Aku terpaku di tempat, pintu masih setengah terbuka di tanganku. Otakku seolah berhenti bekerja.
‘Apa tadi dia bilang? Tidur bersama? Yang bener aja!’
Jantungku berdegup kencang, dan untuk sesaat, gambaran tubuhnya di video OF itu kembali muncul di kepalaku. Tapi aku tahu, aku harus keluar dari sini sekarang juga.
Aku langsung menggelengkan kepala dengan yakin.
“Gak usah, Mbak … jangan,” kataku sedikit gemetar.
Namun, Nadira justru tertawa pelan sambil menepuk lenganku dengan lembut. “Bercanda kok, Mas. Lucu banget sih Mas Bima ini.”
“Aku … Aku harus segera pulang, ini udah malam gak enak sama penghuni unit lain,” kataku cepat.
Aku melangkah keluar, pintu apartemennya masih setengah terbuka di belakangku.
Nadira terkekeh, suaranya ringan seperti angin.
“Hati-hati Mas Bima, sekali lagi makasih ya,” katanya, tapi matanya masih menatapku dengan cara yang membuatku ragu apakah dia benar-benar bercanda soal tadi.
Aku hanya mengangguk kaku dan berjalan cepat ke apartemenku di sebelahnya. Begitu pintu kamarku tertutup, aku bersandar di dinding, nafasku masih belum stabil.
“Wah gila … ini gila banget sih. Untung gua masih bisa nahan diri,” kataku lirih sambil mengusap-usap dada.
Setelah merasa cukup tenang, aku langsung menaruh kotak perkakasku di tempat semula dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku, lalu pergi tidur.
Namun sialnya, setelah hampir 1 jam aku berguling-guling di ranjang, aku masih tidak bisa tidur dengan tenang.
Gambaran sosok Nadira bercampur dengan ingatan akan video syur yang kulihat sebelumnya masih terus muncul di kepalaku. Aku mencoba memikirkan hal lain pekerjaan, ibuku, adikku di kampung, tapi semuanya sia-sia.
Setiap kali memejamkan mata, aku melihat senyum Nadira, tatapannya yang penuh hasrat, dan suaranya yang lembut saat mengucapkan kata-kata itu.
Hingga akhirnya, entah pukul berapa aku baru bisa terlelap.
**
Paginya, aku bangun dengan kepala agak pusing. Semalam benar-benar tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Aku buru-buru mandi dan bersiap untuk kerja. Dan tentunya, seperti biasa aku pergi kerja menggunakan bis umum yang kebetulan haltenya ada di seberang apartemen ini. Meskipun pikiranku masih melayang soal Nadira, aku tetap berusaha fokus pada hari ini dan berharap tidak bertemu dengan Nadira untuk beberapa waktu ini.
Begitu sampai di kantor, aku langsung menuju mejaku, menyalakan komputer, dan memeriksa sketsa desain yang harus aku selesaikan hari ini.
Tak lama, Ardi, teman dekatku di kantor, menghampiri. Dia adalah orang yang selalu bisa membuat suasana ringan, meski kadang celetukannya kelewat batas, tapi semua itu tidak pernah membuat kami bermusuhan.
“Oi! Kok muka lo kayak kurang tidur? Nonton bokep semalaman ya lo?” tanyanya sambil nyengir, duduk di tepi mejaku.
Aku menggeleng, tapi tak bisa menahan tawa kecil, lalu kujawab dengan bercanda, “Iya, nonton pakai layar proyektor.”
Ardi ikut tertawa sambil menggelengkan kepala. “Parah, gue gak diajak.”
Aku pun lagi-lagi tertawa, lalu berkata, “Nggak-nggak. Kemaren ada tetangga yang minta tolong benerin kran pas agak malem, jadi gue bantuin dulu lah.”
“Wah emang mulia banget tetangga satu ini,” kata Ardi sambil menepuk pundakku seperti orang yang sedang bangga pada sesuatu.
Kami pun kembali tertawa sejenak lalu mengobrol ringan tentang proyek kantor, sepak bola, dan rencana akhir pekan.
Ardi adalah tipe teman yang mudah diajak bicara, dan kehadirannya selalu membuatku merasa lebih santai. Kami sudah dekat sejak aku masuk kantor ini dua tahun lalu, sering nongkrong bareng setelah kerja atau main futsal bersama tim kantor.
Saat sedang asik mengobrol, tiba-tiba, ponselku bergetar di saku. Aku mengambilnya dan melihat nama “Ibu” di layar.
Aku melangkah ke sudut ruangan yang lebih sepi, lalu menjawab panggilan itu.
“Halo, Bu. Tumben telpon pagi-pagi, kenapa?” tanyaku, berusaha terdengar ceria meski kepalaku masih pusing.
“Bima, kamu sehat, Nak? Ibu cuma mau tanya, kamu beneran udah putus sama Rina, kan?” tanya ibuku dengan suara lembut, tapi ada nada khawatir yang kukenali dengan baik.
“Iya, Bu. Udah putus sebulan lalu. Ibu tenang aja,” jawabku, sedikit bingung kenapa ibu membahas ini lagi.
Rina adalah mantan pacarku, memang anak orang kaya, tapi sifatnya yang agak matre dan egois membuat ibuku tidak pernah menyukainya.
Ibu selalu bilang dia bukan orang yang tulus, dan aku akhirnya setuju setelah Rina memutuskan hubungan kami karena aku tidak bisa memberikannya tas branded.
“Baguslah. Ibu cuma mau pastiin. Kamu jangan deket-deket sama orang kaya, Bima. Mereka cuma bikin susah hidup kita. Kita orang biasa, cukup hidup sederhana aja,” kata ibu, nadanya tegas.
Aku hanya mengangguk, meski ibu tak bisa melihatnya.
Aku selalu menurut pada ibu, tapi satu hal yang masih membuatku merasa aneh adalah sejak dulu ibuku terasa begitu antipati dengan orang kaya. Saat aku bertanya kenapa, Ibu tidak pernah menjelaskan lebih jauh, hanya selalu menyuruhku tidak berurusan dengan mereka.
“Iya, Bu. Aku ngerti,” jawabku, berusaha menenangkan.
Kami mengobrol sebentar tentang adikku, Alisa, yang sedang sibuk ujian di SMA, lalu ibu menutup telepon dengan pesan agar aku menjaga diri.
Setelah itu, aku kembali ke mejaku dan ternyata Ardi masih duduk di sana. Menyadari ekspresiku yang berubah, dia langsung bertanya, “Kenapa muka lo begitu? Ibu lo gak kenapa-napa, kan?”
Aku menghela napas, lalu cerita sekilas. “Ibu tanya soal si Rina itu. Tapi yang masih bikin gue ngerasa aneh tuh, dari dulu ibu gue kayak gak suka banget gue deket sama orang kaya. Padahal, kan, siapa tahu kalau gue deket sama orang berada, nasib kita bisa berubah, iya gak sih?”
Ardi nyengir lebar, matanya berbinar nakal. “Ah, niat lo begitu sih, ya jelas ibu lo gak suka lah, hahaha.”
Aku membuat gestur seperti ingin memukul Ardi sambil tertawa, lalu berkata, “Bercanda itu mah. Tapi, beneran deh, kenapa ya ibu gue dari dulu kayak gitu? Kalo soal Rina oke lah dia emang matre, tapi kan gak semua orang kaya begitu.”
Ardi terdiam sejenak sambil menatapku serius, lalu tiba-tiba berkata, “Jangan-jangan lo aslinya anak orang kaya yang gak diakuin sama bapak lo kali.”
“Iya kali ya?” Aku tertawa, menggeleng. Lalu, entah kenapa, aku nyeletuk, “Apa jangan-jangan, ibu gue dulu simpenan gadun, terus gue anak gadun itu ya?”
Tiba di apartemen, aku langsung mandi karena sudah hampir pukul tujuh malam. Air dingin menyegarkan tubuhku, tapi pikiranku masih tidak menentu. Aku ingin lepas dari ikatan Mbak Dini, tapi entah bagaimana caranya. Aku semakin malas setiap pulang dari kantor harus menemaninya.Awalnya, aku bersemangat merasa senang punya pekerjaan sampingan untuk mengirim uang lebih banyak ke Ibu. Tapi setelah tahu niat liciknya, aku merasa tertipu, seperti boneka di tangannya.Setelah mandi, aku bersiap menuju salon Mbak Dini seperti yang dia bilang tadi. Aku memesan ojek online karena taksi terlalu mahal untukku. Hingga tak berapa lama, ojek onlinenya datang akupun menuju salonnya Mbak Dini.Tak berapa lama, aku sampai di salonnya yang megah, dengan lampu-lampu terang dan dekorasi mewah. Saat hendak masuk, security di pintu sepertinya sudah mengenalku.“Mas Bima, ya? Sudah ditunggu Bu Dini di dalam,” katanya, tersenyum ramah.“Oh, iya, Pak. Terima kasih,” jawabku, mengangguk.Aku melangkah masuk, tap
Aku lupa, besok Mbak Vania memintaku untuk melatihnya di gym. Nadira juga bilang akan ikut gym lagi. Jadi, besok aku harus melatih mereka berdua. Pikiranku langsung sibuk membayangkan bagaimana caranya mengatur waktu dan menjaga situasi agar tidak canggung, apalagi dengan Nadira.Saat sedang merevisi desain proyek di kantor, pikiranku melayang ke jalan hidupku. Selama ini, aku terlalu sibuk dengan urusan orang lain, Nadira yang ingin lepas dari ikatan Pak Purnomo, dan Mbak Dini dengan teror misteriusnya.Padahal, aku sendiri punya banyak masalah. Memang membantu orang lain itu pahalanya besar, tapi aku juga harus memikirkan keluargaku terlebih dahulu yaitu Ibu dan Alisa di kampung.Sebentar lagi, aku, Mbak Renata, Bu Sarah, dan Mbak Vania akan ditugaskan ke luar kota untuk proyek. Tapi entah kenapa, semangatku justru semakin meredup. Hari ini, kantor berjalan seperti biasa, tapi hidupku terasa monoton. Tidak ada yang membuatku bersemangat.Saat jam makan siang tiba, aku mengajak Ardi
Aku mengerutkan kening, tidak mengerti maksudnya. Tapi kemudian, dia melanjutkan, “Nanti tinggal diedit, bagian mukaku di-blur, cuma si Nadira aja yang kelihatan.”Kini aku paham. Kemarahan membuncah di dadaku. Aku mengepalkan tangan, ingin langsung menghajarnya. Begitu dia menutup telepon, aku melayangkan tinju ke perutnya. Dia mengaduh kesakitan, memegang perutnya.“Woi, lu apa-apaan?!” bentaknya, wajahnya memerah.“Lu apain Nadira, hah?” sergahku, mencengkeram kedua tangannya ke belakang hingga dia meringis.Pintu lift terbuka di lantai dasar, tapi aku buru-buru menekan tombol untuk naik lagi, lalu turun, agar tidak ada orang lain yang masuk.“Jangan bohong, lu! Gua denger tadi apa yang lu bilang. Lu merekam Nadira, kan? Videonya mau lu jual buat kepentingan lu? Cepat hapus videonya!” ancamku.“Lu salah denger, mungkin!” elaknya, suaranya gemetar.“Lu kira gue tuli? Cepat hapus, atau tangan lu gue patahin!” kataku, mempererat cengkeramanku.“Iya, iya, gue hapus! Tapi lepasin dulu,
“Udah, Mbak. Sekali lagi, terima kasih,” jawabku tulus.Tak lama, ada balasan dari Alisa. [Makasih banyak, Aa. Ini sekarang juga aku ke konternya Teh Dewi.]Aku tersenyum, tapi di dalam hati, ada rasa sedih yang menggerogoti. Sekeras apa pun aku bekerja, aku belum bisa membuat keluargaku bahagia. Gajiku selalu habis untuk kebutuhan, dan hasilnya tetap begini.Tiba-tiba, ketukan keras di pintu memecah suasana. Kami berdua terkejut. Mbak Dini buru-buru berdiri dan membuka pintu, tapi tidak ada siapa-siapa di luar.Aku ikut melongok, dan di lantai, di depan pintu, ada kotak kecil.Mbak Dini mengambilnya, membukanya dengan hati-hati, lalu tiba-tiba menjerit, “Aaaaaah!” Kotak itu refleks dia lempar.Isinya bangkai cicak, tapi ada selembar kertas di dalamnya. Aku memungut kertas itu, dan di sana tertulis, 'Dini, kau tidak akan pernah bisa menghindar sebelum kamu mengabulkan keinginanku.'Aku menatap Mbak Dini, jantungku berdegup kencang. “Siapa yang ngirim ini?”Mbak Dini membaca kertas it
Mbak Dini masuk kembali ke ruang tamu, membawa nampan berisi secangkir kopi dan tiga toples berisi camilan. Dia sudah berganti pakaian, kini mengenakan piyama pink yang sangat tipis dan mini. Bagian dadanya terlihat jelas, dan panjang bajunya hanya menutupi setengah pahanya. Aku berusaha menahan pandangan, merasa canggung sekaligus curiga.“Nih, diminum dulu,” katanya, meletakkan cangkir kopi di depanku. “Tenang aja, gak dikasih obat perangsang, kok.”Aku memandang cangkir itu dengan ragu. “Apa Mbak bisa jamin kalau minumannya gak pake obat perangsang?” tanyaku, nada suaraku penuh kecurigaan.Mbak Dini tersenyum kecil, seolah menganggapku berlebihan. “Kamu masih ragu? Tunggu sebentar.”Dia berbalik ke dapur, dan tak lama kemudian kembali dengan cangkir kopi lain. “Ini, aku buat satu lagi. Biar kopi itu aku minum,” katanya, meletakkan cangkir barunya di meja.Tapi aku masih tidak yakin. Bagaimana kalau kopi yang dia bawa itu yang mengandung obat? “Mbak minum aja kopi yang Mbak bawa tad
“Tahu gak, kamu pria pertama yang menurutku paling seksi dan perkasa,” ujar Nadira dengan nada manja, matanya menatapku penuh godaan. Tangannya membelai dadaku, lalu naik perlahan ke daguku, membuatku semakin gelisah.Aku menelan ludah, berusaha tetap tenang. “Sebaiknya kamu kembali ke unitmu, Nad. Aku mau mandi dulu, sebentar lagi ke unitnya Mbak Dini.”Tapi Nadira justru tidak bergerak dari pangkuanku. Dia malah mendekat, membuatku semakin gerah. “Kamu kalau keringetan gini makin seksi,” katanya, tersenyum nakal. “Nanti weekend ajarin aku gym lagi, ya?”“Iya, iya, tapi aku mau mandi dulu. Nanti telat,” jawabku cepat, berusaha mengalihkan situasi.Akhirnya, Nadira turun dari pangkuanku. Aku menghela napas lega dan buru-buru berdiri. Tapi, sial, “si Gatot” malah bereaksi, membuatku panik karena begitu terlihat jelas seperti tenda. Aku langsung menutupinya dengan tangan, wajahku memanas. Nadira tertawa kecil, matanya berbinar penuh ejekan.“Tanggung banget, padahal aku bisa bantuin bia