Angela Joey, wanita tiga puluh dua tahun dengan wajah cantik dan body proporsional. Siapa saja pasti setuju jika Angela mengaku dirinya seorang artis. Namun, siapa sangka jika di balik wajah menawan itu Angela merupakan pemegang sabuk juara MMA?
Angela merupakan petinju elit yang di usia tiga puluh tahunnya telah mengantongi 18 gelar juara tanpa kalah. Tujuh di antaranya merupakan menang KO.
Tubuh seksi yang dimilikinya merupakan modal besar yang pastinya memuluskan langkah kakinya di dunia selebritis. Namun, Angela memiliki impian yang berbeda. Besar sebagai anak dari pensiunan detektif terkenal membuat Angela bermimpi untuk mengikuti jejak ayahnya sebagai polisi.
Namun, impian Angela tidak pernah tercapai di saat ayahnya masih hidup. Hal itu membuat Angela harus menimba ilmu di lain tempat. Angela telah mencoba menjadi dokter dengan masuk fakultas kedokteran. Hasilnya, di semester ke-4 ia mengundurkan diri. Lalu ia mengambil jurusan hukum. Itu pun hanya bertahan 3 semester. Ia menganggur selama setahun pasca kematian sang ayah, lalu mendaftar di akademi kepolisian tepat pada 1 tahun peringatan kematian sang ayah.
Itu kisah lama, kisah 8 tahun yang lalu. Saat ini Angela adalah polisi cukup berpengalaman dengan masa kerja memasuki angka 4 tahun. Ia pun telah ditugaskan di berbagai departement. Lalu hari ini ia akan memulai tugasnya di unit pembunuhan NYPD. Sebuah unit kepolisian yang konon katanya serangga pun tidak sanggup berlama-lama berada di ruangan itu.
Angela melangkahkan kaki dengan mantap menuju lantai dua, dimana unit pembunuhan NYPD berkantor. Ia mendorong pintu kaca, lalu memberi salam pada beberapa orang yang berada di sekitar pintu masuk itu. Ia melongok sesaat, memperhatikan ruangan yang dipenuhi meja kerja. Para lelaki berpakaian bebas tampak sibuk menelepon, dan hanya mengangguk sekadarnya saat Angela masuk ke ruangan itu.
Dari ruang kaca lainnya, Brad Jewel, Pimpinan Unit, melihat kedatangan Angela, melambaikan tangan memintanya mendekat. Angela mengerti, ia mempercepat langkah mengikuti arah tangan pria itu.
Mereka tiba di ruangan kaca berukuran lebih kecil. Brad mempersilakan Angela untuk duduk di hadapannya.
"Siap bertugas hari ini, Nona Joey?" tanyanya langsung tanpa basa-basi.
"Siap, Komandan," sahut Angela optimis.
"Latar belakangmu?"
"Saya besar di Manhattan, Pak," jawab Angela. Meski tahu semua ini hanya formalitas, tapi Angela tetap berusaha menjawab dengan sebaik mungkin.
"Sekolah?"
Angela terdiam sejenak. "Dua semester fakultas kedokteran, satu setengah semester jurusan hukum, dan empat tahun di akademi kepolisian," jawab Angela lengkap.
"Wah, pendidikanmu banyak sekali."
"Saya suka belajar, Pak," sahut Angela lagi.
"Bagus-bagus. Kau mirip dengan seseorang yang aku kenal. Mana dia? Hei, Kei! Keira Manis!"
Seorang gadis bertampang lugu mencuatkan kepalanya di pintu kaca.
"Bapak memanggil saya?" tanyanya polos.
"Kemarilah. Dia mirip denganmu. Banyak sekolah yang ditempuh, tapi cuma satu yang dituntaskan."
Gadis bertubuh sedang itu melangkah masuk dengan senyum lebar di wajahnya.
"Hai, Kak. Aku Keira Misky," sapanya riang. Mengulurkan tangan kepada Angela.
"Angela Joey," balas Angela, sambil menyambut uluran tangannya. Tangan yang kecil, tapi banyak kapalan terasa di tangan Angela.
"Kakak petugas baru?" tanyanya lagi.
"Baru dipindahkan, tepatnya. Kau sendiri?"
"Aku magang, Kak. Sudah hampir 1 tahun, tapi Pak Brad masih tidak mau mengeluarkan sertifikat magangku," keluhnya dengan wajah cemberut.
Brad yang disebut hanya terkekeh senang.
"Aku tidak mau kehilangan dirimu, Keira Manis. Sulit mencari perkerja magang yang bisa mengerjakan banyak hal," ujar Brad berargumen.
"Kalau begitu jadikan aku karyawan tetapmu," todong Keira.
Obrolan mereka sangat santai, membuat Angela merasa betah dengan keakraban dua orang yang beda jabatan dan profesi itu.
Brad Jewel terkekeh. Ia mengibaskan tangannya, memberi isyarat pada Keira untuk meninggalkan ruangannya.
"Seperti kau lihat, dia tampak lugu dan polos. Aku suka dengan kerja kerasnya," puji Brad setelah Keira pergi.
"Yah, saya juga suka dengan sikap terus terangnya," timpal Angela.
Suara gaduh terdengar dari ruang detektif. Brad melirik, sepasang netranya langsung berbinar ketika melihat seseorang.
"Hei, Bigael! Kemarilah," panggilnya.
Lelaki yang dipanggil Bigael itu melongokkan kepala di pintu kaca.
"Perkenalkan, mitra barumu." sambung Brad sambil menunjuk ke arah Angela.
Pria bertubuh tinggi besar itu membuka pintu, lalu berdiri di depan Angela. Perbedaan tinggi tubuh yang sangat kontras terlihat jelas di depan mata. Angela yang memiliki postur 175 sentimeter terlihat kerdil di samping pria itu.
"Angela Joey," ucap Angela mengenalkan namanya sambil mengulurkan tangan.
"Kent Bigael," ujarnya, menyambut uluran tangan Angela.
Namun, ia tidak langsung melepaskan tangannya. Dia justru menunduk, memposisikan wajah mereka sejajar. Sepasang netranya memindai wajah Angela dengan seksama.
"Seperti yang kau tahu, Nona. Unit pembunuhan tidak cukup ramah kepada polisi berwajah cantik dan bertubuh wangi," ujarnya sarkas.
Angela mendebas ringan.
"Tenang saja, Pak. Ini wajah tanpa polesan, dan pewangi saya hanya sabun mandi. Dalam beberapa jam lagi Anda akan bisa mencium aroma saya yang sebenarnya," sahut Angela dengan berani.
Kent terkekeh. Di saat bersamaan ponsel di sakunya bergetar. Seseorang di seberang sana mengatakan sesuatu yang membuat alis pria itu naik beberapa derajat. Namun, ekspresinya tetap datar.
"Ya, baiklah. Aku segera ke sana," jawabnya singkat, lalu memutuskan sambungan. Setelah itu ia melihat ke arah Angela, menatapnya untuk beberapa saat seolah sedang berusaha mengingat pembicaraan terakhir mereka sebelumnya.
"Bagus. Ayo kita berangkat," ujarnya kemudian.
"Kemana, Pak?" tanya Angela, kaget langsung di ajak di hari pertamanya bertugas.
"Kita mendapat 'hadiah'," jawab Kent pelan. Angela menautkan alisnya, mencoba memahami istilah-istilah baru di unit itu.
"Gadis muda ditemukan mati di taman bunga."
Sakura Park, terletak di antara Gereja Riverside dan International House, merupakan taman yang nyaman dan hijau. Dilengkapi dengan gazebo-gazebo indah, sehingga ketika sakura bermekaran para pengunjung bisa menikmati piknik dengan menggelar tikar di bawah pohon. Keindahan taman ini semakin memesona ketika musim semi tiba, karena sakura mulai bermekaran memperlihatkan kemolekan parasnya. Namun, pemandangan indah sakura yang bermekaran itu harus terusik dengan ditemukannya sesosok mayat tanpa identitas di tengah-tengah rerumputan yang hijau. Mobil patroli tampak berkilatan di bahu jalan Sakura Park. Beberapa polisi berseragam berjaga-jaga di sekitar mayat itu ditemukan. Kent dan Angela tiba di lokasi kejadian, menyusul Brad Jewel yang langsung berlari memeriksa tempat kejadian. Bukan hal yang baru bagi Kent, Brad akan selalu menjadi orang pertama mengunjungi TKP setelah mereka menerima laporan. Pria yang seharusnya duduk tenang di balik meja itu faktanya tidak
Brian Wale, pria bertubuh tegap dengan wajah rupawan. Rambutnya kemerahan, sepasang netra berwarna coklat, tapi senyumnya terlihat kikuk. Ia terlihat seperti orang yang sedang ketakutan karena saat berbicara terdengar gugup. Gerak tubuhnya pun selalu terlihat gelisah. Kent dan Angela memperkenalkan diri, lalu duduk di depan meja kerja lelaki itu. "Apakah Anda mengenal liontin ini?" tanya Kent. Langsung tanpa basa-basi, dengan nada mengintimidasi. Ia membuka telapak tangannya, sebuah liontin tergantung pada jari-jarinya. Brian mengenakan kacamatanya, lalu mencondongkan wajah, memangkas jarak antara dirinya dengan liontin itu. "Sepertinya buatan sanggar ini. Maaf ... boleh saya memegangnya? Jika memang buatan kami ... pasti ada kode ... di belakangnya," jawab Brian dengan gugup. Kent menyerahkan liontin itu ke tangan Brian. Bergegas pria itu membalikkan liontin itu, lalu menyorotnya menggunakan kaca pembesar. "1717," gumamnya. "S
Dengan langkah ringan aku menuju tempat itu. Hari ini aku merasa berbahagia, karena satu malaikat telah kubebaskan dari belenggu iblis berwujud sepatu merah itu. Aku buka pintu sambil bersenandung kecil, gadis lainnya langsung menyambutku dengan tatapan memelas. Dia Valencia, yang masih berada di bawah pengaruh obat itu. "Halo, Cia Cantik. Apa kabar? Kau menungguku?" sapaku dengan senyum ramah. Mata indahnya bergetar, aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu, tapi pengaruh obat itu masih kuat. Melumpuhkan semua syarafnya sehingga ia tak mampu bergerak dan berkata-kata. "Kau lapar?" tanyaku. "Bertahanlah, sayang. Kau harus puasa agar ritual pembebasanmu berjalan lancar," kataku memberi penjelasan, sambil membelai rambutnya. Aku meraih tas kecil yang berisi hipodermis, kembali mengisi tabung kecil itu hingga setengahnya. "Hari mulai larut, tidurlah C
Keluarga Heitcher tidak bisa dikatakan kaya, bahkan mungkin terlalu berlebihan jika dikatakan sederhana. Kediaman mereka terletak di kawasan kumuh, dimana rumah-rumah berjejer rapat dengan halaman yang sempit. Tidak ada yang benar-benar menyolok dari rumah-rumah itu, kecuali satu dan dua di antaranya berusaha memberikan sentuhan berbeda seperti cat yang norak dan ornamen-ornamen natal yang ditempelkan di pintu. Rumah keluarga Heitcher adalah salah satu yang menyolok itu. Bagian pintu di cat warna oranye, kusen pintu dan jendela berwarna biru tua. Lupakan tentang aturan nuansa warna dan gradasi warna yang membuat matamu nyaman. Bisa terlihat berbeda saja bagi mereka sudah cukup bagus. Matthew Heitcher, pria paruh baya dengan tubuh ringkih. Badannya tinggal kulit pembalut tulang, tanpa ada satu pun otot yang terlihat. Sesekali terdengar batuk yang sangat menyiksa dadanya. Setiap kali ia terbatuk, air matanya pasti keluar, sementara jari-jarinya yang kurus akan memegang
Olivia membeku dengan wajah pucat. Ia tahu, saat ini dirinya benar-benar telanjang di hadapan Kent Bigael. Memang benar gosip yang ia dengar selama ini, Kent Bigael adalah "Malaikat Maut-nya para Tersangka". Tidak ada satu pun tersangka yang bisa lolos dari mata elangnya yang tajam. Dan kali ini Olivia membuktikan sendiri semua gosip itu bukanlah rumor tak berdasar. "Aku bertanya, Olivia," tegur Kent, masih dengan suara rendahnya. "T-t-t-ti-dak ada y-y-yang aku sembunyikan, Pak," jawab Olivia gugup. Getaran suaranya sangat jelas terdengar. Kent tersenyum sinis, menatap Olivia dengan tatapan tajam menukik. "Aku sudah bilang, kan? Coba sebutkan lagi, siapa aku, Olivia?" "Kent Bigael, Malaikat Maut-nya para tersangka," cicit Olivia. "Nah! Kau sudah tahu. Mengapa masih belum berkata jujur?" desak Kent. Olivia masih diam, duduk mematung tanpa suara. Namun, keringat dingin sudah membasahi tubuhnya. "Jadi kau memilih u
Suasana Central Park seperti biasanya, selalu ramai oleh pengunjung, terutama di musim semi ini. Rindangnya pepohonan dan bunga-bunga yang bermekaran memberikan pemandangan yang menyejukkan mata. Bagaikan dejavu, Kent dan Angela kembali mengulagi peritiwa yang sama. Berhadapan dengan mayat tanpa identitas di sebuah taman di tengah-tengah kota. Tepat di bawah patung perunggu, gadis itu ditemukan tak bernyawa dalam kondisi yang mengenaskan. Tubuhnya terbaring kaku dengan tangan dan kaki terikat. Di lehernya terdapat luka sayatan yang mengenai arteri. Sepasang kakinya mengenakan sepatu berwarna merah, dipukuli hingga remuk tak berbentuk. Di tungkai yang tersisa lagi-lagi ada rajahan angka yang membentuk angka tiga. Bedanya, kali ini ia mengukir senyum di wajah gadis itu dengan menjahit bibirnya menggunakan benang warna merah. "Ada kartu identitas?" tanya Kent."Tidak," jawab Angela. "Tidak ada saku, dan celah untuk meletakkan dompet," sambungn
"Maksud Anda, pelaku meninggalkan sandi di mulut korban?" tanya Endrico. Kent mengangguk."Sembilan puluh sembilan persen, aku yakin pelaku meninggalkan pesan berupa sandi di mulut korban," jawab Kent optimis. "Bagaimana kita bisa memecahkan sandi yang hanya dipahami pelaku?" tanya Benyamin pesimis. "Jika kalian pernah ikut pramuka, kalian pasti mengenali sandi ini," jawab Kent kemudian. Ia mengambil marker, lalu menggambarkan pola sandi di papan tulis. Semua mata terpaku, tertuju pada gambar yang dibuat oleh Kent sambil menerka dan mengingat sejumlah sandi yang ada di pramuka. "Well ... sudah ada gambaran?" tanya Kent sambil meletakkan marker di sakunya. "Bukankah itu sandi kotak?" Keira yang baru saja masuk dengan beberapa gelas minuman tiba-tiba ikut menjawab. Di belakangnya Brad Jewel menyusul, lalu duduk sembarangan di kursi yang kosong. "Bingo," puji Kent seraya mengangkat ibu jarinya ke arah Keira. "Oh
Rumah Adam Hawkins berada di kawasan kelas menengah. Rumah-rumah berjejer rapi dalam ukuran beragam. Namun, tidak ada yang begitu besar. Halamannya tidak bisa dikatakan luas, hanya cukup menampung satu mobil keluarga berukuran sedang. Sementara di bagian dalam pagar beberapa tanaman tumbuh tak terawat. Beberapa petugas berdiri di depan pagar rumah, memastikan target tidak lagi bisa melarikan diri. Angela sampai di rumah itu, memperlihatkan kartu pengenalnya, lalu masuk ke dalam rumah. Di dalamnya, tepat di sofa ruang tamu, seorang pemuda duduk terpekur di hadapan seorang wanita paruh baya yang sedang memasang wajah bengis. Dia mendelik tidak senang melihat kedatangan Angela. "Selamat sore, Ny. Hawkins. Saya Angela Joey dari Unit Pembunuhan NYPD," ujarnya memperkenalkan diri, seraya memperlihatkan tanda pengenalnya. Paras garang itu langsung melunak. Ekspresinya tidak lagi terlihat mengancam. "Oh, akhirnya Anda sampai juga, Detektif Joey. Saya