya! Aku tahu kamu di dalam! Jangan pura-pura budek ya!" teriak Vina lagi. Suaranya melengking tinggi, kedengarannya dia sedang emosi berat.Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan jantungku yang berdegup kencang. Rencanaku harus dimulai sekarang. Seperti yang kupikirkan semalam, menghadapi orang gila seperti Vina tidak bisa menggunakan otot. Harus menggunakan rayuan. Aku memasukkan alat penyadap itu ke saku celana dan menyimpan iPhone terbaru pemberian si penguntit misterius ke dalam laci meja, lalu menguncinya.Aku melangkah perlahan dan membuka pintu. Begitu pintu terbuka sedikit, Vina langsung mendo
Setelah membersihkan diri dan beristirahat sejenak, aku melangkah keluar dari unit apartemen dengan kewaspadaan tingkat tinggi. Jaket hoodie menutupi kepalaku, dan langkahku kupercepat menuju area parkir. Beruntung, hingga aku memacu motor keluar dari gerbang apartemen, sosok Vina tidak terlihat. Namun, perasaan diawasi itu tetap ada, menempel di tengkukku seperti hawa dingin yang tak kunjung hilang.Sesampainya di tempat gym, aroma keringat dan dentuman musik upbeat menyambutku. Bau ini biasanya memberiku energi, tapi hari ini terasa sedikit menyesakkan karena beban pikiran yang menumpuk."Woi, anak Bandung sudah balik!" teriak Bang Hadi dari meja kasir. Wajahnya berseri-seri, ia tampak baru saja menghabiskan sisa kopinya. "Gimana kabar Ibu? Oleh-oleh buat gue mana?"Aku terkekeh, menyalami pria yang sudah kuanggap kakak sendiri itu. "Aman, Bang. Salam dari Ibu sudah disampaikan. Tenang, peuyeum sama rengginang ada di tas, nanti kita makan bareng pas istirahat.""Mantap! Ya sudah, ga
Malam di Desa Sukamaju semakin larut, namun keheningan yang menyelimuti perkampungan ini tidak mampu meredam kegaduhan yang berkecamuk di dalam dadaku. Udara dingin yang merayap menembus dinding-dinding kayu rumah seolah membekukan setiap sel sarafku, tapi pikiranku justru mendidih. Aku bangkit dari ranjang tua yang berderit, melangkah sepelan mungkin agar tidak membangunkan Ibu atau Alisa, lalu keluar menuju teras depan.Aku duduk di kursi kayu yang sudah mulai lapuk, menatap kegelapan pematang sawah di kejauhan. Di bawah sinar bulan yang temaram, aku merenungi ancaman Vina. Video dan foto itu adalah bom waktu. Jika aku menghadapinya dengan amarah, dia akan meledak dan menghancurkan segalanya—karirku, studiku, dan yang paling menakutkan, kehormatan keluargaku di mata Ibu.Aku tidak boleh memakai otot kali ini, batinku sambil mengepalkan tangan. Vina adalah tipe wanita yang haus akan pengakuan dan kasih sayang yang obsesif. Jika aku ingin menghapus bukti itu, aku harus masuk ke dalam
Malam itu, Sukamaju terasa sangat sunyi. Sabrina akan menginap di kamar Alisa. Sebelum tidur, kami sempat mengobrol sebentar di teras belakang yang menghadap ke sawah."Kak, Ibumu baik banget. Aku merasa bersalah bohong sama beliau," bisik Sabrina."Aku juga, Sab. Tapi ini demi ketenangan Ibu. Kamu lihat kan betapa senangnya dia punya teman baru?"Sabrina menggenggam tanganku. "Aku akan jaga rahasia ini, Kak. Demi kamu."Tepat saat itu, ponselku di dalam saku bergetar. Sebuah pesan WhatsApp masuk. Dari Vina.[Mas, jangan kelamaan di kampung. Aku kangen, ingin segera merasakan keperkasaanmu. Jangan lupa, aku masih simpan video itu. Kalau kamu macam-macam di sana dengan perempuan lain, jangan salahkan aku kalau video ini sampai menyebar.]Senyumku langsung hilang. Ancaman Vina seperti petir di malam yang cerah ini. Di depanku ada wanita yang kucintai, di belakangku ada Ibu yang harus kulindungi, dan di Jakarta... ada iblis yang siap menghancurkan segalanya.Pagi di Desa Sukamaju selalu
Aku berhenti mengelap motor. "Wah Kang, tempat kerja saya itu khusus kebugaran. Saya sekarang fokus jadi pelatih gym dan atlet binaraga. Kalau mau kerja di sana, minimal harus punya sertifikasi atau fisik yang terlatih. Tapi nanti kalau ada info lowongan security atau staf di apartemen tempat saya tinggal, saya kabari.""Mantap, Bim. Jangan lupakan kami ya," sahut mereka.Aku melihat mereka menatapku dengan tatapan kagum. Ada rasa puas tersendiri saat kita bisa membuktikan bahwa kerja keras membuahkan hasil, tapi aku tetap harus rendah hati. Aku tahu, di balik semua ini, masih banyak masalah yang menantiku di Jakarta; Vina dengan ancamannya, dan status rahasiaku dengan Sabrina.Malam mulai turun menyelimuti Sukamaju. Udara semakin dingin, tapi di dalam rumah kecil ini, kehangatan baru saja dimulai. Aku berbaring di kamar lamaku yang sempit, menatap langit-langit kayu. Besok adalah hari perpisahan Alisa, dan.... besok lusa Sabrina akan datang. Aku harus menyiapkan rencana dengan matang







