Share

Kedatangan Mama Mertua

Sahira begitu menikmati rumah barunya bahkan Sahira sudah menata isi di dalamnya dengan begitu rapih. seperti sekarang, gadis itu sedang menikmati hari luang di dapur membuat cemilan kesukaannya. Pada saat Sahira sedang sibuk dengan kegiatannya, ia dikejutkan dengan suara bell.

“Aduh, siapa sih, ganggu aja lagi bikin cemilan,” gumam Sahira, kesal.

Sahira pun kedepan untuk melihat siapa yang datang.

“Halo, sayang.” Suma begitu gembira ketika Sahira membuka pintu untuknya. Sahira pun memeluk menantu keduanya tidak lupa mencium pipi kanan dan kiri.

“Mama kesini sama siapa?” tanya Sahira sambil melihat ke sekeliling, namun yang ia temui hanya sang mertua.

“Tadi sama supir, terus Mama suruh ke minimarket dulu tadi,” jelas Suma.

“Ya sudah, masuk ke dalam yuk, Mah.”

Dengan senang hati Suma masuk ke rumah baru milik menantunya.

“Kamu lagi buat apa sih? Kok harum banget?” Suma menatap Sahira dengan penuh rasa penasaran. Tidak segan wanita paruh baya itu masuk ke dapur untuk melihat apa yang sedang Sahira masak.

“Waaahh, ini kamu buat sendiri?” Suma tidak ragu memakan kue bawang buatan Sahira.

“Hehe, iya Mah, abisnya bosen di rumah nggak ngapa-ngapain,” jelas Sahira, dengan senyum mengembang di wajahnya.

“Mama suka nih sama kue bawangnya, nanti sebagian Mama bawa pulang ya.”

“Boleh, Mah. Bawa semuanya juga nggak papa biar nanti Sahira buat lagi.”

“Nggak ah, kamu kan udah capek buat ini. Oh iya, Mama ada sesuatu buat kamu.”

Suma mengeluarkan sebotol besar jamu buatannya untuk Sahira minum.

“Jamu lagi, Mah? Yang kemarin aja belum habis,” kata Sahira, sedikit mengeluh karena jujur saja sebenarnya tidak terlalu suka dengan rasanya. Namun, Sahira harus tetap minum supaya cepat hamil. Hamil? Sampai detik ini saja belum disentuh Cakra.

“Iya, Mama semangat banget buatnya. Supaya kamu cepat hamil.”

Sahira tersenyum, sedikit dipaksakan, gadis itu pun menerima sebotol besar ramuan jamu buatan mama mertuanya.

“Makasih ya, Mah.”

“Gimana tinggal di sini?” tanya Suma penuh antusias.

“Alhamdulillah nyaman kok, Mah, tetangga sekitar juga ramah.”

“Syukurlah kalau kamu nyaman di sini.” Suma ikut senang mendengarnya.

“Mama udah makan belum?” tanya Sahira.

“Sudah kok tadi dibuatkan roti bakar dan teh tawar hangat sama Asha,” jawab Suma.

“Oh iya Mama ke sini juga ingin memberimu ini.” Suma mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

“Apa ini Mah?” tanya Sahira penuh rasa penasaran.

“Ini tiket bulan madu khusus Mama dan Papa belikan untuk kamu dan Cakra,” jelas Suma, senyum di wajahnya semakin terpancar tatkala membayangkan Sahira mengandung anak Cakra.

Melihat raut wajah Suma yang bahagia membuat Sahira tidak tega untuk menolak. Sahira pun menerima tiket liburan itu.

Sahira tersenyum tipis. “Terima kasih, Mah.”

Suma mengulurkan tangannya mengusap perut Sahira yang masih sangat rata. “Mama tidak sabar nanti kamu mengandung anak Cakra. Sudah lama Mama menginginkan seorang cucu, tapi setiap kali Mama memberikan solusi, Asha selalu saja menolak. Mama kesal akhirnya Mama mendesak dia untuk mau dimadu.”

Sahira diam tidak memberikan tanggapan apapun karena jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam Sahira kasihan kepada sahabatnya.

“Ya sudah kalau begitu Mama mau langsung pulang ya. Mama ke sini hanya memberikan itu dan ingin mengetahui kondisi kamu. Mama lega karena kamu baik-baik saja di sini dan nyaman tinggal di rumah baru.”

“Loh, kok buru-buru sih Mah? Memangnya sopirnya Mama udah kembali?”

Suma tersenyum. “Sudah kok, baru saja dia memberi kabar. Mama hanya ingin melihat kondisi kamu. Baik-baik ya di sini, dijaga kesehatannya dan jangan lupa jamu dari Mama dihabiskan nanti kalau sudah habis Mama buatkan lagi.”

“Sampai kapan Sahira minum jamu itu, Mah?” tanya Sahira.

“Sampai kamu mengandung nanti. Ya sudah, Mama tidak punya banyak waktu, Mama pulang dulu ya.”

“Iya Mah, hati-hati di jalan.”

Sahira mengantarkan Suma sampai ke depan sampai Suma masuk ke dalam mobil. Setelah mobil itu pergi barulah Sahira masuk kembali ke dalam rumah.

Sahira duduk di kursi meja makan sambil melihat botol besar berisikan jamu buatan tangan mama mertuanya sendiri. Lagi dan lagi Sahira merasakan penderitaan meminum jamu tersebut, tapi semua itu ia lakukan supaya cepat hamil dan segera keluar dari masalah yang seharusnya bukan menjadi masalahnya.

Saat Sahira sedang termenung, ponselnya berbunyi membuat lamunannya buyar.

“Asha,” gumam Sahira, lalu menjawab telepon itu.

“Halo, Sahira. Mama tadi kesana?” tanya Asha dari seberang sana. Suaranya terdengar seperti khawatir, sebenarnya apa yang sedang terjadi?

“Iya, baru aja Mama pulang, kenapa sih kok suara kamu begitu?” Sahira yang mendengarnya pun ikut khawatir.

“Nggak ada apa-apa kok, nggak biasanya Mama pergi sendiri. Syukurlah kalau perginya ke rumah kamu, aku lega mendengarnya,” kata Asha.

“Iya, Mama ke sini Cuma kasih jamu buatannya sendiri terus pulang.”

“Sahira, aku minta maaf karena melibatkan kamu masuk ke dalam masalahku.” Asha berucap dengan penuh penyesalan.

“Mau bagaimana lagi semua sudah terjadi, ‘kan?”

“Sudah dulu ya, Asha, masih banyak pekerjaan yang belum selesai.” Tanpa menunggu jawaban dari Asha, Sahira langsung menutup panggilan telepon itu.

Sahira meletakkan ponselnya di atas meja, gadis itu kembali termenung meratapi nasibnya yang semakin tidak jelas arahnya kemana ditambah lagi masalah menjadi istri kedua.

***

Ditempat Asha berada.

Asha sedang duduk di tepian ranjang dengan wajah sedih. Semakin hari ia dijauhi oleh suaminya sendiri, Asha sadar sikap cuek suaminya karena dirinya sendiri.

“Mas.” Asha memanggil dengan suara lembut yang selama ini Cakra rindukan, namun semua itu sudah berlalu

“Kenapa?” jawab Cakra terdengar dingin.

“Dari pagi kamu belum makan.” Asha mencoba mendekati Cakra, namun lagi-lagi yang Asha dapatkan adalah penolakan dari suaminya.

“Aku nggak lapar,” kata Cakra masih dengan suara yang dingin.

“Asha ambilkan saja ya Mas,” tawar Asha.

“Nanti kalau Mas nggak makan sakit bagaimana? Asha sedih kalau Mas Cakra sampai sakit.”

“Tidak perlu. Aku mau ke rumah Sahira dulu.”

“Mas Cakra mau tidur di sana?” nampak dari raut wajah Asha ada rasa tidak rela membiarkan Cakra tidur bersama Sahira.

“Memangnya kamu pikir setelah aku menikahi anak orang lain membiarkannya begitu saja?”

Asha hanya diam.

“Semua ini kan bermula dari kamu, Asha.”

“Aku melakukan semua ini juga demi kita, Mas. Aku juga capek dituntut terus menerus sama orang tua kamu supaya cepat punya momongan.”

“Itu kan mereka, Asha, bukan aku. Aku tidak pernah masalah jika kita tidak punya keturunan karena yang aku mau hanya bersama dengan kamu.”

“Kamu memang tidak meminta keturunan dariku, tapi hatiku semakin lama semakin capek terus dituntut.”

“Terserah apa katamu, aku tidak mau berdebat.”

Cakra beranjak dari tempat duduknya mengambil ponsel dan juga dompet lalu keluar dari kamar.

Asha yang melihat kepergian suaminya hanya bisa menghela napas kasar dan kembali menangis dalam diam dibalik pintu kamar yang tertutup.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Livyana 171
itu ibu nya sahira bnr2 thor............semoga sahira cpt dijauhkan dr ibu gila itu
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status