Share

Perasaan Tak Pernah Salah

Merah merasakan pening, kini dia berada di kamar hotelnya. Kejadian semalam membuatnya merasakan tidur nyenyak. Setelah sekian lama dia mendapati mimpi buruk. Mimpi yang sama. Tentang Bara.

Dering ponsel membuatnya terduduk. Siapa yang menghubunginya pagi-pagi begini. Papanya.

“Ada apa, Pa?” tanya Merah sedikit enggan.

“Apa kamu pikir dengan kabur, kamu akan bisa lepas dari perintahku? Kembali sekarang, lakukan pernikahan, atau kamu lebih suka dicoret dari daftar keluarga?” Suara renta tapi bernada angkuh itu membuat Merah menghela napasnya berat.

“Coret aku, aku akan mengambil barangku setelah siap untuk melihatmu,” kata Merah pada akhirnya.

“Anak tak tahu diri. Dengan seperti itu, apakah kamu berharap akan mendapatkan warisanku?” salaknya dari seberang saluran.

“Aku tak mengharapkan apa pun. Bahkan pengertianmu juga kini tak lagi kuharapkan. Bila bisnismu tak berjalan setelah ini, jangan pernah menyalahkanku,” balas Merah tak ingin mengalah.

“Semua ini memang karenamu. Anak tak tahu diuntung.” Sambungan terputus.

Merah tergugu, seperti inikah keluarga?

Saat akan ke kamar mandi, ponselnya kembali berdering. Domi.

“Kenapa? Apa Papa sudah mengadu kepadamu?” tanya Merah tahu apa yang akan dikatakan Domi.

“Ayo bertemu, kita bicarakan ini baik-baik,” kata Domi di seberang saluran.

“Di Hardrock,” kata Merah pada akhirnya.

Dia segera ke kamar mandi dan mengguyur kepalanya yang terasa berat. Baru saja dia merasakan nyaman, mereka kembali datang menghujaninya dengan tekanan.

Domi sedang gusar di kantornya. Merah menolak mentah-mentah tawaran Papanya, bahkan rela diusir dan dicoret dari daftar keluarga hanya karena tak ingin menikah dengan Bara. Dia mondar-mandir di depan meja kerjanya. Bara kini pasti sudah mendarat di bandara, menunggu perintahnya untuk datang. Kenapa masalah pernikahan saja bisa serumit ini? Apa harga diri Merah setinggi itu? Bukankah dia harusnya bersyukur Bara mau menikahinya dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kenapa perempuan tidak menerima saja semua keputusan yang terbaik untuknya?

Ponselnya menampilkan pesan dari Merah, dia sudah ada di kafe. Domi gegas keluar dari kantor dan mengatakan kepada sekretarisnya, akan sarapan di kafe.

“Bara, datanglah ke Hardrock kafe. Tapi tunggu instruksiku, jangan membuat Merah kabur.” Domi menghubungi Bara yang menunggu di bandara.

“Me, maaf lama, ada kerjaan,” kata Domi sambil menggeser kursi dan dudu di depan Merah.

“Me, tidak bisakah kamu pertimbangkan lagi semuanya? Ayolah, demi apa kamu rela dicoret dari daftar keluarga? Demi harga dirimu?” cecar Domi membuat wajah Merah memerah, menahan amarah.

“Dom, aku sudah sangat sabar menghadapi kalian. Hidupku seolah kalian kendalikan. Apakah aku juga tak berhak untuk mendekap harga diriku sendiri?” tanya Merah dengan mata nyalang.

“Ini demi kebaikanmu sendiri, Me.” Domi menyugar rambutnya kasar.

“Kebaikanku? Atau kebaikan kalian? Demi perusahaan?” Merah membuat Domi diam.

Bara terlihat di pintu masuk. Domi melambaikan tangannya. Merah sontak terperanjat dan marah.

Bara melangkah sebelum Merah sempat menghindar.

“Kita bertemu di sini, Me.” Kata-kata Bara seolah pisau yang membuat luka Merah kembali mengangga.

Merah terhuyung di kursinya, mencoba untuk tak berteriak.

“Aku sungguh-sungguh ingin menikahimu, Me.” Sekali lagi, menghunjam luka Merah.

Wajah Bara yang tanpa beban saat mengatakannya, membuat Merah merasakan semua perih. Perih yang mendera tubuhnya, sama seperti tahun lalu. Tubuhnya kini kembali bergetar hebat, ketakutan yang diredamnya, amarah yang dipendamnya, kini entah menjadi apa. Semuanya menjadi gelap. Merah kehilangan kesadarannya.

Domi yang melihat Merah pingsan seketika menyingkirkan tubuh Bara dan membopongnya. Bara mengikuti dengan langkah panik. Kenapa Merah seperti ini saat melihatnya? Apakah trauma itu bahkan nyata? Apakah kata menikahi dan bertanggung jawab malah membuat Merah semakin terluka? Hah, pikiran wanita memang rumit.

“Buka pintunya, Bar!” teriak Domi membuat Bara membuka pintu mobil.

Domi meletakkan Merah di kursi tengah.

“Pegang dia, kita ie rumah sakit,” perintah Domi membuat Bara mengerti.

Dia memegang tubuh tak berdaya Merah di kursi tengah. Sementara Domi melajukan mobil ke rumah sakit terdekat.

Pikiran Bara berkelana, setahun lalu, dia melakukan perbuatan nista, antara sadar dan tidak, karena pengaruh alkohol yang ditegaknya, bercampur dengan perasaan ingin memiliki Merah sepenuhnya. Merah selalu menjaga jarak dengannya, membuatnya selalu penasaran dengan isi kepala gadis ini. Kemudian malam itu, semuanya menjadi hancur karenanya. Merah terisak di sudut kamar. Dia memegang kepalanya yang pening dan baru menyadari perbuatannya. Merah marah kepadanya. Tapi semua sudah terjadi. Merah semakin menjauhinya. Hingga menolak semua permintaan maaf, hingga kini, menolak ajakannya untuk menikah. Persetujuan kedua orang tua mereka untuk bekerja sama, dan menikahkan mereka agar kerja sama itu berjalan sebagaimana mestinya, malah membuat Merah kabur.

Sebegitu marahkah Merah padanya? Pikiran yang berputar di kepala Bara.

Mereka sampai di rumah sakit. Domi mengisyaratkannya untuk membawa Merah ke UGD, yang langsung di sambut oleh perawat dan membaringkan Merah di brankar.

“Aku akan membujuk Papa untuk membatalkan semua rencana pernikahan itu. Kerja sama tetap akan kita lakukan,” kata Domi sambil memijit keningnya.

“Aku tahu, seharusnya mungkin aku tak datang ke sini,” kata Bara.

“Aku rasa Merah masih belum bisa menghilangkan traumanya terhadap kejadian itu,” desis Domi.

Bara tahu itu kesalahannya. Sudah sangat beruntung Domi dan Papanya tak menuntut ke pengadilan soal itu.

“Ternyata memang kesalahan itu, tak bisa dia maafkan,” kata Bara.

Dokter yang memeriksa Merah ingin berbicara dengan Domi. Bara menunggu sambil memandang wajah Merah yang terlihat lelah. Tak lagi cerah seperti dulu. Mungkin benar, setahun belakangan ini, dia sudah berusaha sangat keras untuk menyembuhkan lukanya.

Bara menggelengkan kepalanya. Perempuan memang susah dimengerti, saat laki-laki ingin bertanggungjawab terhadap perbuatannya, dia malah menghindar sedemikian rupa.

“Begini, Pak. Keadaan pasien memerlukan ketenangan, saraf-sarafnya yang tegang, mempengaruhi kesadarannya. Ada yang sepertinya dipaksakan sehingga pasien mengalami syok.” Penjelasan dokter membuat Domi mendesah.

Begitu beratnyakah semua ini bagi Merah?

“Lakukan yang terbaik, Dok.” Domi memohon.

“Kami akan melakukan check up keseluruhan, dan juga memindahkan pasien ke ruang perawatan,” kata dokter kemudian.

“Bar, pulanglah. Aku akan menjaganya. Aku takut dia akan kembali syok bila melihatmu,” kata Domi membuat Bara mengerti.

Bara melangkah keluar dan berencana hari ini juga kembali ke Jakarta untuk membatalkan semua rencana yang tak akan menjadi sepakat ini.

Domi menunggui Merah yang masih belum tersadar. Merah terlihat lelah dan kuyu. Domi baru menyadari, bahwa adiknya itu ternyata tak sekuat yang selama ini dia kira. Dia tetaplah perempuan yang rapuh seperti umumnya. Merah yang tak pernah mengeluh, ternyata hanya berpura-pura kuat. Hari ini Domi bahkan bisa melihat, Merah menyimpan semua lukanya sendirian. Sikap yang selama ini dirasanya sebagai ego, ternyata adalah cara Merah untuk bertahan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ivan Haws
heuh yah......laporkan saja k polisi....heuhhh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status