"Kok aku deg-degan sih mau masuk ke kantormu, Leen.”Aileen merotasikan kedua bola matanya dengan malas. Ia berjalan beberapa langkah di depan Gama dan sengaja mempertahankan kecepatan langkahnya agar tidak perlu berjalan berdampingan dengan laki-laki itu. Namun, dalam sekejap Gama berhasil mensejajari langkahnya.“Sana, daftar dulu ke resepsionis.” Lagi-lagi sengaja Aileen mengisengi Gama.“Harus? Kan aku sama kamu. Masa nggak boleh masuk?” tanya Gama heran. Pasalnya ia tahu kalau Aileen bukan pegawai biasa. Aileen seorang direktur di perusahaan itu, ditambah lagi anak pemilik perusahaan. Mana mungkin Aileen tidak bisa ‘menyelundupkannya’ masuk. “Serius nggak bisa, Leen? Kamu kan orang dalem.”“Iiih! Peraturan ya peraturan, Gam!” Aileen berhenti di dekat swing barrier gate sambil menunjuk ke arah resepsionis dengan dagunya.Gama mendengkus pelan sebelum akhirnya pasrah berjalan ke depan meja resepsionis.Dari jauh Aileen menahan tawanya melihat Gama bersungut kesal sambil membuka dom
"Aku waktu itu lagi kehilangan arah. Bukan berarti kamu bisa macem-macem lagi ke aku. Kamu … mesti tau batasnya.”“Right. I’m sorry. Kupikir kamu lagi marah banget dan perlu ditenangin lagi.” Gama mundur, demi menjaga kewarasan otaknya. Namun, karena Gama tidak menjawab pertanyaannya tadi dan malah mempertahankan senyuman tengilnya, Aileen jadi ingin mencekik leher Gama.“Udah kan? Udah liat ruang kerjaku? Sana, pulang!”Bukannya menuruti perkataan Aileen, Gama memilih melemparkan diri ke sofa yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. “Aku lagi nggak ada kerjaan. Ibu nggak ada di rumah. Di apartemen sendirian. Bosen, Leen. Kamu kerja aja, aku nggak bakal ganggu.”“Mana ada orang kerja ditontonin?”“Nanti kalo aku lagi kerja, kamu boleh kok nontonin aku kerja,” balas Gama tidak ingin kalah.Aileen menggeleng pasrah. “Mau minum apa?”“Kamu duduk sini aja. Aku nggak haus.” Gama menepuk sisi sofa yang kosong di sampingnya. “Ada yang perlu aku omongin.”“Tadi katanya disuruh kerja, s
Trias akhirnya sadar siapa sosok perempuan yang akan dikenalkan anak bungsunya sebagai calon istri. “Aileen?” Ia lantas memeluk singkat dan menarik lengan Aileen, meminta Aileen duduk di sampingnya.Aileen mengangguk sungkan. Sebenarnya ia merasa agak tidak enak karena berpenampilan terlalu seksi di hadapan orang tua, siapa pun itu, tidak terkecuali orang tua Gama. Namun ini upaya terakhirnya untuk menghentikan pernikahannya dengan Gama.“Kok bisa sih?”Gama mendesah lega. Sepertinya sang ibu lebih kaget dengan sosok Aileen yang ia kenalkan sebagai calon istri, dibanding kaget karena pakaian Aileen yang malam itu agak terbuka.“Kamu kan selama ini males banget ngeliat Gama, Leen.”“Bu!” Gama ingin protes dengan kata-kata sang ibu, tetapi memang begitu nyatanya. Aileen melihatnya seperti melihat musuh bebuyutan padahal tak pernah sekali pun ia menganggap Aileen sebagai musuh.“Kamu beneran mau sama Gama? Dia kan—” Trias sampai kehilangan kata-kata untuk menggambarkan bagaimana sifat an
“Belum siap-siap, Vin?” Aileen baru saja turun dan mendapati Ervin—adiknya—tengah meregangkan otot di teras dekat ruang makan.“Masih pagi, Kak. Bentar lagi.”“Mama mana, Vin?” tanya Aileen yang hanya melihat ART di ruang makan sedang menyiapkan sarapan mereka. Padahal biasanya mamanya hampir tidak pernah absen membantu menyiapkan sarapan.“Ke sebelah tadi bilangnya.”“Oooh.” Beberapa detik kemudian, Aileen baru sadar apa arti ucapan Ervin. “Maksudnya ke sebelah? Ke … tempat Tante Trias?”“Iya, tumben-tumbenan kan.”Aileen mendadak panik. Bergegas—bahkan hampir seperti berlari kecil—Aileen menyusul mamanya.“Permisi, Pak. Saya—” Aileen berpikir sejenak saat menghadapi security di depan rumah Gama. Mengaku sebagai calon istri Gama mungkin bisa lebih mudah memberinya akses masuk, tapi bulu-bulu halus di belakang lehernya tiba-tiba saja meremang hanya sekadar membayangkan. “Saya tetangga sebelah. Mama saya lagi berkunjung ke Tante Trias. Saya mau ke dalam ketemu mama saya sama Tante Tria
“Barang barunya udah dateng?”“Udah, Mbak. Tapi kita cuma dapet lima pieces.”“Nggak apa-apa, udah bagus untuk Asia Tenggara yang memang nggak dikasih stok banyak.” Aileen tampak berpikir sejenak sambil menarik napas dalam-dalam. “Siapin satu buat saya.”Manager operasional toko tas milik Aileen langsung mendongak dan menatap atasannya dengan tidak percaya. Sebenarnya ia sudah cukup bingung dengan kedatangan Aileen siang itu yang tiba-tiba ke toko, karena bukan jadwalnya Aileen untuk melakukan monitoring dan evaluasi. Sekarang, ia lebih bingung lagi karena Aileen meminta tas branded limited edition yang baru masuk ke toko. Bukan berarti Aileen tidak mengenakan tas branded, tapi sepanjang yang ia tahu, atasannya itu tidak selalu mengincar limited edition seperti wanita berduit pada umumnya, meskipun Aileen punya akses untuk mendapatkannya.“Satu lagi, yang koleksi klasik, warna maroon. Siapin juga buat saya.”“Tumben Mbak Aileen langsung ambil dua tas buat koleksi.”“Bukan buat saya.”
“Malem, Tante.” Aileen menemukan ibu Gama sedang sibuk mengawasi ART yang menyiapkan makan malam.“Eh, Leen. Masuk sini. Ini tadi mama kamu kenapa kirim makanan banyak banget? Nggak usah repot-repot harusnya.”“Nggak apa-apa, Tante.”“Duh, tiga hari lagi rasanya kok lama, Tante nggak sabar pengen keluarga kita resmi ketemu kalo gini.”Aileen hanya melemparkan senyum. Tiga hari lagi harusnya bukan waktu yang lama. Terlalu cepat malah baginya.“Ayahnya Gama lagi nonton TV di dalam. Gama, anterin Aileen ketemu Ayah,” perintah Trias kepada anaknya. “Nanti Ibu susul abis ini beres.”Tanpa ragu Gama menggandeng tangan Aileen. Gama yakin kalau ayahnya juga akan menyukai Aileen. Ia hanya malas saja bertemu ayahnya. Akan tetapi rasanya tidak sopan kalau di acara pertemuan dua keluarga nanti ayahnya tidak ikut serta hanya karena perasaan pribadinya terhadap sang ayah.“Yah, ada Aileen.”Fahri—lelaki yang sedang menonton televisi itu seketika menoleh dan menatap perempuan yang dibawa anaknya unt
"Kupikir kamu bakal nyerahin semuanya ke aku karena males milih atau karena menurutmu nggak penting.”Aileen berdiri mematung di hadapan Gama. Apa yang dikatakan Gama memang sempat terlintas di pikirannya. Tadinya, dia malas ikut Gama ke toko perhiasan untuk memilih cincin pernikahan mereka. Namun setelah dipikir-pikir lagi, itu cincin yang akan dikenakannya. Setidaknya cincin itu harus benar-benar pas, nyaman dipakai, dan cantik untuk dipamerkan.“Kalo aku nggak ikut, ntar kamu salah ukuran. Jangan-jangan ntar kamu mesen pake ukuran jari mantan kamu. Lagian kamu kan nggak tau seleraku gimana.”“Aku belum pernah ya ngajak mantanku nyari cincin. Lagian emangnya kamu tau siapa aja mantanku?”“Ada pramugari, ada astrada, yang terakhir artis yang sekarang lagi dapet project film di luar. Dan yang terakhir ini yang sahabatnya Kak Beta. Bener nggak?”Gama mengerjap pelan. Ia kaget karena Aileen bisa menyebutkan daftar mantan pacarnya, meskipun harusnya ia tidak perlu terlalu heran. Aileen p
“Kak, nggak tidur kan?” Yara memperhatikan kakaknya yang sejak tadi lebih sering memejamkan mata—sesaat setelah mengenakan kebaya, saat di-make up, hingga saat semua orang telah meninggalkan mereka di kamar, berdua saja. “Kakak nggak bisa tidur ya semalem? Tegang, Kak?”Yang Yara tidak tahu, Aileen sedang menata pikirannya, bukan mengantuk seperti yang disangka Yara. “Ya tegang lah, Dek. Cewek mana yang mau lamaran nggak tegang? Ntar kamu juga gini.”Yara mengerucutkan bibir. Hubungannya dengan Adam saja masih tidak ada kejelasan. Manalah berani ia berpikir sampai tahap lamaran. “Jangan tegang, Kak. Baru lamaran doang kan, belum akad nikah,” ledek Yara.Aileen hanya bisa menggeleng pelan. Yara tidak akan memahami perasaannya saat ini.Rasanya, Aileen saat ini seperti sedang melangkah di atas jurang, menggunakan jembatan dari bambu yang rapuh. Sekali saja ia terpeleset, atau salah memijak, kehidupannya ia pertaruhkan.“Kak Gama kan baik banget, Kak. Dulu aku pernah dianterin dia pulang