Share

Korban Perasaan

Dazzle sedang duduk di depan komputer di ruang kerjanya. Lara belum terlihat datang sesiang ini. Pikiran Dazzle masih merutuki kebodohannya tertipu oleh Danta dan Rama selama ini.

“Daz!” Suara Lara membuat Dazzle tersadar dan menoleh.

Lara masuk ke ruangan mereka dengan tergesa. Menyeret kursi dan duduk di samping Dazzle yang enggan menanggapinya.

“Lo tahu, kemarin setelah lo pulang, gur kebetulan mendengar gosip,” kata Lara. Dazzle hanya mendesah.

“Lo gak penasaran?” tanya Lara melihat reaksi Dazzle yang tak peduli.

“Apa?” tanya Dazzle tanpa mengalihkan matanya dari layar komputer yang sedng menampilkan data.

“Jadi, para tamu undangan berbisik-bisik, mempelai wanita itu menikah dalam keadaan hamil dan meninggalkan pacarnya untuk menikah dengan mempelai pria karena untuk kerja sama perusahaan mereka katanya,” kata Lara membuat Dazzle tersedak ludahnya sendiri.

“Lo kenapa sih? Lesu amat,” lanjut Lara melihat Dazzle tak seperti biasanya.

“Entah, rasanya sedang malas untuk melakukan apa pun,” kata Dazzle, lagi-lagi tanpa menoleh.

“Hm ... ada hubungannya dengan kejadian kemarin yang lo ninggalin gue di kondangan?” tebak Lara.

“Bisa jadi,” elak Dazzle.

“Beneran deh, lo kenapa sik? Kaya orang lagi patah hati,” selidik Lara.

“Siapa bilang?” sungut Dazzle.

“Nah itu sewot. Beneran deh lo patah hati ini,” kata Lara sambil meraba kening Dazzle.

“Apaan sih?” sergah Dazzle sambil mengibaskan tangan Lara.

“Kita jalan aja yuk, ngopi di Sbux,” kata Lara sambil menyeret Dazzle.

“Kerjaan belom kelar La, ntar aku dipecat,” protes Dazzle.

“Nanti gue yang ngomong sama Om Irwan. Lo terima beres,” kata Lara sambil mengedipkan matanya ke arah sekretaris Omnya itu.

Lara melesakkan tubuh Dazzle ke dalam mobil. Lalu menyetir mobilnya ke arah Sunser Road Kuta. Rujuannya adalah Starbuck.

“Ayo kita ngopi seharian,” kata Lara membuat Dazzle mendesah.

“Kamu emang ya.” Dazzle memesan Caffe Latte kesukaannya.

Mereka mencari tempat di pojok, agar privasi mereka sedikit lega.

“Jadi sekarang lo cerita sama gue,” kata Lara membuat Dazzle memejamkan matanya.

“Kamu tahu siapa yang menikah kemarin itu?” tanya Dazzle seraya menyesap kopinya.

“Rama Adiswara, putra kedua dari Sastro Diputra, pemilik beberapa vila di Bali dan Lombok,” kata Lara masih tak mengerti kaitan pernikahan kemarin dengan tampang lesu Dazzle hari ini.

“Mempelai perempuan?” selidik Dazzle.

“Kalau tak salah dia adalah putri dari direktur di sebuah bank swasta. Apa hubungannya dengan wajah lo?” seru Lara tak sabar.

“Kamu tahu siapa mereka bagiku?” tanya Dazzle membuat Lara semakin bingung.

“Danta, mempelai perempuan itu, adalah kekasihku. Dan Rama adalah sahabatku,” kata Dazzle pada akhirnya. Lara menutup mulutnya tak percaya.

“Daz, lo gak salah orang kan?” desisnya tak percaya.

Dazzle mengeluarkan ponselnya, membuka galeri fotonya, menunjukkan beberapa foto kebersamaannya dengan Danta, dan ironisnya, Rama juga.

Lara masih tak percaya. Dia menggeser layar ponsel Dazzle ke atas dan ke bawah berulang kali. Fakta bahwa semua yang dikatakan Dazzle benar adanya.

“Gila Daz, lo kuat banget dah,” decak Lara menyerahkan kembali ponsel Dazzle.

Dazzle menghapus semua foto itu sebelum hatinya bertambah perih.

“Pantesan lo kaya gak punya nyawa,” lanjut Lara membuat Dazzle melotot.

“Jadi, mari kita lupakan saja masalah ini dan abaikan semua perasaanku,” pinta Dazzle membuat Lara menggeleng. Sudah tidak waras orang ini.

“Daz, aku ingin bicara.” Tiba-tiba Danta sudah ada di antara mereka.

Membuat Dazzle terenyak dan Lara tak bisa berkata-kata.

“Bolehkan aku meminjam dia sebentar?” tanya Danta mengintimidasi ke arah Lara yang mengangguk dan beringsut pergi. Sialan.

“Daz, aku ingin menjelaskan semuanya. Kebetulan kita bertemu di sini.” Danta duduk di kursi yang tadi diduduki Lara.

“Apalagi? Aku sudah cukup muak,” desis Dazzle seraya menyesap kopinya unruk menghilangkan perih.

“Daz, aku beneran tak bermaksud membuatmu terlihat seperti pecundang. Aku berencana memberitahukan semuanya setelah ini settle,” kata Danta malah membuat Dazzle semakin marah.

“Setelah semua settle? Dan kamu pikir aku ini apa? Barang yang bisa kamu letakkan, lalu kamu pungut lagi?” cecar Dazzle.

“Daz, aku, kami, hanya tak ingin melukaimu,” bantah Danta mencoba untuk membuat Dazzle luluh.

“Bulshit! Bawa pergi semua kata-katamu, tak usah kembali. Selamat berbahagia dengan semua yang kamu miliki sekarang. Urus suamimu dan jangan pernah menampakkan lagi wajahmu di depanku. Bila kita tak sengaja bertemu, anggap kita tak pernah saling mengenal,” kata Dazzle seraya pergi meninggalkan Danta.

Danta beranjak dan memeluk Dazzle dari belakang. Membuat tubuh Dazzle menengang untuk sesaat. Damn.

“Lepaskan.” Dazzle mengurai tangan Danta yang membelit pinggangnya.

“Maafkan aku, Daz. I still love you. Apakah kita tak bisa tetap seperti dulu?” desis Danta entah bagaimana malah membuat Dazzle merasa jijik.

“Kamu gila. Aku tak akan pernah mau mengenalmu,” desis Dazzle meninggalkan Danta dan memberi kode kepada Lara untuk pergi.

Danta menatap punggung Dazzle dengan penyesalan yang tak habisnya. Meninggalkan Dazzle demi Rama, hanya karena nafsu mereka yang berbuah anak yang kini dikandungnya. Danta memijit keningnya. Terjebak bersama Rama, dan Dazzle dalam waktu bersamaan adalah akibat dari permainannya sendiri.

Lara menyetir mobil sambil sesekali melirik Dazzle yang terdiam. Mereka tak kembali ke kantor, Lara tahu kantor akan terlihat sangat membosankan dalam keadaan tak stabil.

“Kita kemana, La?” tanya Dazzle saat menyadari mobil mereka bergerak menjauhi Denpasar.

“Kita makan ikan di Goa Lawa,” kata Lara.

“Kita bolos kerja seharian? Beneran besok adalah hari pemecatanku,” erang Dazzle membuat Lara tertawa.

“Om Irwan akan diam kalau gue yang bilang. Jadi tenangkan otakmu,” kata Lara disela tawanya.

Yang ingin dilakukannya hanya menghibur Dazzle.

“Daz, kalo lo pengen nangis, gpp kali,” kata Lara.

“Perlu?” decih Dazzle.

“Ya kali lo butuh buat ngelampiasin emosi, dan gue termasuk cewek yang open minded soal cowok yang menangis. Manusiawi.” Lara mengedipkan matanya.

“Aku merasa tak pantas menangisi keduanya, La. Everything goes, perasaanku sakit, menjadi korban, tapi buat apa aku menangisi orang yang tak menganggapku ada? Kita realitis saja,” sergah Dazzle membuat Lara tertawa.

“Gue percaya lo orang kuat, tegar. Gue Cuma berharap, lo gak berubah jadi pendiam yang depresi,” oceh Lara membuat Dazzle tertawa pada akhirnya.

“Setidaknya, ada kamu yang membuatku tertawa, La,” kata Dazzle.

Bersyukur mempunyai partner kerja sekaligus sahabat yang tahu bagaimana memperlakukannya.

“Suatu hari, lo pasti bakalan dapet cewek yang emang pas buat lo. Memahami lo, dan menerima lo,” kata Lara membuat Dazzle mengangguk.

Suatu hari nanti. Entah kapan. Lalu dia mengingat Merah, apakah sekarang dia juga sedang merana? Apakah dia juga sedang menangisi hidup? Dazzle menggelengkan kepalanya. Kenapa harus mengingat Merah di saat seperti ini, dia bahkan tak mengenal Merah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status