Share

Bab 3. Pikiran jorok

last update Last Updated: 2025-08-06 16:24:44

Sialnya, padahal sedang buru-buru, tapi pikiranku tertuju pada buah dadanya Mbak Dini, seperti sengaja menyapa pagi ini dengan dua botol susu.

Namun, aku tak mau begitu memikirkannya dan langsung menuju halte bus agak berlari, sebelum bus ke kantor pergi. Aku sudah terbiasa lari-lari seperti ini, anggap saja pemanasan agar pikiran kotorku hilang.

Untungnya, aku sampai di kantor tepat waktu, meskipun sedikit ngos-ngosan. Kantor tempatku bekerja bukanlah gedung megah seperti kantor pada umumnya.

Hanya ruangan sederhana di lantai tiga gedung tua di kawasan Senen. Meja-meja penuh kertas sketsa, monitor komputer yang sudah agak buram, dan aroma kopi instan yang selalu menguar dari pantry kecil di sudut. Aku suka suasana ini, sederhana tapi hidup, meski kadang bikin sesak kalau semua orang buru-buru ngejar deadline.

Aku duduk di mejaku, menyalakan komputer, dan mulai memeriksa email. Beberapa draft proyek baru sudah masuk, kebanyakan revisi kecil dari klien yang gak pernah puas.

Aku membuka software desain, mulai menggambar ulang denah rumah yang diminta diperbarui kemarin. Pekerjaan rutin, tapi aku menikmatinya.

“Pagi, Bima,” suara tegas menyapaku dari belakang.

Aku menoleh, mendapati seorang wanita berdiri dengan map di tangan. Renata, leader timku. Aku baru kenal dia beberapa bulan ini, sejak dia naik jadi kepala tim arsitektur.

Wajahnya cantik tapi orangnya agak kaku, dengan rambut panjang hitam yang diikat rapi dan kemeja putih yang selalu terlihat licin disetrika. Dia punya aura berwibawa, tapi dingin, seolah selalu menjaga jarak. Orang-orang di kantor mengatakan dia anak orang kaya, tapi aku gak terlalu peduli tentang gosip.

“Pagi, Mbak Renata,” jawabku sambil tersenyum ramah. “Ada revisi baru?”

Renata mengangguk tipis, meletakkan map di mejaku. “Iya, klien minta kolom di lantai dua diperbesar. Katanya biar lebih kokoh. Bisa selesai sebelum sore?”

“Bisa, Mbak,” jawabku tanpa ragu, sudah membuka file proyek di komputernya.

“Makasih, Bima,” katanya singkat, lalu berbalik pergi tanpa banyak kata. Aku cuma mengangguk, sudah terbiasa dengan gaya Renata yang to the point.

Hari itu berjalan seperti biasa. Aku menghabiskan pagi menggambar denah, sesekali ngobrol ringan dengan teman-teman kantor tentang proyek atau bercanda dengan mereka agar lebih santai.

Jam makan siang, aku membeli nasi uduk di warung dekat kantor, makan sambil scroll ponsel. Pikiranku sempat melayang pada mimpi semalam, gara-gara daster basah itu membuatku bangun kesiangan. Tapi semakin aku lupakan, justru pikiranku terus memikirkan mereka dengan buah dadanya yang sama-sama montok.

Aku menggeleng cepat, mencoba fokus makan

“Jangan mikirin jorok mulu, Bim,” gumamku pada diri sendiri.

Sore harinya, aku pulang ke apartemen dengan agak parno. Takutnya nanti berpapasan lagi dengan mereka. Walaupun dalam hatiku, aku merasa senang karena bisa cuci mata menghilangkan rasa lelah setelah seharian bekerja.

Aku menghela napas, mencoba menepis pikiran itu. Mungkin karena efek jomblo, hidup sendirian tanpa belaian seorang wanita.

**

Pukul setengah delapan malam, aku selesai makan malam di apartemenku. Piring sudah kucuci, dan sekarang aku duduk di depan televisi, meskipun cuma menyetel acara yang gak terlalu kuperhatikan. 

Tok! Tok!

Ketukan di pintu membuatku terkejut. Aku bangkit, sedikit bingung siapa yang datang malam-malam begini. Begitu pintu kubuka, Nadira berdiri di depanku, wajahnya sedikit canggung tapi tersenyum.

“Mas Bima, maaf aku balik lagi,” katanya cepat. “Ini aku udah beli kran yang baru, masangnya gimana ya?”

Malam ini, Nadira tidak memakai daster longgar yang basah seperti kemarin. Dia mengenakan daster ketat yang membingkai tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk pinggang dan dada yang… ya Tuhan, sulit untuk tidak diperhatikan.

Rambut hitam panjangnya dibiarkan tergerai, wajahnya polos tanpa riasan, tapi bibirnya tetap merah alami, seolah selalu basah.

Aku buru-buru mengalihkan pandangan, berusaha fokus ke wajahnya. “Oh, iya, Mbak. Biar aku bantu. Sebentar ya, aku ambil peralatannya dulu”

Aku mengambil kotak perkakas dari sudut ruangan, lalu mengikuti Nadira ke unitnya. Apartemennya masih sama rapi, wangi bunga samar dari pengharum ruangan, tapi malam ini terasa lebih hangat, mungkin karena lampu yang sedikit redup.

Nadira mengantarku ke kamar mandi, tersenyum kecil.

“Kali ini aku sudah tutup saluran utamanya, Mas. Jadi gak akan nyemprot lagi kayak kemarin,” candanya, suaranya ringan.

Aku terkekeh, merasa suasana lebih santai dibandingkan malam sebelumnya. “Bagus, Mbak. Aku gak mau basah kuyup lagi,” balasku sambil membuka kotak perkakas.

Nadira berdiri di dekat pintu kamar mandi, memandangku yang sedang bekerja. Sesekali dia memainkan ujung rambutnya, gerakannya kecil tapi seolah sengaja menarik perhatian.

“Untung aku punya tetangga kayak Mas Bima, ya,” katanya, suaranya genit. “Kalau nggak, aku bakal kesusahan.”

Aku tersenyum kikuk, fokus pada kran. “Ah, biasa aja, Mbak. Cuma suka bantu-bantu.”

Nadira mendekat selangkah, bersandar di kusen pintu.

“Beneran, Mas. Orang kayak Mas Bima ini langka, lho. Baik, ramah, penolong…” Dia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Ganteng, dan badannya juga bagus.”

Aku nyaris menjatuhkan obeng, tidak menduga Nadira akan mengatakan itu. “Mbak bisa aja,” gumamku, berusaha tetap santai meskipun jantungku mulai berdegup kencang.

“Mas Bima kerjanya apa sih? Kayaknya jarang kelihatan di sini, pasti sibuk ya?” tanya Nadira tiba-tiba.

“Aku drafter di kantor arsitektur, Mbak. Kadang weekend juga kerja di gym, jadi trainer,” jawabku apa adanya, masih fokus memasang kran.

“Wah, sibuk banget ya. Tapi hebat, masih mau bantuin aku begini. Kalau suamiku sih pasti gak mau, nanti ya pasti nyuruh cari tukang,” ujar Nadira, nadanya mendadak pasrah.

“Mungkin lagi capek, Mbak,” kataku, berusaha netral. “Mungkin pengen istirahat kan baru pulang dari pelayaran.”

Nadira menghela nafas panjang, sebelum menjawabnya. “Memang sifatnya seperti itu, andai saja suamiku seperti, Mas….”

Suasana semakin membuatku canggung, apalagi melihat gerakan tubuhnya yang membuat jantungku berdetak kencang.

Tak lama, kran selesai dipasang, dan air mengalir normal. Nadira bertepuk tangan kecil, senyumnya lebar. “Wah, hebat! Makasih banyak, Mas Bima. Aku beneran tertolong.”

“Gak apa-apa, Mbak, santai aja,” jawabku, mengemas peralatanku. Aku berdiri, siap pamit, tapi Nadira menahanku.

“Eh, bentar, Mas. Aku buatin kopi ya. Mas Bima tunggu di sofa dulu,” katanya, menunjuk sofa di ruang tengah.

Aku menggeleng, merasa tidak enak. “Eh, gak usah repot-repot, Mbak.”

“Nggak repot kok, Mas. Itung-itung ucapan terima kasih.” Nadira tersenyum manis. “Duduk aja dulu, itu ada biskuit, makan aja gak apa-apa.”

Aku akhirnya menurut, duduk di sofa sementara Nadira menyiapkan kopi di dapur kecil yang masih terlihat dari tempatku duduk. Tapi tiba-tiba, pandanganku membeku.

Nadira membungkuk untuk mengambil kain lap yang jatuh, dan daster ketatnya yang panjangnya di atas lutut terangkat, memperlihatkan paha putihnya yang mulus. Bentuk tubuhnya tercetak jelas, dan aku bisa merasakan darahku berdesir.

Aku buru-buru mengalihkan pandangan, menelan ludah.

“Fokus, Bim,” bisikku dalam hati. Aku gak boleh mikirin yang aneh-aneh. Dia istri orang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 9. Preman meresahkan

    “Sama-sama, Mbak,” jawabku pelan, suaraku hampir tenggelam oleh keheningan malam.Aku masih mengatur nafasku yang tersengal-sengal, aku sadar yang aku lakukan ini salah tapi semuanya terjadi begitu saja.Nadira bersandar di dadaku, tubuhnya hangat di bawah selimut tipis. Aku ingin menarik diri, tapi matanya yang berkaca-kaca dan suaranya yang rapuh membuatku ragu. Kita berdua tidur tanpa memakai sehelai benangpun, di bawah selimut tipis Akhirnya, kelelahan menyerangku aku merasa sangat lelah dan mengantuk. Kami tertidur pulas di sofa, dalam posisi canggung yang entah bagaimana terasa… nyaman.Satu jam kemudian, suara benda jatuh membuyarkan mimpiku. Aku membuka mata, masih setengah sadar, dan melihat Nadira duduk di kursi dekat meja makan, wajahnya pucat. Sebuah kaleng susu tergeletak di lantai, sepertinya dia tak sengaja menjatuhkannya. Dia menoleh padaku, matanya penuh rasa bersalah.“Maaf, aku membangunkanmu. Maaf sudah merepotkanmu… dan lagi-lagi aku…” suaranya lirih, hampir putu

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 8. Desahan di malam hari

    Aku mainkan lidahku menari-nari di pentil buah dadanya, ia menggeliat dan terus meracau."Ahh, terus Bima enak sekali. Kamu memang sangat pintar dalam urusan kenyot mengenyot, puaskan aku, berikan aku kenikmatan." racaunya, matanya tetap terpejam, tubuhmu lemas.Aku tidak berhenti mengenyot buah dadanya, sesekali aku gigit kecil hingga meninggalkan bekas merah. Akan aku lukis buah dadanya dengan maha karyaku. Sampai leher dan buah dadanya banyak noda merah.Lalu aku membuka rok nya, hingga dalam sekejap sudah tidak ada lagi yang menutupi tubuhnya. Aku memperhatikan tubuhnya yang begitu seksi, wajahnya yang cantik, kulitnya putih mulus, buah dadanya besar, pinggangnya yang ramping dan bokongnya yang bahenol.Laki-laki mana yang tidak akan tergoda dengan wanita cantik seperti Nadira. Tepat di depan matanya, terbaring seorang perempuan tanpa busana yang membuat aliran darahku mengalir lebih cepat. Aku merasa kurang nyaman jika kita bergulat di atas sofa, kurang leluasa jika kita berdua

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 7. Hasrat tak terbendung

    Aku menelan ludah, jantungku berdetak kencang. Aku melirik ke arah pintu unit Nadira, tapi aku baru sadar jika aku tidak tahu kata sandinya untuk masuk. “Sial, sekarang gimana?” gumamku panik. Setelah berpikir sejenak, aku menghela napas dan memutuskan untuk membawa Nadira ke unitku sendiri. Tidak mungkin jika aku membiarkannya tergeletak di koridor. Dengan hati-hati, aku menggendong Nadira. Badannya terasa berat, sebenarnya aku tidak ingin menyentuhnya lagi setelah kejadian malam itu, tapi sekarang situasinya darurat. Aku melangkah cepat ke unit apartemenku, membuka pintu dengan susah payah, lalu membaringkan Nadira di sofa. Napas Nadira tak beraturan meski pelan, wajahnya pucat. Aku menatapnya sejenak, masih belum percaya wanita ini kini terbaring di ruang tamuku. Karena sebelumnya, aku bahkan tidak pernah membawa wanita masuk ke apartemenku. Apartemenku kecil, satu kamar tidur, sofa lama, dan meja makan yang nyaris tak pernah kupakai. Mantan pacarku dulu bahkan menolak masu

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 6. Banyak bersyukur

    “Ada nasi di bibirmu, Bim,” kata Mbak Renata, suaranya pelan tapi jelas. Aku membuka mata, wajahku langsung panas. Astaga, aku kira apa! Semenjak putus dengan pacarku, pikiranku jadi kotor, selalu ke arah yang aneh-aneh dan mudah sekali terangsang. “Terima kasih, Mbak,” gumamku, berusaha menutupi rasa malu. Kalau saja disini ada lubang, rasanya aku ingin bersembunyi di sana saking malunya. Mbak Renata tersenyum tipis, lalu memanggil pelayan untuk membayar makanan. Kami berjalan kembali ke kantor, dan aku berusaha fokus ke trotoar di depanku, menghindari tatapan Mbak Renata yang sesekali melirikku. Di kantor, aku kembali ke mejaku, melanjutkan revisi denah yang hampir selesai. Hingga tidak terasa, sebentar lagi tiba waktunya pulang. Pak Hadi, manajer kami, belum pulang masih di ruangannya. Dia orang yang tegas, selalu buru-buru, dan maunya semua beres cepat. Orang bilang dia perfeksionis. Aku fokus ke layar komputer, mencoba melupakan momen canggung tadi di restoran. Lalu Mbak Ren

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 5. Insiden pagi hari

    Pagi harinya, aku bangun dengan kepala sedikit pusing. Mungkin karena tidurku cuma sebentar, pikiranku penuh dengan bayangan semalam. Aku berharap itu hanya mimpi, aku sudah melakukan kesalahan yang besar.Aku masih ingat Mbak Nadira yang begitu sangat agresif, ia seperti orang lain. Mungkin akibat sudah lama di tinggal suaminya, ia sangat kesepian sehingga ia melampiaskan nafsunya padaku.Aku buru-buru mandi, mengenakan kemeja putih dan celana bahan, lalu berlari ke lift. Tidak pernah ada waktu untuk sarapan, bahkan ruangan ini cukup berantakan. Di dalam lift, aku bertemu Dini lagi, tetangga yang sama-sama membuatku gagal fokus.Dia berdiri dengan blazer biru tua yang ketat, memamerkan lekuk tubuhnya yang padat, dan rok pendek yang memperlihatkan paha mulusnya. Rambut pendeknya rapi, tapi riasan tebalnya memberi kesan jika itu memang gayanya.“Pagi, Mbak Dini,” sapaku, masuk ke lift dan berdiri di sisi lain.“Pagi, Mas Bima,” balas Dini, senyumnya lebar. Dia memandangku sekilas, lalu

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 4. Susu murni

    “Ini kopinya, Mas. Maaf ya agak lama,” ujar Nadira, tiba-tiba sudah berdiri di dekatku, memecah lamunanku.Dia menunduk untuk menaruh cangkir kopi di meja depanku, dan saat itu daster bagian depannya ikut turun, memperlihatkan belahan dada yang lembut di bawahnya. Aku menahan napas, berusaha keras untuk tidak menatap.“Eh? Mas Bima kenapa mukanya begitu?” tanya Nadira, suaranya kaget, tapi ada senyum kecil di wajahnya saat dia melihatku yang jelas-jelas tegang.“Hah? Oh… gak, Mbak. Kayaknya aku mulai ngantuk,” jawabku terbata, berusaha tenang. “Makasih kopinya, Mbak. Aku minum ya.”Nadira mengangguk, tersenyum, lalu sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Enak gak kopinya? Apa mau ditambah susu?” tanyanya, suaranya lembut tapi ada nada genit yang sulit kulewatkan.“Uhuk!” Aku terbatuk pelan, bukan cuma karena kopi yang masih panas, tapi juga karena ucapan Nadira yang bikin jantungku melompat. “Eh, kenapa, Mas?” Nadira panik, buru-buru mengambil tisu dan mengelap bibirku.Tangannya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status