Share

Bab 4 : Bertemu Pangeran Ketiga

Setelah mengumpat kesal, aku telah bereinkarnasi menjadi Lilian Audrey. Calon tunangan pangeran ke empat yang ditakdirkan tewas di hari menuju acara pertunangannya yang begitu mendadak dan dipaksakan.bSejalan dengan alur novel yang mengorbankan hidup semua calon tunangan pangeran ke empat di hari ketika mereka menuju istana.

Pelaku utama dibalik tewasnya calon tunangan pangeran ke empat ialah gereja dan putra mahkota yang secara tak langsung bekerja sama karena kebetulan memiliki tujuan yang sama. Menyebarkan rumor buruk tentang pangeran ke empat yang dikutuk tak dapat memiliki pendamping dan akan menjadi malapetaka bagi kerajaan. Demi untuk mencegahnya bebas meraih tahta.

Berdasarkan cerita di novel Saintess Love yang kubaca, putra mahkota dan gereja akan mulai berselisih ketika gereja memutuskan untuk menikahkan pangeran keempat yang telah mereka kendalikan dengan Saintess yang mereka tunjuk. Semua demi melancarkan perang suci yang direncanakan oleh gereja. Sementara putra mahkota yang takut singgasananya akan digeser oleh pangeran Matias yang akan mendapat dukungan gereja dan Saintess, memutuskan untuk membawa pergi sang Saintess disaat perjalanan menuju istana.

Hilangnya Saintess akan menjadi awal dari alur buruk yang akan menuntun cerita menuju bendera kematian sang pangeran ke empat dan para tokoh antagonis. Oleh karena takdirku saat ini terikat dengan pangeran ke empat, aku harus mencegah alur buruk yang bisa mengancam nyawanya. Demi untuk mengacaukan alur yang memuluskan rencana Putra mahkota dan Uskup Agung Gereja, aku harus menemukan artefak suci yang dapat menjauhkan pengaruh artefak Red Safir Necklace.

'Apapun yang terjadi ... , Artefak suci yang berbentuk seperti kalung hewan peliharaan itu, tak boleh melingkar di leher pangeran malangku!' Berdasarkan novel Saintess Love, orang yang menjadi penghubung dari Artefak Red Safir Necklace hanyalah seorang baron yang menjalankan bisnis pakaian.

'Seingatku orang itu bernama ... , Baron Hugo.'  Aku melihat sample gaun dari satu butik ke butik yang lain. Demi untuk menemukan oorang bernama Baron Hugo, aku terus berpura pura mencari gaun yang cocok untuk pertunanganku. Tak ada alasan lain yang lebih masuk akal dari pada mencari gaun untuk keluar dari mansion saat ini. 

Saat sedang sibuk dengan urusanku ... , sebuah kisah yang tak tertulis secara rinci di dalam novel, malah terjadi tepat di hadapan mataku. Aku melihat pangeran ke tiga yang sedang mengacak ngacak butik di sebrang jalan di mana aku berada saat ini.

Rambut merah nan panjang membuatku segera menyadari siapa pria pembuat onar itu. Tokoh Antagonis yang ditakdirkan tewas tak lama setelah menghilangnya Saintess. Mata biru dengan pandangan yang nampak kosong, menjelaskan bahwa sang pangeran malang itu sudah di kendalikan oleh gereja. Sesuai dengan alur novelnya, dia memang dikisahkan sering mengacau tak jelas jauh sebelum alur di novel dimulai.

'Karena tak diceritakan secara rinci, aku tak mengetahui kejadian ini.' Aku melirik ke luar kaca butik dimana aku berada. Menatap fokus sang pangeran sembari melihat siapa korban yang sedang dia kacaukan. Pria malang itu berwajah cukup muda, berkulit sawo matang serta berambut dan mata coklat.

"Bukankah itu Baron Hugo!" 

Aku tersentak saa menyadari bahwa, pria malang yang nampak tak berdaya saat sang pangeran dan para prajuritnya terus mengacau ternyata orang yang sedari tadi aku cari-cari.

'Apa gereja menyuruh pangeran ke tiga mengacak ngacak butik sang Baron untuk mencari tahu dimana letak artefak itu?'

'Atau hal ini hanya kebetulan belaka!?'

''Apapun itu, aku harus ke sana sekarang juga!" 

"Aku tak boleh membiarkan Baron Hugo terus diperlakukan seburuk itu!"

Aku segera berniat keluar dari butik, tapi dihalangi oleh Lola dan pengawalku yang nampak khawatir kalau aku akan terlibat dengan hal yang tak perlu.

"Apapun yang nona pikirkan, lebih baik nona urungkan saja niat itu. Pangeran ketiga terkenal suka menyiksa siapapun tak peduli itu pria maupun wanita."

"Jika Nona ikut campur, aku takut ... ,"

Lola berusaha memperingatkanku. Sementara pengawalku hanya mengangguk dan berkata, "Aku setuju dengan pendapat Lady Lola. Tolong jangan terlibat dengan hal yang tak perlu, Milady."

Aku paham akan kekhawatiran mereka, tapi bukan gayaku membiarkan seorang sebaik baron Hugo ditindas begitu saja. Terlebih Artefak Suci yang ku cari masih ada di tangannya! Menolongnya sekarang adalah hal penting karena hanya dengan ini, aku akan menjadi lebih dekat dengan Artefaknya.

"Apa kalian mengenal mereka?"  Aku bertanya karena Lilian yang asli seharusnya tak mengenal siapapun kecuali orang orang di dalam mansion Count. Bagaimanapun Lilian kan anak rumahan yang benci pergi ke luar.

"Tentu saja kami mengenal mereka!"

"Terutama pria berambut merah itu!"

"Dia adalah pangeran ganas yang suka memukul kemanapun dia pergi."

"Entah dia ada dendam apa dengan Baron Hugo, tiap minggu dia selalu datang untuk mengacak ngacak butiknya tanpa alasan yang jelas."

"Matanya selalu menjalar kemana mana seakan mencari sesuatu, aku yakin ada hal yang diincarnya. Tapi apa seorang Baron kecil sepertinya punya benda yang diinginkan oleh seorang pangeran?"

"Mau dipikirkan bagaimanapun itu tetaplah masuk akal." Lola menghela napas saat menceritakan kelakuan buruk pangeran ke tiga.

'Mencari sesuatu?'

"Sudah kuduga, dia pasti sedang mencari itu!" Aku berteriak secara reflek, membingungkan Lola dan pengawalku yang sedari tadi sedang memperhatikan gerak gerikku.

"Mencari itu?"

"Mencari apa?" Lola penasaran. Dia melirik ke arahku dengan alis yang dikerutkan.

Aku yang tidak mungkin menceritakan soal artefak, tentu saja hanya bisa tersenyum sembari mengucapkan alasan yang kukira paling masuk akal. "Ga ... gaun pertunangan! Ya, aku yakin dia sedang mencari gaun pertunangan yang bagus!"

"Tak lama lagi kan, pangeran akan bertunangan!"  Lola nampak semakin penasaran. Dengan nada ragu, dia pun berkata,

"Bagaimana bisa Nona yang bahkan belum pernah pergi dari rumah, mengetahui bahwa pangeran Richard akan bertunangan?" 

"I ... itu ... ," Aku terdiam karena baru menyadari bahwa pertunangan pangeran ke tiga yang ada di novel, seharusnya diumumkan ketika Pangeran Matias sedang diasingkan ke Katedral Agung.

Sedangkan kejadian itu seharusnya seminggu setelah aku dinyatakan tiada. Lola yang sering keluar masuk kediaman Count untuk membeli sesuatu, tentu saja akan bingung saat menyadari bahwa berita sepenting itu bisa terdengar olehku yang tak pernah keluar kediaman Count sekalipun.

"A ... Aku hanya menebaknya saja, hehehe," jawabku dengan asal sembari tertawa polos layaknya gadis yang tak tahu apapun.

"Haih ... , sudah kuduga itu hanya dugaan Nona saja. Tapi tetap saja, alasan dia bertindak keji terhadap Baron Hugo sangatlah keterlaluan," 

Lola bergumam sembari mengamati pangeran dari jauh. "Sebaiknya kita pergi dari tempat ini, Milady!"

Sir Gilbert yang pergi mengawalku terlihat khawatir bahwa kita akan terlibat masalah dengan pangeran ketiga. Wajahnya berwarna kuning langsat, dengan mata dan rambut pendek berwarna biru gelap. Matanya mengerut sembari sesekali melirik ke arah pangeran ketiga dengan tatapan sinis. Tangannya terkepal erat, sementara giginya terus digertakkan, menunjukkan bahwa dia memiliki perasaan benci yang mendalam terhadap sang pangeran. 

 "Tidak, aku tak akan pergi Sir ... ," jawabku pelan sembari terdiam sejenak saat mencoba mengingat nama prajurit kediaman Count Audrey memiliki ciri ciri fisik seperti pria yang mengawalku.

"Namanya Sir Gilbert Nona,"  Lola memotong ucapanku seakan memahami apa yang ada dalam pikiranku.

"Ah ... " Sir Gilbert nampak khawatir, sekaligus sedikit kecewa karena aku sempat melupakan namanya. Saat Lola dan Sir Gilbert nampak mengendurkan kewaspadaan mereka akan tindakanku, aku segera menyelinap pergi mendekati pusat kekacauan. Tentunya mereka tak mungkin akan terus diam saja.

"Nona!" Lola menjerit ketika menyadari bahwa aku telah keluar butik.

"Tunggu, Milady!" Suara Sir Gilbert terdengar cukup panik, namun aku tak menoleh maupun berhenti melangkah.

Aku memberanikan diri untuk menghentikan pangeran ketiga yang hendak menginjak tubuh Baron Hugo. Baron malang malang yang sudah terkapar lemas di jalanan saat melihat gaun gaunnya dirusak oleh prajurit suruhan pangeran Richard. "Jauhkan kaki Anda dari tiket nyawaku pangeran gila!"  Aku mendorong Pangeran ketiga hingga terjatuh kehilangan keseimbangan. Sementara para prajurit yang menjadi pengawalnya segera mengarahkan pedang mereka terhadapku.

"Beraninya kau melukai keluarga kerajaan!" Aku merasa agak takut saat pedang pedang itu diarahkan ke leherku, tapi berhasil menutupi semua perasaan takut itu dengan berpura pura bersikap tegas. Pandangan yang mendominasi, kepala yang ditegakkan, serta cara berdiri yang penuh keberanian, kulakukan demi keluar dari situasi yang mengancam nyawaku.

"Beraninya kalian mengarahkan pedang kalian kepada tunangan pangeran ke empat."

"Apa kalian sudah tak takut lagi akan raja kalian?"

Aku mengancam dengan yakin, karena tahu betul bahwa mereka tahu tentang fakta mengenai sang raja yang sangat menyayangi Pangeran Matias. Putra satu-satunya dari Ratu pertama yang kini telah tiada, dan merupakan salah satu pewaris tahta yang paling memungkinkan apabila rumor tentang kutukannya berhasil disingkirkan.

"Singkirkan pedang kalian!" Pangeran Richard terdengar marah, namun tatapannya tetap terasa kosong. Jika aku bisa menebak pikirannya mungkin saat ini sang pangeran malang sedang menangis seperti halnya pangeran Matias ketika sudut pandangnya dalam novel Saintess Love diceritakan.

'Sungguh tokoh Antagonis yang malang, jangan khawatir aku akan membebaskanmu tak lama lagi.' pikirku sembari menatap pangeran ketiga dengan tatapan penuh simpati. Tatapan yang selama ini tak pernah ditunjukkan kepada pangeran malang itu. Jika aku bisa menebak pikirannya mungkin saat ini pangeran Richard ingin berkata, 'Kenapa kau menatapku dengan tatapan sedih, Lady? Apakah kau tahu bahwa jiwaku sedang terpenjara dalam tubuhku sendiri?'

"Ya, aku tahu. Aku tahu kalau sebenarnya anda tak ingin melakukan semua ini, pangeran," ucapku spontan sembari meneteskan sedikit air mata. Sembari melangkah mendekat kepada sang pangeran, aku meraih wajahnya sembari mengusapkan kedua jempolku di sekitar pipinya. Seakan akan aku sedang mencoba menghapus air mata Sang Pangeran yang tak bisa menangis bahkan jika dia ingin sekalipun. Hanya bisa melihat tubuhnya bertindak sesuai keinginan Sang Uskup.

"Sungguh pangeran yang malang," gumamku spontan sekali lagi.

 "Apa yang kau maksud Milady?" tanya pangeran Richard yang masih menunjukkan tatapan kosongnya. Suaranya mungkin terdengar kesal, namun matanya yang perlahan terlihat haru, dan setetes air mata yang keluar sejenak di sekitar bola matanya menunjukkan bahwa perasaanku telah tersampaikan pada sang pangeran.

"Baron Hugo akan menjadi penjamin gaun tunanganku dengan pangeran ke empat, jadi aku memohon agar yang mulia berhenti membuat kekacauan disini, mengerti?" tanyaku sembari mencoba mengalihkan perhatian.

"Baiklah, Milady," ucap pangeran ketiga secara spontan dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya, yang jelas meski hanya sejenak, aku merasa bahwa Pangeran Richard sedang mengontrol tubuhnya lagi. Tentunya reaksi tak biasa Pangeran Richard yang terkenal emosian dan tak berperasaan, membuat semua orang termasuk pengawalnya terkejut bukan main.

Terlebih pangeran ketiga bahkan tak mempermasalahkan ketida sopananku yang telah mendorong dan memegang wajahnya seenaknya. Alih-alih meminta pengawalnya menghukumku, pangeran malah meminta para pengawalnya melupakan semua kejadian itu dengan berkata, "Ayo kita kembali ke istana!"

Para prajurit terdiam sejenak karena bingung akan reaksi asing pangeran Richard. Nampak jelas dari wajah cemas mereka bahwa saat ini, mereka semua sedang memikirkan hal hal aneh tentang pangeran ketiga.

'Apa pangeran ketiga kehilangan akalnya setelah di dorong oleh seorang Lady?'

'Atau karena dia takut akan statusku sebagai tunangan pangeran ke empat?' 

Jika kutebak pikiran semua orang, mungkin itulah yang sedang mereka pikirkan saat ini. Pangeran Ketiga yang merasa sedikit diabaikan, tentunya kembali mengangkat suaranya dengan tatapan dingin dan mengancam. 

"Apa kalian sudah tak mau mendengar intruksiku?"

"Ma ... maaf atas kelalaian kami barusan, Pangeran!"

Para pengawal menjawab sembari menyarungkan kembali pedang mereka. Lalu pergi mengikuti sang pangeran meninggalkan butik Baron Hugo. Sekali lagi, keadaan tegang pun berhasil aku lewati.

"Huft!" Aku menghela napas dengan lega.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status