“Ini kopinya, Mas. Maaf ya agak lama,” ujar Nadira, tiba-tiba sudah berdiri di dekatku, memecah lamunanku.
Dia menunduk untuk menaruh cangkir kopi di meja depanku, dan saat itu daster bagian depannya ikut turun, memperlihatkan belahan dada yang lembut di bawahnya. Aku menahan napas, berusaha keras untuk tidak menatap. “Eh? Mas Bima kenapa mukanya begitu?” tanya Nadira, suaranya kaget, tapi ada senyum kecil di wajahnya saat dia melihatku yang jelas-jelas tegang. “Hah? Oh… gak, Mbak. Kayaknya aku mulai ngantuk,” jawabku terbata, berusaha tenang. “Makasih kopinya, Mbak. Aku minum ya.” Nadira mengangguk, tersenyum, lalu sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Enak gak kopinya? Apa mau ditambah susu?” tanyanya, suaranya lembut tapi ada nada genit yang sulit kulewatkan. “Uhuk!” Aku terbatuk pelan, bukan cuma karena kopi yang masih panas, tapi juga karena ucapan Nadira yang bikin jantungku melompat. “Eh, kenapa, Mas?” Nadira panik, buru-buru mengambil tisu dan mengelap bibirku. Tangannya yang lain tanpa sengaja bertumpu di dadaku, dan aku bisa merasakan kehangatan jari-jarinya melalui kaosku. “Ekhem… gak apa-apa, Mbak,” kataku cepat, menarik tubuhku sedikit ke belakang. “Tadi kaget aja, kopinya masih panas.” Nadira tidak mundur. Dia justru semakin mendekat, wajahnya tampak polos tapi matanya seolah menyimpan sesuatu. “Oh, kirain mau tambah susu beneran, biar aku kasih,” katanya, tersenyum lebar. “Ng… nggak usah, Mbak. Aku gak terlalu suka kopi yang creamy,” jawabku, berusaha meluruskan pikiranku yang mulai kacau. “Oh, itu karena pakai susu biasa kali, Mas. Kalau yang ini kan susunya beda,” ujar Nadira, suaranya semakin lembut, hampir menggoda. Entah perasaanku saja, tapi sepertinya dia sengaja mendekatkan dadanya ke lenganku. “Beda gimana, Mbak?” tanyaku, masih berusaha netral meski keringat dingin mulai terasa di punggungku. “Kalau pakai susu oat atau almond, gak akan terlalu creamy. Atau… Mas Bima mau coba susu yang lebih alami?” Nadira menatapku, matanya berkilat, dan tangannya tiba-tiba menyentuh dadaku, gerakannya pelan tapi penuh tekanan. “Yang kemarin gak sengaja Mas pegang itu…” Aku menelan ludah, jantungku berdegup kencang. “Gi- gimana, Mbak?” tanyaku, suaraku serak, berusaha mencerna apa yang dia maksud. “Hehe, bercanda aja, Mas,” kata Nadira sambil tertawa kecil, tapi dia tidak menjauh. Matanya masih menatapku dengan cara yang membuatku gelisah. “Tapi, kalau Mas Bima mau, gak apa-apa…” Aku hanya tersenyum kaku, bayangkan saja berduaan dengan perempuan cantik dan seksi seperti Nadira, membuatku tidak karuan. Keringat dingin mulai membasahi keningku, kopi yang aku minum rasanya menjadi dingin. Suasana mendadak jadi sunyi, aku sampai kesusahan saat menelan ludah. Sampai tiba-tiba, tangannya meremas pahaku. "Mas Bima, kamu sangat gagah. Aku suka dengan bentuk tubuhmu," tangannya semakin berani hingga menyentuh pangkal pahaku. Gerakan tangannya yang lembut, membuat sesuatu di dalam celanaku langsung bereaksi. Aku tidak bisa berkutik, aku ingin menolak karena ini tidak seharusnya terjadi mengingat dia sudah bersuami. "Santai saja, Mas. Kamu tidak bisa berbohong, sinyal kamu semakin kuat." suaranya agak serak tapi menggoda. Aku melihat bentuk tenda di dalam celanaku, memang tidak bisa diajak kompromi. Aku memang menikmatinya, sudah lama setelah aku putus dengan pacarku dulu. Mataku terpejam, tangannya mulai meremas benda pusakaku. Begitu mataku kembali menatapnya, aku sadar dia tetanggaku dan ini tidak boleh terjadi. Aku mencoba menepis tangannya, mencoba mengingatkannya lagi agar dia berhenti melakukannya. Aku harus bersikap tegas, tapi justru mulutku berkata sebaliknya, "Ahh terus Mbak," Merasa mendapatkan sinyal, ia tersenyum puas dan semakin keras meremas benda pusakaku. Tiba-tiba ia mendorong tubuhku, hingga aku terbaring di sofa. Ia semakin liar, anehnya aku hanya diam saja menunggu aksinya. Bisikan setan telah berhasil merayuku, imanku rapuh tidak bisa menahan godaan dari seorang wanita yang sangat seksi ini. Istri orang lebih menantang dan menggoda, aku tidak peduli dengan statusnya sekarang. Ia mendekap tubuhku, diperlakukan seperti itu aku tidak bisa diam saja. Aku pria normal, hasratku bangkit menerima godaannya. Dengan sengaja, ia menempelkan buah dadanya pada wajahku. "Ahhh …" Nadira mulai mendesah ketika aku melahap susu murninya yang hangat dan kenyal. Sinyal di bawah sana semakin kuat, mungkin sudah menemukan koneksinya. Perlahan aku membuka penutup, yang menjadi penghalang susu murninya yang selama ini membuatku gila. Hingga kini sudah terbebaskan, dua buah lingkaran setengah yang menonjol besar berwarna putih dan empuk. Nadira menatapku, ketika mahkota bola nya terbebaskan. "Benar kan, kamu memang lebih suka susu yang paling murni langsung dari sumbernya." ia meremas buah dadanya, "Ayo Mas, jangan sungkan-sungkan, langsung di nikmati selagi masih hangat." Aku hanya bergumam dalam hati, *Iya Mbak aku memang suka, aku tidak akan sungkan-sungkan lagi. Memang ini yang aku inginkan, susu murnimu memang paling maknyos. Lebih sehat dari susu sapi, lebih kenyang.* Ia meremas buah dadanya, lalu menarik tanganku agar meremasnya. Selama ini hanya ada dalam mimpiku, kini sekarang menjadi kenyataan. Ia semakin liar dan agresif, ia mulai mendesah keras yang membuat hasratku semakin memburu. Entah darimana awalnya, seketika kita berdua sudah saling berpagutan tanpa sehelai benangpun. Hingga semuanya berakhir, aku mengatur nafasku yang tersengal-sengal duduk di sofa dan aku baru sadar jika semua ini tidak seharusnya terjadi. Aku tidak berani menatap wajahnya, ia terkulai lemas bermandikan keringat. "Maafkan aku, Mbak. Aku benar-benar khilaf," ucapku begitu menyesal Nadira mulai bangkit, lalu menarik pakaiannya yang berantakan di lantai. "Nggak apa-apa, Mas. Ini bukan salahmu. Ini salahku yang memang terus merayumu, aku telah di buatkan oleh nafsu. Aku benar-benar minta maaf," Aku tidak tahu harus berkata apa, aku segera memakai pakaianku lagi. "Yang jelas, ini salah kita berdua. Mbak jauh dari suami, posisi saya sedang tidak punya pacar intinya kita sama-sama kesepian. Kita harus merahasiakannya, Mbak. Ini akan menjadi petaka, jika ada orang yang tahu." Nadira menunduk, sudah kembali berpakaian, "Aku mengerti, Mas. Terutama orang-orang di sekitar kita jangan ada yang tahu," Aku sudah kembali berpakaian, aku harus segera pergi. "Kalau begitu aku langsung pamit," Nadira hanya tersenyum kecil, suasana kembali canggung. Aku melangkah keluar dari unitnya Nadira, melihat sekitar takut ada orang. Setelah cukup aman, aku segera kembali ke unitku. Begitu sampai di dalam, aku mengunci pintunya dan meremas kepalaku. "Kenapa aku begitu bodoh," nafasku terasa sesak, aku sungguh menyesal.“Sama-sama, Mbak,” jawabku pelan, suaraku hampir tenggelam oleh keheningan malam.Aku masih mengatur nafasku yang tersengal-sengal, aku sadar yang aku lakukan ini salah tapi semuanya terjadi begitu saja.Nadira bersandar di dadaku, tubuhnya hangat di bawah selimut tipis. Aku ingin menarik diri, tapi matanya yang berkaca-kaca dan suaranya yang rapuh membuatku ragu. Kita berdua tidur tanpa memakai sehelai benangpun, di bawah selimut tipis Akhirnya, kelelahan menyerangku aku merasa sangat lelah dan mengantuk. Kami tertidur pulas di sofa, dalam posisi canggung yang entah bagaimana terasa… nyaman.Satu jam kemudian, suara benda jatuh membuyarkan mimpiku. Aku membuka mata, masih setengah sadar, dan melihat Nadira duduk di kursi dekat meja makan, wajahnya pucat. Sebuah kaleng susu tergeletak di lantai, sepertinya dia tak sengaja menjatuhkannya. Dia menoleh padaku, matanya penuh rasa bersalah.“Maaf, aku membangunkanmu. Maaf sudah merepotkanmu… dan lagi-lagi aku…” suaranya lirih, hampir putu
Aku mainkan lidahku menari-nari di pentil buah dadanya, ia menggeliat dan terus meracau."Ahh, terus Bima enak sekali. Kamu memang sangat pintar dalam urusan kenyot mengenyot, puaskan aku, berikan aku kenikmatan." racaunya, matanya tetap terpejam, tubuhmu lemas.Aku tidak berhenti mengenyot buah dadanya, sesekali aku gigit kecil hingga meninggalkan bekas merah. Akan aku lukis buah dadanya dengan maha karyaku. Sampai leher dan buah dadanya banyak noda merah.Lalu aku membuka rok nya, hingga dalam sekejap sudah tidak ada lagi yang menutupi tubuhnya. Aku memperhatikan tubuhnya yang begitu seksi, wajahnya yang cantik, kulitnya putih mulus, buah dadanya besar, pinggangnya yang ramping dan bokongnya yang bahenol.Laki-laki mana yang tidak akan tergoda dengan wanita cantik seperti Nadira. Tepat di depan matanya, terbaring seorang perempuan tanpa busana yang membuat aliran darahku mengalir lebih cepat. Aku merasa kurang nyaman jika kita bergulat di atas sofa, kurang leluasa jika kita berdua
Aku menelan ludah, jantungku berdetak kencang. Aku melirik ke arah pintu unit Nadira, tapi aku baru sadar jika aku tidak tahu kata sandinya untuk masuk. “Sial, sekarang gimana?” gumamku panik. Setelah berpikir sejenak, aku menghela napas dan memutuskan untuk membawa Nadira ke unitku sendiri. Tidak mungkin jika aku membiarkannya tergeletak di koridor. Dengan hati-hati, aku menggendong Nadira. Badannya terasa berat, sebenarnya aku tidak ingin menyentuhnya lagi setelah kejadian malam itu, tapi sekarang situasinya darurat. Aku melangkah cepat ke unit apartemenku, membuka pintu dengan susah payah, lalu membaringkan Nadira di sofa. Napas Nadira tak beraturan meski pelan, wajahnya pucat. Aku menatapnya sejenak, masih belum percaya wanita ini kini terbaring di ruang tamuku. Karena sebelumnya, aku bahkan tidak pernah membawa wanita masuk ke apartemenku. Apartemenku kecil, satu kamar tidur, sofa lama, dan meja makan yang nyaris tak pernah kupakai. Mantan pacarku dulu bahkan menolak masu
“Ada nasi di bibirmu, Bim,” kata Mbak Renata, suaranya pelan tapi jelas. Aku membuka mata, wajahku langsung panas. Astaga, aku kira apa! Semenjak putus dengan pacarku, pikiranku jadi kotor, selalu ke arah yang aneh-aneh dan mudah sekali terangsang. “Terima kasih, Mbak,” gumamku, berusaha menutupi rasa malu. Kalau saja disini ada lubang, rasanya aku ingin bersembunyi di sana saking malunya. Mbak Renata tersenyum tipis, lalu memanggil pelayan untuk membayar makanan. Kami berjalan kembali ke kantor, dan aku berusaha fokus ke trotoar di depanku, menghindari tatapan Mbak Renata yang sesekali melirikku. Di kantor, aku kembali ke mejaku, melanjutkan revisi denah yang hampir selesai. Hingga tidak terasa, sebentar lagi tiba waktunya pulang. Pak Hadi, manajer kami, belum pulang masih di ruangannya. Dia orang yang tegas, selalu buru-buru, dan maunya semua beres cepat. Orang bilang dia perfeksionis. Aku fokus ke layar komputer, mencoba melupakan momen canggung tadi di restoran. Lalu Mbak Ren
Pagi harinya, aku bangun dengan kepala sedikit pusing. Mungkin karena tidurku cuma sebentar, pikiranku penuh dengan bayangan semalam. Aku berharap itu hanya mimpi, aku sudah melakukan kesalahan yang besar.Aku masih ingat Mbak Nadira yang begitu sangat agresif, ia seperti orang lain. Mungkin akibat sudah lama di tinggal suaminya, ia sangat kesepian sehingga ia melampiaskan nafsunya padaku.Aku buru-buru mandi, mengenakan kemeja putih dan celana bahan, lalu berlari ke lift. Tidak pernah ada waktu untuk sarapan, bahkan ruangan ini cukup berantakan. Di dalam lift, aku bertemu Dini lagi, tetangga yang sama-sama membuatku gagal fokus.Dia berdiri dengan blazer biru tua yang ketat, memamerkan lekuk tubuhnya yang padat, dan rok pendek yang memperlihatkan paha mulusnya. Rambut pendeknya rapi, tapi riasan tebalnya memberi kesan jika itu memang gayanya.“Pagi, Mbak Dini,” sapaku, masuk ke lift dan berdiri di sisi lain.“Pagi, Mas Bima,” balas Dini, senyumnya lebar. Dia memandangku sekilas, lalu
“Ini kopinya, Mas. Maaf ya agak lama,” ujar Nadira, tiba-tiba sudah berdiri di dekatku, memecah lamunanku.Dia menunduk untuk menaruh cangkir kopi di meja depanku, dan saat itu daster bagian depannya ikut turun, memperlihatkan belahan dada yang lembut di bawahnya. Aku menahan napas, berusaha keras untuk tidak menatap.“Eh? Mas Bima kenapa mukanya begitu?” tanya Nadira, suaranya kaget, tapi ada senyum kecil di wajahnya saat dia melihatku yang jelas-jelas tegang.“Hah? Oh… gak, Mbak. Kayaknya aku mulai ngantuk,” jawabku terbata, berusaha tenang. “Makasih kopinya, Mbak. Aku minum ya.”Nadira mengangguk, tersenyum, lalu sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Enak gak kopinya? Apa mau ditambah susu?” tanyanya, suaranya lembut tapi ada nada genit yang sulit kulewatkan.“Uhuk!” Aku terbatuk pelan, bukan cuma karena kopi yang masih panas, tapi juga karena ucapan Nadira yang bikin jantungku melompat. “Eh, kenapa, Mas?” Nadira panik, buru-buru mengambil tisu dan mengelap bibirku.Tangannya