Home / Urban / Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku / Bab 6. Banyak bersyukur

Share

Bab 6. Banyak bersyukur

last update Last Updated: 2025-08-07 21:12:52

“Ada nasi di bibirmu, Bim,” kata Mbak Renata, suaranya pelan tapi jelas.

Aku membuka mata, wajahku langsung panas. Astaga, aku kira apa! Semenjak putus dengan pacarku, pikiranku jadi kotor, selalu ke arah yang aneh-aneh dan mudah sekali terangsang.

“Terima kasih, Mbak,” gumamku, berusaha menutupi rasa malu.

Kalau saja disini ada lubang, rasanya aku ingin bersembunyi di sana saking malunya.

Mbak Renata tersenyum tipis, lalu memanggil pelayan untuk membayar makanan. Kami berjalan kembali ke kantor, dan aku berusaha fokus ke trotoar di depanku, menghindari tatapan Mbak Renata yang sesekali melirikku.

Di kantor, aku kembali ke mejaku, melanjutkan revisi denah yang hampir selesai. Hingga tidak terasa, sebentar lagi tiba waktunya pulang.

Pak Hadi, manajer kami, belum pulang masih di ruangannya. Dia orang yang tegas, selalu buru-buru, dan maunya semua beres cepat. Orang bilang dia perfeksionis. Aku fokus ke layar komputer, mencoba melupakan momen canggung tadi di restoran. Lalu Mbak Renata masuk ke dalam ruangannya, sambil membawa map di tangannya.

Tak lama, Ardi, rekan kerjaku, mendekat, menyeret kursi ke samping mejaku.

“Bro, lu pake pelet apa sih?” tanyanya, suaranya penuh ejekan. “Mbak Renata yang galak, judes, dan super killer itu tiba-tiba luluh sama lu. Bahkan tadi ngajak lu makan siang!”

Aku mengerutkan dahi, tergelak kecil. “Lu ngomong apa, sih? Mana mungkin gua pake gituan. Buat apa juga?”

Ardi menyeringai, mencondongkan tubuhnya. “Ya, kan lu jomblo, dan Mbak Renata juga jomblo. Meskipun dia galak, tapi cantik, bro, dan kaya raya!”

Aku menggeleng, berusaha santai. “Gua gak kayak lu, Ar. Gua juga gak tahu kenapa Mbak Renata tiba-tiba baik.”

“Ah, pelit lu! Bagi tipsnya dong, gua juga pengen!” balas Ardi, matanya berbinar penuh canda.

Sebelum aku bisa menjawab, Mbak Renata keluar dari ruangan Pak Hadi, wajahnya kembali kaku seperti biasa. Ardi buru-buru kembali ke mejanya, dan aku melanjutkan pekerjaan.

Tak terasa, jam pulang tiba. Pak Hadi keluar dari ruangannya, tas di tangan, berjalan cepat seperti biasa, seolah selalu dikejar waktu.

Aku bersiap pulang, merapikan meja, ketika Mbak Renata tiba-tiba mendekat. “Bima, mau pulang bareng?” tanyanya, suaranya lembut, jauh dari nada tegas yang biasa dia pakai.

Aku kaget. Selama setahun bekerja di sini, Mbak Renata tidak pernah mengajak siapa pun, bahkan karyawan perempuan sekalipun, apalagi kalau jalannya beda arah.

“Ehm, gak usah, Mbak. Terima kasih, aku naik bus aja,” jawabku hati-hati.

“Gak apa-apa, bareng aja. Lumayan kan ngirit ongkos, gratis kok, gak minta bayaran,” balasnya, tersenyum kecil.

Aku menggeleng, merasa tidak enak. “Terima kasih, Mbak, tapi aku gak mau repotin. Lagian jalannya beda, nanti Mbak pulangnya jadi jauh. Aku juga mau mampir ke rumah temen dulu, ada keperluan,” bohongku, berusaha mencari alasan.

Mbak Renata mengangguk, masih tersenyum. “Ya sudah kalau gitu. Aku duluan ya, Bim. Sampai jumpa besok.” Dia menyentuh lenganku sekilas, gerakannya ringan tapi bikin jantungku melompat. Dia benar-benar berbeda.

Jujur, Mbak Renata memang cantik. Rambut panjangnya selalu rapi, wajahnya putih dengan bibir merah alami, dan tubuhnya proporsional pinggang ramping, dadanya itu lumayan montok, dan kaki jenjang yang selalu terlihat elegan dalam sepatu haknya. Kalau saja dia tidak galak seperti biasanya, aku yakin banyak pria yang akan naksir. Dan lagi-lagi, pikiranku melayang ke arah jorok. Aku buru-buru merapikan tas, lalu berjalan keluar kantor.

Sore di Jakarta selalu ramai dan macet. Jalanan penuh dengan mobil dan motor yang berdesakan, klakson bersahutan, dan pejalan kaki yang buru-buru menuju halte atau stasiun. Udara terasa pengap, bercampur bau asap knalpot dan makanan dari pedagang kaki lima. Jarak dari kantor ke halte bus tidak jauh, jadi aku berjalan kaki seperti biasa. Kalau punya motor, mungkin aku tidak akan setergesa ini setiap hari, takut ketinggalan bus. Tapi gajiku pas-pasan, cukup untuk bayar apartemen, kebutuhan sehari-hari, dan kirim sedikit buat ibu dan adikku di kampung. Aku gak bisa bermewah-mewah.

Di trotoar, aku melihat seorang bapak tua mengais barang bekas di tumpukan sampah. Jakarta memang keras pengemis, pengamen, dan orang-orang yang berjuang bertahan hidup ada di mana-mana.

Aku merasa harus bersyukur. Maafkan aku, Tuhan, karena sempat mengeluh. Aku lebih beruntung dari mereka. Lalu, aku melihat seorang ibu menggendong anak kecil, bernyanyi pelan sambil mengamen. Aku kagum pada mereka, masih berjuang meski hidup susah, bukan cuma hanya minta-minta.

Aku mendekati ibu itu, merasa kasihan, teringat ibuku di kampung. Kubuka dompetku hanya tersisa 30 ribu.

“Bu, ini ada sedikit buat beli makanan,” kataku, menyerahkan uang itu.

“Terima kasih banyak, Tuan,” jawab ibu itu, wajahnya cerah ceria. Dia buru-buru pergi, seolah ingin segera membeli sesuatu untuk anaknya.

Aku tersenyum kecil, lalu melanjutkan langkah menuju halte. Tapi tiba-tiba, tiga pria menghadangku di gang sempit dekat halte. Salah satunya, bertato di lengan, menatapku dengan mata tajam.

“Jadi lu yang bertingkah so jagoan itu, ya?” katanya, suaranya penuh ancaman.

Aku mengerutkan dahi, bingung. “Kalian siapa? Kita ada masalah apa?”

Pria bertato menyeringai. “Teman gua di penjara gara-gara lu. Lu harus tanggung jawab.”

Aku langsung paham, mereka teman penjambret yang kukejar pagi tadi.

“Oh, temennya yang ngejambret ya? Salah sendiri, kenapa nyuri? Gak malu sama ibu-ibu yang masih kuat kerja halal, buat cari makan?” balasku, mencoba tetap tenang.

Pria berbadan besar di sebelahnya menggeram. “Banyak omong lu!” Dia menyerang, tinjunya melayang ke arahku.

Aku menghindar cepat, kakiku melangkah ke sisi. Pria bertato menyerang dari kanan, tapi kutangkap lengannya, memutar pergelangannya hingga dia meringis. Pria ketiga mencoba menendangku, tapi kuhindari, lalu kuhantam siku ke perutnya hingga dia terhuyung. Pria besar itu bangkit lagi, mencoba memukulku, tapi aku melompat mundur, lalu menendang lututnya hingga dia jatuh. Orang-orang di sekitar hanya menonton, tidak ada yang membantu, tapi aku tidak peduli. Dengan satu pukulan terakhir ke rahang pria bertato, mereka akhirnya kabur, berlari terbirit-birit.

Aku mengatur napas, badanku sedikit gemetar karena adrenalin. Tanpa menunggu lebih lama, aku berlari ke halte, naik bus yang menuju apartemen. Untungnya, aku dapat tempat duduk. Aku menghembuskan napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Saat bus melaju, aku melihat seorang wanita hamil berdiri sambil membawa belanjaan, wajahnya lelah.

Aku bangkit, menawarkan tempat dudukku. “Bu, duduk sini aja,” kataku.

“Terima kasih, Mas,” jawabnya, tersenyum lelah tapi tulus.

Aku berdiri, merasa lega bisa membantu. Bus sampai di halte dekat apartemen, dan aku turun. Uangku tinggal 10 ribu untuk ongkos bus tadi, tapi aku yakin rezeki sudah diatur. Aku berjalan menuju apartemen, dan saat hendak masuk lift, aku melihat Nadira. Dia sempoyongan keluar dari lift sebelah, wajahnya memerah, bau alkohol samar tercium. Dia masih pakai seragam bioskop kemeja ketat dan rok mini yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Dia mabuk.

“Mbak Nadira?” sapaku hati-hati, alisku terangkat.

Dia menoleh, matanya sayu. “Mas… Bima?” gumamnya, lalu tersandung ke arahku, tubuhnya ambruk ke dadaku seperti pelukan. Aku menangkapnya, tapi kepalanya terkulai. Dia pingsan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 9. Preman meresahkan

    “Sama-sama, Mbak,” jawabku pelan, suaraku hampir tenggelam oleh keheningan malam.Aku masih mengatur nafasku yang tersengal-sengal, aku sadar yang aku lakukan ini salah tapi semuanya terjadi begitu saja.Nadira bersandar di dadaku, tubuhnya hangat di bawah selimut tipis. Aku ingin menarik diri, tapi matanya yang berkaca-kaca dan suaranya yang rapuh membuatku ragu. Kita berdua tidur tanpa memakai sehelai benangpun, di bawah selimut tipis Akhirnya, kelelahan menyerangku aku merasa sangat lelah dan mengantuk. Kami tertidur pulas di sofa, dalam posisi canggung yang entah bagaimana terasa… nyaman.Satu jam kemudian, suara benda jatuh membuyarkan mimpiku. Aku membuka mata, masih setengah sadar, dan melihat Nadira duduk di kursi dekat meja makan, wajahnya pucat. Sebuah kaleng susu tergeletak di lantai, sepertinya dia tak sengaja menjatuhkannya. Dia menoleh padaku, matanya penuh rasa bersalah.“Maaf, aku membangunkanmu. Maaf sudah merepotkanmu… dan lagi-lagi aku…” suaranya lirih, hampir putu

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 8. Desahan di malam hari

    Aku mainkan lidahku menari-nari di pentil buah dadanya, ia menggeliat dan terus meracau."Ahh, terus Bima enak sekali. Kamu memang sangat pintar dalam urusan kenyot mengenyot, puaskan aku, berikan aku kenikmatan." racaunya, matanya tetap terpejam, tubuhmu lemas.Aku tidak berhenti mengenyot buah dadanya, sesekali aku gigit kecil hingga meninggalkan bekas merah. Akan aku lukis buah dadanya dengan maha karyaku. Sampai leher dan buah dadanya banyak noda merah.Lalu aku membuka rok nya, hingga dalam sekejap sudah tidak ada lagi yang menutupi tubuhnya. Aku memperhatikan tubuhnya yang begitu seksi, wajahnya yang cantik, kulitnya putih mulus, buah dadanya besar, pinggangnya yang ramping dan bokongnya yang bahenol.Laki-laki mana yang tidak akan tergoda dengan wanita cantik seperti Nadira. Tepat di depan matanya, terbaring seorang perempuan tanpa busana yang membuat aliran darahku mengalir lebih cepat. Aku merasa kurang nyaman jika kita bergulat di atas sofa, kurang leluasa jika kita berdua

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 7. Hasrat tak terbendung

    Aku menelan ludah, jantungku berdetak kencang. Aku melirik ke arah pintu unit Nadira, tapi aku baru sadar jika aku tidak tahu kata sandinya untuk masuk. “Sial, sekarang gimana?” gumamku panik. Setelah berpikir sejenak, aku menghela napas dan memutuskan untuk membawa Nadira ke unitku sendiri. Tidak mungkin jika aku membiarkannya tergeletak di koridor. Dengan hati-hati, aku menggendong Nadira. Badannya terasa berat, sebenarnya aku tidak ingin menyentuhnya lagi setelah kejadian malam itu, tapi sekarang situasinya darurat. Aku melangkah cepat ke unit apartemenku, membuka pintu dengan susah payah, lalu membaringkan Nadira di sofa. Napas Nadira tak beraturan meski pelan, wajahnya pucat. Aku menatapnya sejenak, masih belum percaya wanita ini kini terbaring di ruang tamuku. Karena sebelumnya, aku bahkan tidak pernah membawa wanita masuk ke apartemenku. Apartemenku kecil, satu kamar tidur, sofa lama, dan meja makan yang nyaris tak pernah kupakai. Mantan pacarku dulu bahkan menolak masu

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 6. Banyak bersyukur

    “Ada nasi di bibirmu, Bim,” kata Mbak Renata, suaranya pelan tapi jelas. Aku membuka mata, wajahku langsung panas. Astaga, aku kira apa! Semenjak putus dengan pacarku, pikiranku jadi kotor, selalu ke arah yang aneh-aneh dan mudah sekali terangsang. “Terima kasih, Mbak,” gumamku, berusaha menutupi rasa malu. Kalau saja disini ada lubang, rasanya aku ingin bersembunyi di sana saking malunya. Mbak Renata tersenyum tipis, lalu memanggil pelayan untuk membayar makanan. Kami berjalan kembali ke kantor, dan aku berusaha fokus ke trotoar di depanku, menghindari tatapan Mbak Renata yang sesekali melirikku. Di kantor, aku kembali ke mejaku, melanjutkan revisi denah yang hampir selesai. Hingga tidak terasa, sebentar lagi tiba waktunya pulang. Pak Hadi, manajer kami, belum pulang masih di ruangannya. Dia orang yang tegas, selalu buru-buru, dan maunya semua beres cepat. Orang bilang dia perfeksionis. Aku fokus ke layar komputer, mencoba melupakan momen canggung tadi di restoran. Lalu Mbak Ren

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 5. Insiden pagi hari

    Pagi harinya, aku bangun dengan kepala sedikit pusing. Mungkin karena tidurku cuma sebentar, pikiranku penuh dengan bayangan semalam. Aku berharap itu hanya mimpi, aku sudah melakukan kesalahan yang besar.Aku masih ingat Mbak Nadira yang begitu sangat agresif, ia seperti orang lain. Mungkin akibat sudah lama di tinggal suaminya, ia sangat kesepian sehingga ia melampiaskan nafsunya padaku.Aku buru-buru mandi, mengenakan kemeja putih dan celana bahan, lalu berlari ke lift. Tidak pernah ada waktu untuk sarapan, bahkan ruangan ini cukup berantakan. Di dalam lift, aku bertemu Dini lagi, tetangga yang sama-sama membuatku gagal fokus.Dia berdiri dengan blazer biru tua yang ketat, memamerkan lekuk tubuhnya yang padat, dan rok pendek yang memperlihatkan paha mulusnya. Rambut pendeknya rapi, tapi riasan tebalnya memberi kesan jika itu memang gayanya.“Pagi, Mbak Dini,” sapaku, masuk ke lift dan berdiri di sisi lain.“Pagi, Mas Bima,” balas Dini, senyumnya lebar. Dia memandangku sekilas, lalu

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 4. Susu murni

    “Ini kopinya, Mas. Maaf ya agak lama,” ujar Nadira, tiba-tiba sudah berdiri di dekatku, memecah lamunanku.Dia menunduk untuk menaruh cangkir kopi di meja depanku, dan saat itu daster bagian depannya ikut turun, memperlihatkan belahan dada yang lembut di bawahnya. Aku menahan napas, berusaha keras untuk tidak menatap.“Eh? Mas Bima kenapa mukanya begitu?” tanya Nadira, suaranya kaget, tapi ada senyum kecil di wajahnya saat dia melihatku yang jelas-jelas tegang.“Hah? Oh… gak, Mbak. Kayaknya aku mulai ngantuk,” jawabku terbata, berusaha tenang. “Makasih kopinya, Mbak. Aku minum ya.”Nadira mengangguk, tersenyum, lalu sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Enak gak kopinya? Apa mau ditambah susu?” tanyanya, suaranya lembut tapi ada nada genit yang sulit kulewatkan.“Uhuk!” Aku terbatuk pelan, bukan cuma karena kopi yang masih panas, tapi juga karena ucapan Nadira yang bikin jantungku melompat. “Eh, kenapa, Mas?” Nadira panik, buru-buru mengambil tisu dan mengelap bibirku.Tangannya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status