Share

Bab 5. Mimpi Anu

last update Last Updated: 2025-08-06 16:42:47

“Anak gadun katanya hahaha.” Sontak Ardi tertawa lebih keras. “Gila sih, ini udah kayak sinetron yang suka ditonton ibu-ibu.”

Aku ikut tertawa, meski ada sedikit rasa aneh yang menggelitik di dadaku. Candaanku tadi tentang ibuku yang mungkin simpanan orang kaya terdengar terlalu konyol atau keterlaluan, tapi entah kenapa, ucapan itu terasa seperti menyentuh sesuatu yang tak diinginkan.

“Tapi nggak mungkin sih, bapak gue aja orang kampung sebelah. Dari gue bayi sampe dia meninggal pas gue kelas 2 SMA aja itu bapak sama ibu gue kayak orang kecintaan terus. Mana mungkin ibu gue jadi simpanan gadun,” kataku, masih sambil tersenyum, mencoba menepis pikiran itu.

Ardi mengangguk, tapi matanya masih menyipit nakal.

“Tapi, gimana kalau ternyata itu beneran?” tanyanya, nadanya setengah bercanda, setengah serius. Dia mencondongkan tubuh ke arahku, alisnya terangkat. “Maksud gue bukan soal ibu lo sama gadun, tapi soal lo anak konglomerat.”

“Dibilang bapak gue aja orang kampung sebelah. Dia cuma tukang kayu, mana mungkin konglomerat.” kataku sambil menatap Ardi dengan serius. 

Namun, Ardi seperti masih kekeh pada pemikirannya. “Eh bukan gitu, kalau ternyata ibu lo yang orang kaya, tapi mungkin diusir dari keluarganya, kan bisa aja.”

Aku terdiam, masih menatap Ardi dengan serius sambil mengernyitkan dahi. Tapi, aku langsung menggeleng cepat, tawa kecil keluar dari mulutku. “Ngaco lo. Ibu gue juga orang kampung situ, nggak ada cerita aneh-aneh.”

Namun, ketika Ardi ingin kembali bersuara, tiba-tiba seseorang lebih dulu bersuara.

“Pagi semua, nanti kita ada meeting setelah makan siang ya,” katanya dengan tegas.

Dia adalah Renata Fransiska, leader tim kami, sosok yang disegani. Wajahnya yang cantik tapi tegas, dengan rambut panjang hitam yang selalu tersisir rapi, membuatnya terlihat seperti wanita yang tak bisa diganggu. 

Hari ini, dia mengenakan blazer biru tua dan rok pensil yang memperlihatkan postur tubuhnya yang proporsional.

“Pagi, Mbak,” sapaku dan Ardi bersamaan.

Ardi buru-buru kembali ke mejanya, sementara aku juga langsung fokus pada layar komputer.

Tapi meski aku berusaha fokus pada pekerjaan, ucapan Ardi tadi seperti meninggalkan jejak di pikiranku.

Aku teringat tatapan ibuku yang selalu cemas setiap membahas orang kaya, seolah ada rahasia yang disimpan rapat-rapat. Tapi aku buru-buru mengusir pikiran itu.

‘Itu cuma candaan, Bim. Gak usah terlalu serius,’ gumamku dalam hati.

Kemudian aku langsung fokus pada pekerjaanku. Namun, lagi-lagi pikiranku tidak bisa fokus.

**

Sore menjelang malam, aku pulang ke apartemen dengan langkah lelah. Langit kota sudah jingga, dan suara klakson mobil mulai mereda.

Saat aku melangkah ke koridor lantai apartemenku, mataku tak sengaja melirik ke pintu unit Nadira.

Aku berhenti sejenak, menatap pintu itu lebih lama dari yang kuinginkan.

“Dia di apartemennya gak ya? Atau jangan-jangan dia lagi buat video baru?” pikirku bertanya-tanya.

Itu semua membuat jantungku berdegup lebih kencang, tapi aku buru-buru menggeleng dan masuk ke unitku sendiri.

“Bima, stop. Jangan mikirin dia mulu lah,” gumamku, menutup pintu dengan sedikit lebih keras dari biasanya.

Di dalam apartemen, aku mencoba mengalihkan perhatian dengan rutinitas biasa mandi, makan malam sederhana dari nasi dan telur goreng, lalu membuka laptop untuk memeriksa jadwal gym akhir pekan. Tapi saat aku berbaring di ranjang, pikiran tentang Nadira kembali menghantuiku. 

Aku teringat bagaimana liarnya dia di video-video miliknya, gerakannya yang penuh hasrat dan sangat agresif, tatapannya yang seolah menembus layar, dan suaranya yang lembut tapi menggoda.

Tanpa sadar, tanganku meraih ponsel, dan aku membuka situs itu lagi.  Aku mencari akun milik Nadira yang memiliki nama “NadySas”.

Aku ragu sejenak, tapi jari-jariku seolah punya kehendak sendiri. Aku klik salah satu videonya. Di layar, Nadira muncul dengan pakaian minim, duduk di sofa merah yang kini kukenali dengan baik.

Dia bergerak dengan penuh percaya diri, tangannya menyusuri tubuhnya sendiri, dan suaranya berbisik, “Ahh, kita senang-senang yuk malam ini …"

Aku menelan ludah, merasa darahku memanas. Tapi aku buru-buru mematikan ponsel, melemparkannya ke samping ranjang. 

“Lo ngapain sih, Bima?” kataku pada diri sendiri, frustrasi.

Aku tak boleh terjebak dalam ini. Dia tetanggaku, jangan sampai aku buat masalah di sini kalau terbawa nafsu. Tempat ini yang paling murah dan dekat dengan kantor, kalau aku harus pindah karena bermasalah di sini, uang dari mana lagi buat aku bayar sewa?

Aku memejamkan mata, mencoba tidur, tapi bayangan Nadira tak juga pergi.

Apa aku harus melampiaskan hasratku dulu, agar aku bisa tenang?

Namun, tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku, suara itu terdengar mesra dan manja.

"Mas Bima … Mas ..."

Aku sangat mengenali suara itu.

Itu Nadira!

Aku langsung menoleh ke arah pintu kamarku. Dan seketika aku terkejut melihat Nadira berdiri di sana.

Dia berdiri dengan tatapan sayu, mengenakan pakaian "dinas" yang benar-benar menggoda iman.

“Nadira … kok bisa masuk ke sini?” tanyaku terbata, sambil cepat-cepat bangkit dari ranjang.

Namun, tiba-tiba dia sudah duduk di tepi ranjangku, menggenggam tanganku, matanya penuh kehangatan, bukan penuh hasrat seperti biasanya.

“Mas Bima, gimana sih. Kan tadi kamu yang suruh aku ke sini, kamu yang kasih aku password pintu apartemen kamu juga," katanya, suaranya lembut seperti angin.

Aku membelalakkan mata terkejut. Seketika aku menarik tanganku dari genggamannya. “Aku? Mana mungkin aku bilang begitu!”

Aku memang benar-benar tidak mengatakan apapun padanya. Bertemu saja belum hari ini.

Nadira menggenggam tanganku lagi, kali ini sambil mengusap lembut. “Ah kamu pasti lupa ya?”

Nadira mendorong tubuhku pelan untuk mengubah posisi dudukku jadi tidur. Dorongan yang mendadak itu membuatku tidak bisa menahan tubuhku.

“Ayo tidur, tadi kan kamu bilang kamu gak bisa tidur, Mas. Makanya kamu suruh aku ke sini buat kelonin kamu,” katanya sambil mulai mengambil posisi tidur di sampingku, tubuhnya miring menatap ke arahku.

Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Tubuhku mendadak terasa kaku, pikiranku seperti kosong.

Sementara Nadira terus mengusap dadaku. Posisinya yang seperti itu membuatku bisa melihat jelas belahan dadanya yang mulus itu. Perlahan aku mengalihkan pandanganku ke wajah Nadira.

Dan tiba-tiba, dia menunduk sambil memejamkan matanya.

Dia mau menciumku?!

Refleks aku ikut memejamkan mata.

Namun tiba-tiba—

KRING!!

Suara jam weker membuatku membuka mata lagi. Aku tersentak dan langsung duduk di ranjang dengan napas tersengal. Cahaya pagi menyelinap melalui tirai, dan aku menggosok wajahku, masih bingung. 

“Hah? Gue mimpi?” gerutuku, jantungku masih berdegup kencang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 108. Perasaan berbeda

    Sabrina menoleh, tersenyum padaku. “Iya, Kak.”Aku dan Sabrina pergi ke belakang di lantai dua. Tempatnya bersebrangan dengan tempat gym yang sedang di pakai Bang Hadi dan kami menuju lantai dua. Ruang belakang itu adalah ruangan kosong yang luas, tetapi tidak beratap. Langit-langitnya terbuka, membiarkan udara segar dan sinar matahari masuk.Setelah berada di sana, kita duduk di dua kursi lipat yang kubawa dari dalam. Sabrina duduk di depanku.“Di sini tenang ya, Kak. Aku baru tahu ada tempat seperti ini,” kata Sabrina.“Iya, ini lantai paling atas. Aku biasa di sini kalau pas lagi bosan atau mau self-reflection,” kataku.“Memang tempatnya enak untuk menyendiri. Ayo, makan dulu, Kak!” kata Sabrina sambil membuka kantong plastik.Di dalamnya ada dua porsi ayam bakar dengan nasi merah dan sayuran segar. Menu yang sangat pas dah diet dan agar otot semakin tebal.“Ayo, Sab!” kataku antusias.Kami mulai makan siang. Ayam bakarnya sangat enak, bumbunya meresap sempurna, dipadukan dengan n

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 107. Adegan panas di gym

    “Wah, terima kasih banyak, Bang! Aku akan pilih hari Senin. Biasanya Senin itu paling sepi,” jawabku cepat. Libur seminggu sekali terasa mewah bagiku.Aku terharu. Bang Hadi memang sangat baik dan pengertian dalam hal pekerjaan, meskipun kekurangannya suka main perempuan. Kebaikan ini sungguh tak ternilai.“Bagus! Oh ya, mau nge-gym nih,” kata Bang Hadi, sambil melirik perempuan di sebelahnya. “Ini ada yang minta diajarin. Kamu yang handle ya, Bim. Dia tahu kamu dari Tok-Tok juga.”Perempuan itu hanya tersenyum tipis padaku. Senyumnya seperti menyembunyikan banyak rahasia. Aku pun hanya mengangguk dan membalas senyumannya.“Aku minta yang private ya, Mas Bima,” bisik perempuan itu dengan suara yang sengaja dilembutkan.Aku hanya bisa mengangguk, lalu berjanji akan mengaturnya setelah jam makan siang.Aku kembali ke meja kasir, menunggu kedatangan Sabrina yang akan nge-gym siang ini. Sambil menunggu, aku membuka ponsel. Ternyata ada beberapa pesan masuk, salah satunya dari Nadira dan s

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 106. Tawaran mendaki

    “Ingat, Guys, di gym ini kita utamakan teknik. Hasil mengikuti proses! Kalau mau konsultasi PT, langsung klik link di bio atau datang saja ke FitZone Elite! Tempatnya nyaman dan alatnya lengkap,” promosi gencar kulakukan.Saat aku sedang membetulkan posisi bahu Lia untuk cable row, tiba-tiba layar ponselku dibanjiri notifikasi gift. Mulai dari mawar, ciuman, hingga beberapa gift koin besar. Aku tidak menyadari banyak yang mengirim gift karena aku terlalu fokus pada sesi pelatihan.“Terima kasih banyak ya untuk gift-nya! Kalian memang luar biasa! Jangan lupa, follow juga tiga teman cantikku ini!” kataku.Aku yakin, followers-ku semakin bertambah, terutama dari followers ketiga wanita itu. Ketenaranku melonjak dengan cepat berkat gabungan antara konten mengenai olahraga dan promosi dari klien-klien yang genit. Penghasilanku hari ini, meskipun baru pagi, sudah melampaui gajiku sebagai drafter dulu.Tepat ketika aku selesai memberikan sesi pendinginan kepada Risa dan Maya, pintu gym terbu

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 105. Klien baru

    “Kalau begitu, aku titip pesan saja, Bang. Suruh dia hati-hati,” kataku akhirnya, mencoba mengendalikan emosi.Bang Didi hanya mengangguk dan tersenyum, tidak menyadari badai di hatiku.Aktivitas di tempat gym pagi ini lebih ramai dari biasanya. Banyak yang ingin memakai jasa trainer juga. Yang mengejutkan, mereka kebanyakan adalah para wanita.Saat aku berdiri di area dumbbell, seorang wanita muda menghampiriku.“Mas Bima, benar kamu yang ada di Tok-Tok, kan? Yang suka flexing sambil pakai oil?” tanyanya dengan mata berbinar.“Iya, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku profesional.“Aku mau jadi murid personal training kamu, Mas! Selain itu tubuhmu juga bagus banget, dan kamu ngajarinnya asyik!” serunya, lebih antusias pada sosokku di media sosial daripada pada fitness.Dia datang karena melihat Tok-Tok-ku, bukan karena rekomendasi Bang Hadi."Boleh Mbak, mau latihan perhari apa bulanan?" tanyaku."Mmm.. kalau perhari berapa dan bulanan berapa?" tangannya penasaran.Aku menjelaska

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 104. Kembali aktivitas

    Akhirnya aku tiba di depan gerbang apartemen. Gerbang besi itu sudah tertutup rapat, hanya diterangi oleh lampu neon yang berkedip-kedip di pos keamanan. Jam tanganku menunjukkan pukul 01.45 dini hari. Sudah pasti Pak Jamal tidur nyenyak, pikirku. Aku mengetuk pintu gerbang besi itu beberapa kali.Tak lama kemudian, pintu kecil di pos keamanan terbuka, dan tampak wajah Pak Jamal yang ternyata masih terjaga.“Mas Bima? Kirain siapa. Pantas saja dari tadi belum pulang,” katanya sambil membuka gembok gerbang dengan sedikit erangan.Aku merasa lega sekaligus bersalah karena mengganggu tidurnya. “Iya, Pak, maaf. Ketemu teman lama jadi sampai lupa waktu,” kataku, memberikan alasan klise.Aku pun masuk ke dalam, dan Pak Jamal kembali mengunci gembok itu.“Abis reunian ya, Mas? Memang jika ketemu teman lama itu bisa sampai lupa waktu. Apalagi sudah lama tidak bertemu, pasti banyak yang diceritakan,” kata Pak Jamal, tersenyum ramah.Aku hanya bisa membalas dengan senyum paksa. Reunian? Rasanya

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 103. Nafsu dan gairah

    "Bukannya kamu memang suka mentok dan liar? Aku goyang makin kenceng ya?" tawarku, jDi luar halaman belakangnya, ada sofa besar. Setelah aku telusuri di daerah ini cukup aman. Kontrakannya terletak di jalan sepi, jaraknya jauh dengan tetangga lain. Jadi pasti seru jika sekali-kali outdoor, entah kenapa rasa nafsuku lebih memuncak.Kemudian aku berjalan ke depan sana menuju sofa sambil menggendong Nadira, lalu aku baringkan di atas sofa. Aku buka kakinya lebar-lebar, aku gerakkan lagi pinggulku dengan keras. Aku mengatur nafasku dalam-dalam, gerakannya lebih pelan. Aku mendekap tubuhnya, menatap wajahnya dan mencium bibirnya."Mas, malam ini kamu berbeda. Kamu lebih bernafsu, bukan seperti biasanya lebih seperti marah, aku minta maaf telah memaksamu." katanya tiba-tiba.Aku sendiri baru sadar, mungkin karena aku memang kecewa atas sikapnya. Aku tahu dia kerja sebagai streamer OF, tapi tidak harus melayani banyak pria. Dia masih muda, tapi dia terlihat pasrah tidak ingin berusaha. Pada

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status