LOGIN“Biar cepet, Mas, saya lepas di sini aja soalnya saya biasa taruh cucian kotor di situ,” kata wanita itu seolah sama sekali tidak malu.
Dia melempar tanktop basahnya ke sebuah keranjang pakaian di sudut kamar mandi. Aku langsung menunduk dan pura-pura sibuk dengan kran air ini sambil menahan detak jantung yang tidak karuan dan ludah yang mendadak rasanya sangat sulit ditelan.
“Ah, Mas kayak gak pernah lihat dada perempuan aja,” katanya sambil sedikit tertawa, lalu berdiri dan meninggalkanku.
‘Gila ini cewek!’ batinku terkejut.
Sekilas aku melihat wanita itu yang berjalan ke kamarnya. Punggungnya tampak jelas, putih mulus, hanya tertutup kaitan bra tipis berwarna putih gading dengan model renda.
Aku menggelengkan kepalaku, lalu melirik sekilas ke arah Gatot yang rasanya seperti bangun lagi, tapi masih bisa ditahan. “Tahan, Bim. Dikit lagi selesai ini.”
Aku buru-buru fokus pada kran itu. Sampai akhirnya, aku dapat sesuatu yang menyumbat salurannya, yaitu segumpal tisu.
“Huh, akhirnya dapet,” gumamku lirih, lalu segera memasang dan merapikan kran itu lagi.
“Eh, Mas, udah selesai kah?” tanya wanita itu tiba-tiba dengan suara lembut.
Aku langsung menoleh ke arahnya. Seketika, aku membeku.
Kali ini, dia malah memakai daster dengan lengan tali tipis, dengan leher V. Dan yang pasti, dia tidak memakai bra!
Dia tiba-tiba menunduk di depanku, ingin melihat apa yang kulakukan. Tapi, itu justru membuat daster bagian depannya terbuka dan dadanya terlihat tepat di depan mataku!
Aku langsung membuang muka. Jantungku benar-benar berdetak tidak karuan. Ya Tuhan, wanita ini benar-benar menguji imanku!
“Oh, tisu ini yang nyumbat ya?” tanyanya sambil menunjuk segumpal tisu yang kutemukan tadi.
Aku mengangguk kaku. “I–iya itu, Mbak. Ini udah selesai, saya pamit langsung ya, Mbak.”
Setelah itu, aku buru-buru merapikan perkakasku lalu berdiri.
“Eh udah ya? Makasih banyak ya, Mas. Tapi gimana ya saya balas bantuan Mas-nya,” kata wanita itu dengan wajah sedikit bingung. Dia memainkan ujung dasternya hingga daster itu semakin tersingkap karena panjangnya hanya sepaha.
“Nggak perlu, Mbak. Cuma bantuan kecil aja kok,” jawabku sambil berusaha memalingkan wajah dan buru-buru keluar dari kamar mandi.
“Hmm, Mas baik banget deh. Makasih banyak loh atas bantuannya,” katanya sambil mengusap lenganku dengan lembut. “Ngomong-ngomong Mas namanya siapa ya? Sampai lupa gak kenalan.”
Aku berusaha menarik lenganku perlahan. “Saya Bima, Bima Permana. Mbak sendiri namanya siapa?"
“Saya Nadira Sasmita, bisa dipanggil Nadira,” jawabnya dengan senyuman. “Nanti kalau ada apa-apa, saya boleh minta bantuan Mas Bima lagi kan? Soalnya saya kan tinggal sendiri, gak ngerti masalah gituan.”
Aku mengangguk pelan sambil mencoba melangkah keluar kamar mandi. “B–boleh, Mbak.”
“Makasih ya, Mas Bima.” Nadira masih berusaha mengusap lembut tanganku, sambil menuntun untuk keluar kamar mandi. “Saya bener-bener gak tahu deh kalau gak ada Mas Bima harus minta tolong sama siapa.”
Aku tersenyum seadanya sambil berusaha menepis tangan Nadira. Detak jantungku benar-benar seperti orang yang baru saja lari maraton.
Tinggi Nadira hanya sekitar sebahuku. Menunduk sedikit, jelas aku bisa melihat dengan jelas buah dadanya yang tidak ditutupi bra itu.
‘Tahan, Bim, jangan sampai khilaf sama tetangga sendiri,’ batinku sambil sesekali menutup mata.
“Oh iya, Mas Bima kerja apa kalau boleh tahu?” tanyanya sambil menatapku, tentu saja tangannya masih mengusap lenganku.
Dan sekali lagi, aku berusaha menepis tangan Nadira sambil terus berjalan. “Saya drafter di kantor arsitek, Mbak, kalau weekend jadi trainer di gym.”
Nadira tampak berbinar. “Wah Mas Bima pekerja keras ya, pantes aja ini badannya bagus gini, ternyata trainer gym juga toh.”
“Hehe … iya, Mbak. Kalau Mbak sendiri kerjanya apa?” Sebisa mungkin, aku tetap berusaha tenang dan tidak melihat ke arah dada Nadira meskipun rasanya sangat sulit.
“Kalau saya sih cuma streamer aja,” katanya, lalu mencondongkan tubuhnya ke arahku dan sedikit berbisik, “Streamer di OF itu, Mas Bima pasti tahu lah.”
Deg!
Aku langsung menatap Nadira dengan terkejut.
‘Dia beneran cewek di video OF tadi?! Gila, kebetulan macam apa ini?’
“Ih, gak usah kaget gitu lah wajahnya, Mas,” kata Nadira sambil tersenyum dan memukul lembut dadaku.
Aku sedikit mundur dan menjaga jarak. Bagaimanapun juga, meskipun aku sudah tahu bahwa Nadira ini memang wanita yang ada di situ OF itu, aku tetap harus tahu batasan. Di sini, dia ini tetanggaku.
“I–iya, Mbak. Saya pernah denger soal itu,” jawabku mencoba biasa saja. Aku tidak mau juga kalau sampai ketahuan tadi baru saja menonton videonya.
“Denger soal OF apa soal saya di OF?” tanya Nadira dengan nada menggoda.
Aku tersenyum kaku. “Soal OF, Mbak.”
“Gak usah manggil Mbak ah, saya masih 26 tahun ini. Kayaknya malah Mas yang lebih tua dari saya.” Nadira tersenyum sambil memainkan tali dasternya yang ada menempel di pundaknya. “Oh iya, ini serius saya nggak perlu kasih imbalan apa-apa? Saya nggak enak banget loh.”
“Nggak apa-apa kok, Mbak,” jawabku berusaha santai.
Bagaimana tidak, dia masih terus memainkan tali dasternya itu, menariknya dan sesekali menurunkannya sampai membuat belahan dadanya terlihat sangat jelas. Lalu, tiba-tiba dia menatapku sambil menggigit bibir bawahnya sedikit.
“Oh gimana kalau imbalannya kita tidur bareng malam ini?” katanya tiba-tiba sambil menempelkan tubuhnya padaku.
Sabrina menoleh, tersenyum padaku. “Iya, Kak.”Aku dan Sabrina pergi ke belakang di lantai dua. Tempatnya bersebrangan dengan tempat gym yang sedang di pakai Bang Hadi dan kami menuju lantai dua. Ruang belakang itu adalah ruangan kosong yang luas, tetapi tidak beratap. Langit-langitnya terbuka, membiarkan udara segar dan sinar matahari masuk.Setelah berada di sana, kita duduk di dua kursi lipat yang kubawa dari dalam. Sabrina duduk di depanku.“Di sini tenang ya, Kak. Aku baru tahu ada tempat seperti ini,” kata Sabrina.“Iya, ini lantai paling atas. Aku biasa di sini kalau pas lagi bosan atau mau self-reflection,” kataku.“Memang tempatnya enak untuk menyendiri. Ayo, makan dulu, Kak!” kata Sabrina sambil membuka kantong plastik.Di dalamnya ada dua porsi ayam bakar dengan nasi merah dan sayuran segar. Menu yang sangat pas dah diet dan agar otot semakin tebal.“Ayo, Sab!” kataku antusias.Kami mulai makan siang. Ayam bakarnya sangat enak, bumbunya meresap sempurna, dipadukan dengan n
“Wah, terima kasih banyak, Bang! Aku akan pilih hari Senin. Biasanya Senin itu paling sepi,” jawabku cepat. Libur seminggu sekali terasa mewah bagiku.Aku terharu. Bang Hadi memang sangat baik dan pengertian dalam hal pekerjaan, meskipun kekurangannya suka main perempuan. Kebaikan ini sungguh tak ternilai.“Bagus! Oh ya, mau nge-gym nih,” kata Bang Hadi, sambil melirik perempuan di sebelahnya. “Ini ada yang minta diajarin. Kamu yang handle ya, Bim. Dia tahu kamu dari Tok-Tok juga.”Perempuan itu hanya tersenyum tipis padaku. Senyumnya seperti menyembunyikan banyak rahasia. Aku pun hanya mengangguk dan membalas senyumannya.“Aku minta yang private ya, Mas Bima,” bisik perempuan itu dengan suara yang sengaja dilembutkan.Aku hanya bisa mengangguk, lalu berjanji akan mengaturnya setelah jam makan siang.Aku kembali ke meja kasir, menunggu kedatangan Sabrina yang akan nge-gym siang ini. Sambil menunggu, aku membuka ponsel. Ternyata ada beberapa pesan masuk, salah satunya dari Nadira dan s
“Ingat, Guys, di gym ini kita utamakan teknik. Hasil mengikuti proses! Kalau mau konsultasi PT, langsung klik link di bio atau datang saja ke FitZone Elite! Tempatnya nyaman dan alatnya lengkap,” promosi gencar kulakukan.Saat aku sedang membetulkan posisi bahu Lia untuk cable row, tiba-tiba layar ponselku dibanjiri notifikasi gift. Mulai dari mawar, ciuman, hingga beberapa gift koin besar. Aku tidak menyadari banyak yang mengirim gift karena aku terlalu fokus pada sesi pelatihan.“Terima kasih banyak ya untuk gift-nya! Kalian memang luar biasa! Jangan lupa, follow juga tiga teman cantikku ini!” kataku.Aku yakin, followers-ku semakin bertambah, terutama dari followers ketiga wanita itu. Ketenaranku melonjak dengan cepat berkat gabungan antara konten mengenai olahraga dan promosi dari klien-klien yang genit. Penghasilanku hari ini, meskipun baru pagi, sudah melampaui gajiku sebagai drafter dulu.Tepat ketika aku selesai memberikan sesi pendinginan kepada Risa dan Maya, pintu gym terbu
“Kalau begitu, aku titip pesan saja, Bang. Suruh dia hati-hati,” kataku akhirnya, mencoba mengendalikan emosi.Bang Didi hanya mengangguk dan tersenyum, tidak menyadari badai di hatiku.Aktivitas di tempat gym pagi ini lebih ramai dari biasanya. Banyak yang ingin memakai jasa trainer juga. Yang mengejutkan, mereka kebanyakan adalah para wanita.Saat aku berdiri di area dumbbell, seorang wanita muda menghampiriku.“Mas Bima, benar kamu yang ada di Tok-Tok, kan? Yang suka flexing sambil pakai oil?” tanyanya dengan mata berbinar.“Iya, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku profesional.“Aku mau jadi murid personal training kamu, Mas! Selain itu tubuhmu juga bagus banget, dan kamu ngajarinnya asyik!” serunya, lebih antusias pada sosokku di media sosial daripada pada fitness.Dia datang karena melihat Tok-Tok-ku, bukan karena rekomendasi Bang Hadi."Boleh Mbak, mau latihan perhari apa bulanan?" tanyaku."Mmm.. kalau perhari berapa dan bulanan berapa?" tangannya penasaran.Aku menjelaska
Akhirnya aku tiba di depan gerbang apartemen. Gerbang besi itu sudah tertutup rapat, hanya diterangi oleh lampu neon yang berkedip-kedip di pos keamanan. Jam tanganku menunjukkan pukul 01.45 dini hari. Sudah pasti Pak Jamal tidur nyenyak, pikirku. Aku mengetuk pintu gerbang besi itu beberapa kali.Tak lama kemudian, pintu kecil di pos keamanan terbuka, dan tampak wajah Pak Jamal yang ternyata masih terjaga.“Mas Bima? Kirain siapa. Pantas saja dari tadi belum pulang,” katanya sambil membuka gembok gerbang dengan sedikit erangan.Aku merasa lega sekaligus bersalah karena mengganggu tidurnya. “Iya, Pak, maaf. Ketemu teman lama jadi sampai lupa waktu,” kataku, memberikan alasan klise.Aku pun masuk ke dalam, dan Pak Jamal kembali mengunci gembok itu.“Abis reunian ya, Mas? Memang jika ketemu teman lama itu bisa sampai lupa waktu. Apalagi sudah lama tidak bertemu, pasti banyak yang diceritakan,” kata Pak Jamal, tersenyum ramah.Aku hanya bisa membalas dengan senyum paksa. Reunian? Rasanya
"Bukannya kamu memang suka mentok dan liar? Aku goyang makin kenceng ya?" tawarku, jDi luar halaman belakangnya, ada sofa besar. Setelah aku telusuri di daerah ini cukup aman. Kontrakannya terletak di jalan sepi, jaraknya jauh dengan tetangga lain. Jadi pasti seru jika sekali-kali outdoor, entah kenapa rasa nafsuku lebih memuncak.Kemudian aku berjalan ke depan sana menuju sofa sambil menggendong Nadira, lalu aku baringkan di atas sofa. Aku buka kakinya lebar-lebar, aku gerakkan lagi pinggulku dengan keras. Aku mengatur nafasku dalam-dalam, gerakannya lebih pelan. Aku mendekap tubuhnya, menatap wajahnya dan mencium bibirnya."Mas, malam ini kamu berbeda. Kamu lebih bernafsu, bukan seperti biasanya lebih seperti marah, aku minta maaf telah memaksamu." katanya tiba-tiba.Aku sendiri baru sadar, mungkin karena aku memang kecewa atas sikapnya. Aku tahu dia kerja sebagai streamer OF, tapi tidak harus melayani banyak pria. Dia masih muda, tapi dia terlihat pasrah tidak ingin berusaha. Pada







