Sepanjang perjalanan ke rumah Ibunya, Ameira terlihat gelisah. Tadi Karin mengirim pesan padanya dan mengatakan jika Ibunya datang ke kantor Bagas. Jadi sekarang dia merasa khawatir, takut Ibunya terlampau marah dan mempengaruhi kesehatannya. Memang sudah beberapa bulan ini kesehatan Bu Ranti menurun. Dokter mengatakan Jika Ibu Amiera itu mengalami komplikasi darah tinggi dan lambung akut.
Sampai di depan rumah sang ibu, Amiera pun segera menuju pintu. Wanita itu semakin terlihat khawatir saat pintu terkunci dari dalam dan sang Ibu tak kunjung membukakan pintu.
"Bu, buka pintunya. Ini Amiera.” Amiera terus mengetuk pintu dengan wajah panik. Wanita cantik bertubuh langsing itu mengintip dari jendela, matanya terbelalak saat melihat Ibunya tergeletak di lantai. Dia pun berteriak, meminta tolong pada warga agar membuka pintu rumahnya dengan paksa.
Tak lama, pintu terbuka dan Bu Ranti langsung di bawa ke rumah sakit. Amiera hanya bisa menangis dan memanggil sang Ibu. Dalam hati dia hanya bisa berharap jika semuanya baik-baik saja.
****
Amiera duduk termenung sambil menatap sang Ibu. Dia menggenggam erat tangan wanita yang melahirkannya. Dokter bilang, Ibunya terlalu banyak minum obat penenang. Hal itu membuat wanita itu terheran, apa sebenarnya yang membuat Ibunya harus meminum obat itu.
"Amiera...
Tiba-tiba suara lemah sang Ibu memanggilnya. Membuat wanita itu sontak mengusap airmata dan tersenyum tipis pada sang Ibu.
"Iya, Bu. Kenapa bisa jadi seperti ini?"
"Bercerailah dengan Bagas, Nak. Kamu berhak bahagia," ucap Bu Ranti sambil menatap wajah Amiera sendu.
Amiera terhenyak. Dia tidak menyangka hal itu yang akan pertama kali Ibunya ucapkan setelah dia siuman.
"Ibu sudah tidak sanggup lagi melihat kamu menderita. Ibu ingin melihat kamu bahagia di sisa hidup yang mungkin sudah tak lama lagi," imbuh Bu Ranti.
Wanita paruh baya yang terlihat pucat itu menatap Amiera. Air matanya jatuh, membasahi pipi tirusnya.
"Ibu jangan memikirkan itu dulu. Yang penting Ibu sembuh, maka semuanya akan baik-baik saja," jawab Amiera.
"Nak, kamu mungkin bisa bertahan dengan pernikahan yang penuh derita itu. Tapi Ibumu sudah tak sanggup melihatnya. Apa masih belum cukup kesabaranmu selama ini, apa kamu tidak capek?" tanya Bu Ranti sambil terus menangis.
Ada kegetiran dalam setiap kalimat yang Bu Ranti ucapkan. Ada juga rasa penyesalan di dalamnya. Bagaiaman tidak, dulu dialah yang memaksa Amiera untuk menikahi Bagas.
Dulu Bu Ranti menganggap jika pilihannya bisa membuat anaknya bahagia, dia menganggap Bagas sudah mapan dan mampu membuat Amiera hidup dalam kemewahan .Tapi nyatanya semuanya salah, harta saja tidaklah cukup untuk membuat anaknya bahagia, Bahkan saat ini dia menderita. Tidak pernah di perlakukan baik oleh suami dan mertuanya.
"Bu, Amel masih butuh kasih sayang Ayahnya. Apa aku tega memisahkan mereka. Mira tahu betul bagaiaman rasanya hidup tanpa seorang ayah, jadi Mira tidak mau kalau Amel mengalami hal yang sama."
Bu Ranti terdiam. Wanita itu menatap wajah putrinya sendu, tiba-tiba airmatanya kembali mengalir. Dia ingat akan masalah lalunya. Dimana Amiera kecil yang selalu bertanya tentang keberadaan sang Ayah dan dia tak mampu menjawab. Karena Ayah Amiera sudah meninggalkan Bu Ranti sejak Amiera masih dalam kandungan.
"Jangan sia-siakan masa mudamu hanya karena kesalahan Ibu, Nak. Ibu minta maaf tentang nasibmu."
Bu Ranti menundukkan kepala, ada banyak kesedihan masa lalu yang tersimpan di wajahnya. Hanya saja dia tidak pernah menceritakan apa yang dia rasakan. Wanita itu hanya memendamnya dalam hati, menyimpan semua kepedihan itu dalam-dalam.
"Tidak usah minta maaf, Bu. Mira tahu, ada alasan mengapa Ibu tidak memberitahukan siapa ayah sebenarnya. Tapi biarkan aku tetap bertahan semampuku," ucap Amiera.
Bu Ranti menatap wajah anaknya. Dia hanya bisa diam, tak mampu untuk melarang. Keputusan dia serahkan pada sang putri.
"Baiklah, tapi Ibu harap kamu jangan terlalu mengalah, Nak. Lawan mereka jika menyakitimu!"
Amiera mengangguk. Dia pun meminta Ibunya untuk segera beristirahat. Sementara dia sendiri keluar dari ruangan dan menelepon suaminya. Dia ingin memberitahu bahwa saat ini dia tidak bisa pulang karena harus menjaga ibunya di ruang sakit. Tapi sayangnya, berkali-kali dia menelepon, tak ada satupun panggilannya yang di angkat.
"Mas, kamu kemana?" Amiera kesal dan terus berusaha menghubungi suaminya.
Karena tak ada jawaban, akhirnya wanita itu mengirimkan pesan. Tapi setelah menunggu lebih dari satu jam, pesannya pun tak kunjung mendapatkan balasan.
Selain ingin memberitahu suaminya tentang keadaan di rumah sakit, Amiera sebenarnya juga ingin meminta suaminya untuk menjaga Amel. Tidak mungkin baginya membawa Amel kerumah sakit. Tadi dia sempat menitipkan anaknya ke tetangga Ibunya sebelum dia berangkat ke rumah sakit.
Seandainya saja ada Karin, pasti Amiera akan menitipkan anaknya pada sahabatnya itu. Tapi sayangnya, Karin hari ini sedang pulang kerumah orang tuanya.
Cring
Bunyi suara pesan masuk membuat Amiera langsung melihat ponselnya. Wanita itu menghela nafas panjang saat membaca pesan dari sang suami. Lelaki itu mengatakan jika dia tidak bisa menjaga Amel karena besok pagi-pagi sekali harus berangkat ke luar kota. Dia juga mengatakan tidak bisa menjenguk Bu Ranti.
Amiera tersenyum getir, seharusnya dia memang tidak berharap suaminya mau menjaga Amel. Dia pun akhirnya memutuskan untuk menelepon tetangga Ibunya. Amiera menghela nafas lega karena tenyata putrinya sudah tertidur lelap.
Sementara itu di rumah, Bagas sedang menyiapkan bajunya untuk pergi keluar kota besok pagi. Lelaki itu menghentikan aktivitasnya saat mengetahui ada seseorang yang berdiri di belakangnya.
"Apa kamu beneran akan pergi?" tanya Luna.
"Iya, memangnya kenapa?"
"Tidak, hanya saja aku takut kamu akan kecantol wanita di sana nanti." Luna mendekati Bagas, meraba dada bidang lelaki itu dengan jemarinya yang lentik.
Mata Bagas tak berhenti menatap wanita cantik nan seksi yang ada di depannya. Sudah dua hari ini pikirannya di penuhi oleh bayang-bayang manja wanita itu. Tentu saja dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan bagus. Apalagi malam ini istrinya tidak ada di rumah. Diapun langsung menarik pinggang Luna dan menempelkan tubuh wanita itu padanya.
"Kamu sangat cantik, Luna," bisik Bagas tepat di telinga Luna, membuat tubuh wanita itu meremang seketika.
"Kamu juga sangat tampan dan menggoda." Luna mengusap wajah Bagas, membuat pria itu tak tahan lagi dan langsung menerkam Luna. Dia mencumbui wanita itu hingga keduanya masuk kedalam lubang nafsu yang tak bisa terelakkan. Saling memuaskan, saling mendesah sampai keduanya lemas dan akhirnya terlelap.
***
Pagi harinya, Luna membuka matanya. Dia ingin bangun dan keluar dari kamar Bagas, tapi tangan kekar pria itu menariknya.
"Kamu sangat pandai bermain, aku pasti akan memberikanmu hadiah yang pantas," ucap Bagas lalu mengambil ponselnya. Dia mentransfer 10 juta ke rekening Luna.
"Terimakasih, tapi aku harap kamu tidak menganggapku wanita murahan. Tadi malam aku benar-benar tidak bisa menolak pesonamu yang begitu kuat," ucap Luna sambil menundukkan kepalanya.
"Aku tidak pernah menganggap kamu murahan, bahkan dua hari ini aku selalu menginginkan ini. Menginginkan bisa berdua denganmu," ucap Bagas jujur.
Luna tersenyum bahagia mendengar perkataan Bagas. Satu kecupan pun langsung dia berikan pada pria itu. "Aku balik ke kamarmu dulu, takut istrimu pulang dan lihat kita. Dia pasti akan membunuhku," ucap Luna lalu beranjak pergi.
Bagas tersenyum melihat kepergian Luna. Di saat bersamaan, ponsel Bagas pun berdering. Ada sebuah nama wanita di sana, dia pun segera bangkit dan menjawab telepon itu dengan suara berbisik. Seolah dia takut jika ada yang mendengar pembicaraannya.
Bagas mondar mandir di depan ruang ICU. Karin yang duduk di bangku pun menatap pria itu tidak suka.“Apa kamu sangat menyayangi anak dalam kandungan pelacur itu?” tanya Karin dengan nada sinis.Bagas menatap Karin tidak suka. “Kamu seorang wanita, seandainya ini terjadi padamu, bagaimana rasanya?”“Oh, jadi sekarang kamu membandingkan dia dengan aku. Apa dia pantas? Dia hanya wanita yang aku bayar untuk membuat Amiera pisah denganmu,” ucap Karin dengan mata berkaca-kaca.Bagas terpaku saat melihat mata Karin berkaca-kaca. “Aku tak bermaksud begitu, Rin. Aku hanya ingin semuanya berjalan dengan baik.” “Jadi kamu tidak ingin meninggalkan wanita itu?” tanya Karin dengan tatapan nanar.Bagas kembali terdiam. Kebimbangan kembali menghampirinya.Melihat Bagas hanya diam, Karin mengusap air mata yang mulai mengalir di pipinya. “Baik, jika memang kamu tidak akan meninggalkan wanita itu, maka aku yang akan pergi.” Karin membalikkan badan dan beranjak pergi.Melihat Karin menjauh, hati Bagas
“Terima kasih sudah membelaku,” ucap Amiera saat mereka sudah berada dalam mobil. “Tidak usah berterima kasih, kamu adalah calon istriku, sudah sewajarnya aku bela.” Satria tersenyum manis, dia mencondongkan tubuhnya ke arah Amiera dan membuat wanita itu terkejut dan salah tingkah.“Apa yang ingin kamu lakukan?” tanya Amiera dengan jantung yang berdegup kencang.q“Memakaikan sabuk pengaman,” ucap Satria sambil tersenyum.Amiera terdiam, dia mengira jika pria itu akan menciumnya, pipinya pun memerah.Satria menyalakan mobil dan segera mengantar Amiera pulang. Sedangkan Amiera, dia hanya diam sepanjang perjalanan. “Ra, bisakah kita menikah secepatnya?” tanya Satria saat Amiera akan turun dari mobilnya.“Apakah harus terburu-buru?” tanya Amiera sambil menundukkan kepala.“Aku takut kamu akan berubah pikiran dan meninggalkan aku.”Satria menatap wajah Amiera lekat, terlihat banyak harapan di wajah pria itu.“Tenanglah, aku bukanlah orang yang gampang berubah pikiran.” Amiera melepaska
Bagas berjalan keluar dari rumah Karin, pria itu mengusap wajahnya kasar. Dia bingung harus melakukan apa. Saat ini dia tidak ingin kehilangan Karin, tapi dia juga tidak mau menggugurkan anak yang dikandung Luna. Dengan enggan dia masuk ke dalam mobil dan menyalakannya. Dia tak ingin pulang, belum sanggup untuk menghadapi Luna dan juga Ibunya. Ada sedikit rasa bersalah dalam diri pria itu pada Luna. Meski tak ada perasaan apapun pada wanita itu, tapi dia pernah tidur dengannya dua kali. Mungkin perasaan tidak ada, tapi bayi dalam kandungan itu adalah darah dagingnya.Titt …Hampir saja Bagas menabrak pejalan kaki yang sedang menyeberang. Membuat pria itu terkejut dan ngerem mendadak.“Apa kamu buta, gak lihat kalau lampu merah?” bentak wanita yang hampir saja dia tabrak.“Kamu yang jalan sembarangan.” Bagas turun dari mobil dan menyeret wanita itu ke tepi jalan dengan kasar.“Dasar pria bajingan.” Wanita itu mendorong Bagas dengan sekuat tenaga, membuat Bagas emosi. “Katakan siapa
Seminggu sudah berlalu, hari ini adalah hari di mana Bagas dan Luna menikah. Kediaman Bu Hera tampak ramai, karena mereka melaksanakan akad nikah di rumah.“Akhirnya kamu akan resmi menjadi bagian keluarga ini,” ucap Bu Hera sambil mengusap rambut Luna lembut. “Semua ini berkat kerja keras Ibu,” ucap Luna sambil bergelut manja di lengan Bu Hera.“Apapun keinginanmu, Ibu pasti akan berusaha untuk kabulkan.” Bu Hera tersenyum senang, dia pun membawa Luna untuk turun untuk melakukan ijab qabul.“Apa ijab qabul sudah bisa dimulai?” tanya penghulu pada Bagas.Bagas tidak menjawab, pria itu justru melamun. Entah apa yang saat ini dia pikirkan. “Pak, apakah sudah siap ijab?” penghulu kembali mengulangi pertanyaannya. “Sebentar, Pak.” Bagas berdiri dan meninggalkan ruangan itu, dia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menelepon seseorang. “Siapa yang kamu telepon?” tiba-tiba Bu Hera muncul di belakang Bagas.“Bu,kenapa kamu ada di sini?” Bagas terkejut dan langsung mematikan ponselnya.“
Bagas membuka matanya pelan, pria itu memegangi kepalanya. Matanya berbinar saat melihat ada Ameira di sana. ‘Ra, kamu disini?” Bagas langsung ingin memeluk Amiera, tapi wanita itu langsung menghindar. “Kalau kamu sudah sembuh, lebih baik kamu segera pulang. Ibu dan dua kekasihmu pasti kebingungan mencari,” ucap Amiera.Bagas terdiam “Kepalaku masih pusing,” ucapnya sambil memegang kepalanya. Bagas pun melihat ke arah lain, di sana dia melihat ada Satria. Wajah yang tadinya berbinar pun berubah kesal.“Kenapa kamu ada disini?” tanya Bagas sedikit ketus.“Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kamu bisa ada di rumah orang tuaku?” Satria berdiri dan mendekat ke tempat tidur. “Orang tuamu?” Bagas terkejut, dia melihat ke arah Amiera, seolah ingin meminta wanita itu memberikan jawaban yang benar.Satria hanya mendengus kasar, kesal karena Bagas melihat ke arah wanita yang dia cintai. “Tidak usah bertanya pada Amiera, tanya saja pada ayah dan Ibuku, mereka siap memberi jawaban yang ben
Semakin hari, hubungan Amiera dan Satria semakin dekat. Keduanya sering pergi bersama, baik itu bersama Amel atau hanya berdua saja.Kedekatan mereka tentu saja membuat Bagas kesal. Pria itu semakin menyesal karena telah menyia-nyiakan Amiera. Menyesal karena baru menyadari betapa dia mencintai ibu dari anaknya setelah dia benar-benar kehilangan. Seperti halnya hari ini. Bagas pulang bekerja dan ingin menemui Amel. Tapi saat sampai di rumah Amiera, pria itu justru melihat Amiera sedang duduk di teras rumah bersama dengan Satria dan Amel. Mereka bercanda tawa layaknya keluarga kecil yang bahagia.Tangan Bagas mengepal, menahan nyeri dalam hatinya. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi. Dia mengemudi dengan kecepatan tinggi.Brak …Tanpa sengaja Bagas menabrak gerobak mie ayam yang tiba-tiba menyeberang. Kepala pria itu berdarah karena membentur setir. “Ahh..Bagas memegang kepalanya, pria itu turun dari mobil dengan menahan kesakitan. “Apa Bapak baik-baik saja?” tanya Bagas pada Bap