Share

Reinkarnasi sang Pendekar Pedang Phantom
Reinkarnasi sang Pendekar Pedang Phantom
Penulis: Sony Handoko

Bab 1 - Nasib Kurang Baik

Tampak seorang pria tengah mengamati pemandangan di atas jembatan yang terbuat dari beton. Tubuhnya kurus dan tinggi, berdiri lesu memegangi pembatas jembatan. Kedua mata sayunya melihat jauh ke depan. Menunjukkan ekspresi wajah yang datar, murung, dan penuh kehampaan.

Pandangannya lalu beralih ke arah kalung kartu tanda karyawan, yang bertuliskan nama ‘Han Reynard’. Beberapa saat, ia mengarahkan kalung pengenalnya ke depan. Dan hal selanjutnya, kalung pengenal tersebut dilepaskan dari genggaman dan hanyut mengikuti arus sungai di bawahnya. Terpampang sangat jelas di wajahnya sebuah beban pikiran yang dipikulnya. Diberhentikan paksa dari perusahaan tempat bekerjanya, tak mendapat uang pesangon, dan kini ia kebingungan ingin kerja apa.

Lebih buruk lagi posisi keuangannya sedang menipis, habis untuk membayar kost dan mengangsur utang bank. Sekilas di kepala pria berambut hitam itu berharap dirinya akan mendapat sebuah koper berisi penuh uang lembaran kertas. Dan pikiran liar yang lain jika tak mendapatkan keinginan pertama, ia berpikir dengan gila akan terjun dari tempatnya berdiri, ke bawah sungai yang cukup dalam.

Secepat mungkin ia menggelengkan kepala beberapa kali, agar menyadarkan dirinya untuk tak melakukan hal yang buruk.

“Jangan berpikir yang tidak-tidak,” batin pria berambut hitam itu, “Ini belum berakhir.”

Wajahnya diangkat ke depan, menghirup napas panjang dan mengembuskannya. Ia lalu menggerakkan kakinya mengarah ke kost untuk beristirahat, setelah itu memikirkan rencana ke depannya.

Di saat Han sedang berjalan beberapa langkah, di depannya tampak ada anak laki-laki sedang berlari-lari menggiring sebuah bola dengan kaki kecilnya. Wajah bocah tersebut terlihat menjiwai bak pemain sepakbola yang handal.

Dari kejauhan Han termenung memandangi tingkah bocah itu, ia sedikit kagum dengan gerakan samba yang dilakukan anak berusia tujuh tahun itu.

“Wah … boleh juga bocah ini, kecil-kecil bisa samba.” Han membatin sembari mengamati. “Enak sekali menjadi anak-anak, bisa bermain tanpa memikirkan sebuah beban di hidupnya,” imbuh Han yang mengeluh.

Anak laki-laki itu menghentikan gerakan teknik bolanya. Ia berjalan pelan ke arah Han. Berdiam diri seraya mengangkat kepala. Mata milik Han dan si anak saling bertemu. Ada beberapa jeda sebelum mereka mengeluarkan kata dari mulut masing-masing.

“Ada apa, Paman? Kok lihat aku terus,” tanya bocah dengan wajah polos.

“Jangan panggil aku Paman.” Han merespon dengan nada sedikit kesal. “Aku lihat kamu mahir bermain bola.”

“Jelas, dong!” anak laki-laki tersebut menyahut penuh percaya diri. “Nanti besar aku ingin menjadi pemain bola dan bermain di Piala Dunia,” lanjut si anak.

Mendengar perkataan dari anak kecil di hadapannya, membuat suasana emosi Han bercampur aduk. Dalam hati ia berkata, “Sepertinya bocah selugu ini belum tau jika Indonesia tidak ada harapan untuk bertanding di Piala Dunia.”

Lamunan Han buyar saat si anak bertanya kepadanya. “Paman bisa main bola?”

“Asal kamu tau ya dek, dulu waktu aku kecil pernah juara kampung.” Han menjawab dengan nada sedikit menyombongkan diri.

“Juara main bola?”

“Juara makan kerupuk.”

Gelak tawa muncul dari Han, sedangkan si anak senyum masam mendengar lelucon yang sudah kuno dari seorang pria dewasa.

“Sini bolanya,” pinta Han agar anak laki-laki di hadapannya mengumpan bola yang berada di kaki.

“Paman bisa bermain bola?” Si anak lalu menendang pelan ke arah Han.

“Berhenti memanggilku paman, anak kecil.” Han menahan bolanya dengan kaki kanannya, “Lihat, akan kutunjukkan teknik bermain bola ala pemain Brazil.”

Han kemudian melakukan juggling, memantul-mantulkan bola ke atas, lalu sesekali memutari bola dengan kaki kanannya. Ia melakukan teknik itu dengan mengganti kaki kanan dan kiri. Setelah cukup puas bermain, Han kemudian melemparkan bola dengan pelan ke arah anak laki-laki di depannya.

Karena belum mempersiapkan diri, si anak gugup untuk menangkap bola dengan kakinya. Alhasil, bola itu meleset darinya. Ia mengeluh kesal kepada Han. Mengejar bola yang menggelinding ke tengah jalan. Dirinya terlihat seperti ingin menangkap seekor ayam jago untuk dijadikan opor atau ayam bakar.

Merasa dirinya salah, Han menampilkan ekspresi tidak enak, ia meminta maaf sambil melemparkan senyum kecil dan mengangkat tangan kanannya setengah ke atas.

“Maaf, aku ti-.”

Kedua mata Han melebar, ketika dari arah jauh depannya melaju sebuah truk dengan kecepatan yang tidak normal. Insting Han seketika mencoba ingin memberitahukan bahwa bahaya akan terjadi pada anak itu.

Dan benar, pengendara truk membunyikan klakson berulang kali. Si pengendara tak sanggup menghentikan kendaraannya dikarenakan rem depan maupun belakang tak dapat berfungsi dengan baik.

Si anak yang mendengar bunyi klakson, sontak menoleh ke arah sumber suara. Dirinya bergidik, tak sanggup menggerakkan kaki kecilnya. Bahkan ia tak mampu mengeluarkan suara dari mulutnya.

“Bocah, awas!” teriak Han sembari berlari menuju anak laki-laki.

Seolah waktu melambat, saat itu juga pikiran di kepala Han muncul satu-persatu. Tak beraturan.

“Apa aku bisa menyelamatkannya? Jangan sampai telat. Kenapa truk itu tidak berhenti? Kumohon selamatkan anak kecil ini, Tuhan,” kata Han dalam hati.

Tangan kiri Han berhasil menyentuh pundak anak kecil tersebut. Lalu dirinya mendorong sekuat tenaga ke trotoar. Si anak menutup mata dan jatuh.

Syukur, Han berhasil tepat waktu menyelamatkan anak kecil. Namun, malangnya … bagian depan truk telah menyentuh tubuh Han. Ia merasakan hantaman yang sangat keras, saking kerasnya membuat tubuh laki-laki tersebut terpental ke belakang dan membentur aspal jalanan.

Han tersungkur dengan bersimbah darah di bagian kepala. Napasnya cepat tak beraturan, penglihatan yang dapat ditangkap perlahan mulai kabur. Ia ingin mengucapkan suatu kata, tapi apa daya di bagian mulutnya mengeluarkan darah yang banyak. Bahkan, ia merasakan berat di dada untuk bernapas.

Di sisa kesadaran yang ia miliki, beberapa kali telinganya mendengar suara dari anak kecil.

“Paman, Paman, jangan mati!” teriak si anak berulang kali. Wajahnya tampak ketakutan dan sedih.

Dalam hati Han berkata, “Sudah kubilang, jangan panggil aku paman … untung ka-kamu … sela-mat … bocah …”

Di sisi lain, Han memikirkan semua bebannya. Masalah hidup, karir, percintaan, dan hutang yang ia takuti akan memberatkan dirinya saat di akhirat.

Kemudian, ia melihat kilas balik masa hidupnya dulu. Dirinya yang masih kecil ditemani oleh ibu, ayah, dan adiknya. Namun, mereka—keluarga yang ia cintai—telah pergi satu-persatu persis seperti dirinya yang akan menyusul mereka. 

Seluruh tubuh Han menjadi dingin, kulitnya tampak memucat. Ia sudah tak dapat menggerakkan anggota tubuhnya. Bahkan, ia sudah tak bisa merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Pelan-pelan jantungnya berhenti berdetak dan matanya menjadi kosong.

Gelap dan dingin …

Sebuah akhir dari pria yang bernama Han Reynard.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status