"Maybe it is true that there is always one who will get to you-that person with a special something that will let him sneak under your defenses." Lily feels there is no escape from the dark world she inhabits. At hindi na rin niya gustong makawala mula roon. And just as long as she relies only on herself, she knows she would be okay. Isa lang ang pakay ni James sa pagpipilit na makalapit kay Lily-ang gantihan ang babae sa ginawa nito sa kanyang kapatid. But as he tries to get under the woman's skin, he realizes the danger he is putting himself in-danger that is more emotional than physical. Because slowly, he finds he is being seduce to join her in the dark world she lives in. The Red room. Lust,love and pain- those are what Lily and James both share. And it seems neither of them wants to escape from that-just as long as they are both in on it.
View More"Nyonya, nyawa putri anda bisa tidak tertolong..."
Tubuh Giselle Marjorie menegang seketika. Sepasang matanya berkaca-kaca mendengar apa yang dikatakan oleh dokter.
"Tolong berikan yang terbaik untuk anak saya, dok. Saya mohon..." pinta Giselle, suaranya bergetar menahan tangis.
Sambil menghindari tatapan sayu Giselle, dokter itu mengangkat stetoskopnya, lantas menarik nafas panjang.
"Maaf, Nyonya, kami tidak bisa bertindak lebih jauh sebelum tunggakan dilunasi," ucap sang dokter.
Giselle menarik jas dokter tersebut seraya berlutut, "Saya akan berusaha melunasi semua biaya pengobatannya, saya berjanji!"
Dokter itu tampak kelabakan. Ia membantu Giselle untuk berdiri dengan susah payah, lalu meminta maaf karena tidak bisa melakukan tindakan apapun saat ini.
Giselle tertunduk dengan bahu terkulai di lorong rumah sakit begitu dokter pamit pergi. Air matanya berdesakan di pelupuk mata mengiringi kepedihan di hatinya.
Biaya pengobatan yang menunggak itu hampir menyentuh lima ratus juta. Dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?
Elodie—putri kecilnya yang masih berusia tiga tahun—mengidap penyakit hepatitis sejak lahir. Giselle-lah yang membesarkan anaknya seorang diri, berjuang mati-matian untuk bertahan hidup dan juga memperjuangkan nyawa putri kecilnya.
Ia sudah berpisah dengan suaminya tiga tahun lalu. Lebih tepatnya saat Elodie masih dalam kandungan.
Saat itu suaminya mengalami kecelakaan dan koma. Giselle dipaksa oleh mertuanya untuk bercerai dan pergi dari hidup mereka.
Giselle menghela napas berat, menatap Elodie yang terbaring pucat dan tampak kurus kering. Air mata terus menetes membasahi pipinya saat menggenggam tangan mungil putrinya.
Giselle tidak tahu harus meminjam uang ke mana lagi. Ia tidak memiliki siapapun selain ibu tiri yang sama sekali tidak peduli padanya.
"Tunggu," lirihnya, teringat sesuatu. "Apa aku meminjam uang pada kantor saja?"
Giselle menggigit bibir bawahnya. Tapi ia bahkan belum genap satu bulan bekerja di sana. Rasanya tak terlalu benar apabila ia langsung mengajukan pinjaman.
Namun, itulah satu-satunya jalan. Giselle berusaha meneguhkan hati dan mengelus lembut pipi Elodie dengan sayang.
"Tunggu Mama ya, Sayang. Mama pasti akan membawa uang untuk biaya pengobatan Elodie." Giselle mengecup kening putri kecilnya, lalu bergegas pergi.
Sambil berjalan di lorong rumah sakit, Giselle menghubungi kepala staf dan memberi tahu maksud dan tujuannya.
Tak berapa lama, ia tiba di sebuah gedung pencakar langit di tengah kota. Giselle segera menemui kepala staf yang telah menunggunya. Sebelumnya, Giselle sudah meminta izin cuti hari ini. Tetapi karena keperluan yang mendesak, ia kembali datang ke kantornya.
"Selamat pagi, Bu," sapa Giselle pada atasannya.
Wanita dengan balutan blazer abu-abu itu menoleh cepat dan berjalan mendekati Giselle yang berdiri di dekat pintu.
"Giselle, aku sudah menyampaikan permintaan kepada manajemen. Kau diminta datang ke ruangan CEO di lantai lima sekarang juga."
Giselle tampak bingung. Mengapa ia diarahkan ke ruang CEO alih-alih divisi keuangan?
Namun, karena kepala staf memintanya segera pergi, Giselle pun hanya bisa patuh.
"Baik, Bu. Terima kasih banyak, saya akan segera ke sana."
Segera Giselle berjalan cepat menuju sebuah lift. Detak jantungnya berpacu, untuk pertama kalinya, seorang karyawan rendahan sepertinya akan bertemu dengan pemilik perusahaan Royal Group, perusahaan terbesar di kota Luinz.
Saat pintu lift terbuka, Giselle tiba di sebuah lorong sepi dan hanya ada beberapa ruangan di sana. Wanita itu melihat dengan jelas ruangan CEO di depan sana.
Giselle meremas jemari kedua tangannya dengan gugup. Batin Giselle berkecamuk saat tangannya mengetuk pintu.
“Masuk!” sahut suara bariton dari dalam yang semakin membuatnya gelisah.
Giselle memutar gagang pintu ruangan itu, lalu berjalan perlahan dan menatap ke arah meja kerja CEO, seorang laki-laki duduk di sana membelakangi Giselle.
"Selamat pagi, Pak. Maaf menyita waktunya sebentar," ucap Giselle menyapa dengan sopan.
Hening, tidak ada jawaban sejenak dari bossnya itu. Giselle menunggu dengan perasaan tak menentu.
"Giselle Marjorie."
Suara bariton pria yang tegas dan pelan, membuat Giselle tersentak pelan dan menegang di tempat.
Suara itu ... Giselle sangat mengenalinya!
Kursi hitam itu kini berputar. Tampak sosok laki-laki tampan dengan balutan tuxedo navy yang kini menatap lekat ke arah Giselle dengan wajah dingin dan tatapan matanya yang tajam.
Giselle ternganga melihat sosok laki-laki di depannya. Detak jantungnya berpacu hebat.
Iris biru mata indah Giselle bergetar. "G-Gerald," lirihnya hampir tak bersuara.
Dia adalah Gerald Gilbert, mantan suami yang Giselle tinggalkan tiga tahun yang lalu.
Pria itu tersenyum miring melihat reaksi Giselle. "Jadi karyawan baru yang ingin bertemu denganku dan meminjam uang itu adalah kau ... mantan istriku?"
Giselle tidak menjawab. Ia tertunduk, meremas rok selututnya dengan gelisah.
Bagaimana mungkin ia bertemu dengan Gerald di sini? Mengapa ia tidak tahu bahwa bosnya adalah mantan suaminya sendiri?!
Namun, Giselle sudah tidak bisa mundur lagi. Nyawa anaknya sedang dipertaruhkan.
Giselle menelan ludah susah payah, lalu berkata dengan suara tercekat, "Sa-saya ingin meminta bantuan Pak Gerald."
Pak Gerald ... panggilan itu membuat Gerald mengetatkan rahangnya. Rautnya tampak mengeras melihat Giselle. Wanita yang meninggalkannya saat koma, menceraikannya secara sepihak, lalu tiba-tiba muncul dengan wajah sedih dan mengemis meminta pertolongannya!
Gerald lantas mendekati Giselle yang berdiri menundukkan kepalanya.
"Bagaimana bila aku tidak berbelas kasih padamu, Giselle?" tanyanya dengan suara dingin. "Bukankah dulu kau meninggalkanku begitu saja dalam keadaan koma?"
Sontak, Giselle langsung mengangkat wajahnya. Jantungnya berdegup kencang menatap wajah dingin milik Gerald.
"Ma-maafkan saya di masa itu, Pak Gerald," ujar Giselle, berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. "Tapi saya benar-benar membutuhkan uang sekarang."
Laki-laki itu tersenyum sinis, kilatan licik terpancar dari kedua matanya. Seolah melihat wanita yang pernah menyakitinya kini memohon-mohon padanya adalah sesuatu yang menyenangkan.
"Hanya lima ratus juta?" ucap pria itu dengan nada cemooh.
Giselle mengangguk pelan. "Saya akan segera membayarnya kembali, Pak. Saya tidak keberatan jika gaji saya dipotong setiap bulannya. Saya akan melakukan apapun jika Pak Gerald bersedia membantu saya."
Gerald tertawa remeh mendengarnya, lalu kembali duduk di kursi kebesarannya, sambil menatap Giselle dengan penuh perhitungan.
"Kau akan melakukan apapun?" tanya laki-laki itu dengan seringai licik.
Giselle menganggukkan kepala meskipun tubuhnya kini sudah gemetar.
"Ya, saya akan melakukan apapun yang Anda inginkan," jawab Giselle, air mata menggenang di pelupuk matanya.
Ekspresi Gerald tidak berubah. Air mata wanita itu hanya membuatnya semakin muak!
"Bekerja di sini selamanya pun belum tentu bisa melunasi uang itu, kau perlu cara lain untuk melunasi uang itu padaku," katanya.
Kedua mata indah milik Giselle mengerjap pelan. "La-lalu dengan cara apa saya harus melunasinya?"
Seringai tipis di sudut bibir Gerald membuat Giselle gentar.
"Tidur denganku."
BIGLANG napabalikwas si James. His heart raced, his mouth was dry as he took in his surroundings. Madilim ang paligid pero may liwanag na tumatagos galing sa bintana, sapat para maaninag niya kung nasaan siya. Pabagsak siyang nakahiga uli sa kama nang matukoy na nasa kuwarto lang at nananaginip lang siya. It was the third time he dreamt of that woman. Dahil na rin siguro hindi kasi ito maalis-alis sa isip, lalo pa pagkatapos ng nakitang insidente sa highway. Naalala pa niya ang pangyayari matapos pasibatin palato ng babae ang Benz nito…---Bumaba ng sasakyan si James at patakbong nilapitan ang lalaki na hindi pa rin bumabangon myla sa kalsada. Nakasubsob ito nang datnan niya. Akala nga niya ay nabagok ito at nawalan ng malay pero napansin agad niya na yumuyugyog ang mga balikat nito."Hey.."Napaigtad ang lalaki nang dumapo ang kanyang kamay sa balikat nito. Marahas itong bumalikwas at parang magkukumahog pang bumangon. The
BIGLANG napabalikwas si James. His heart raced, his mouth was dry as he took in his surroundings. Madilim ang paligid pero may liwanag na tumatagos galing sa bintana, sapat para maaninag niya kung nasaan siya. Pabagsak siyang nakahiga uli sa kama nang matukoy na nasa kuwarto lang at nananaginip lang siya. It was the third time he dreamt of that woman. Dahil na rin siguro hindi kasi ito maalis-alis sa isip, lalo pa pagkatapos ng nakitang insidente sa highway. Naalala pa niya ang pangyayari matapos pasibatin palato ng babae ang Benz nito…---Bumaba ng sasakyan si James at patakbong nilapitan ang lalaki na hindi pa rin bumabangon myla sa kalsada. Nakasubsob ito nang datnan niya. Akala nga niya ay nabagok ito at nawalan ng malay pero napansin agad niya na yumuyugyog ang mga balikat nito."Hey.."Napaigtad ang lalaki nang dumapo ang kanyang kamay sa balikat nito. Marahas itong bumalikwas at parang magkukumahog pang bumangon. The
Pagkatapos magbihis ng gamit ang mga damit na lagging may stock si James para sa mga bisitang mga babae ay nag-order ng dinner si Mara. Nadismaya kasi ang babae nang malamang ni hindi siya nagpahanda ng makakain sa stay-out maid siya bago ito umalis kanina.Kahit sa pagkain ay wala siya sa mood. Mas inatupag niya ang pag-inom. Iyon ang ginagawa niya nang yakapin ni Mara at hagurin ang kaniyang utong. “kung ano man ang pinagdadaanan mo, eh, mukhang mabigat talaga,” komento ng babae nang humarap siya rito. Tumingin ito sa ibabang bahagi ng kaniyang katawan kung saan parang nanlulupaypay na pip tang alaga.Should he be worried? Hindi pa nagkaganoon si James sa tanang buhay niya. Sex nga ang pantaboy sa kanyang bad mood. Pero ngayon, ang bad mood niya ang nagtataboy sa kanyang sexual appetite.An image flashed in his mind. Hitsura iyon ng babae na nakita niya sa cellphone ni Sean. The woman’s smiling face was driving away all thoughts and des
Napasigaw si Sean dahil bigla na lang piniga ng babae ang a*i nito. Sa simula, mahirap hulaan kung nasasarapan ito o nasasaktan. His face was scrunched up and his moans could either pleasure or pain. But as the seconds ticked by, it slowly became obvious that he was longing for more of what the woman was giving him.Slowly, deliberately, the hand gripping Sean's cock started moving up and down. King titingnan, parang mahigpit ang pagkakapaikot ng mga iyon sa malaking a*i. Pero kung ang itsura ni Sean ang pagbabasehan, mukhang sakto lang ang pressure na ginamit ng babae para mapaligaya ang kapareha. Hindi na lng kasi napapaanas at napapasinghal si Sean. Manaka-naka—na parang hindi lang napahinto ang sa*ili—umiigkas ang balakang nito para habulin ang kamay na nakahawak dito tuwing aangat iyon."Quit squirming!" bulyaw ng babae.Huminto agad si Sean. Para ngang naging estatwa ang lalaki. Walang kagalaw-galaw na mahirap gawin kung ganoo
ANG KANIYANG stepdad na si Alejandro ang nakita ni Lily sa salamin. She was so shocked she could not move. Hindi siya makapaniwala na nandoon ang matandang lalaki. Hindi rin niya maintindihan kung paano nangyari iyon.How could he be here?Imposibleng mangyari iyon dahil patay na ito. Puwera na lang kung may kakayahan pala ng labanan ni Alejandro pati ang kamatayan at nagawa ng bumangon sa hukay.She felt gentle hands land on her shoulders."Gabi na. Nagpupuyat ka na naman.What did i tell you about sleeping late,Lily?" She heard Alejandro's gentle voicePinigilan niya ang instinct na iiwas ang mga balikat para alisin ang mga kamay na nakasapo roon. Ang gusto na lang niyang gawin ay magkunwari na wala ang lalaki sa harap niya. Habang nakatayo lang siya at nakatingin sa repleksyon nito sa salamin, panay pa rin ang sigaw ng isip niya ng, patay na siya paanong nandiyan na naman siya? She thought she was free on this man and yet here he was
"Stay down,"utos ni Lily. "From this point on, you just do what i tell you and nothing more. One wrong move and rhe game is over,understood? Understood?"giit niya nang hindi umimik ang lalaki. Tumango lang ito. "I didn't hear you..."anas niya. "Y-yes," Oh, you, guys, are so predictable.. Gusto niyang paikutin ang mga mata. Sa ekspresyon ni Paul, nahuhulaan niya na hayok na hayok na ito. And a guy who was in the grip of lust was almost always willing to do almost anything just to get laid. Inalis na niya ang pagtapak sa dibdib ng lalaki. Slowly and sensously, she grasped the hemline of her dress and started pulling it up. Sa bawat pulgada ng balat niya na tumambad sa paningin ni Paul ay halatang lalong tumataas ang libido nito. Kitang-kita ni Lily na ngalingali na itong bumangon para hablutin siya. "Im warning you,one false move and we're done. Consider this as your last warning,"hayag niya. Halatang frustrated
Comments