Share

Bab 6. Panas

Penulis: Galaxybimasakti
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-07 21:12:52

“Kenapa gue bisa sampai mimpiin dia sih?” gerutuku, merasa frustasi.

Aku melirik jam dinding, sudah pukul enam lebih.

Aku segera berlari ke kamar mandi, gara-gara mimpi sialan itu hampir saja aku kesiangan.

Mimpi itu terasa sangat nyata, kalau saja suara alarm jam weker tidak berbunyi, pasti pagi ini aku bisa mimpi basah.

Setelah selesai mandi, aku sarapan roti tawar sisa kemarin, lalu buru-buru keluar apartemen menuju halte bus. Saat melewati unitnya, jantungku berdetak kencang, takutnya tahu-tahu dia nongol membuka pintu.

Gara-gara memikirkan itu, membuat bulu kudukku berdiri dan aku segera berlari menuju lift. 

Sampai di kantor, aku langsung duduk di meja dan menyalakan komputer. Tapi pikiranku masih melayang ke mimpi tadi.

Ardi, yang seperti biasa datang tepat waktu, langsung mendekatiku dengan kopi di tangan. “Pagi, Bim! Kok muka lo kusut gitu, gak mungkin kan nonton bokep sampai pagi? Atau masih mikirin lu sebenernya anak konglomerat?”

Aku menggeleng, tapi dalam hati aku berfikir, mungkin aku bisa cerita sedikit ke Ardi. Siapa tahu dia bisa membantuku dan memberikan saran.

“Eh, Di. Gue mau tanya. Kalau lu kenal cewek, terus sampai kebawa mimpi, itu tandanya apa?”

Ardi langsung nyengir lebar, matanya berbinar seperti menemukan mainan baru. “Wah, wah, wah! Akhirnya lo punya gebetan baru ya? Itu tandanya lo naksir, Bim! Atau minimal, nafsu lo lagi tinggi-tingginya sama dia. Cerita dong, siapa ceweknya? Cantik? Bodynya gimana?”

Aku menggeleng sambil tertawa kecil, tapi agak canggung. “Apaan sih. Gue cuma penasaran aja. Maksud gue, gue baru kenal dia, tapi mimpi gue tadi malam ... gila, rasanya kayak nyata.”

Ardi duduk di tepi mejaku, menyilangkan tangan. “Itu artinya lo beneran naksir sama dia, lo harus deketin dia, Bim!”

“Gimana caranya?” tanyaku polos, seperti orang yang sama sekali tidak punya pengalaman dengan percintaan.

“Lah kok lo mendadak bloon sih. Kemaren deketin RIna aja bisa,” kata Ardi sambil tertawa. “Gini, gue dulu juga pernah awalnya cuma mimpi doang, tapi gue langsung gerak gak diem aja. Kebetulan dia anak kampus gue, jadi gue ajak ngopi, chat setiap hari, terus boom! Jadian.”

Aku mengernyit, berfikir sejenak. “Tapi cewek ini beda, Di. Gue gak tahu gimana cara deketinnya. Dia ... kayaknya lebih berpengalaman gitu, gue takut salah langkah.”

Ardi tertawa lepas, menepuk pundakku. “Beda gimana? Semua cewek sama aja, Bim. Lo harus yakin. Emangnya dia cewek mana? Orang kantor bukan?”

“Bukan anak kantor.” Aku menggeleng pelan sambil tersenyum kecut. “Dia tetangga gue di apartemen.”

Ardi mendekat, matanya menyipit penuh intrik. “Wah, tetangga? Makin gampang dong! Lo bisa sering-sering modus kan.”

Aku kembali menggeleng. “Gue malah takut nanti jadi masalah di sana.”

Ardi berdecak pelan. “Gak akan lah. Udah gede gini masak masih ngurusin urusan orang lain.”

“Ya kan siapa tau. Gue kan pendatang juga di situ,” sanggahku lagi.

“Yaelah, mereka juga pendatang paling.” Dia berhenti sejenak, lalu mencondongkan tubuhnya padaku. “Atau mau gua ajarin sesuatu gak?”

“Apaan?” tanyaku sedikit penasaran.

Ardi langsung membisikkan sesuatu di telingaku. Kata-katanya membuatku langsung membelalak.

“Gila lu? Yang bener aja, masa gue begitu?!” kataku agak keras, tapi buru-buru melirik sekitar agar tidak ada yang mendengar.

Ardi nyengir lebar. “Udah gak apa-apa, siapa tahu berhasil, kan?”

Aku menggelengkan kepala, tapi dalam hati aku berfikir. Cara Ardi terdengar gila, tapi ... agak menantang juga.

**

Sore itu, aku pulang ke apartemen dengan kepala penuh pikiran. Aku teringat obrolan dengan Ardi tadi, mungkin aku bisa memakai caranya.

Dia membisikan sesuatu yaitu dengan pura-pura numpang ke toilet karena toiletku lagi rusak atau diperbaiki kedengarannya memang konyol, tapi entah kenapa aku penasaran.

“Kalau gue coba, kira-kira dia bakal sadar gak ya kalau gue cuma modus?” gumamku dalam hati.

Aku duduk di sofa, sambil ngupas jeruk berusaha melupakan semuanya.

Tapi tiba-tiba, terdengar suara pintu apartemen diketuk.

Tok! Tok! Tok! 

Suaranya tidak terlalu keras, dengan agak malas, aku bangun dan membuka pintu. Dan seketika, aku terkejut setengah mati. Aku sedang memikirkannya, tapi tiba-tiba orangnya muncul.

Nadira berdiri di sana, tersenyum manis sambil bawa sekotak bolu kukus yang wangi. 

“Halo, Mas Bima! Ini buat Mas, sebagai ucapan terima kasih kemarin. Maaf ya, baru sempet bikin sekarang.”

Aku terpaku, mataku langsung ke arah kotak itu, tapi justru aku menatap ke arah lain. Tepat di atas kotak bolu itu, terdapat bolu yang sepertinya lebih lembut dan kenyal.

Hari ini dia memakai daster pres body yang sangat tipis, yang menempel ketat di lekuk tubuhnya. 

Aku bisa melihat dengan jelas, dia tidak memakai bra. Bentuk dada besarnya terlihat samar-samar di balik kain tipis itu, naik turun pelan saat dia bernapas. 

Glek! 

Aku menelan ludah, lalu berusaha fokus ke wajahnya.

“Eh, Nadira. Makasih ya, padahal nggak usah repot-repot,” kataku sambil menerima kotak itu dengan tangan sedikit gemetar.

Nadira tersenyum lebih lebar, matanya menatapku tajam. Aku sadar dia memperhatikan arah pandanganku ini, aku berusaha tidak melihat bolunya yang lain tapi nyatanya justru aku semakin melotot ke arahnya.

Sepertinya memang sengaja, dia berniat memperlihatkan bolu putihnya padaku, bukan bolu kukus yang ia bawa.

Saat aku benar-benar melihat bolu putihnya, dia langsung meluruskan postur tubuhnya, membuat daster itu semakin pres dan memperlihatkan bentuk pinggang rampingnya.

“Ah, nggak repot kok, Mas. Lagian, Mas kemarin udah bener-bener membantuku. Kalau nggak ada Mas, aku pasti kesusahan," katanya sambil sengaja menarik daster di bagian dadanya, sehingga sebagian buah dadanya terlihat.

Aku tersenyum kaku, berusaha tidak melihatnya, “Iya, Nadira. Senang bisa bantu.”

 “Kalau bolunya kurang nanti bilang aja ya, Mas. Aku kasih lagi nanti,” katanya sambil sedikit membusungkan dadanya.

Aku buru-buru menggelengkan kepala, “Eh nggak kok, ini udah cukup.”

Namun, tiba-tiba dia justru berkata, “Atau aku kasih sekarang aja gimana? Biar gak nunggu nanti-nanti lagi.”

Aku mengernyitkan dahi, tiba-tiba aku merasa aneh. Rasanya tubuhku langsung panas dingin, kakiku terasa membeku sama sekali tidak bisa bergerak. “M–maksudnya gima—”

Belum selesai aku bicara, Nadira justru langsung mendorong tubuhku masuk sambil mencium bibirku dengan rakus. Tangannya menarik belakang kepalaku, agar aku tidak melepaskan ciumannya.

“Hmpp …”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 51. Handuk Mbak Dini

    Tiba di apartemen, aku langsung mandi karena sudah hampir pukul tujuh malam. Air dingin menyegarkan tubuhku, tapi pikiranku masih tidak menentu. Aku ingin lepas dari ikatan Mbak Dini, tapi entah bagaimana caranya. Aku semakin malas setiap pulang dari kantor harus menemaninya.Awalnya, aku bersemangat merasa senang punya pekerjaan sampingan untuk mengirim uang lebih banyak ke Ibu. Tapi setelah tahu niat liciknya, aku merasa tertipu, seperti boneka di tangannya.Setelah mandi, aku bersiap menuju salon Mbak Dini seperti yang dia bilang tadi. Aku memesan ojek online karena taksi terlalu mahal untukku. Hingga tak berapa lama, ojek onlinenya datang akupun menuju salonnya Mbak Dini.Tak berapa lama, aku sampai di salonnya yang megah, dengan lampu-lampu terang dan dekorasi mewah. Saat hendak masuk, security di pintu sepertinya sudah mengenalku.“Mas Bima, ya? Sudah ditunggu Bu Dini di dalam,” katanya, tersenyum ramah.“Oh, iya, Pak. Terima kasih,” jawabku, mengangguk.Aku melangkah masuk, tap

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 50. Tertarik live streaming

    Aku lupa, besok Mbak Vania memintaku untuk melatihnya di gym. Nadira juga bilang akan ikut gym lagi. Jadi, besok aku harus melatih mereka berdua. Pikiranku langsung sibuk membayangkan bagaimana caranya mengatur waktu dan menjaga situasi agar tidak canggung, apalagi dengan Nadira.Saat sedang merevisi desain proyek di kantor, pikiranku melayang ke jalan hidupku. Selama ini, aku terlalu sibuk dengan urusan orang lain, Nadira yang ingin lepas dari ikatan Pak Purnomo, dan Mbak Dini dengan teror misteriusnya.Padahal, aku sendiri punya banyak masalah. Memang membantu orang lain itu pahalanya besar, tapi aku juga harus memikirkan keluargaku terlebih dahulu yaitu Ibu dan Alisa di kampung.Sebentar lagi, aku, Mbak Renata, Bu Sarah, dan Mbak Vania akan ditugaskan ke luar kota untuk proyek. Tapi entah kenapa, semangatku justru semakin meredup. Hari ini, kantor berjalan seperti biasa, tapi hidupku terasa monoton. Tidak ada yang membuatku bersemangat.Saat jam makan siang tiba, aku mengajak Ardi

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 49. Perekam video

    Aku mengerutkan kening, tidak mengerti maksudnya. Tapi kemudian, dia melanjutkan, “Nanti tinggal diedit, bagian mukaku di-blur, cuma si Nadira aja yang kelihatan.”Kini aku paham. Kemarahan membuncah di dadaku. Aku mengepalkan tangan, ingin langsung menghajarnya. Begitu dia menutup telepon, aku melayangkan tinju ke perutnya. Dia mengaduh kesakitan, memegang perutnya.“Woi, lu apa-apaan?!” bentaknya, wajahnya memerah.“Lu apain Nadira, hah?” sergahku, mencengkeram kedua tangannya ke belakang hingga dia meringis.Pintu lift terbuka di lantai dasar, tapi aku buru-buru menekan tombol untuk naik lagi, lalu turun, agar tidak ada orang lain yang masuk.“Jangan bohong, lu! Gua denger tadi apa yang lu bilang. Lu merekam Nadira, kan? Videonya mau lu jual buat kepentingan lu? Cepat hapus videonya!” ancamku.“Lu salah denger, mungkin!” elaknya, suaranya gemetar.“Lu kira gue tuli? Cepat hapus, atau tangan lu gue patahin!” kataku, mempererat cengkeramanku.“Iya, iya, gue hapus! Tapi lepasin dulu,

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 48. Pria asing di unitnya Nadira

    “Udah, Mbak. Sekali lagi, terima kasih,” jawabku tulus.Tak lama, ada balasan dari Alisa. [Makasih banyak, Aa. Ini sekarang juga aku ke konternya Teh Dewi.]Aku tersenyum, tapi di dalam hati, ada rasa sedih yang menggerogoti. Sekeras apa pun aku bekerja, aku belum bisa membuat keluargaku bahagia. Gajiku selalu habis untuk kebutuhan, dan hasilnya tetap begini.Tiba-tiba, ketukan keras di pintu memecah suasana. Kami berdua terkejut. Mbak Dini buru-buru berdiri dan membuka pintu, tapi tidak ada siapa-siapa di luar.Aku ikut melongok, dan di lantai, di depan pintu, ada kotak kecil.Mbak Dini mengambilnya, membukanya dengan hati-hati, lalu tiba-tiba menjerit, “Aaaaaah!” Kotak itu refleks dia lempar.Isinya bangkai cicak, tapi ada selembar kertas di dalamnya. Aku memungut kertas itu, dan di sana tertulis, 'Dini, kau tidak akan pernah bisa menghindar sebelum kamu mengabulkan keinginanku.'Aku menatap Mbak Dini, jantungku berdegup kencang. “Siapa yang ngirim ini?”Mbak Dini membaca kertas it

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 47. Apa harus percaya?

    Mbak Dini masuk kembali ke ruang tamu, membawa nampan berisi secangkir kopi dan tiga toples berisi camilan. Dia sudah berganti pakaian, kini mengenakan piyama pink yang sangat tipis dan mini. Bagian dadanya terlihat jelas, dan panjang bajunya hanya menutupi setengah pahanya. Aku berusaha menahan pandangan, merasa canggung sekaligus curiga.“Nih, diminum dulu,” katanya, meletakkan cangkir kopi di depanku. “Tenang aja, gak dikasih obat perangsang, kok.”Aku memandang cangkir itu dengan ragu. “Apa Mbak bisa jamin kalau minumannya gak pake obat perangsang?” tanyaku, nada suaraku penuh kecurigaan.Mbak Dini tersenyum kecil, seolah menganggapku berlebihan. “Kamu masih ragu? Tunggu sebentar.”Dia berbalik ke dapur, dan tak lama kemudian kembali dengan cangkir kopi lain. “Ini, aku buat satu lagi. Biar kopi itu aku minum,” katanya, meletakkan cangkir barunya di meja.Tapi aku masih tidak yakin. Bagaimana kalau kopi yang dia bawa itu yang mengandung obat? “Mbak minum aja kopi yang Mbak bawa tad

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 46. Godaan dan ujian

    “Tahu gak, kamu pria pertama yang menurutku paling seksi dan perkasa,” ujar Nadira dengan nada manja, matanya menatapku penuh godaan. Tangannya membelai dadaku, lalu naik perlahan ke daguku, membuatku semakin gelisah.Aku menelan ludah, berusaha tetap tenang. “Sebaiknya kamu kembali ke unitmu, Nad. Aku mau mandi dulu, sebentar lagi ke unitnya Mbak Dini.”Tapi Nadira justru tidak bergerak dari pangkuanku. Dia malah mendekat, membuatku semakin gerah. “Kamu kalau keringetan gini makin seksi,” katanya, tersenyum nakal. “Nanti weekend ajarin aku gym lagi, ya?”“Iya, iya, tapi aku mau mandi dulu. Nanti telat,” jawabku cepat, berusaha mengalihkan situasi.Akhirnya, Nadira turun dari pangkuanku. Aku menghela napas lega dan buru-buru berdiri. Tapi, sial, “si Gatot” malah bereaksi, membuatku panik karena begitu terlihat jelas seperti tenda. Aku langsung menutupinya dengan tangan, wajahku memanas. Nadira tertawa kecil, matanya berbinar penuh ejekan.“Tanggung banget, padahal aku bisa bantuin bia

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status