Home / Urban / Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku / Bab 36. Malam di unitnya

Share

Bab 36. Malam di unitnya

last update Last Updated: 2025-08-24 23:00:55

Setelah selesai makan nasi goreng pemberian Mbak Nadira, aku duduk di sofa kecil unitku, perut kenyang tapi pikiran masih kacau. Aroma nasi goreng yang tadi menggoda sekarang terasa seperti beban, karena aku tidak tahu harus apa selanjutnya.

Biasanya malam ini aku mempersiapkan baju kerja untuk besok, menyusun catatan proyek, atau sekadar memeriksa email kantor. Tapi sekarang, aku nganggur, seperti burung yang sayapnya dipatahkan.

Yang aku pikirkan sekarang adalah mencari pekerjaan baru secepat mungkin, tapi untuk yang lebih pasti, aku akan bekerja full di tempat gym seminggu penuh. Gajinya mungkin tidak sebesar di kantor arsitektur, tapi setidaknya ada untuk kebutuhan sehari-hariiku dan kirim uang ke kampung.

Aku membuka ponsel, mencari nomor Bang Ihsan, pemilik gym yang sudah seperti kakak bagiku sejak dulu di kampung. Jantungku berdegup kencang saat menekan tombol panggil, berharap dia masih ingat janjiku dulu.

“Hallo Bang, maaf aku ganggu malam-malam begini,” kataku, suara pelan a
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Lang Buana Buana
Mana sambungan nya kk
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 36. Malam di unitnya

    Setelah selesai makan nasi goreng pemberian Mbak Nadira, aku duduk di sofa kecil unitku, perut kenyang tapi pikiran masih kacau. Aroma nasi goreng yang tadi menggoda sekarang terasa seperti beban, karena aku tidak tahu harus apa selanjutnya.Biasanya malam ini aku mempersiapkan baju kerja untuk besok, menyusun catatan proyek, atau sekadar memeriksa email kantor. Tapi sekarang, aku nganggur, seperti burung yang sayapnya dipatahkan.Yang aku pikirkan sekarang adalah mencari pekerjaan baru secepat mungkin, tapi untuk yang lebih pasti, aku akan bekerja full di tempat gym seminggu penuh. Gajinya mungkin tidak sebesar di kantor arsitektur, tapi setidaknya ada untuk kebutuhan sehari-hariiku dan kirim uang ke kampung.Aku membuka ponsel, mencari nomor Bang Ihsan, pemilik gym yang sudah seperti kakak bagiku sejak dulu di kampung. Jantungku berdegup kencang saat menekan tombol panggil, berharap dia masih ingat janjiku dulu.“Hallo Bang, maaf aku ganggu malam-malam begini,” kataku, suara pelan a

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 35. Ketakutan mengguncangku

    Aku berusaha bangkit, meski tubuhku sakit dan lemas akibat pukulan dan dorongan tadi.“Tidak, Bu! Ibu sama sekali tidak salah! Mereka yang jahat! Bima yang harusnya minta maaf, Bima hanya membuat Ibu menderita!” kataku, suara pecah, air mata mengalir tanpa bisa kutahan.Aku mencoba merangkak mendekati mereka, tapi dua tangan kuat dari seorang satpam mencengkeram lenganku, menahanku.Bu Mirna melangkah mendekat, menunduk hingga wajahnya sejajar dengan wajahku.“Kamu pikir uang yang aku berikan untuk Ibumu gratis? Kamu tidak mampu membayarnya. Aku sudah memberikan kesepakatan yang lebih mudah, tapi kamu tidak mau menuruti kami. Jadi, ini balasannya untuk orang keras kepala seperti kamu,” katanya, suaranya dingin seperti es.“Kalian semua binatang! Tidak punya perasaan!” teriakku, suaraku serak oleh amarah dan keputusasaan. “Bukankah kalian memberikan waktu tiga bulan? Aku tidak pernah meminta bantuan kalian! Kalian sendiri yang menawarkan dan mau membayar operasi Ibu!”Mbak Dini membung

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 34. Apa ini akhir dari hidupku?

    Pikiran ku kacau, seperti kapal yang terombang-ambing di tengah badai. Aku ingin pergi dari apartemen ini, kabur dari jeratan Bu Mirna dan Mbak Dini, tapi bagaimana caranya?Hutang yang menumpuk seperti gunung itu terasa mustahil dilunasi dalam tiga bulan, apalagi sekarang aku tidak punya pekerjaan. Jika aku tetap tinggal di sini, aku hanya akan semakin terjebak, seperti lalat dalam jaring laba-laba.Bahkan jika hutang itu lunas, aku yakin mereka tidak akan membiarkanku pergi begitu saja, perjanjian itu seperti rantai yang mengikatku pada kehendak mereka.Tiba-tiba, suara bising di luar unitku mengguncang lamunanku. Teriakan dan langkah-langkah berat terdengar di koridor, seperti kerumunan yang sedang marah.Jantungku berdegup kencang. Aku bergegas ke pintu dan membukanya, dan pemandangan di depanku membuat darahku membeku.Sekelompok ibu-ibu penghuni apartemen berkumpul di koridor, wajah mereka penuh amarah, mata mereka menatapku seperti elang yang siap menerkam.Di antara mereka, Mb

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 33. Rayuan Mbak Dini

    Mbak Dini tersenyum miring, matanya menyipit. “Rupanya kamu lupa dengan surat perjanjian kita. Ingat, aku dan Mbak Mirna yang telah menolongmu. Kalau gak ada kami, mungkin ibumu sudah…” Dia berhenti, membiarkan kata-katanya menggantung, seperti pisau yang siap menikam.Aku mengepal tangan, menahan amarah yang membakar. “Oke-oke, silakan masuk,” kataku akhirnya, mempersilahkan dengan terpaksa, membuka pintu lebih lebar.Dia melangkah masuk, mencolek daguku dengan jari manisnya saat lewat. “Nah, gitu dong, keputusan yang bagus,” katanya, suaranya genit, membuat bulu kudukku merinding, bukan karena takut, tapi jijik.Kami duduk di sofa kecil di ruang tamu, jarak kami hanya beberapa inci. Sifat aslinya kini terlihat jelas dia sangat licik, penggoda, dan kecentilan yang membuatku muak. Dia bersandar, kakinya menyilang, memperlihatkan paha yang sengaja diekspos.“Jadi, apa maumu?” tanyaku, suara datar, menatap lurus ke matanya, menolak terpancing.“Aku mau kamu, sayang. Sudah lama aku tidak

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 32. Merasa frustasi

    Bus yang membawaku kembali ke Jakarta terasa seperti perjalanan tanpa akhir. Jalanan di luar jendela berlalu dalam kabur, sawah hijau berganti gedung-gedung tinggi, tapi pikiranku tidak menentu, seperti terjebak dalam pusaran.Selama tiga bulan aku tidak bekerja, merawat Ibu di kampung, dan di dunia kerja, aturan itu keras seperti batu.Berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan di Indonesia, jika seorang karyawan tidak masuk kerja tanpa kabar selama beberapa waktu, biasanya tujuh hari berturut-turut tanpa alasan yang sah, perusahaan berhak menganggapnya mengundurkan diri.Meski aku punya alasan kuat, merawat Ibu yang sakit, peraturan tetaplah peraturan. Di kebanyakan perusahaan, cuti resmi biasanya hanya tiga hari untuk urusan keluarga, kecuali ada kebijakan khusus atau izin tertulis.Aku ingat rombongan kantor, Pak Hadi, Mbak Renata, Ardi, Bu Sandra, dan Mbak Vania, yang datang menjenguk Ibu dua minggu lalu. Mereka tersenyum hangat, membawa buah dan makanan, tapi tak ada satu pun yan

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 31. Perjanjian yang mencekik

    Aku meminta Alisa agar kembali sekolah. “Lis, besok sekolah lagi, ya. Ibu pasti baik-baik saja sama Aa.”Alisa menggeleng awalnya. “Gak mau, Aa. Aku mau jaga Ibu.”Ibu ikut membujuk. “Lis, dengar kata Aa. Ibu sudah mendingan, kamu harus sekolah biar pintar.”Akhirnya Alisa percaya dan setuju, meski matanya masih ragu. “Iya, Bu, Aa. Tapi janji Ibu cepat sembuh.”Lalu setelah itu, saat malam harinya, Ibu sudah tidur dan Alisa tidur bersama Ibu, meringkuk di sampingnya di ranjang sempit. Rumah sunyi, hanya suara jangkrik dari luar dan hembusan angin yang menyusup lewat celah dinding.Aku duduk di kursi kayu usang di ruang tamu, lampu bohlam kuning menyinari surat dari Bu Mirna yang belum kubaca sepenuhnya. Aku penasaran, tapi juga takut.Akhirnya, aku membukanya lagi. Di dalam surat itu ada perjanjian resmi, dengan cap materai dan detail angka yang membuat mataku melebar. Ada rincian uang yang sudah dipakai untuk Ibu: biaya operasi yang puluhan juta, rawat inap selama seminggu, obat-oba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status