Sepulang dari Lombok, Dazzle memboyong Merah ke Singaraja. Karena sekarang dia tak bekerja, bisa leluasa menemani Merah.
“Daz, jangan menggoda, ada pekerjaan yang harus kuselesaikan,” erang Merah saat Dazzle mulai menciuminya.
Gerakan tangannya di keyboard laptopnya terhenti. Sungguh Dazzle tak memberinya waktu untuk bernapas.
“Gak usah kerja. Kan kamu sudah menjadi istriku. Aku yang memimpin Janu Company sekarang,” sergah Dazzle tak menghentikan aktivitasnya.
“Aku gak mau hanya menerima uangmu,” elak Merah menghalau kepala Dazzle yang mulai turun ke lehernya.
Sungguh. Dazzle membuatnya tak bisa berpikir jernih.
“Menyerah?” tanya Dazzle saat Merah akhirnya menutup laptopnya.
Dia tak akan bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan Dazzle yang menempel di tubuhnya.
Merah bangkit, menarik Dazzle ke tempat favoritnya. Bathub. Dazzle tersenyum sambil meloloskan pakaian Merah.
Keduta
“Daz, temenin gue ke kondangan dong,” pinta Lara, rekan kerja Dazzle sore itu.“Makanya, jangan kelamaan jomlo. Sampe ke kondangan aja minta ditemenin sama aku,” ledek Dazzle membuat Lara melempar remasan kertas ke arahnya.“Ayolah Daz. Gue tahu kok lo gak ada acara ntar sore,” rengek Lara.“Emang di mana tempatnya? Trus yang nikah siapa?” cecar Dazzle.“Di Four Season Jimbaran. Itu kolega Bokap, anaknya nikah, Bokap lagi di Jakarta kagak bisa hadir. Mau ya? Makan gratis ini.” Lara mengedipkan matanya ke arah Dazzle.“Lah menurutmu aku gak bisa apa kalau Cuma makan di Four Season aja?” elak Dazzle.“Ya bisa. Pan lo biasanya makan di pintu masuknya.” Lara tertawa keras sementara Dazzle meleparinya balik dengan remasan kertas.“Iya, iya ntar aku temenin,” kata Dazzle pada akhirnya.“You always be my saviour.” Lara menghambur dan hendak memeluk Dazzle, seketika Dazzle menyilangkan tangannya.“Jangan bikin aku kee
Dazzle menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana hari ini sangat sial baginya. Dering ponsel kembali menyadarkannya. Rama.“Bro, kamu dimana? I want to tell you something,” kata Rama di seberang sana. Dazzle menahan geram.“Lagi di Kuta? Ada apa?”“Oh baguslah, nanti ketemuan di La Planca seperti biasa ya?” kata Rama seperti tidak ada apa-apa.“Mau ngomongin apa? Aku gak ada waktu,” Dazzle berusaha mengelak.“Penting Bro, please. Kali ini. Besok gak akan lagi,” kata Rama membuat Dazzle mengeratakkan giginya menahan amarah.“Iya, besok gak akan menganggu lagi, karena mulai detik ini saja aku sudah tak ingin mengenalmu,” runtuk Dazzle dalam hati.“Oke, aku tunggu di La Planca,” kata Dazzle menyerah.Dazzle bergegas ke arah motornya di parkiran. Memasang helm dan melajukan motornya ke arah Legian. Jam segini jalanan Legian Seminyak sedang pad
Dazzle menghela nafasnya berat.“Mungkin, itulah takdir,” kata Dazzle.“Hah, laki-laki sepertimu percaya takdir?”“Tidak usah memancing emosi. Hariku sedang buruk,” kata Dazzle mengalah.Merah menghela nafasnya berat.“Sama,” kata Merah pada akhirnya.Mereka berdua menyesap mojito yang diantar pelayan ke meja mereka.“Kamu kerja?” tanya Merah membuat Dazzle mengangguk.“Oh, kirain hanya pengangguran di sini,”“Hmm ... sudah kubilang jangan memancing,”“Maaf,” kata Merah menatap Dazzle tajam.“Kamu sendiri? Apa yang kamu lakukan?”“Aku? Aku sedang menghindari yang katamu takdir tadi. Sedang melarikan diri dari sebuah cerita, aku ingin bebas, tak terperangkap dalam sebuah plot yang menawanku,” kata Merah diplomatis.“Berapa lama di Bali?”“Kenapa? Kamu
Merah merasakan pening, kini dia berada di kamar hotelnya. Kejadian semalam membuatnya merasakan tidur nyenyak. Setelah sekian lama dia mendapati mimpi buruk. Mimpi yang sama. Tentang Bara.Dering ponsel membuatnya terduduk. Siapa yang menghubunginya pagi-pagi begini. Papanya.“Ada apa, Pa?” tanya Merah sedikit enggan.“Apa kamu pikir dengan kabur, kamu akan bisa lepas dari perintahku? Kembali sekarang, lakukan pernikahan, atau kamu lebih suka dicoret dari daftar keluarga?” Suara renta tapi bernada angkuh itu membuat Merah menghela napasnya berat.“Coret aku, aku akan mengambil barangku setelah siap untuk melihatmu,” kata Merah pada akhirnya.“Anak tak tahu diri. Dengan seperti itu, apakah kamu berharap akan mendapatkan warisanku?” salaknya dari seberang saluran.“Aku tak mengharapkan apa pun. Bahkan pengertianmu juga kini tak lagi kuharapkan. Bila bisnismu tak berjalan setelah ini, janga
Dazzle sedang duduk di depan komputer di ruang kerjanya. Lara belum terlihat datang sesiang ini. Pikiran Dazzle masih merutuki kebodohannya tertipu oleh Danta dan Rama selama ini.“Daz!” Suara Lara membuat Dazzle tersadar dan menoleh.Lara masuk ke ruangan mereka dengan tergesa. Menyeret kursi dan duduk di samping Dazzle yang enggan menanggapinya.“Lo tahu, kemarin setelah lo pulang, gur kebetulan mendengar gosip,” kata Lara. Dazzle hanya mendesah.“Lo gak penasaran?” tanya Lara melihat reaksi Dazzle yang tak peduli.“Apa?” tanya Dazzle tanpa mengalihkan matanya dari layar komputer yang sedng menampilkan data.“Jadi, para tamu undangan berbisik-bisik, mempelai wanita itu menikah dalam keadaan hamil dan meninggalkan pacarnya untuk menikah dengan mempelai pria karena untuk kerja sama perusahaan mereka katanya,” kata Lara membuat Dazzle tersedak ludahnya sendiri.“Lo kenap
Merah terbangun, kepalanya terasa berat, dia asing dengan ruangan ini. Saat menoleh ke kanan, Domi sedang duduk sambil terkantuk-kantuk. Lalu Merah mengingat kejadian yang terjadi tadi pagi, ingatannya tentang Bara menyeruak. Matanya nyalang beredar ke penjuru ruang, was-was akan keberadaan Bara. Kemudian dia mendesah lega, Bara tak terlihat.“Dom,” desis Merah, membuat Domi terlonjak.“Me, kamu sudah sadar? Maafkan aku Me, aku tak pernah mau memahamimu,” kata Domi dengan mata berkaca-kaca.“Maafkan aku menyusahkanmu,” kata Merah berusaha bangkit.“Jangan, berbaringlah. Dokter sudah memeriksamu, dia mengatakan, kamu mungkin enggan untuk bangun, maafkan aku Me.” Domi menggenggam tangan Merah erat. Menyalurkan energi yang bisa dia salurkan untuk menguatkan adiknya itu.“Aku sudah menelepon Papa. Dia marah besar, tapi aku tak lagi peduli, Me. Lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan untuk kebahagiaa
Mereka berdua melewati pematang sawah, Dazzle mengantar Merah kembali ke villa. Mereka berpisah karena sudah saling menemukan. Selanjutnya hanya bagaimana melanjutkan hari.Dazzle melajukan motornya dengan hati yang mungkin sedikit ringan. Menjanjikan sebuah perasaan kepada seorang perempuan yang bahkan belum sepenuhnya dikenal. Entah kenapa, rasanya saat bersama Merah, perasaannya mengendap. Lukanya menguap. Ada pertautan yang bahkan dia sendiri tak paham. Dia bahkan belum bisa memastikan, ini sekedar pelampiasan atau memang sebuah takdir yang menyatukan mereka?“Non, sudah makan siang?” sapa seseorang membuat Merah kaget. Saat Domi mengantarnya, tak ada orang di rumah.“Maaf Non, saya Mbok Ijah, tadi Mas Domi telepon, bilang kalau adiknya akan menghuni rumah untuk sementara, Mbok disuruh nemenin Non,” kata Mbok Ijah sambil mengulurkan tangannya.“Oh iya Mbok, maaf merepotkan. Aku tadi sudah makan di luar,” jawab Merah
Dazzle kembali melajukan motornya ke arah Kuta. Dia sudah mengirim pesan untuk Lara. Kini pikirannya bercabang. Bagaimana mengatakan ijin kerja mobile kepada Lara dan bagaimana menolong Merah.Memang, menjadi pemikir sepertinya selalu membuatnya berada dalam situasi yang rumit.Lara menunggu di starbucks reserve Kuta. Menyesap machiatonya.“Kok lama? Dari mana lo? Cuti klayapan,” salak Lara membuat Dazzle melemparinya dengan struk pembelian.“Sabar napa,” sergah Dazzle menyandarkan punggungnya.“Kamu bisa lobi Pak Irwan agar aku bisa kerja mobile?” tanya Dazzle membuat Lara melotot.“Kenapa lo mendadak pengen kerja mobile?” selidik Lara.“Ya, aku ada urusan yang mendadak dan, rumit,” elak Dazzle.“Lo harus jelasin, baru gue mau bantu,” ancam Lara.Dazzle menyesap cafe lattenya.“Aku, sedang dalam misi, entah ini kutukan atau apa,”