Share

Bab 4, Mayat di Taman Bunga

Sakura Park, terletak di antara Gereja Riverside dan International House, merupakan taman yang nyaman dan hijau. Dilengkapi dengan gazebo-gazebo indah, sehingga ketika sakura bermekaran para pengunjung bisa menikmati piknik dengan menggelar tikar di bawah pohon. Keindahan taman ini semakin memesona ketika musim semi tiba, karena sakura mulai bermekaran memperlihatkan kemolekan parasnya.

Namun, pemandangan indah sakura yang bermekaran itu harus terusik dengan ditemukannya sesosok mayat tanpa identitas di tengah-tengah rerumputan yang hijau.

Mobil patroli tampak berkilatan di bahu jalan Sakura Park. Beberapa polisi berseragam berjaga-jaga di sekitar mayat itu ditemukan.

Kent dan Angela tiba di lokasi kejadian, menyusul Brad Jewel yang langsung berlari memeriksa tempat kejadian. Bukan hal yang baru bagi Kent, Brad akan selalu menjadi orang pertama mengunjungi TKP setelah mereka menerima laporan. Pria yang seharusnya duduk tenang di balik meja itu faktanya tidak bisa tenang jika dirinya tidak melihat langsung kondisi korban dan TKP.

Bau anyir darah menyeruak saat mereka membuka pintu. Angela menahan napas untuk sejenak, lalu memutuskan mencoba untuk tidak peduli ketika melihat Kent berdiri mematung dengan ekspresi yang sulit diartikan.

Angela mengeluarkan buku catatan dari sakunya, melirik arloji di pergelangan tangan, lalu mencatat waktu kedatangan mereka.

Mereka menghampiri petugas yang berjaga, serentak mengeluarkan tanda pengenal.

"Apa yang bisa kita dapatkan sejauh ini?" tanya Kent pada petugas itu.

"Wanita muda, kulit putih, tangan kaki terikat, leher luka sayatan, dan kedua kaki remuk, Pak," jawabnya.

"Siapa yang menemukannya?" tanya Kent lagi.

"Nicholas Wybe," jawab petugas itu sambil menunjuk ke arah pria paruh baya yang mengenakan baju ala penduduk Hawaii.

"Kapan?"

"Sekitar tadi pagi. Saksi tidak begitu yakin dengan waktunya."

"Apakah ia menyentuh sesuatu?" 

"Katanya tidak."

"Ia menelepon?"

"Tidak, dia berteriak histeris di jalanan saat kami sedang melintas."

"Tahan dia dulu. Aku masih ingin menanyainya."

"Siap, Pak."

Kent dan Angela melangkah mendekati TKP.

Rumput di sekitar korban masih terlihat segar, tidak terlihat satu pun benda asing di sekitar tubuh korban. Bahkan jejak kaki pun sulit untuk dipastikan karena tebalnya rumput yang menutupi. 

Angela melihat ke sekitar, berharap menemukan satu kamera CCTV. Namun, nihil. Pelaku terlalu cerdas, memahami dengan baik lokasi itu berada di titik buta CCTV.

"Benar-benar mimpi buruk, untuk kita dan forensik," desis Angela.

Gadis itu, berusia dua puluhan. Terbujur kaku dengan tangan dan kaki terikat. Di lehernya terdapat luka sayatan yang tepat mengenai pembuluh arteri. Namun, yang paling mengenaskan adalah sepasang kakinya yang remuk seolah baru saja dilindas kereta api. Kaki itu masih terbungkus sepatu berwarna merah. Kali ini merahnya telah tercampur dengan merah darah. Tepat di atas kaki yang remuk itu, pada tungkai yang putih mulus terukir angka 3 yang dirajah menggunakan sesuatu yang runcing dan tajam. Belum bisa dipastikan jenis senjatanya apa yang pelaku gunakan, yang jelas hasil rajahannya telah menciptakan darah mengering yang membentuk angka tiga.

Kent mendebas kasar. Bingung dengan misteri angka pada tungkai gadis itu.

Angela dan Kent beradu tatap untuk beberapa saat, menunjukkan saling pengertian bahwa yang ada di hadapan mereka saat ini bukanlah pembunuhan biasa. Namun, sebuah pembunuhan yang disertai hasrat yang tak lazim. 

Mulai dari pemilihan lokasi, hingga cara meletakkan korban, sangat jelas pelaku sudah memperhitungkannya segala sesuatunya dengan matang. 

Arti tatapan mereka pun saling menyepakati tidak akan mengeluarkan pernyataan spekulasi sebelum pemeriksaan menyeluruh dari tim forensik.

Dua orang polisi dari Unit TKP datang. Di belakangnya, Lionel Garcia, seorang ahli forensik menyusul bersama seorang juru foto. Tim forensik memiliki juru foto sendiri yang siap bertugas kapan pun dan dimana pun ditemukan korban dengan indikasi pembunuhan, bunuh diri, ataupun kecelakaan fatal. Juru foto forensik sudah tahu betul sudut-sudut pengambilan gambar yang akurat demi mendapatkan foto yang berkualitas untuk data para penyidik nantinya.

Dr. Lionel Garcia, merupakan seorang pria yang sangat teliti. Ia membungkus sepatunya, mengenakan sarung tangan, dan sangat berhati-hati melangkah di sekitar wanita itu.

Sementara Lionel melakukan pemeriksaan, Angela melakukan pengamatan sederhana ke lingkungan sekitar korban. Sedangkan Kent menemui Brad untuk mendiskusikan beberapa hal.

Angela mulai mengeluarkan semua teori yang ia pelajari semasa di akademi kepolisian dulu. Siapakah korban? Apa yang terjadi padanya? Bagaimana korban bisa sampai ke TKP? Siapa yang melakukannya? Dan ... Apa alasan pelaku melakukan ini semua?

Sementara Angela sibuk dengan semua pertanyaan di kepalanya, Lionel telah menyelesaikan proses pemeriksaan atas korban. Dia menggeser posisi, memberi ruang lebih kepada para detektif untuk memulai penyelidikan mereka.

Kent mendekat, dengan tak sabar menanyai Lionel.

"Kau sudah dapat waktu kematiannya?"

"Masih belum pasti. Prediksiku sekitar pukul lima pagi," jawab Lionel.

"Bagaimana dengan penyebab kematian?"

"Kemungkinan besar sayatan di arteri. Untuk lebih pasti, aku harus memeriksanya dulu di meja CSU."

"Apakah dia dibunuh di sini?"

"Masih belum pasti. Namun, dilihat dari kondisi korban di TKP, dia tidak di bunuh di sini. Kau lihat, darah di sekitar leher tidak terlalu banyak."

"Bagaimana dengan kakinya?"

Lionel menarik napas panjang. 

"Aku tidak yakin benda apa yang digunakan. Sepertinya bukan sekedar palu biasa."

"Postmortem?"

"Sepertinya tidak. Akan tetapi, biar aku periksa lebih dalam. Setelah itu aku baru bisa memberi informasi lebih banyak."

Lionel menanti respon Kent beberapa saat, setelah tidak lagi terdengar pertanyaan, ia pun melangkah pergi.

Kent dan Angela terpaku dalam senyap. Memandangi korban dengan tatapan sedih.

"Jika bukan postmortem, berarti leher gadis ini disayat saat ia masih hidup?" tanya Angela untuk memastikan analisisnya.

Kent hanya menghela napas panjang, berharap pelaku tidak sekejam itu dalam berbuat.

Beberapa saat mereka kembali hanyut dalam pikiran masing-masing.

Suara Kent akhirnya memecah kesunyian. Ia menatap Angela, lalu mengajukan pertanyaan.

"Siap untuk memeriksa identitas, Detektif Joey?"

"Siap, Pak," sahut Angela cepat, penuh percaya diri. Ia bergegas mengenakan sarung tangan lateks, lalu menghampiri tubuh gadis itu dengan hati-hati.

Pertama, Angela mengamati pakaiannya, mencoba mencari sesuatu berupa kantong yang mungkin menyimpan identitas gadis itu. Namun, hasilnya nihil.

Angela mengamati ikatan pada tangan dan kakinya. Ia melihat simpul dan jenis tali yang digunakan. 

"Aneh," gumam Angela. "Ikatan talinya longgar sekali, tapi kenapa tidak ada tanda-tanda gadis ini melakukan gerakan perlawanan?"

"Kenapa?" tanya Kent penasaran, ketika ia melihat Angela memeriksa ikatan tangan dan kaki gadis itu berulang kali.

"Ikatan talinya longgar sekali, Pak. Simpulnya pun bukan simpul mati, sekali ia hentak kuat pasti bisa lepas. Namun, tidak ada tanda-tanda gadis ini melakukan perlawanan. Kau lihat ini? Permukaan kulit di sekitar ikatan tetap mulus," terang Angela.

Kent mengamati penjelasan Angela, membenarkan pengamatan rekan kerjanya itu.

"Semoga hasil pemeriksaan Lionel nanti bisa menjawab keanehan ini," ujar Kent seraya berdiri.

Angela mengangguk, ia kembali melanjutkan penyelidikannya. Ia mengamati sepatu merah itu lebih dekat. Di belakang tumit, meski tertutup darah Angela bisa melihat mereknya dengan jelas. 

"Gideon Jose ... Wah, merek sepatu mahal," bisik Angela. Ia menambahkan temuannya itu ke dalam buku catatannya.

Pengamatan Angela lanjut ke bagian leher gadis yang terdapat luka sayatan sepanjang sepuluh centi. Namun, Angela tidak tahu pasti berapa dalam luka itu dibuat.

Tepat di bawah luka sayatan itu, Angela melihat kalung dengan liontin yang cukup familiar. Ia meraih liontin itu untuk memastikan.

Ia menghela nafas panjang.

"Dia pasti memesan liontin ini di Century Craft," ujar Angela.

"Bagaimana kau tahu?" tanya Kent.

"Di laci kamarku juga ada liontin serupa. Kita bisa dapatkan identitasnya di sana, karena setiap pemesan diwajibkan mengisi formulir biodata," jawab Angela. 

"Brian Wale, pemiliknya, pernah terlibat kasus kekerasan, tapi dibebaskan karena tidak cukup bukti," sambungnya lagi.

Kent tersenyum samar.

"Kau dapatkan tersangka pertamamu, Nona. Mari kita berangkat."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status