Share

Bab 2, Malaikat Malam

Besok, tepat sepuluh tahun peristiwa itu. Telingaku berdengung, potongan-potongan peristiwa itu kembali bermunculan. Menyesakkan napas. Menyiutkan nyali. Dorongan iblis itu terasa nyata kembali. Derap langkah berwarna darah itu terngiang kembali, membuat sekujur tubuh kembali meremang terbayang kekejamannya.

Ahh ... sial.

Selalu begini. Selalu menyakitkan seperti ini. Aku tidak sanggup lagi menahan diri lebih lama. Sekarang aku sudah cukup kuat untuk melakukannya. Aku harus segera bersihkan kota ini dari para pemuja iblis, seperti orang itu.

Oh ... Iya. Orang itu. Sekarang pasti sudah menjadi debu, kan? Suatu saat dia harus berterimakasih padaku, karena telah membebaskannya dari pengaruh iblis yang terkutuk itu.

Kalian yang memakai sepatu warna darah, bersiaplah. Aku juga akan segera bebaskan kalian dari kutukan itu segera.

***

Sabtu malam di sudut kota.

Suara dentuman musik terdengar begitu memekakkan telinga. Aku duduk di antara para gadis muda yang menggeliatkan tubuh mereka dengan binal. Tubuhnya terbungkus gaun ketat, dadanya menonjol, pahanya terpampang nyata.

Sangat erotis dan menggiurkan di mata para pria.

Namun, bagiku yang paling menyolok bukanlah tubuh seksinya.

Bagiku, yang meresahkan bukanlah dada montoknya.

Bagiku, yang mendebarkan adalah sepatu warna merah darah yang membungkus kaki jenjangnya.

Mengapa dia harus memakai sepatu milik iblis itu? Tidakkah kau tahu jika sepatu itu bisa mengubah watak manusia?

Sepatu merah itu merupakan sepatu iblis, yang setiap hentakan langkah merupakan bisikan iblis yang akan membawamu menjadi sekutunya.

"Ah ... sayang sekali," sesalku.

Wajah cantik itu akan segera berubah menjadi  wajah iblis. Senyum manisnya segera akan berganti dengan seringai menyeramkan. Kerling mata menggoda itu segera akan berubah menjadi tatapan tajam yang menghunjam. Hatinya akan mengeras menjadi batu, sehingga ia tidak akan lagi mengenal apa itu belas kasih.

Ah ... sayang sekali.

Namun, kali ini aku tidak akan berdiam diri lagi.

Aku harus menyelamatkannya.

Aku harus membebaskan kaki jenjang itu dari belenggu iblis yang menyesatkan. Sepatu darah itu harus disingkirkan untuk selamanya.

"Hai!" aku menyapanya dengan senyum terbaik. Dia balas tersenyum lalu duduk di sampingku. Aroma tubuhnya menyeruak, menusuk indra penciumanku.

"Sendirian?" tanyanya dengan kerlingan mata menggoda.

"Tadinya. Sekarang tidak lagi," jawabku. Dia tersenyum manja, menyodorkan segelas anggur ke arahku. 

"Aku harus mengemudi," tolakku halus.

"Kau cantik sekali. Sepatumu juga indah, serasi dengan kecantikanmu," pujiku.

Dia tersenyum. Gigi gingsulnya sesekali muncul, seolah memberi tahu dirinyalah yang menjadi penyebab senyum itu terlihat memikat.

"Benarkah? Sepatu ini baru aku beli. Harganya mahal. Tapi aku suka," jawabnya. Sebelah tangannya terulur, membelai ujung sepatu itu dengan bangga.

Kalian lihat, kan? Iblis itu telah memperdaya mereka begitu dalam.

Aku berdehem, menegakkan punggung lalu menatapnya dengan serius.

"Mau jalan-jalan denganku?" ajakku lagi.

"Kemana?" tanyanya.

"Kemana saja yang kau mau," jawabku.

"Tapi aku tidak mau cuma-cuma. Kau harus membayarku mahal. Sedikitnya 1000 dollar," katanya.

Dasar iblis! Makiku di dalam hati. Kalian lihat, kan? Malaikat ini perlahan mulai berubah menjadi iblis.

"Tenang saja. Aku punya 3000 dollar tunai di dompetku. Semua bisa kuberikan padamu," jawabku seraya menepuk saku.

Kerlingan nakalnya langsung berubah liar.

"Baiklah. Ayo kita pergi," katanya, lalu dengan semangat meraih tanganku.

Aku mendekap erat tubuhnya. Berjalan bersisian, keluar dari kelab malam yang bising itu.

"Namamu siapa?" tanyaku sambil terus merangkul pinggangnya melewati lorong gelap, jalan pintas menuju tempat aku memarkir Pastiur, mobil kesayanganku.

"Aku Valencia. Panggil aku Cia," ujarnya sembari menatapku manja. Pengaruh alkohol sepertinya mulai memabukkannya. Matanya sayu, bibirnya merekah menggoda. 

Aku yakin tidak ada pria yang mampu bertahan di hadapkan pada godaan bibir merah sensual itu.

"Baiklah, Cia. Mari kita terbang malam ini," ucapku. Kulingkarkan sebelah tangan dibahunya yang terbuka.

Dia mengangguk manja, tanpa tahu sebelah tanganku telah menghunus hipodermis kecil di belakang kepalanya.

"Tidurlah, Cia. Nikmatilah mimpi indahmu selagi bisa."

Tanganku menghujam leher mulusnya. Cia cantik itu terkulai seketika. Aku membopongnya menuju mobil, lalu menghilang di kegelapan malam.

***

Iblis-iblis di neraka, kalian lihatlah, beberapa saat lagi malaikat malam ini akan aku bebaskan dari belenggu kalian.

Mulai malam ini mari kita bertaruh, kalian atau aku yang akan memenangkan pertarungan ini?

Aku terus melaju memecah kesunyian malam menuju tempat yang telah lama kusediakan.

"Jangan khawatir, Cia. Tempat itu sudah aku bersihkan. Nanti kau bisa tidur nyenyak menjelang hari pembebasanmu," bisikku pelan.

Kulirik sepatu merah yang membungkus kaki itu. Jantungku langsung berdebar kencang. 

"Dasar iblis ... Tunggulah pembalasanku. Aku bersumpah akan membersihkan kota ini dari para pendosa yang memujamu."

Aku sudah sampai di tempat tujuan. Perlahan aku turunkan Cia, lalu kutaruh di atas dipan.

Samar-samar kudengar erangan dari mulutnya.

"Sabar, Cia Manis. Sebentar lagi aku akan berikan obat penawar rasa nyeri untukmu."

Aku raih tas kecil yang berisikan hypodermis berbagai ukuran. Aku ambil yang paling kecil, lalu kuisi dengan cairan bening. Tidak banyak, hanya setengah tabung hipodermis itu.

"Lihat, Cia. Obat ini tidak akan membunuhmu. Aku hanya ingin kau bisa menyelesaikan ritual pembebasan ini dengan lancar."

Aku memasukkan kembali hipodermis itu ketempatnya.

Kubelai lembut rambutnya yang hitam. Matanya semakin sayu, mulai memasuki mimpi indahnya.

Aku tersenyum. Puas. Tidak lama lagi, malaikat-malaikat ini akan kembali ke jiwa mereka yang suci.

"Sekarang tidurlah. Aku akan kembali beberapa saat lagi. Sekarang, waktunya aku untuk mengurus Naomi. Dia telah menunggu cukup lama."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status