Dazzle menghela nafasnya berat.
“Mungkin, itulah takdir,” kata Dazzle.
“Hah, laki-laki sepertimu percaya takdir?”
“Tidak usah memancing emosi. Hariku sedang buruk,” kata Dazzle mengalah.
Merah menghela nafasnya berat.
“Sama,” kata Merah pada akhirnya.
Mereka berdua menyesap mojito yang diantar pelayan ke meja mereka.
“Kamu kerja?” tanya Merah membuat Dazzle mengangguk.
“Oh, kirain hanya pengangguran di sini,”
“Hmm ... sudah kubilang jangan memancing,”
“Maaf,” kata Merah menatap Dazzle tajam.
“Kamu sendiri? Apa yang kamu lakukan?”
“Aku? Aku sedang menghindari yang katamu takdir tadi. Sedang melarikan diri dari sebuah cerita, aku ingin bebas, tak terperangkap dalam sebuah plot yang menawanku,” kata Merah diplomatis.
“Berapa lama di Bali?”
“Kenapa? Kamu akan memanfaatkanku kalau aku lama di sini?” tanya Merah membuat Dazzle menghela nafasnya.
“Kamu ini tidak bisa ya bersikap sedikit menghargai orang lain?”
“Oh maaf. Aku terbiasa bertemu dengan manusia yang ingin memanfaatkanku saja,” kata Merah sendu.
“Tidak semua orang seperti itu,” bantah Dazzle mencoba mengingkari kenyataan bahwa diapun baru saja dikhianati.
“Memang, tapi aku belum menemukannya,” kata Merah menatap Dazzle tajam.
“Belum waktunya mungkin,” Dazzle mencoba bijak.
“Hah berapa lama? Dunia sepertinya memang tak mau membiarkanku tenang sebentar saja,” Merah menghela nafasnya berat.
“Bukan masalah berapa lama, tapi seberapa kuat kita bertahan,” kata Dazzle, dan entah dari mana dia mendapatkan kata itu, sepertinya sedikit alkohol sudah bekerja membuat otaknya menjadi encer.
“Apakah kamu percaya, bahwa seorang korban perkosaan berhak hidup lebih baik? Tanpa menerima pertanggung jawaban dari laki-laki brengsek yang mengatasnamakan khilaf menjadi sebuah maaf?” tanya Merah, dan entah dari mana dia berani menanyakan hal itu kepada laki-laki asing yang baru ditemuinya itu bahkan tanpa sungkan.
“Seorang perempuan berhak menentukan ingin bagaimana menjalani hidupnya setelah pulih dari trauma yang mungkin menderanya. Dia berhak menolak dan mencari kehidupan yang lebih baik,” jawab Dazzle ringan.
“Lalu apakah dia berhak mencintai dan dicintai?” Merah mencerca Dazzle dengan pertanyaannya. Otaknya merasa laki-laki ini memiliki pemikiran yang berbeda.
“Berhak, hei kenapa kamu menanyakan hal absurd? Apakah kamu seorang aktivis feminisme yang sedang mencari dasar untuk penelitian?” Entah otak Dazzle bereaksi mendengar pertanyaan Merah yang terdengar mencari penguatan.
“Bukan, aku hanya mencari sebuah penguatan. Mungkin bisa dibilang aku berada di posisi yang aku katakan?” desis Merah menyadari mulutnya lancang.
“Are you rape victim?” Dazzle menajamkan telinganya.
“Kenapa? Apa kamu akan menyalahkanku karena hal itu?” Merah merasa dikuliti. Ini pertama kalinya dia berterus terang tentang kondisinya kepada orang asing.
“Apakah kasusmu masuk ke pengadilan?” Dazzle berusaha mencari kesalahan dari pendengarannya. Merah terlihat bukan dari kalangan yang mudah menjadi korban perkosaan.
“Hah, bahkan dia masih melenggang bebas, sekarang bahkan sedang mencoba untuk menikahiku, sebagai bentuk pertanggung jawaban dan permintaan maaf katanya. Bulshit. Dia mengatakannya setelah setahun berlalu,” ujar Merah kembali menyesap mojitonya.
“Aku turut berduka,” kata Dazzle tak tahu harus bagaimana.
“Jangan merasa kasihan,” sergah Merah tak suka dengan nada perkataan Dazzle.
“Maaf, aku tak merasa kasihan. Aku benar-benar merasa berduka dengan apa yang kamu alami, pasti berat harus menghadapinya sendirian,” kata Dazzle dan entah bagaimana dia beranjak memeluk Merah.
Entah kenapa Merah juga merasakan nyaman saat Dazzle memeluknya, menguatkan. Air matanya meluruh, bahkan Domi dan ayahnya tak pernah memberikan pelukan hangat untuk menenangkannya saat dia kalut dengan kondisinya saat itu.
“Eh, maaf.” Dazzle mengurai pelukannya karena menyadari Merah menangis.
“Terima kasih, tak ada seseorang yang menguatkanku seperti ini.” Merah menyusut air matanya.
Dazzle memandang Merah dengan iba. Entah apa yang sudah dilaluinya, tapi sakit itu kini terlihat nyata di matanya. Sepertinya selama ini dia memendam sendirian beban yang mengimpit.
“Kamu sendiri, kenapa harimu terasa buruk?” Merah mengalihkan pembicaraan agar tak larut dalam kesedihannya.
“Aku? Aku baru saja menyaksikan dua orang yang penting dalam hidupku mengkhianatiku dalam janji suci pernikahan. Dia menikahi sahabatku dan membuka kenyataan bahwa mereka sudah melakukan hubungan jauh bahkan di saat masih bersamaku,” erang Dazzle seraya menekankan kepalan tangannya ke kursi. Menyalurkan emosinya.
“Hah, ternyata hidupmu bahkan sama beratnya,” desis Merah menyadari ternyata banyak orang terluka karena perasaan mereka.
“Itulah kenapa aku tak suka saat orang mengatakan penderitaanmu tak seberat punyaku. Karena sebenarnya berat atau tidak itu relatif.” Dazzle kemudian memanggil pelayan untuk membawakan mereka bill.
“Terima kasih sudah mendengarkan keluh kesah yang mungkin menambah berat bebanmu. Lupakan, lupakan pertemuan kita. Mari hidup dalam kubangan hari kita. Tanpa saling mengingat.” Dazzle menyarankan Merah untuk melupakan semuanya.
Pelayan datang membawakan bill, Dazzle melihatnya dan menyelipkan uang di sana. Kemudian beranjak, memeluk Merah sejenak dan pergi.
Merah masih duduk di sana. Menyesap sisa mojitonya dan mencerna kata-kata Dazzle.
Dia kembali mengingat Bara yang bersikeras menikahinya, dan jahatnya papanya malah mendukung tindakan lelaki bejat itu bahkan setelah Merah mengatakan semuanya, mereka malah semakin bersikeras untuk menjadikan pernikahan itu.
Kepalanya sedikit pening efek dari alkohol yang ditegaknya. Merah beranjak pergi. Sosok Dazzle sudah menghilang. Seperti rasa nyaman yang tadi dirasakannya. Kini dia kembali sendirian. Dia merasa bodoh karena merasa nyaman berada dalam pelukan laki-laki asing yang baru dikenalnya. Sebegitu kesepiannyakah dirinya sampai dia merasa nyaman diperhatikan seseorang? Merah mendesah, merasakan kekosongan hatinya.
Dazzle merutuki dirinya sendiri yang memeluk perempuan yang baru dikenalnya. Beruntung dia tak dituduh melakukan pelecehan. Dia menyugar rambutnya dengan kasar. Merasakan betapa dia mudah sekali merasa iba kepada orang lain. Mungkin ini yang membuat Danta dan Rama bahkan bisa membuatnya merasa dipecundangi. Karena mereka tahu dia akan melupakan kejadian ini dan menerima mereka kembali dengan tangan terbuka. Tapi kali ini dia tak akan membuka dirinya untuk peluang dilukai lagi.
Dazzle mendesah dan mendapati motornya masih di parkiran La Planca. Melarikan kembali motornya kembali ke Jimbaran. Sepanjang jalan dia memikirkan Merah yang harus menghadapi ketidakadilan hierarki tentang keputusan yang masih menitik beratkan bahwa perempuan tak berhak memilih, apalagi dirasa saat dia sudah rusak. Betapa picik pemikiran kaumnya tentang hal ini. Patriarki memang terkadang tak tepat saat diaplikasikan ke kehidupan bermasyarakat. Kesenjangan begitu terasa. Dazzle menghela napasnya.
Pertemuan sekaligus perpisahan yang menyisakan bekas. Pertemuan yang terjadi tanpa sengaja tapi mampu membubuhkan sedikit penawar luka bagi keduanya. Ada sesal karena tak saling bertukar nomor telepon. Tapi mungkin takdir mengatakan agar mereka berjalan tanpa harus saling kembali melintas. Biarkan sedikit penawar itu berkembang menjadi obat dengan sendirinya tanpa harus bertemu kembali.
Merah merasakan pening, kini dia berada di kamar hotelnya. Kejadian semalam membuatnya merasakan tidur nyenyak. Setelah sekian lama dia mendapati mimpi buruk. Mimpi yang sama. Tentang Bara.Dering ponsel membuatnya terduduk. Siapa yang menghubunginya pagi-pagi begini. Papanya.“Ada apa, Pa?” tanya Merah sedikit enggan.“Apa kamu pikir dengan kabur, kamu akan bisa lepas dari perintahku? Kembali sekarang, lakukan pernikahan, atau kamu lebih suka dicoret dari daftar keluarga?” Suara renta tapi bernada angkuh itu membuat Merah menghela napasnya berat.“Coret aku, aku akan mengambil barangku setelah siap untuk melihatmu,” kata Merah pada akhirnya.“Anak tak tahu diri. Dengan seperti itu, apakah kamu berharap akan mendapatkan warisanku?” salaknya dari seberang saluran.“Aku tak mengharapkan apa pun. Bahkan pengertianmu juga kini tak lagi kuharapkan. Bila bisnismu tak berjalan setelah ini, janga
Dazzle sedang duduk di depan komputer di ruang kerjanya. Lara belum terlihat datang sesiang ini. Pikiran Dazzle masih merutuki kebodohannya tertipu oleh Danta dan Rama selama ini.“Daz!” Suara Lara membuat Dazzle tersadar dan menoleh.Lara masuk ke ruangan mereka dengan tergesa. Menyeret kursi dan duduk di samping Dazzle yang enggan menanggapinya.“Lo tahu, kemarin setelah lo pulang, gur kebetulan mendengar gosip,” kata Lara. Dazzle hanya mendesah.“Lo gak penasaran?” tanya Lara melihat reaksi Dazzle yang tak peduli.“Apa?” tanya Dazzle tanpa mengalihkan matanya dari layar komputer yang sedng menampilkan data.“Jadi, para tamu undangan berbisik-bisik, mempelai wanita itu menikah dalam keadaan hamil dan meninggalkan pacarnya untuk menikah dengan mempelai pria karena untuk kerja sama perusahaan mereka katanya,” kata Lara membuat Dazzle tersedak ludahnya sendiri.“Lo kenap
Merah terbangun, kepalanya terasa berat, dia asing dengan ruangan ini. Saat menoleh ke kanan, Domi sedang duduk sambil terkantuk-kantuk. Lalu Merah mengingat kejadian yang terjadi tadi pagi, ingatannya tentang Bara menyeruak. Matanya nyalang beredar ke penjuru ruang, was-was akan keberadaan Bara. Kemudian dia mendesah lega, Bara tak terlihat.“Dom,” desis Merah, membuat Domi terlonjak.“Me, kamu sudah sadar? Maafkan aku Me, aku tak pernah mau memahamimu,” kata Domi dengan mata berkaca-kaca.“Maafkan aku menyusahkanmu,” kata Merah berusaha bangkit.“Jangan, berbaringlah. Dokter sudah memeriksamu, dia mengatakan, kamu mungkin enggan untuk bangun, maafkan aku Me.” Domi menggenggam tangan Merah erat. Menyalurkan energi yang bisa dia salurkan untuk menguatkan adiknya itu.“Aku sudah menelepon Papa. Dia marah besar, tapi aku tak lagi peduli, Me. Lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan untuk kebahagiaa
Mereka berdua melewati pematang sawah, Dazzle mengantar Merah kembali ke villa. Mereka berpisah karena sudah saling menemukan. Selanjutnya hanya bagaimana melanjutkan hari.Dazzle melajukan motornya dengan hati yang mungkin sedikit ringan. Menjanjikan sebuah perasaan kepada seorang perempuan yang bahkan belum sepenuhnya dikenal. Entah kenapa, rasanya saat bersama Merah, perasaannya mengendap. Lukanya menguap. Ada pertautan yang bahkan dia sendiri tak paham. Dia bahkan belum bisa memastikan, ini sekedar pelampiasan atau memang sebuah takdir yang menyatukan mereka?“Non, sudah makan siang?” sapa seseorang membuat Merah kaget. Saat Domi mengantarnya, tak ada orang di rumah.“Maaf Non, saya Mbok Ijah, tadi Mas Domi telepon, bilang kalau adiknya akan menghuni rumah untuk sementara, Mbok disuruh nemenin Non,” kata Mbok Ijah sambil mengulurkan tangannya.“Oh iya Mbok, maaf merepotkan. Aku tadi sudah makan di luar,” jawab Merah
Dazzle kembali melajukan motornya ke arah Kuta. Dia sudah mengirim pesan untuk Lara. Kini pikirannya bercabang. Bagaimana mengatakan ijin kerja mobile kepada Lara dan bagaimana menolong Merah.Memang, menjadi pemikir sepertinya selalu membuatnya berada dalam situasi yang rumit.Lara menunggu di starbucks reserve Kuta. Menyesap machiatonya.“Kok lama? Dari mana lo? Cuti klayapan,” salak Lara membuat Dazzle melemparinya dengan struk pembelian.“Sabar napa,” sergah Dazzle menyandarkan punggungnya.“Kamu bisa lobi Pak Irwan agar aku bisa kerja mobile?” tanya Dazzle membuat Lara melotot.“Kenapa lo mendadak pengen kerja mobile?” selidik Lara.“Ya, aku ada urusan yang mendadak dan, rumit,” elak Dazzle.“Lo harus jelasin, baru gue mau bantu,” ancam Lara.Dazzle menyesap cafe lattenya.“Aku, sedang dalam misi, entah ini kutukan atau apa,”
Dazzle menyetir mobil Lara, pagi ini Lara memaksa untuk memakai mobilnya. Dazzle sedang tak ingin membantah.“Kamu yakin nih, Daz?” tanya Lara memecah konsentrasi Dazzle.“Yakin tentang apa?” Dazzle balik bertanya.“Tentang wanita ini,” kata Lara seraya melirik Dazzle.“Yakin tentang dia atau tentang tindakanku?” Dazzle memperjelas.“Tentang tindakanmu sih. Kamu menjadi sangat impulsive,” kata Lara.“Aku juga tak yakin. Tapi aku juga ingin mencoba menjadi caregiver dan lebih memahami orang lain,” kata Dazzle tak yakin dengan tujuannya yang sebenarnya.Apakah ini karena dia ingin membantu Merah, atau ini caranya untuk melarikan diri dari kehidupan.Lara menggelengkan kepalanya. Dazzle sepertinya tak waras.Merah sesekali melihat ke arah halaman. Memastikan matanya melihat kedatangan Dazzle. Dia sungguh merasa gila sudah mengharapkan Dazzle seperti ini
Domi menemui Bara di kafe di kawasan Legian.“Ada apa? Bukankah sudah kukatakan kesepakatan tetap berlangsung meski kalian tak jadi menikah?” tanya Domi membuat Bara mengusap wajahya gusar.Ini tentang hatinya yang ingin memiliki Merah. Terlepas dari perjanjian bisnis itu. Ini tentang hatinya yang mencintai Merah dengan menggebu.“Pertemukan aku dengannya. Aku ingin mengatakan semuanya, penyesalanku dan cintaku padanya,” desis Bara membuat Domi menghela napasnya.“Aku tak tahu di mana Merah berada. Aku tak tahu nomor teleponnya, sepertinya dia mengganti nomornya,” dusta Domi.Dia tak ingin Merah semakin sakit, walaupun mungkin Bara tulus untuk perasaanya, tapi awal dari hubungan mereka sudah tak baik.“Jangan bohong, Dom,” desis Bara sambil menatap Domi penuh selidik.“Aku tak membohongimu,” sergah Domi.“Merah terluka Bar, terluka dalam. Melihatmu mungkin membua
Merah sudah siap. Menunggu dengan antusias kedatangan Dazzle. Hari ini mungkin akan menjadi hari baru baginya. Merah membuka matanya dengan percaya diri. Senyum tak lupa dia sematkan, untuk menguatkan dirinya sendiri, bahwa hidupnya, masih bisa berarti.Domi tak melepasnya pergi. Karena satu hal dan lain hal. Bagi Merah, rasa percaya Domi sudah cukup. Mbok Ijah menunggui Merah. Merasa iba dengan nona mudanya itu. Sungguh hidupnya tragis.Dazzle turun dari mobil, melihat Merah sudah siap di teras rumah membuatnya geli. Merah seperti anak owcil yang tak sabar menunggu saat diajak piknik.“Maaf ya lama, harus mengurus form kerja buat Lara, agar pekerjaanku tak keteteran,” kata Dazzle mulai mengangkut barang-barang Merah ke mobil.“Tak apa,” sahut Merah seraya membawa apa yang sekiranya dia bisa.Mbok Ijah membantu sekedarnya. Kemudian memeluk Merah, mendoakannya agar selalu bahagia dan sehat.Mobil mereka menyusuri jalan