Sakura Park, terletak di antara Gereja Riverside dan International House, merupakan taman yang nyaman dan hijau. Dilengkapi dengan gazebo-gazebo indah, sehingga ketika sakura bermekaran para pengunjung bisa menikmati piknik dengan menggelar tikar di bawah pohon. Keindahan taman ini semakin memesona ketika musim semi tiba, karena sakura mulai bermekaran memperlihatkan kemolekan parasnya.
Namun, pemandangan indah sakura yang bermekaran itu harus terusik dengan ditemukannya sesosok mayat tanpa identitas di tengah-tengah rerumputan yang hijau.
Mobil patroli tampak berkilatan di bahu jalan Sakura Park. Beberapa polisi berseragam berjaga-jaga di sekitar mayat itu ditemukan.
Kent dan Angela tiba di lokasi kejadian, menyusul Brad Jewel yang langsung berlari memeriksa tempat kejadian. Bukan hal yang baru bagi Kent, Brad akan selalu menjadi orang pertama mengunjungi TKP setelah mereka menerima laporan. Pria yang seharusnya duduk tenang di balik meja itu faktanya tidak bisa tenang jika dirinya tidak melihat langsung kondisi korban dan TKP.
Bau anyir darah menyeruak saat mereka membuka pintu. Angela menahan napas untuk sejenak, lalu memutuskan mencoba untuk tidak peduli ketika melihat Kent berdiri mematung dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Angela mengeluarkan buku catatan dari sakunya, melirik arloji di pergelangan tangan, lalu mencatat waktu kedatangan mereka.
Mereka menghampiri petugas yang berjaga, serentak mengeluarkan tanda pengenal.
"Apa yang bisa kita dapatkan sejauh ini?" tanya Kent pada petugas itu.
"Wanita muda, kulit putih, tangan kaki terikat, leher luka sayatan, dan kedua kaki remuk, Pak," jawabnya.
"Siapa yang menemukannya?" tanya Kent lagi.
"Nicholas Wybe," jawab petugas itu sambil menunjuk ke arah pria paruh baya yang mengenakan baju ala penduduk Hawaii.
"Kapan?"
"Sekitar tadi pagi. Saksi tidak begitu yakin dengan waktunya."
"Apakah ia menyentuh sesuatu?"
"Katanya tidak."
"Ia menelepon?"
"Tidak, dia berteriak histeris di jalanan saat kami sedang melintas."
"Tahan dia dulu. Aku masih ingin menanyainya."
"Siap, Pak."
Kent dan Angela melangkah mendekati TKP.
Rumput di sekitar korban masih terlihat segar, tidak terlihat satu pun benda asing di sekitar tubuh korban. Bahkan jejak kaki pun sulit untuk dipastikan karena tebalnya rumput yang menutupi.
Angela melihat ke sekitar, berharap menemukan satu kamera CCTV. Namun, nihil. Pelaku terlalu cerdas, memahami dengan baik lokasi itu berada di titik buta CCTV.
"Benar-benar mimpi buruk, untuk kita dan forensik," desis Angela.
Gadis itu, berusia dua puluhan. Terbujur kaku dengan tangan dan kaki terikat. Di lehernya terdapat luka sayatan yang tepat mengenai pembuluh arteri. Namun, yang paling mengenaskan adalah sepasang kakinya yang remuk seolah baru saja dilindas kereta api. Kaki itu masih terbungkus sepatu berwarna merah. Kali ini merahnya telah tercampur dengan merah darah. Tepat di atas kaki yang remuk itu, pada tungkai yang putih mulus terukir angka 3 yang dirajah menggunakan sesuatu yang runcing dan tajam. Belum bisa dipastikan jenis senjatanya apa yang pelaku gunakan, yang jelas hasil rajahannya telah menciptakan darah mengering yang membentuk angka tiga.
Kent mendebas kasar. Bingung dengan misteri angka pada tungkai gadis itu.
Angela dan Kent beradu tatap untuk beberapa saat, menunjukkan saling pengertian bahwa yang ada di hadapan mereka saat ini bukanlah pembunuhan biasa. Namun, sebuah pembunuhan yang disertai hasrat yang tak lazim.
Mulai dari pemilihan lokasi, hingga cara meletakkan korban, sangat jelas pelaku sudah memperhitungkannya segala sesuatunya dengan matang.
Arti tatapan mereka pun saling menyepakati tidak akan mengeluarkan pernyataan spekulasi sebelum pemeriksaan menyeluruh dari tim forensik.
Dua orang polisi dari Unit TKP datang. Di belakangnya, Lionel Garcia, seorang ahli forensik menyusul bersama seorang juru foto. Tim forensik memiliki juru foto sendiri yang siap bertugas kapan pun dan dimana pun ditemukan korban dengan indikasi pembunuhan, bunuh diri, ataupun kecelakaan fatal. Juru foto forensik sudah tahu betul sudut-sudut pengambilan gambar yang akurat demi mendapatkan foto yang berkualitas untuk data para penyidik nantinya.
Dr. Lionel Garcia, merupakan seorang pria yang sangat teliti. Ia membungkus sepatunya, mengenakan sarung tangan, dan sangat berhati-hati melangkah di sekitar wanita itu.
Sementara Lionel melakukan pemeriksaan, Angela melakukan pengamatan sederhana ke lingkungan sekitar korban. Sedangkan Kent menemui Brad untuk mendiskusikan beberapa hal.
Angela mulai mengeluarkan semua teori yang ia pelajari semasa di akademi kepolisian dulu. Siapakah korban? Apa yang terjadi padanya? Bagaimana korban bisa sampai ke TKP? Siapa yang melakukannya? Dan ... Apa alasan pelaku melakukan ini semua?
Sementara Angela sibuk dengan semua pertanyaan di kepalanya, Lionel telah menyelesaikan proses pemeriksaan atas korban. Dia menggeser posisi, memberi ruang lebih kepada para detektif untuk memulai penyelidikan mereka.
Kent mendekat, dengan tak sabar menanyai Lionel.
"Kau sudah dapat waktu kematiannya?"
"Masih belum pasti. Prediksiku sekitar pukul lima pagi," jawab Lionel.
"Bagaimana dengan penyebab kematian?"
"Kemungkinan besar sayatan di arteri. Untuk lebih pasti, aku harus memeriksanya dulu di meja CSU."
"Apakah dia dibunuh di sini?"
"Masih belum pasti. Namun, dilihat dari kondisi korban di TKP, dia tidak di bunuh di sini. Kau lihat, darah di sekitar leher tidak terlalu banyak."
"Bagaimana dengan kakinya?"
Lionel menarik napas panjang.
"Aku tidak yakin benda apa yang digunakan. Sepertinya bukan sekedar palu biasa."
"Postmortem?"
"Sepertinya tidak. Akan tetapi, biar aku periksa lebih dalam. Setelah itu aku baru bisa memberi informasi lebih banyak."
Lionel menanti respon Kent beberapa saat, setelah tidak lagi terdengar pertanyaan, ia pun melangkah pergi.
Kent dan Angela terpaku dalam senyap. Memandangi korban dengan tatapan sedih.
"Jika bukan postmortem, berarti leher gadis ini disayat saat ia masih hidup?" tanya Angela untuk memastikan analisisnya.
Kent hanya menghela napas panjang, berharap pelaku tidak sekejam itu dalam berbuat.
Beberapa saat mereka kembali hanyut dalam pikiran masing-masing.
Suara Kent akhirnya memecah kesunyian. Ia menatap Angela, lalu mengajukan pertanyaan.
"Siap untuk memeriksa identitas, Detektif Joey?"
"Siap, Pak," sahut Angela cepat, penuh percaya diri. Ia bergegas mengenakan sarung tangan lateks, lalu menghampiri tubuh gadis itu dengan hati-hati.
Pertama, Angela mengamati pakaiannya, mencoba mencari sesuatu berupa kantong yang mungkin menyimpan identitas gadis itu. Namun, hasilnya nihil.
Angela mengamati ikatan pada tangan dan kakinya. Ia melihat simpul dan jenis tali yang digunakan.
"Aneh," gumam Angela. "Ikatan talinya longgar sekali, tapi kenapa tidak ada tanda-tanda gadis ini melakukan gerakan perlawanan?"
"Kenapa?" tanya Kent penasaran, ketika ia melihat Angela memeriksa ikatan tangan dan kaki gadis itu berulang kali.
"Ikatan talinya longgar sekali, Pak. Simpulnya pun bukan simpul mati, sekali ia hentak kuat pasti bisa lepas. Namun, tidak ada tanda-tanda gadis ini melakukan perlawanan. Kau lihat ini? Permukaan kulit di sekitar ikatan tetap mulus," terang Angela.
Kent mengamati penjelasan Angela, membenarkan pengamatan rekan kerjanya itu.
"Semoga hasil pemeriksaan Lionel nanti bisa menjawab keanehan ini," ujar Kent seraya berdiri.
Angela mengangguk, ia kembali melanjutkan penyelidikannya. Ia mengamati sepatu merah itu lebih dekat. Di belakang tumit, meski tertutup darah Angela bisa melihat mereknya dengan jelas.
"Gideon Jose ... Wah, merek sepatu mahal," bisik Angela. Ia menambahkan temuannya itu ke dalam buku catatannya.
Pengamatan Angela lanjut ke bagian leher gadis yang terdapat luka sayatan sepanjang sepuluh centi. Namun, Angela tidak tahu pasti berapa dalam luka itu dibuat.
Tepat di bawah luka sayatan itu, Angela melihat kalung dengan liontin yang cukup familiar. Ia meraih liontin itu untuk memastikan.
Ia menghela nafas panjang.
"Dia pasti memesan liontin ini di Century Craft," ujar Angela.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Kent.
"Di laci kamarku juga ada liontin serupa. Kita bisa dapatkan identitasnya di sana, karena setiap pemesan diwajibkan mengisi formulir biodata," jawab Angela.
"Brian Wale, pemiliknya, pernah terlibat kasus kekerasan, tapi dibebaskan karena tidak cukup bukti," sambungnya lagi.
Kent tersenyum samar.
"Kau dapatkan tersangka pertamamu, Nona. Mari kita berangkat."
Brian Wale, pria bertubuh tegap dengan wajah rupawan. Rambutnya kemerahan, sepasang netra berwarna coklat, tapi senyumnya terlihat kikuk. Ia terlihat seperti orang yang sedang ketakutan karena saat berbicara terdengar gugup. Gerak tubuhnya pun selalu terlihat gelisah. Kent dan Angela memperkenalkan diri, lalu duduk di depan meja kerja lelaki itu. "Apakah Anda mengenal liontin ini?" tanya Kent. Langsung tanpa basa-basi, dengan nada mengintimidasi. Ia membuka telapak tangannya, sebuah liontin tergantung pada jari-jarinya. Brian mengenakan kacamatanya, lalu mencondongkan wajah, memangkas jarak antara dirinya dengan liontin itu. "Sepertinya buatan sanggar ini. Maaf ... boleh saya memegangnya? Jika memang buatan kami ... pasti ada kode ... di belakangnya," jawab Brian dengan gugup. Kent menyerahkan liontin itu ke tangan Brian. Bergegas pria itu membalikkan liontin itu, lalu menyorotnya menggunakan kaca pembesar. "1717," gumamnya. "S
Dengan langkah ringan aku menuju tempat itu. Hari ini aku merasa berbahagia, karena satu malaikat telah kubebaskan dari belenggu iblis berwujud sepatu merah itu. Aku buka pintu sambil bersenandung kecil, gadis lainnya langsung menyambutku dengan tatapan memelas. Dia Valencia, yang masih berada di bawah pengaruh obat itu. "Halo, Cia Cantik. Apa kabar? Kau menungguku?" sapaku dengan senyum ramah. Mata indahnya bergetar, aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu, tapi pengaruh obat itu masih kuat. Melumpuhkan semua syarafnya sehingga ia tak mampu bergerak dan berkata-kata. "Kau lapar?" tanyaku. "Bertahanlah, sayang. Kau harus puasa agar ritual pembebasanmu berjalan lancar," kataku memberi penjelasan, sambil membelai rambutnya. Aku meraih tas kecil yang berisi hipodermis, kembali mengisi tabung kecil itu hingga setengahnya. "Hari mulai larut, tidurlah C
Keluarga Heitcher tidak bisa dikatakan kaya, bahkan mungkin terlalu berlebihan jika dikatakan sederhana. Kediaman mereka terletak di kawasan kumuh, dimana rumah-rumah berjejer rapat dengan halaman yang sempit. Tidak ada yang benar-benar menyolok dari rumah-rumah itu, kecuali satu dan dua di antaranya berusaha memberikan sentuhan berbeda seperti cat yang norak dan ornamen-ornamen natal yang ditempelkan di pintu. Rumah keluarga Heitcher adalah salah satu yang menyolok itu. Bagian pintu di cat warna oranye, kusen pintu dan jendela berwarna biru tua. Lupakan tentang aturan nuansa warna dan gradasi warna yang membuat matamu nyaman. Bisa terlihat berbeda saja bagi mereka sudah cukup bagus. Matthew Heitcher, pria paruh baya dengan tubuh ringkih. Badannya tinggal kulit pembalut tulang, tanpa ada satu pun otot yang terlihat. Sesekali terdengar batuk yang sangat menyiksa dadanya. Setiap kali ia terbatuk, air matanya pasti keluar, sementara jari-jarinya yang kurus akan memegang
Olivia membeku dengan wajah pucat. Ia tahu, saat ini dirinya benar-benar telanjang di hadapan Kent Bigael. Memang benar gosip yang ia dengar selama ini, Kent Bigael adalah "Malaikat Maut-nya para Tersangka". Tidak ada satu pun tersangka yang bisa lolos dari mata elangnya yang tajam. Dan kali ini Olivia membuktikan sendiri semua gosip itu bukanlah rumor tak berdasar. "Aku bertanya, Olivia," tegur Kent, masih dengan suara rendahnya. "T-t-t-ti-dak ada y-y-yang aku sembunyikan, Pak," jawab Olivia gugup. Getaran suaranya sangat jelas terdengar. Kent tersenyum sinis, menatap Olivia dengan tatapan tajam menukik. "Aku sudah bilang, kan? Coba sebutkan lagi, siapa aku, Olivia?" "Kent Bigael, Malaikat Maut-nya para tersangka," cicit Olivia. "Nah! Kau sudah tahu. Mengapa masih belum berkata jujur?" desak Kent. Olivia masih diam, duduk mematung tanpa suara. Namun, keringat dingin sudah membasahi tubuhnya. "Jadi kau memilih u
Suasana Central Park seperti biasanya, selalu ramai oleh pengunjung, terutama di musim semi ini. Rindangnya pepohonan dan bunga-bunga yang bermekaran memberikan pemandangan yang menyejukkan mata. Bagaikan dejavu, Kent dan Angela kembali mengulagi peritiwa yang sama. Berhadapan dengan mayat tanpa identitas di sebuah taman di tengah-tengah kota. Tepat di bawah patung perunggu, gadis itu ditemukan tak bernyawa dalam kondisi yang mengenaskan. Tubuhnya terbaring kaku dengan tangan dan kaki terikat. Di lehernya terdapat luka sayatan yang mengenai arteri. Sepasang kakinya mengenakan sepatu berwarna merah, dipukuli hingga remuk tak berbentuk. Di tungkai yang tersisa lagi-lagi ada rajahan angka yang membentuk angka tiga. Bedanya, kali ini ia mengukir senyum di wajah gadis itu dengan menjahit bibirnya menggunakan benang warna merah. "Ada kartu identitas?" tanya Kent."Tidak," jawab Angela. "Tidak ada saku, dan celah untuk meletakkan dompet," sambungn
"Maksud Anda, pelaku meninggalkan sandi di mulut korban?" tanya Endrico. Kent mengangguk."Sembilan puluh sembilan persen, aku yakin pelaku meninggalkan pesan berupa sandi di mulut korban," jawab Kent optimis. "Bagaimana kita bisa memecahkan sandi yang hanya dipahami pelaku?" tanya Benyamin pesimis. "Jika kalian pernah ikut pramuka, kalian pasti mengenali sandi ini," jawab Kent kemudian. Ia mengambil marker, lalu menggambarkan pola sandi di papan tulis. Semua mata terpaku, tertuju pada gambar yang dibuat oleh Kent sambil menerka dan mengingat sejumlah sandi yang ada di pramuka. "Well ... sudah ada gambaran?" tanya Kent sambil meletakkan marker di sakunya. "Bukankah itu sandi kotak?" Keira yang baru saja masuk dengan beberapa gelas minuman tiba-tiba ikut menjawab. Di belakangnya Brad Jewel menyusul, lalu duduk sembarangan di kursi yang kosong. "Bingo," puji Kent seraya mengangkat ibu jarinya ke arah Keira. "Oh
Rumah Adam Hawkins berada di kawasan kelas menengah. Rumah-rumah berjejer rapi dalam ukuran beragam. Namun, tidak ada yang begitu besar. Halamannya tidak bisa dikatakan luas, hanya cukup menampung satu mobil keluarga berukuran sedang. Sementara di bagian dalam pagar beberapa tanaman tumbuh tak terawat. Beberapa petugas berdiri di depan pagar rumah, memastikan target tidak lagi bisa melarikan diri. Angela sampai di rumah itu, memperlihatkan kartu pengenalnya, lalu masuk ke dalam rumah. Di dalamnya, tepat di sofa ruang tamu, seorang pemuda duduk terpekur di hadapan seorang wanita paruh baya yang sedang memasang wajah bengis. Dia mendelik tidak senang melihat kedatangan Angela. "Selamat sore, Ny. Hawkins. Saya Angela Joey dari Unit Pembunuhan NYPD," ujarnya memperkenalkan diri, seraya memperlihatkan tanda pengenalnya. Paras garang itu langsung melunak. Ekspresinya tidak lagi terlihat mengancam. "Oh, akhirnya Anda sampai juga, Detektif Joey. Saya
Pada usia 15 tahun, ketika para remaja mulai merasakan jatuh cinta. Membuat janji temu di bioskop, lalu menghabiskan akhir pekan dengan sebuah kecupan di kening. Namun, tidak begitu halnya dengan Kent Bigael.Ya, begitulah orang-orang mengenalnya sekarang. Detektif Kent Bigael. Pria menjelang 40 tahun, bertubuh tinggi besar, dengan bekas luka di beberapa bagian tubuh.Tidak ada satu pun orang yang tahu jika Kent Bigael yang dijuluki 'Malaikat Maut' itu dulunya adalah seorang remaja manja, putra konglomerat Manhattan dengan nama lahir Brian Burnout. Ayahnya, Kevin Burnout pemilik sejumlah perusahaan besar di Manhattan.Kent Bigael kecil hidup bergelimang harta dan kemewahan. Akan tetapi, tidak pernah tampil di depan publik. Seolah-olah memiliki firasat buruk, Kevin Burnout merahasiakan identitas putra tunggalnya itu dari khalayak ramai. Dia tidak mengizinkan putranya diliput oleh media. Dia bahkan menyiapkan home schooling untuk pendidikan anaknya. Hanya keluarga