แชร์

Bab 3. Imbalan Setimpal?

ผู้เขียน: Galaxybimasakti
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-08-06 16:24:44

“Biar cepet, Mas, saya lepas di sini aja soalnya saya biasa taruh cucian kotor di situ,” kata wanita itu seolah sama sekali tidak malu.

Dia melempar tanktop basahnya ke sebuah keranjang pakaian di sudut kamar mandi. Aku langsung menunduk dan pura-pura sibuk dengan kran air ini sambil menahan detak jantung yang tidak karuan dan ludah yang mendadak rasanya sangat sulit ditelan.

“Ah, Mas kayak gak pernah lihat dada perempuan aja,” katanya sambil sedikit tertawa, lalu berdiri dan meninggalkanku.

‘Gila ini cewek!’ batinku terkejut.

Sekilas aku melihat wanita itu yang berjalan ke kamarnya. Punggungnya tampak jelas, putih mulus, hanya tertutup kaitan bra tipis berwarna putih gading dengan model renda.

Aku menggelengkan kepalaku, lalu melirik sekilas ke arah Gatot yang rasanya seperti bangun lagi, tapi masih bisa ditahan. “Tahan, Bim. Dikit lagi selesai ini.”

Aku buru-buru fokus pada kran itu. Sampai akhirnya, aku dapat sesuatu yang menyumbat salurannya, yaitu segumpal tisu.

“Huh, akhirnya dapet,” gumamku lirih, lalu segera memasang dan merapikan kran itu lagi.

“Eh, Mas, udah selesai kah?” tanya wanita itu tiba-tiba dengan suara lembut.

Aku langsung menoleh ke arahnya. Seketika, aku membeku.

Kali ini, dia malah memakai daster dengan lengan tali tipis, dengan leher V. Dan yang pasti, dia tidak memakai bra!

Dia tiba-tiba menunduk di depanku, ingin melihat apa yang kulakukan. Tapi, itu justru membuat daster bagian depannya terbuka dan dadanya terlihat tepat di depan mataku!

Aku langsung membuang muka. Jantungku benar-benar berdetak tidak karuan. Ya Tuhan, wanita ini benar-benar menguji imanku!

“Oh, tisu ini yang nyumbat ya?” tanyanya sambil menunjuk segumpal tisu yang kutemukan tadi.

Aku mengangguk kaku. “I–iya itu, Mbak. Ini udah selesai, saya pamit langsung ya, Mbak.”

Setelah itu, aku buru-buru merapikan perkakasku lalu berdiri.

“Eh udah ya? Makasih banyak ya, Mas. Tapi gimana ya saya balas bantuan Mas-nya,” kata wanita itu dengan wajah sedikit bingung. Dia memainkan ujung dasternya hingga daster itu semakin tersingkap karena panjangnya hanya sepaha.

“Nggak perlu, Mbak. Cuma bantuan kecil aja kok,” jawabku sambil berusaha memalingkan wajah dan buru-buru keluar dari kamar mandi.

“Hmm, Mas baik banget deh. Makasih banyak loh atas bantuannya,” katanya sambil mengusap lenganku dengan lembut. “Ngomong-ngomong Mas namanya siapa ya? Sampai lupa gak kenalan.”

Aku berusaha menarik lenganku perlahan. “Saya Bima, Bima Permana. Mbak sendiri namanya siapa?"

“Saya Nadira Sasmita, bisa dipanggil Nadira,” jawabnya dengan senyuman. “Nanti kalau ada apa-apa, saya boleh minta bantuan Mas Bima lagi kan? Soalnya saya kan tinggal sendiri, gak ngerti masalah gituan.”

Aku mengangguk pelan sambil mencoba melangkah keluar kamar mandi. “B–boleh, Mbak.”

“Makasih ya, Mas Bima.” Nadira masih berusaha mengusap lembut tanganku, sambil menuntun untuk keluar kamar mandi. “Saya bener-bener gak tahu deh kalau gak ada Mas Bima harus minta tolong sama siapa.”

Aku tersenyum seadanya sambil berusaha menepis tangan Nadira. Detak jantungku benar-benar seperti orang yang baru saja lari maraton.

Tinggi Nadira hanya sekitar sebahuku. Menunduk sedikit, jelas aku bisa melihat dengan jelas buah dadanya yang tidak ditutupi bra itu.

‘Tahan, Bim, jangan sampai khilaf sama tetangga sendiri,’ batinku sambil sesekali menutup mata.

“Oh iya, Mas Bima kerja apa kalau boleh tahu?” tanyanya sambil menatapku, tentu saja tangannya masih mengusap lenganku.

Dan sekali lagi, aku berusaha menepis tangan Nadira sambil terus berjalan. “Saya drafter di kantor arsitek, Mbak, kalau weekend jadi trainer di gym.”

Nadira tampak berbinar. “Wah Mas Bima pekerja keras ya, pantes aja ini badannya bagus gini, ternyata trainer gym juga toh.”

“Hehe … iya, Mbak. Kalau Mbak sendiri kerjanya apa?” Sebisa mungkin, aku tetap berusaha tenang dan tidak melihat ke arah dada Nadira meskipun rasanya sangat sulit.

“Kalau saya sih cuma streamer aja,” katanya, lalu mencondongkan tubuhnya ke arahku dan sedikit berbisik, “Streamer di OF itu, Mas Bima pasti tahu lah.”

Deg!

Aku langsung menatap Nadira dengan terkejut.

‘Dia beneran cewek di video OF tadi?! Gila, kebetulan macam apa ini?’

“Ih, gak usah kaget gitu lah wajahnya, Mas,” kata Nadira sambil tersenyum dan memukul lembut dadaku.

Aku sedikit mundur dan menjaga jarak. Bagaimanapun juga, meskipun aku sudah tahu bahwa Nadira ini memang wanita yang ada di situ OF itu, aku tetap harus tahu batasan. Di sini, dia ini tetanggaku.

“I–iya, Mbak. Saya pernah denger soal itu,” jawabku mencoba biasa saja. Aku tidak mau juga kalau sampai ketahuan tadi baru saja menonton videonya.

“Denger soal OF apa soal saya di OF?” tanya Nadira dengan nada menggoda.

Aku tersenyum kaku. “Soal OF, Mbak.”

“Gak usah manggil Mbak ah, saya masih 26 tahun ini. Kayaknya malah Mas yang lebih tua dari saya.” Nadira tersenyum sambil memainkan tali dasternya yang ada menempel di pundaknya. “Oh iya, ini serius saya nggak perlu kasih imbalan apa-apa? Saya nggak enak banget loh.”

“Nggak apa-apa kok, Mbak,” jawabku berusaha santai.

Bagaimana tidak, dia masih terus memainkan tali dasternya itu, menariknya dan sesekali menurunkannya sampai membuat belahan dadanya terlihat sangat jelas. Lalu, tiba-tiba dia menatapku sambil menggigit bibir bawahnya sedikit.

“Oh gimana kalau imbalannya kita tidur bareng malam ini?” katanya tiba-tiba sambil menempelkan tubuhnya padaku.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 51. Handuk Mbak Dini

    Tiba di apartemen, aku langsung mandi karena sudah hampir pukul tujuh malam. Air dingin menyegarkan tubuhku, tapi pikiranku masih tidak menentu. Aku ingin lepas dari ikatan Mbak Dini, tapi entah bagaimana caranya. Aku semakin malas setiap pulang dari kantor harus menemaninya.Awalnya, aku bersemangat merasa senang punya pekerjaan sampingan untuk mengirim uang lebih banyak ke Ibu. Tapi setelah tahu niat liciknya, aku merasa tertipu, seperti boneka di tangannya.Setelah mandi, aku bersiap menuju salon Mbak Dini seperti yang dia bilang tadi. Aku memesan ojek online karena taksi terlalu mahal untukku. Hingga tak berapa lama, ojek onlinenya datang akupun menuju salonnya Mbak Dini.Tak berapa lama, aku sampai di salonnya yang megah, dengan lampu-lampu terang dan dekorasi mewah. Saat hendak masuk, security di pintu sepertinya sudah mengenalku.“Mas Bima, ya? Sudah ditunggu Bu Dini di dalam,” katanya, tersenyum ramah.“Oh, iya, Pak. Terima kasih,” jawabku, mengangguk.Aku melangkah masuk, tap

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 50. Tertarik live streaming

    Aku lupa, besok Mbak Vania memintaku untuk melatihnya di gym. Nadira juga bilang akan ikut gym lagi. Jadi, besok aku harus melatih mereka berdua. Pikiranku langsung sibuk membayangkan bagaimana caranya mengatur waktu dan menjaga situasi agar tidak canggung, apalagi dengan Nadira.Saat sedang merevisi desain proyek di kantor, pikiranku melayang ke jalan hidupku. Selama ini, aku terlalu sibuk dengan urusan orang lain, Nadira yang ingin lepas dari ikatan Pak Purnomo, dan Mbak Dini dengan teror misteriusnya.Padahal, aku sendiri punya banyak masalah. Memang membantu orang lain itu pahalanya besar, tapi aku juga harus memikirkan keluargaku terlebih dahulu yaitu Ibu dan Alisa di kampung.Sebentar lagi, aku, Mbak Renata, Bu Sarah, dan Mbak Vania akan ditugaskan ke luar kota untuk proyek. Tapi entah kenapa, semangatku justru semakin meredup. Hari ini, kantor berjalan seperti biasa, tapi hidupku terasa monoton. Tidak ada yang membuatku bersemangat.Saat jam makan siang tiba, aku mengajak Ardi

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 49. Perekam video

    Aku mengerutkan kening, tidak mengerti maksudnya. Tapi kemudian, dia melanjutkan, “Nanti tinggal diedit, bagian mukaku di-blur, cuma si Nadira aja yang kelihatan.”Kini aku paham. Kemarahan membuncah di dadaku. Aku mengepalkan tangan, ingin langsung menghajarnya. Begitu dia menutup telepon, aku melayangkan tinju ke perutnya. Dia mengaduh kesakitan, memegang perutnya.“Woi, lu apa-apaan?!” bentaknya, wajahnya memerah.“Lu apain Nadira, hah?” sergahku, mencengkeram kedua tangannya ke belakang hingga dia meringis.Pintu lift terbuka di lantai dasar, tapi aku buru-buru menekan tombol untuk naik lagi, lalu turun, agar tidak ada orang lain yang masuk.“Jangan bohong, lu! Gua denger tadi apa yang lu bilang. Lu merekam Nadira, kan? Videonya mau lu jual buat kepentingan lu? Cepat hapus videonya!” ancamku.“Lu salah denger, mungkin!” elaknya, suaranya gemetar.“Lu kira gue tuli? Cepat hapus, atau tangan lu gue patahin!” kataku, mempererat cengkeramanku.“Iya, iya, gue hapus! Tapi lepasin dulu,

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 48. Pria asing di unitnya Nadira

    “Udah, Mbak. Sekali lagi, terima kasih,” jawabku tulus.Tak lama, ada balasan dari Alisa. [Makasih banyak, Aa. Ini sekarang juga aku ke konternya Teh Dewi.]Aku tersenyum, tapi di dalam hati, ada rasa sedih yang menggerogoti. Sekeras apa pun aku bekerja, aku belum bisa membuat keluargaku bahagia. Gajiku selalu habis untuk kebutuhan, dan hasilnya tetap begini.Tiba-tiba, ketukan keras di pintu memecah suasana. Kami berdua terkejut. Mbak Dini buru-buru berdiri dan membuka pintu, tapi tidak ada siapa-siapa di luar.Aku ikut melongok, dan di lantai, di depan pintu, ada kotak kecil.Mbak Dini mengambilnya, membukanya dengan hati-hati, lalu tiba-tiba menjerit, “Aaaaaah!” Kotak itu refleks dia lempar.Isinya bangkai cicak, tapi ada selembar kertas di dalamnya. Aku memungut kertas itu, dan di sana tertulis, 'Dini, kau tidak akan pernah bisa menghindar sebelum kamu mengabulkan keinginanku.'Aku menatap Mbak Dini, jantungku berdegup kencang. “Siapa yang ngirim ini?”Mbak Dini membaca kertas it

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 47. Apa harus percaya?

    Mbak Dini masuk kembali ke ruang tamu, membawa nampan berisi secangkir kopi dan tiga toples berisi camilan. Dia sudah berganti pakaian, kini mengenakan piyama pink yang sangat tipis dan mini. Bagian dadanya terlihat jelas, dan panjang bajunya hanya menutupi setengah pahanya. Aku berusaha menahan pandangan, merasa canggung sekaligus curiga.“Nih, diminum dulu,” katanya, meletakkan cangkir kopi di depanku. “Tenang aja, gak dikasih obat perangsang, kok.”Aku memandang cangkir itu dengan ragu. “Apa Mbak bisa jamin kalau minumannya gak pake obat perangsang?” tanyaku, nada suaraku penuh kecurigaan.Mbak Dini tersenyum kecil, seolah menganggapku berlebihan. “Kamu masih ragu? Tunggu sebentar.”Dia berbalik ke dapur, dan tak lama kemudian kembali dengan cangkir kopi lain. “Ini, aku buat satu lagi. Biar kopi itu aku minum,” katanya, meletakkan cangkir barunya di meja.Tapi aku masih tidak yakin. Bagaimana kalau kopi yang dia bawa itu yang mengandung obat? “Mbak minum aja kopi yang Mbak bawa tad

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 46. Godaan dan ujian

    “Tahu gak, kamu pria pertama yang menurutku paling seksi dan perkasa,” ujar Nadira dengan nada manja, matanya menatapku penuh godaan. Tangannya membelai dadaku, lalu naik perlahan ke daguku, membuatku semakin gelisah.Aku menelan ludah, berusaha tetap tenang. “Sebaiknya kamu kembali ke unitmu, Nad. Aku mau mandi dulu, sebentar lagi ke unitnya Mbak Dini.”Tapi Nadira justru tidak bergerak dari pangkuanku. Dia malah mendekat, membuatku semakin gerah. “Kamu kalau keringetan gini makin seksi,” katanya, tersenyum nakal. “Nanti weekend ajarin aku gym lagi, ya?”“Iya, iya, tapi aku mau mandi dulu. Nanti telat,” jawabku cepat, berusaha mengalihkan situasi.Akhirnya, Nadira turun dari pangkuanku. Aku menghela napas lega dan buru-buru berdiri. Tapi, sial, “si Gatot” malah bereaksi, membuatku panik karena begitu terlihat jelas seperti tenda. Aku langsung menutupinya dengan tangan, wajahku memanas. Nadira tertawa kecil, matanya berbinar penuh ejekan.“Tanggung banget, padahal aku bisa bantuin bia

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status