Home / Romansa / Red Dazzling / Perasaan Tak Pernah Salah

Share

Perasaan Tak Pernah Salah

Author: Crearuna
last update Last Updated: 2021-05-14 22:12:39

Merah merasakan pening, kini dia berada di kamar hotelnya. Kejadian semalam membuatnya merasakan tidur nyenyak. Setelah sekian lama dia mendapati mimpi buruk. Mimpi yang sama. Tentang Bara.

Dering ponsel membuatnya terduduk. Siapa yang menghubunginya pagi-pagi begini. Papanya.

“Ada apa, Pa?” tanya Merah sedikit enggan.

“Apa kamu pikir dengan kabur, kamu akan bisa lepas dari perintahku? Kembali sekarang, lakukan pernikahan, atau kamu lebih suka dicoret dari daftar keluarga?” Suara renta tapi bernada angkuh itu membuat Merah menghela napasnya berat.

“Coret aku, aku akan mengambil barangku setelah siap untuk melihatmu,” kata Merah pada akhirnya.

“Anak tak tahu diri. Dengan seperti itu, apakah kamu berharap akan mendapatkan warisanku?” salaknya dari seberang saluran.

“Aku tak mengharapkan apa pun. Bahkan pengertianmu juga kini tak lagi kuharapkan. Bila bisnismu tak berjalan setelah ini, jangan pernah menyalahkanku,” balas Merah tak ingin mengalah.

“Semua ini memang karenamu. Anak tak tahu diuntung.” Sambungan terputus.

Merah tergugu, seperti inikah keluarga?

Saat akan ke kamar mandi, ponselnya kembali berdering. Domi.

“Kenapa? Apa Papa sudah mengadu kepadamu?” tanya Merah tahu apa yang akan dikatakan Domi.

“Ayo bertemu, kita bicarakan ini baik-baik,” kata Domi di seberang saluran.

“Di Hardrock,” kata Merah pada akhirnya.

Dia segera ke kamar mandi dan mengguyur kepalanya yang terasa berat. Baru saja dia merasakan nyaman, mereka kembali datang menghujaninya dengan tekanan.

Domi sedang gusar di kantornya. Merah menolak mentah-mentah tawaran Papanya, bahkan rela diusir dan dicoret dari daftar keluarga hanya karena tak ingin menikah dengan Bara. Dia mondar-mandir di depan meja kerjanya. Bara kini pasti sudah mendarat di bandara, menunggu perintahnya untuk datang. Kenapa masalah pernikahan saja bisa serumit ini? Apa harga diri Merah setinggi itu? Bukankah dia harusnya bersyukur Bara mau menikahinya dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kenapa perempuan tidak menerima saja semua keputusan yang terbaik untuknya?

Ponselnya menampilkan pesan dari Merah, dia sudah ada di kafe. Domi gegas keluar dari kantor dan mengatakan kepada sekretarisnya, akan sarapan di kafe.

“Bara, datanglah ke Hardrock kafe. Tapi tunggu instruksiku, jangan membuat Merah kabur.” Domi menghubungi Bara yang menunggu di bandara.

“Me, maaf lama, ada kerjaan,” kata Domi sambil menggeser kursi dan dudu di depan Merah.

“Me, tidak bisakah kamu pertimbangkan lagi semuanya? Ayolah, demi apa kamu rela dicoret dari daftar keluarga? Demi harga dirimu?” cecar Domi membuat wajah Merah memerah, menahan amarah.

“Dom, aku sudah sangat sabar menghadapi kalian. Hidupku seolah kalian kendalikan. Apakah aku juga tak berhak untuk mendekap harga diriku sendiri?” tanya Merah dengan mata nyalang.

“Ini demi kebaikanmu sendiri, Me.” Domi menyugar rambutnya kasar.

“Kebaikanku? Atau kebaikan kalian? Demi perusahaan?” Merah membuat Domi diam.

Bara terlihat di pintu masuk. Domi melambaikan tangannya. Merah sontak terperanjat dan marah.

Bara melangkah sebelum Merah sempat menghindar.

“Kita bertemu di sini, Me.” Kata-kata Bara seolah pisau yang membuat luka Merah kembali mengangga.

Merah terhuyung di kursinya, mencoba untuk tak berteriak.

“Aku sungguh-sungguh ingin menikahimu, Me.” Sekali lagi, menghunjam luka Merah.

Wajah Bara yang tanpa beban saat mengatakannya, membuat Merah merasakan semua perih. Perih yang mendera tubuhnya, sama seperti tahun lalu. Tubuhnya kini kembali bergetar hebat, ketakutan yang diredamnya, amarah yang dipendamnya, kini entah menjadi apa. Semuanya menjadi gelap. Merah kehilangan kesadarannya.

Domi yang melihat Merah pingsan seketika menyingkirkan tubuh Bara dan membopongnya. Bara mengikuti dengan langkah panik. Kenapa Merah seperti ini saat melihatnya? Apakah trauma itu bahkan nyata? Apakah kata menikahi dan bertanggung jawab malah membuat Merah semakin terluka? Hah, pikiran wanita memang rumit.

“Buka pintunya, Bar!” teriak Domi membuat Bara membuka pintu mobil.

Domi meletakkan Merah di kursi tengah.

“Pegang dia, kita ie rumah sakit,” perintah Domi membuat Bara mengerti.

Dia memegang tubuh tak berdaya Merah di kursi tengah. Sementara Domi melajukan mobil ke rumah sakit terdekat.

Pikiran Bara berkelana, setahun lalu, dia melakukan perbuatan nista, antara sadar dan tidak, karena pengaruh alkohol yang ditegaknya, bercampur dengan perasaan ingin memiliki Merah sepenuhnya. Merah selalu menjaga jarak dengannya, membuatnya selalu penasaran dengan isi kepala gadis ini. Kemudian malam itu, semuanya menjadi hancur karenanya. Merah terisak di sudut kamar. Dia memegang kepalanya yang pening dan baru menyadari perbuatannya. Merah marah kepadanya. Tapi semua sudah terjadi. Merah semakin menjauhinya. Hingga menolak semua permintaan maaf, hingga kini, menolak ajakannya untuk menikah. Persetujuan kedua orang tua mereka untuk bekerja sama, dan menikahkan mereka agar kerja sama itu berjalan sebagaimana mestinya, malah membuat Merah kabur.

Sebegitu marahkah Merah padanya? Pikiran yang berputar di kepala Bara.

Mereka sampai di rumah sakit. Domi mengisyaratkannya untuk membawa Merah ke UGD, yang langsung di sambut oleh perawat dan membaringkan Merah di brankar.

“Aku akan membujuk Papa untuk membatalkan semua rencana pernikahan itu. Kerja sama tetap akan kita lakukan,” kata Domi sambil memijit keningnya.

“Aku tahu, seharusnya mungkin aku tak datang ke sini,” kata Bara.

“Aku rasa Merah masih belum bisa menghilangkan traumanya terhadap kejadian itu,” desis Domi.

Bara tahu itu kesalahannya. Sudah sangat beruntung Domi dan Papanya tak menuntut ke pengadilan soal itu.

“Ternyata memang kesalahan itu, tak bisa dia maafkan,” kata Bara.

Dokter yang memeriksa Merah ingin berbicara dengan Domi. Bara menunggu sambil memandang wajah Merah yang terlihat lelah. Tak lagi cerah seperti dulu. Mungkin benar, setahun belakangan ini, dia sudah berusaha sangat keras untuk menyembuhkan lukanya.

Bara menggelengkan kepalanya. Perempuan memang susah dimengerti, saat laki-laki ingin bertanggungjawab terhadap perbuatannya, dia malah menghindar sedemikian rupa.

“Begini, Pak. Keadaan pasien memerlukan ketenangan, saraf-sarafnya yang tegang, mempengaruhi kesadarannya. Ada yang sepertinya dipaksakan sehingga pasien mengalami syok.” Penjelasan dokter membuat Domi mendesah.

Begitu beratnyakah semua ini bagi Merah?

“Lakukan yang terbaik, Dok.” Domi memohon.

“Kami akan melakukan check up keseluruhan, dan juga memindahkan pasien ke ruang perawatan,” kata dokter kemudian.

“Bar, pulanglah. Aku akan menjaganya. Aku takut dia akan kembali syok bila melihatmu,” kata Domi membuat Bara mengerti.

Bara melangkah keluar dan berencana hari ini juga kembali ke Jakarta untuk membatalkan semua rencana yang tak akan menjadi sepakat ini.

Domi menunggui Merah yang masih belum tersadar. Merah terlihat lelah dan kuyu. Domi baru menyadari, bahwa adiknya itu ternyata tak sekuat yang selama ini dia kira. Dia tetaplah perempuan yang rapuh seperti umumnya. Merah yang tak pernah mengeluh, ternyata hanya berpura-pura kuat. Hari ini Domi bahkan bisa melihat, Merah menyimpan semua lukanya sendirian. Sikap yang selama ini dirasanya sebagai ego, ternyata adalah cara Merah untuk bertahan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ivan Haws
heuh yah......laporkan saja k polisi....heuhhh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Red Dazzling   Pelepasan

    Sepulang dari Lombok, Dazzle memboyong Merah ke Singaraja. Karena sekarang dia tak bekerja, bisa leluasa menemani Merah.“Daz, jangan menggoda, ada pekerjaan yang harus kuselesaikan,” erang Merah saat Dazzle mulai menciuminya.Gerakan tangannya di keyboard laptopnya terhenti. Sungguh Dazzle tak memberinya waktu untuk bernapas.“Gak usah kerja. Kan kamu sudah menjadi istriku. Aku yang memimpin Janu Company sekarang,” sergah Dazzle tak menghentikan aktivitasnya.“Aku gak mau hanya menerima uangmu,” elak Merah menghalau kepala Dazzle yang mulai turun ke lehernya.Sungguh. Dazzle membuatnya tak bisa berpikir jernih.“Menyerah?” tanya Dazzle saat Merah akhirnya menutup laptopnya.Dia tak akan bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan Dazzle yang menempel di tubuhnya.Merah bangkit, menarik Dazzle ke tempat favoritnya. Bathub. Dazzle tersenyum sambil meloloskan pakaian Merah.Keduta

  • Red Dazzling   Nenikmati Hidup

    Dazzle mengerjapkan mata saat Merah sibuk memilih baju untuk ke Gili. Repotnya jadi wanita.“Pakai itu saja,” putus Dazzle saat Merah memakai kaos dan celana pendeknya.“Tapi,” potong Merah merasa dirinya sangat buruk memakai kaos dan celana pendek.“Udah, pakai itu saja. Ayo berangkat,” kata Dazzle menggelandang Merah yang buru-buru meraih tas selempangnya.“Kamu mau terlambat naik perahu?” ancam Dazzle saat Merah masih mengomel.“Apa pun yang kamu pakai, kamu cantik,” desis Dazzle membuat Merah merona.Udara Lombok yang panas, ditambah angin laut yang kering, membakar tubuh mereka saat menyeberang ke Gili.Merah tak hentinya tersenyum. Tangannya tak lepas dari tangan Dazzle, seolah takut Dazzle meninggalkannya.“Aku lho, gak akan ke mana-mana,” bisik Dazzle saat Merah mengeratkan genggamannya.“Jangan melirik wanita lain,” ancam Merah.

  • Red Dazzling   Sampai Nanti, Sampai Kamu Siap

    Sepanjang malam, mereka hanya berpelukan dan berciuman. Dazzle benar-benar menahan dirinya agar tak menyakiti Merah.“Sudah capek?” tanya Dazzle saat Merah mulai memejamkan matanya.Merah mengangguk, tak kuat membuka matanya lagi. Dia memeluk Dazzle erat.“Tidurlah,” bisik Dazzle sambil membelai punggung Merah.Dazzle meninggalkan Merah yang sudah lelap. Kemudian duduk di kursi teras. Menghirup udara laut yang basah.Mengingat Merah yang menangis semalaman karena mereka tak bisa melakukan penestrasi, membuat Dazzle luruh. Trauma yang ternyata menyisakan efek pada tubuh Merah.Tubuhnya menegang, kata dokter kemarin, ada jaringan parut di sana. Yang membuat otot di sekitarnya menegang otomatis saat mendapat rangsangan.Dazzle mengembuskan napasnya. Dia tak akan meninggalkan Merah hanya karena ini. Dia harus membantu Merah lepas dari trauma dan kesakitan itu.Merah membuka matanya, tak mendapati Dazzle di s

  • Red Dazzling   Vaginismus

    Merah masih tak percaya dengan kondisi tubuhnya. Dia kini meringkuk di tempat tidur. Di kamar kost Dazzle.Penjelasan dokter tentang penyakit yang dideritanya, membuatnya merasakan hantaman. Apalagi yang membuatnya merasa lebih hancur sekarang?Vaginismus, kejadian yang menyertai korban pelecehan pada umumnya. Ketegangan otot vagina yang tanpa sengaja karena adanya rangsangan. Sehingga membuat penestrasi tak bisa dilakukan.Merah meraba dirinya sendiri, merasakan perih saat tangannya di sana. Dokter bilang, semuanya harus pelan-pelan.Merah terisak, ternyata, memang hidupnya tak semudah itu.Dazzle melihat Merah meringkuk sambil menangis, tak tega melihatnya.“Me,” bisik Dazzle. “Makan dulu ya.”Merah tak mau menyentuh makannya sedari pulang dari rumah sakit.Dazzle mengelus punggung Merah.Ketukan pintu membuat Dazzle beranjak. Tanya sekarang berada di depan Dazzle.“Ma.” Dazzl

  • Red Dazzling   Bersama

    Dazzle membawakan sarapan ke kamar. Karena Merah benar-benar terlihat capek dan tertidur pulas.Domi berpamitan, setelah sarapan akan langsung ke kantor. Dazzle mengiyakan.Dazzle membuka jendela kamar yang langsung memperlihatkan laut lepas. Membuat Merah mengernyitkan dahinya, silau.“Pagi, Princess,” sapa Dazzle membuat Merah malu.Apalagi sarapan sudah terhidang di meja. Dengan view yang sangat menawan, Merah mengagumi siluet Dazzle yang berdiri di depan jendela.Merah turun dari ranjang, duduk di sofa dan mulai memakan sarapan yang dibawa Dazzle.“Setelah ini, kita tak ada kegiatan. Aku hanya ingin bergelung di sana,” goda Dazzle membuat Merah melotot.“Mama lagi ada janji sama designer, buat baju kalian, apalah itu,” kata Dazzle kemudian merebahkan diri di pangkuan Merah.Seketika membuat jantung Merah berlompatan. Sikap Dazzle selalu memberi reaksi berlebihan untuk itu.“M

  • Red Dazzling   Arogan

    Kusuma Wardhana tak percaya, yang akan melamar Merah adalah anak Janu Wijanarko. Pengusaha yang mengusai jaringan hotel dan vila di Bali dan Lombok.Di mana Merah bertemu dengan anak, yang bahkan jarang terekspos media itu?Mata Kusuma menatap Janu yang duduk dengan tenang di kursi seberangnya. Tenang seperti biasa. Seperti Janu yang memang dikenalnya.“Ternyata, kita ditakdirkan menjadi besan, Pak Tua,” kekeh Janu membuat Kusuma tersenyum sinis.“Apakah kamu sudah mendengar kisah anak ini?” tanya Kusuma tanpa basa-basi.Merah diam, menundukkan wajahnya. Menahan air matanya.“Tak penting bagiku. Yang terpenting, anakku menerimanya dengan lapang dada. Lalu apa masalahnya? Harga dirimu yang tinggi itu?” serang Janu dingin.Dazzle menahan napasnya. Papanya menabuh genderang perang.Domi mencoba menetralisir ketegangan yang menjalari tubuhnya. Suhu ruangan private itu mendadak panas.&ldqu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status