Share

Keresahan Asha

Cakra dan Sahira sudah sampai di rumah baru. Rumah yang awalnya ingin menjadi tempat tinggal Cakra dan Asha, namun kali ini sudah berpindah tangan menjadi milik Sahira.

“Di samping kanan dan kiri sudah ada tetangga, ada Pak RT juga jadi kalau ada apa-apa tengah malam jangan telepon aku, minta tolong saja pada tetangga,” kata Cakra, datar.

“Memangnya siapa juga mau menelepon kamu,” ujar Sahira, ketus. Sahira memasuki rumah sambil membawa koper yang berisi baju-bajunya.

“Semua perlengkapan masak sudah tersedia, jadi kamu bisa masak kapan pun yang kamu mau kalau tidak mau masak beli saja di depan banyak yang jual makanan,” kata Cakra.

“Aku tahu.”

“Kalau begitu aku pergi dulu ada pekerjaan kantor.” Lalu Cakra keluar dari rumah kembali mengendarai mobilnya menuju kantor.

Sepeninggal Cakra, Sahira langsung menuju kamar utama yang ada di lantai dua. Rumah yang sangat besar untuk ditempati satu orang.

Sahira duduk di tepi ranjang, menikmati kasur yang empuk dan sprei yang halus. Pada saat Sahira sedang asyik dengan dunianya, tiba-tiba bel rumahnya bunyi. Sahira pun bergegas turun untuk melihat siapa yang datang.

“Mama?” Sahira terkejut karena Vanita datang tanpa memberi tahu.

“Kok Mama bisa tahu alamat rumah ini?” tanya Sahira.

“Memangnya kenapa kalau Mama mau main? Tidak boleh?” Vanita menerobos masuk sebelum dipersilahkan masuk oleh Sahira.

“Bukan begitu. Mama tahu dari mana alamat rumah ini?”

“Dari menantu kesayangan Mama.”

“Cakra?”

“Menurutmu siapa lagi?”

Vanita duduk di sofa ruang tamu. “Sepertinya Mama harus minta sama Cakra untuk membelikan sofa seperti ini.”

“Mama jangan macam-macam minta ini dan itu ke Cakra. Pernikahan Sahira dan Cakra hanya sementara,” kata Sahira.

“Memangnya apa peduli Mama? Selama dia menjadi menantu Mama, akan Mama manfaatkan sebaik-baiknya.”

“Mah, sudah cukup gila hartanya. Sahira malu kalau Cakra sampai tahu.”

“Ah, sudah jangan banyak mengoceh. Mama ke sini bukan mendengar ocehan kamu. Mama minta uang sepuluh juta dong, untuk perawatan.”

“Sepuluh juta? Uang sebanyak itu Sahira bisa dapat dari mana, Mah?”

“Jangan kamu pikir Mama ini tidak tahu, Sahira, di dalam rekening kamu ada uang dua puluh juta pemberian Cakra untuk uang bulanan. Kasih Mama setengahnya juga kamu nggak akan kehabisan uang,” kata Vanita, enteng.

Sahira menggelengkan kepalanya hera. “Sahira tidak habis pikir sama Mama, kenapa yang ada di dalam kepala Mama hanya uang, uang, dan uang?”

“Heh, di jaman sekarang tanpa ada uang mana bisa hidup? Cepat sini uangnya! Ingat ya, selama kamu hidup biaya yang Mama keluarkan tidak murah, jadi sudah waktunya kamu balas budi.”

“Mama kan sudah dikasih uang sendiri sama Cakra, apa masih kurang?”

“Cakra memang memberi Mama uang, tapi itu hanya untuk keperluan dapur, untuk perawatan kan Mama tidak dikasih. Jadi, Mama mintanya sama kamu. Sudah mana sini uang sepuluh jutanya, Mama tidak punya waktu banyak.”

“Astaghfirullah.”

Sahira membuka ponselnya dan langsung mentrasfer uang sepuluh juta ke rekening Vanita.

“Nah begitu dong, harus jadi anak baik. Mama pergi dulu.” lalu Vanita keluar dari rumah itu.

***

“Mama tidak sabar melihat Sahira hamil nantinya,” kata Suma, pada suaminya yang sedang duduk berdua bersamanya sambil menyesap secangkir kopi buatan Asha.

“Pasti sebentar lagi rumah ini akan ramai dengan tangisa bayi. Kita juga harus siap jika nanti barang-barang kita ada yang berantakan bahkan pecah berserakan karena ulah cucu kita.”

Suma tertawa membayangkan betapa riuhnya keadaan rumah setelah kehadiran cucu pertama mereka.

“Membayangkan saja membuat Mama sangat bahagia, Pah.”

“Assalamualaikum.” Cakra memasuki rumah dengan wajah datar dan sedikit pucat.

Suma yang melihat putranya kembali membuatnya terkejut. “Loh, kok cepat sekali pulangnya? Kamu meninggalkan Sahira di rumah sendiri?”

“Cakra capek mau istirahat.” Lalu Cakra berlalu.

“Cakra ….”

“Sudah, Mah, jangan dikejar,” kata Gumilar, saat Suma ingin mengejar Cakra.

Setibanya di dalam kamar, Cakra langsung menjatuhkan tubuhnya ke kasur dan memejamkan mata.

“Mas Cakra.” Asha yang baru saja keluar dari kamar mandi dan melihat Cakra berada di dalam kamar pun bingung.

“Kok Mas Cakra pulang? bukannya hari ini Mas ada di rumah bersama Sahira?”

Mendengar suara Asha membuat kedua mata Cakra terbuka lebar. Lelaki itu pun duduk.

“Mas sakit?” Asha meletakkan punggung tangannya pada kening Cakra dan merasakan panas.

“Astaghfirullah. Asha ambilkan obat dulu ya, Mas.”

Pada saat Asha ingin mengambil obat di laci meja, Cakra menarik tangan Asha membuat wanita itu duduk di pangkuannya. Di dalam pelukan Cakra, Asha mendengar isak tangis yang begitu memilukan.

“Mas Cakra menangis?” tanya Asha.

“Diam dulu jangan kemana-mana.” Cakra semakin menguatkan pelukannya.

Sepuluh menit berlalu Asha bertahan di dalam pelukan Cakra dan akhirnya lelaki itu melepaskan.

“Mas.” Asha menyentuh kedua pipi Cakra, mata keduanya beradu memancarkan kerinduan yang begitu menggebu.

“Kenapa kamu tega melakukan ini pada rumah tangga kita, Asha? Kenapa? Apakah kamu lupa bagaimana aku memperjuangkanmu dulu? Tidak ingatkah kamu pada saat kita berjuang untuk bisa bersama?”

“Mas.”

“Asha, tidak bisakah kamu bersabar sedikit? Kenapa harus mengorbankan rumah tangga yang sudah kita usahkan susah payah?”

“Sekarang kamu bisa melihat betapa hancurnya aku, ‘kan?”

Mendengar ucapan Cakra membuat air mata Asha menetes tanpa diperintah. “Mas Cakra demam, biar Asha ambilkan obat dulu supaya tidak bertambah parah.”

“Untuk apa kamu peduli lagi padaku?” suara Cakra berubah dingin beserta tatapannya.

Asha menghela napas pelan. “Mana mungkin Asha membiarkan Mas Cakra sakit?”

Asha pun mengambil kotak obat yang selalu ada di dalam laci meja.

“Semenjak pernikahan kemarin Mas Cakra kurang istirahat ya? Asha lihat Mas Cakra sudah jarang makan.”

“Bagaimana aku bisa tidur dan makan dengan enak jika isi kepalaku selalu riuh?”

Asha memberikan beberapa butir obat dan segelas air putih untuk Cakra.

“Mas, ini semua kan hanya sementara,” kata Asha.

Asha tersenyum pada saat Cakra menelan habis obat yang ia berikan.

Tiba-tiba tatapan Asha berubah sayu. “Mas, kamu tidak akan pernah jatuh cinta pada Sahira, ‘kan?”

“Setelah minum obat sepertinya aku harus istirahat,” kata Cakra, berbaring dan menutupi seluruh tubuh menggunakan selimut.

“Mas, jabawab!” Asha begitu mendesak ingin mendapatkan jawaban.

“Bukankah kamu yang sudah menyusun rencana ini sedemikian rupa?”

“Apakah itu artinya Mas Cakra akan jatuh cinta pada Sahira dan melupakan Asha?”

“Bahkan kamu tahu cinta itu datang karena terbiasa, Asha.”

“Tapi Sahira itu sahabat Asha sendiri, Mas.”

“Jika kamu tahu begitu kenapa masih tetap memaksaku untuk menikahi Sahira?”

“Karena aku percaya kalian tidak akan pernah saling jatuh cinta.

“Kamu percaya itu?” Cakra terkekeh mengejek. “Setelah berhasil dengan rencanamu, maka kamu juga harus siap dengan resikonya.”

“Mas, tapi ….”

“Pergilah, Asha, aku ingin istirahat.”

Dengan berat hati Asha pun berdiri. “Baiklah.”

“Sekali lagi aku ingatkan, Asha, cinta itu datang tidak bisa direncana. Kamu ingat ‘kan bagaimana awal mulanya kita bisa saling jatuh cinta?” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status