Beranda / Urban / Rayuan Maut Para Tetanggaku / Bab 4. Simpanan Gadun

Share

Bab 4. Simpanan Gadun

Penulis: Galaxybimasakti
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-06 16:31:51

Aku terpaku di tempat, pintu masih setengah terbuka di tanganku. Otakku seolah berhenti bekerja.

‘Apa tadi dia bilang? Tidur bersama? Yang bener aja!’

Jantungku berdegup kencang, dan untuk sesaat, gambaran tubuhnya di video OF itu kembali muncul di kepalaku. Tapi aku tahu, aku harus keluar dari sini sekarang juga.

Aku langsung menggelengkan kepala dengan yakin.

“Gak usah, Mbak … jangan,” kataku sedikit gemetar.

Namun, Nadira justru tertawa pelan sambil menepuk lenganku dengan lembut. “Bercanda kok, Mas. Lucu banget sih Mas Bima ini.”

“Aku … Aku harus segera pulang, ini udah malam gak enak sama penghuni unit lain,” kataku cepat.

Aku melangkah keluar, pintu apartemennya masih setengah terbuka di belakangku.

Nadira terkekeh, suaranya ringan seperti angin.

“Hati-hati Mas Bima, sekali lagi makasih ya,” katanya, tapi matanya masih menatapku dengan cara yang membuatku ragu apakah dia benar-benar bercanda soal tadi.

Aku hanya mengangguk kaku dan berjalan cepat ke apartemenku di sebelahnya. Begitu pintu kamarku tertutup, aku bersandar di dinding, nafasku masih belum stabil.

“Wah gila … ini gila banget sih. Untung gua masih bisa nahan diri,” kataku lirih sambil mengusap-usap dada.

Setelah merasa cukup tenang, aku langsung menaruh kotak perkakasku di tempat semula dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku, lalu pergi tidur.

Namun sialnya, setelah hampir 1 jam aku berguling-guling di ranjang, aku masih tidak bisa tidur dengan tenang.

Gambaran sosok Nadira bercampur dengan ingatan akan video syur yang kulihat sebelumnya masih terus muncul di kepalaku. Aku mencoba memikirkan hal lain pekerjaan, ibuku, adikku di kampung, tapi semuanya sia-sia.

Setiap kali memejamkan mata, aku melihat senyum Nadira, tatapannya yang penuh hasrat, dan suaranya yang lembut saat mengucapkan kata-kata itu.

Hingga akhirnya, entah pukul berapa aku baru bisa terlelap.

**

Paginya, aku bangun dengan kepala agak pusing. Semalam benar-benar tidak bisa tidur dengan nyenyak.

Aku buru-buru mandi dan bersiap untuk kerja. Dan tentunya, seperti biasa aku pergi kerja menggunakan bis umum yang kebetulan haltenya ada di seberang apartemen ini. Meskipun pikiranku masih melayang soal Nadira, aku tetap berusaha fokus pada hari ini dan berharap tidak bertemu dengan Nadira untuk beberapa waktu ini.

Begitu sampai di kantor, aku langsung menuju mejaku, menyalakan komputer, dan memeriksa sketsa desain yang harus aku selesaikan hari ini.

Tak lama, Ardi, teman dekatku di kantor, menghampiri. Dia adalah orang yang selalu bisa membuat suasana ringan, meski kadang celetukannya kelewat batas, tapi semua itu tidak pernah membuat kami bermusuhan.

“Oi! Kok muka lo kayak kurang tidur? Nonton bokep semalaman ya lo?” tanyanya sambil nyengir, duduk di tepi mejaku.

Aku menggeleng, tapi tak bisa menahan tawa kecil, lalu kujawab dengan bercanda, “Iya, nonton pakai layar proyektor.”

Ardi ikut tertawa sambil menggelengkan kepala. “Parah, gue gak diajak.”

Aku pun lagi-lagi tertawa, lalu berkata, “Nggak-nggak. Kemaren ada tetangga yang minta tolong benerin kran pas agak malem, jadi gue bantuin dulu lah.”

“Wah emang mulia banget tetangga satu ini,” kata Ardi sambil menepuk pundakku seperti orang yang sedang bangga pada sesuatu.

Kami pun kembali tertawa sejenak lalu mengobrol ringan tentang proyek kantor, sepak bola, dan rencana akhir pekan.

Ardi adalah tipe teman yang mudah diajak bicara, dan kehadirannya selalu membuatku merasa lebih santai. Kami sudah dekat sejak aku masuk kantor ini dua tahun lalu, sering nongkrong bareng setelah kerja atau main futsal bersama tim kantor.

Saat sedang asik mengobrol, tiba-tiba, ponselku bergetar di saku. Aku mengambilnya dan melihat nama “Ibu” di layar.

Aku melangkah ke sudut ruangan yang lebih sepi, lalu menjawab panggilan itu.

“Halo, Bu. Tumben telpon pagi-pagi, kenapa?” tanyaku, berusaha terdengar ceria meski kepalaku masih pusing.

“Bima, kamu sehat, Nak? Ibu cuma mau tanya, kamu beneran udah putus sama Rina, kan?” tanya ibuku dengan suara lembut, tapi ada nada khawatir yang kukenali dengan baik.

“Iya, Bu. Udah putus sebulan lalu. Ibu tenang aja,” jawabku, sedikit bingung kenapa ibu membahas ini lagi.

Rina adalah mantan pacarku, memang anak orang kaya, tapi sifatnya yang agak matre dan egois membuat ibuku tidak pernah menyukainya.

Ibu selalu bilang dia bukan orang yang tulus, dan aku akhirnya setuju setelah Rina memutuskan hubungan kami karena aku tidak bisa memberikannya tas branded.

“Baguslah. Ibu cuma mau pastiin. Kamu jangan deket-deket sama orang kaya, Bima. Mereka cuma bikin susah hidup kita. Kita orang biasa, cukup hidup sederhana aja,” kata ibu, nadanya tegas.

Aku hanya mengangguk, meski ibu tak bisa melihatnya.

Aku selalu menurut pada ibu, tapi satu hal yang masih membuatku merasa aneh adalah sejak dulu ibuku terasa begitu antipati dengan orang kaya. Saat aku bertanya kenapa, Ibu tidak pernah menjelaskan lebih jauh, hanya selalu menyuruhku tidak berurusan dengan mereka.

“Iya, Bu. Aku ngerti,” jawabku, berusaha menenangkan.

Kami mengobrol sebentar tentang adikku, Alisa, yang sedang sibuk ujian di SMA, lalu ibu menutup telepon dengan pesan agar aku menjaga diri. 

Setelah itu, aku kembali ke mejaku dan ternyata Ardi masih duduk di sana. Menyadari ekspresiku yang berubah, dia langsung bertanya, “Kenapa muka lo begitu? Ibu lo gak kenapa-napa, kan?”

Aku menghela napas, lalu cerita sekilas. “Ibu tanya soal si Rina itu. Tapi yang masih bikin gue ngerasa aneh tuh, dari dulu ibu gue kayak gak suka banget gue deket sama orang kaya. Padahal, kan, siapa tahu kalau gue deket sama orang berada, nasib kita bisa berubah, iya gak sih?”

Ardi nyengir lebar, matanya berbinar nakal. “Ah, niat lo begitu sih, ya jelas ibu lo gak suka lah, hahaha.”

Aku membuat gestur seperti ingin memukul Ardi sambil tertawa, lalu berkata, “Bercanda itu mah. Tapi, beneran deh, kenapa ya ibu gue dari dulu kayak gitu? Kalo soal Rina oke lah dia emang matre, tapi kan gak semua orang kaya begitu.”

Ardi terdiam sejenak sambil menatapku serius, lalu tiba-tiba berkata, “Jangan-jangan lo aslinya anak orang kaya yang gak diakuin sama bapak lo kali.”

“Iya kali ya?” Aku tertawa, menggeleng. Lalu, entah kenapa, aku nyeletuk, “Apa jangan-jangan, ibu gue dulu simpenan gadun, terus gue anak gadun itu ya?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 108. Perasaan berbeda

    Sabrina menoleh, tersenyum padaku. “Iya, Kak.”Aku dan Sabrina pergi ke belakang di lantai dua. Tempatnya bersebrangan dengan tempat gym yang sedang di pakai Bang Hadi dan kami menuju lantai dua. Ruang belakang itu adalah ruangan kosong yang luas, tetapi tidak beratap. Langit-langitnya terbuka, membiarkan udara segar dan sinar matahari masuk.Setelah berada di sana, kita duduk di dua kursi lipat yang kubawa dari dalam. Sabrina duduk di depanku.“Di sini tenang ya, Kak. Aku baru tahu ada tempat seperti ini,” kata Sabrina.“Iya, ini lantai paling atas. Aku biasa di sini kalau pas lagi bosan atau mau self-reflection,” kataku.“Memang tempatnya enak untuk menyendiri. Ayo, makan dulu, Kak!” kata Sabrina sambil membuka kantong plastik.Di dalamnya ada dua porsi ayam bakar dengan nasi merah dan sayuran segar. Menu yang sangat pas dah diet dan agar otot semakin tebal.“Ayo, Sab!” kataku antusias.Kami mulai makan siang. Ayam bakarnya sangat enak, bumbunya meresap sempurna, dipadukan dengan n

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 107. Adegan panas di gym

    “Wah, terima kasih banyak, Bang! Aku akan pilih hari Senin. Biasanya Senin itu paling sepi,” jawabku cepat. Libur seminggu sekali terasa mewah bagiku.Aku terharu. Bang Hadi memang sangat baik dan pengertian dalam hal pekerjaan, meskipun kekurangannya suka main perempuan. Kebaikan ini sungguh tak ternilai.“Bagus! Oh ya, mau nge-gym nih,” kata Bang Hadi, sambil melirik perempuan di sebelahnya. “Ini ada yang minta diajarin. Kamu yang handle ya, Bim. Dia tahu kamu dari Tok-Tok juga.”Perempuan itu hanya tersenyum tipis padaku. Senyumnya seperti menyembunyikan banyak rahasia. Aku pun hanya mengangguk dan membalas senyumannya.“Aku minta yang private ya, Mas Bima,” bisik perempuan itu dengan suara yang sengaja dilembutkan.Aku hanya bisa mengangguk, lalu berjanji akan mengaturnya setelah jam makan siang.Aku kembali ke meja kasir, menunggu kedatangan Sabrina yang akan nge-gym siang ini. Sambil menunggu, aku membuka ponsel. Ternyata ada beberapa pesan masuk, salah satunya dari Nadira dan s

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 106. Tawaran mendaki

    “Ingat, Guys, di gym ini kita utamakan teknik. Hasil mengikuti proses! Kalau mau konsultasi PT, langsung klik link di bio atau datang saja ke FitZone Elite! Tempatnya nyaman dan alatnya lengkap,” promosi gencar kulakukan.Saat aku sedang membetulkan posisi bahu Lia untuk cable row, tiba-tiba layar ponselku dibanjiri notifikasi gift. Mulai dari mawar, ciuman, hingga beberapa gift koin besar. Aku tidak menyadari banyak yang mengirim gift karena aku terlalu fokus pada sesi pelatihan.“Terima kasih banyak ya untuk gift-nya! Kalian memang luar biasa! Jangan lupa, follow juga tiga teman cantikku ini!” kataku.Aku yakin, followers-ku semakin bertambah, terutama dari followers ketiga wanita itu. Ketenaranku melonjak dengan cepat berkat gabungan antara konten mengenai olahraga dan promosi dari klien-klien yang genit. Penghasilanku hari ini, meskipun baru pagi, sudah melampaui gajiku sebagai drafter dulu.Tepat ketika aku selesai memberikan sesi pendinginan kepada Risa dan Maya, pintu gym terbu

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 105. Klien baru

    “Kalau begitu, aku titip pesan saja, Bang. Suruh dia hati-hati,” kataku akhirnya, mencoba mengendalikan emosi.Bang Didi hanya mengangguk dan tersenyum, tidak menyadari badai di hatiku.Aktivitas di tempat gym pagi ini lebih ramai dari biasanya. Banyak yang ingin memakai jasa trainer juga. Yang mengejutkan, mereka kebanyakan adalah para wanita.Saat aku berdiri di area dumbbell, seorang wanita muda menghampiriku.“Mas Bima, benar kamu yang ada di Tok-Tok, kan? Yang suka flexing sambil pakai oil?” tanyanya dengan mata berbinar.“Iya, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku profesional.“Aku mau jadi murid personal training kamu, Mas! Selain itu tubuhmu juga bagus banget, dan kamu ngajarinnya asyik!” serunya, lebih antusias pada sosokku di media sosial daripada pada fitness.Dia datang karena melihat Tok-Tok-ku, bukan karena rekomendasi Bang Hadi."Boleh Mbak, mau latihan perhari apa bulanan?" tanyaku."Mmm.. kalau perhari berapa dan bulanan berapa?" tangannya penasaran.Aku menjelaska

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 104. Kembali aktivitas

    Akhirnya aku tiba di depan gerbang apartemen. Gerbang besi itu sudah tertutup rapat, hanya diterangi oleh lampu neon yang berkedip-kedip di pos keamanan. Jam tanganku menunjukkan pukul 01.45 dini hari. Sudah pasti Pak Jamal tidur nyenyak, pikirku. Aku mengetuk pintu gerbang besi itu beberapa kali.Tak lama kemudian, pintu kecil di pos keamanan terbuka, dan tampak wajah Pak Jamal yang ternyata masih terjaga.“Mas Bima? Kirain siapa. Pantas saja dari tadi belum pulang,” katanya sambil membuka gembok gerbang dengan sedikit erangan.Aku merasa lega sekaligus bersalah karena mengganggu tidurnya. “Iya, Pak, maaf. Ketemu teman lama jadi sampai lupa waktu,” kataku, memberikan alasan klise.Aku pun masuk ke dalam, dan Pak Jamal kembali mengunci gembok itu.“Abis reunian ya, Mas? Memang jika ketemu teman lama itu bisa sampai lupa waktu. Apalagi sudah lama tidak bertemu, pasti banyak yang diceritakan,” kata Pak Jamal, tersenyum ramah.Aku hanya bisa membalas dengan senyum paksa. Reunian? Rasanya

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 103. Nafsu dan gairah

    "Bukannya kamu memang suka mentok dan liar? Aku goyang makin kenceng ya?" tawarku, jDi luar halaman belakangnya, ada sofa besar. Setelah aku telusuri di daerah ini cukup aman. Kontrakannya terletak di jalan sepi, jaraknya jauh dengan tetangga lain. Jadi pasti seru jika sekali-kali outdoor, entah kenapa rasa nafsuku lebih memuncak.Kemudian aku berjalan ke depan sana menuju sofa sambil menggendong Nadira, lalu aku baringkan di atas sofa. Aku buka kakinya lebar-lebar, aku gerakkan lagi pinggulku dengan keras. Aku mengatur nafasku dalam-dalam, gerakannya lebih pelan. Aku mendekap tubuhnya, menatap wajahnya dan mencium bibirnya."Mas, malam ini kamu berbeda. Kamu lebih bernafsu, bukan seperti biasanya lebih seperti marah, aku minta maaf telah memaksamu." katanya tiba-tiba.Aku sendiri baru sadar, mungkin karena aku memang kecewa atas sikapnya. Aku tahu dia kerja sebagai streamer OF, tapi tidak harus melayani banyak pria. Dia masih muda, tapi dia terlihat pasrah tidak ingin berusaha. Pada

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status