Home / Urban / Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku / Bab 5. Insiden pagi hari

Share

Bab 5. Insiden pagi hari

last update Last Updated: 2025-08-06 16:42:47

Pagi harinya, aku bangun dengan kepala sedikit pusing. Mungkin karena tidurku cuma sebentar, pikiranku penuh dengan bayangan semalam. Aku berharap itu hanya mimpi, aku sudah melakukan kesalahan yang besar.

Aku masih ingat Mbak Nadira yang begitu sangat agresif, ia seperti orang lain. Mungkin akibat sudah lama di tinggal suaminya, ia sangat kesepian sehingga ia melampiaskan nafsunya padaku.

Aku buru-buru mandi, mengenakan kemeja putih dan celana bahan, lalu berlari ke lift. Tidak pernah ada waktu untuk sarapan, bahkan ruangan ini cukup berantakan. Di dalam lift, aku bertemu Dini lagi, tetangga yang sama-sama membuatku gagal fokus.

Dia berdiri dengan blazer biru tua yang ketat, memamerkan lekuk tubuhnya yang padat, dan rok pendek yang memperlihatkan paha mulusnya. Rambut pendeknya rapi, tapi riasan tebalnya memberi kesan jika itu memang gayanya.

“Pagi, Mbak Dini,” sapaku, masuk ke lift dan berdiri di sisi lain.

“Pagi, Mas Bima,” balas Dini, senyumnya lebar. Dia memandangku sekilas, lalu tiba-tiba berkata, “Oh ya, tadi malam aku lihat Mas Bima keluar dari unitnya Mbak Nadira, ya?”

Aku tersentak, jantungku hampir melompat.

“Hah? Oh, iya, Mbak. Aku bantu pasang kran air yang bocor,” jawabku cepat, berusaha santai meskipun wajahku terasa panas.

Dini tersenyum, matanya menyipit penuh tanda tanya. “Wah, pantesan. Aku juga pengen dong dibantuin pasang kran. Kran di rumahku juga mampet, kamu bisa benerin gak? Mungkin karena aku janda gak ngerti masalah gituan, jadi udah lama gak ada yang bersihin.”

Apa hubungannya kran dengan statusnya? Aku menelan ludah, gelisah dengan nada Dini yang jelas-jelas menggoda.

“Ehm, nanti aku coba cek kalau sempat, Mbak,” kataku, berusaha mengalihkan topik.

Dini tertawa kecil, tapi tidak bertanya lagi lebih jauh. Lift sampai di lantai dasar, dan aku buru-buru pamit. 

“Aku duluan ya, Mbak. Takut ketinggalan bus!” Aku hampir berlari menuju halte, pikiranku masih kacau karena ucapan Dini.

**

Aku berjalan kaki menuju kantor, udara pagi Jakarta yang sedikit pengap membuatku sedikit berkeringat. Tiba-tiba, dari arah berlawanan, aku melihat Renata turun dari mobilnya, tas jinjing di tangan. Wajahnya kaku seperti biasa, tapi sebelum aku sempat menyapa, dua pria bermotor melintas cepat, menyambar tasnya dari tangan.

“Tolong!” teriak Renata, suaranya panik.

Tanpa pikir panjang, aku berlari mengejar. Kakiku bergerak cepat, otot-ototku menegang, memanfaatkan latihan beladiri yang kukuasai. Motor itu melaju kencang, tapi aku tidak menyerah.

Di tikungan sempit, aku melihat kesempatan. Dengan satu lompatan, kakiku menendang roda belakang motor itu.

Brak!

Motor oleng, kedua penjambret terjatuh ke aspal.

“Oi, lo apa-apaan!” teriak salah satu penjambret, bangkit dengan pisau kecil di tangan.

Yang lain menyerangku dengan pukulan, tapi aku menghindar dengan lincah. Aku menangkap tangan pria bersenjata, memutar pergelangannya hingga pisaunya jatuh, lalu menendang lututnya hingga dia terjerembab.

Penjambret kedua mencoba menyerang dari belakang, tapi aku memutar tubuh, menghantam siku ke perutnya, lalu mendorongnya hingga tersungkur. Napasku tersengal, tapi kedua pria itu sudah tak berdaya, meringis di trotoar.

Warga sekitar mulai berkumpul, beberapa bertepuk tangan. “Keren, Mas! Kamu sangat pemberani!” seru seorang pedagang kaki lima.

Aku hanya mengangguk, masih terengah, lalu mengambil tas Renata yang tergeletak di jalan.

Renata berlari mendekat, wajahnya penuh kagum.

“Bima, terima kasih banyak! Aku… aku gak nyangka kamu seberani ini,” katanya, suaranya lembut, sangat berbeda dari nada dingin yang biasa kulihat di kantor.

“Gak apa-apa, Mbak,” jawabku, menyerahkan tasnya. “Yang penting Mbak nya selamat dan tas nya juga selamat.”

Tak lama, polisi tiba, membawa kedua penjambret itu ke kantor polisi. Renata masih menatapku, matanya berkilat aneh, seolah melihatku dengan cara baru. Kami berjalan bersama menuju kantor, dan aku bisa merasakan dia berjalan lebih dekat dari biasanya.

Di kantor, suasana seperti biasa, bau kopi instan, suara keyboard, dan tumpukan kertas sketsa. Aku duduk di mejaku, mulai mengerjakan revisi denah, tapi sesekali kulihat Renata menatapku dari mejanya. Tatapannya tidak lagi dingin, malah ada kehangatan yang membuatku bingung.

Dia tetap tegas dengan karyawan lain, tapi setiap lewat mejaku, dia tersenyum tipis atau bertanya hal-hal kecil seperti, “Udah selesai revisinya, Bim?” 

Aku hanya mengangguk, berusaha bersikap biasa.

Saat jam makan siang, Renata tiba-tiba mendekat. “Bima, makan siang bareng yuk. Aku traktir, itung-itung ucapan terima kasih yang tadi pagi,” katanya, suaranya ringan, hampir bercanda.

Aku terkejut. Renata yang biasanya galak dan kaku kini mengajakku makan siang? Beberapa karyawan di pantry menoleh, wajah mereka penuh tanda tanya.

“Ehm, boleh, Mbak,” jawabku, masih bingung tapi tidak ingin menolak.

Kami pergi ke restoran kecil dekat kantor, suasananya sederhana tapi nyaman. Renata duduk di depanku, kemejanya sedikit terbuka di kancing atas, tapi aku berusaha fokus ke wajahnya. Dia tersenyum, jauh lebih santai dari biasanya.

“Bima, aku beneran kagum tadi. Kamu jago banget berkelahi. Belajar dari mana?” tanyanya, matanya berbinar.

Aku terkekeh, sedikit kikuk. “Dari masih remaja sih, Mbak. Di kampung, aku ikut latihan beladiri sama temen-temen. Biasa aja, sih, cuma buat jaga diri.”

“Gak biasa, Bim! Badanmu juga bagus, pasti rajin olahraga, ya?” puji Renata, nadanya penuh kekaguman.

Baru kali ini dia memperhatikanku, padahal selama ini sering bertemu.

Aku merasa wajahku memanas, berusaha tetap santai. “Ehm, ya, Mbak. Kadang kerja sampingan di gym, jadi ya lumayan olahraga.”

Renata tertawa kecil, sesuatu yang jarang kulihat. Kami mengobrol ringan, dan untuk pertama kalinya, dia terasa seperti orang lain bukan leader yang kaku, tapi wanita biasa yang santai dan hangat.

Setelah makan siang, kami kembali ke kantor, tapi aku masih merasa aneh. Renata yang kini perhatian padaku membuatku gelisah, apalagi dengan Nadira dan Dini yang terus terbayang di pikiranku.

Tiba-tiba, Mbak Renata mendekatkan wajahnya padaku.

Apa yang dia lakukan?

Apa dia akan …??

Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?

Refleks, aku memejamkan mataku, seolah siap menerima apapun yang akan terjadi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 9. Preman meresahkan

    “Sama-sama, Mbak,” jawabku pelan, suaraku hampir tenggelam oleh keheningan malam.Aku masih mengatur nafasku yang tersengal-sengal, aku sadar yang aku lakukan ini salah tapi semuanya terjadi begitu saja.Nadira bersandar di dadaku, tubuhnya hangat di bawah selimut tipis. Aku ingin menarik diri, tapi matanya yang berkaca-kaca dan suaranya yang rapuh membuatku ragu. Kita berdua tidur tanpa memakai sehelai benangpun, di bawah selimut tipis Akhirnya, kelelahan menyerangku aku merasa sangat lelah dan mengantuk. Kami tertidur pulas di sofa, dalam posisi canggung yang entah bagaimana terasa… nyaman.Satu jam kemudian, suara benda jatuh membuyarkan mimpiku. Aku membuka mata, masih setengah sadar, dan melihat Nadira duduk di kursi dekat meja makan, wajahnya pucat. Sebuah kaleng susu tergeletak di lantai, sepertinya dia tak sengaja menjatuhkannya. Dia menoleh padaku, matanya penuh rasa bersalah.“Maaf, aku membangunkanmu. Maaf sudah merepotkanmu… dan lagi-lagi aku…” suaranya lirih, hampir putu

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 8. Desahan di malam hari

    Aku mainkan lidahku menari-nari di pentil buah dadanya, ia menggeliat dan terus meracau."Ahh, terus Bima enak sekali. Kamu memang sangat pintar dalam urusan kenyot mengenyot, puaskan aku, berikan aku kenikmatan." racaunya, matanya tetap terpejam, tubuhmu lemas.Aku tidak berhenti mengenyot buah dadanya, sesekali aku gigit kecil hingga meninggalkan bekas merah. Akan aku lukis buah dadanya dengan maha karyaku. Sampai leher dan buah dadanya banyak noda merah.Lalu aku membuka rok nya, hingga dalam sekejap sudah tidak ada lagi yang menutupi tubuhnya. Aku memperhatikan tubuhnya yang begitu seksi, wajahnya yang cantik, kulitnya putih mulus, buah dadanya besar, pinggangnya yang ramping dan bokongnya yang bahenol.Laki-laki mana yang tidak akan tergoda dengan wanita cantik seperti Nadira. Tepat di depan matanya, terbaring seorang perempuan tanpa busana yang membuat aliran darahku mengalir lebih cepat. Aku merasa kurang nyaman jika kita bergulat di atas sofa, kurang leluasa jika kita berdua

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 7. Hasrat tak terbendung

    Aku menelan ludah, jantungku berdetak kencang. Aku melirik ke arah pintu unit Nadira, tapi aku baru sadar jika aku tidak tahu kata sandinya untuk masuk. “Sial, sekarang gimana?” gumamku panik. Setelah berpikir sejenak, aku menghela napas dan memutuskan untuk membawa Nadira ke unitku sendiri. Tidak mungkin jika aku membiarkannya tergeletak di koridor. Dengan hati-hati, aku menggendong Nadira. Badannya terasa berat, sebenarnya aku tidak ingin menyentuhnya lagi setelah kejadian malam itu, tapi sekarang situasinya darurat. Aku melangkah cepat ke unit apartemenku, membuka pintu dengan susah payah, lalu membaringkan Nadira di sofa. Napas Nadira tak beraturan meski pelan, wajahnya pucat. Aku menatapnya sejenak, masih belum percaya wanita ini kini terbaring di ruang tamuku. Karena sebelumnya, aku bahkan tidak pernah membawa wanita masuk ke apartemenku. Apartemenku kecil, satu kamar tidur, sofa lama, dan meja makan yang nyaris tak pernah kupakai. Mantan pacarku dulu bahkan menolak masu

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 6. Banyak bersyukur

    “Ada nasi di bibirmu, Bim,” kata Mbak Renata, suaranya pelan tapi jelas. Aku membuka mata, wajahku langsung panas. Astaga, aku kira apa! Semenjak putus dengan pacarku, pikiranku jadi kotor, selalu ke arah yang aneh-aneh dan mudah sekali terangsang. “Terima kasih, Mbak,” gumamku, berusaha menutupi rasa malu. Kalau saja disini ada lubang, rasanya aku ingin bersembunyi di sana saking malunya. Mbak Renata tersenyum tipis, lalu memanggil pelayan untuk membayar makanan. Kami berjalan kembali ke kantor, dan aku berusaha fokus ke trotoar di depanku, menghindari tatapan Mbak Renata yang sesekali melirikku. Di kantor, aku kembali ke mejaku, melanjutkan revisi denah yang hampir selesai. Hingga tidak terasa, sebentar lagi tiba waktunya pulang. Pak Hadi, manajer kami, belum pulang masih di ruangannya. Dia orang yang tegas, selalu buru-buru, dan maunya semua beres cepat. Orang bilang dia perfeksionis. Aku fokus ke layar komputer, mencoba melupakan momen canggung tadi di restoran. Lalu Mbak Ren

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 5. Insiden pagi hari

    Pagi harinya, aku bangun dengan kepala sedikit pusing. Mungkin karena tidurku cuma sebentar, pikiranku penuh dengan bayangan semalam. Aku berharap itu hanya mimpi, aku sudah melakukan kesalahan yang besar.Aku masih ingat Mbak Nadira yang begitu sangat agresif, ia seperti orang lain. Mungkin akibat sudah lama di tinggal suaminya, ia sangat kesepian sehingga ia melampiaskan nafsunya padaku.Aku buru-buru mandi, mengenakan kemeja putih dan celana bahan, lalu berlari ke lift. Tidak pernah ada waktu untuk sarapan, bahkan ruangan ini cukup berantakan. Di dalam lift, aku bertemu Dini lagi, tetangga yang sama-sama membuatku gagal fokus.Dia berdiri dengan blazer biru tua yang ketat, memamerkan lekuk tubuhnya yang padat, dan rok pendek yang memperlihatkan paha mulusnya. Rambut pendeknya rapi, tapi riasan tebalnya memberi kesan jika itu memang gayanya.“Pagi, Mbak Dini,” sapaku, masuk ke lift dan berdiri di sisi lain.“Pagi, Mas Bima,” balas Dini, senyumnya lebar. Dia memandangku sekilas, lalu

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 4. Susu murni

    “Ini kopinya, Mas. Maaf ya agak lama,” ujar Nadira, tiba-tiba sudah berdiri di dekatku, memecah lamunanku.Dia menunduk untuk menaruh cangkir kopi di meja depanku, dan saat itu daster bagian depannya ikut turun, memperlihatkan belahan dada yang lembut di bawahnya. Aku menahan napas, berusaha keras untuk tidak menatap.“Eh? Mas Bima kenapa mukanya begitu?” tanya Nadira, suaranya kaget, tapi ada senyum kecil di wajahnya saat dia melihatku yang jelas-jelas tegang.“Hah? Oh… gak, Mbak. Kayaknya aku mulai ngantuk,” jawabku terbata, berusaha tenang. “Makasih kopinya, Mbak. Aku minum ya.”Nadira mengangguk, tersenyum, lalu sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Enak gak kopinya? Apa mau ditambah susu?” tanyanya, suaranya lembut tapi ada nada genit yang sulit kulewatkan.“Uhuk!” Aku terbatuk pelan, bukan cuma karena kopi yang masih panas, tapi juga karena ucapan Nadira yang bikin jantungku melompat. “Eh, kenapa, Mas?” Nadira panik, buru-buru mengambil tisu dan mengelap bibirku.Tangannya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status