Share

5. Bawa aku pergi dari sini!

Sulutan rokok dari Mami Dori semalam menyisakan luka lepuhan yang cukup lebar di wajah Dewi. Jika sebelumnya dia hanya melihat penyiksaan yang dilakukan sang mucikari kepada teman-teman seperjuanganya, kali ini dia benar-benar mengalaminya. Dia sudah merasakan bagaimana kejamnya tangan keriput sang mucikari, yang tak segan menyiksa siapapun jika dirinya dibuat kecewa.

Gadis malang itu berbaring meratapi nasib pahit dirinya. Matanya terpejam, membayangkan bagaimana wajah-wajah setiap anggota keluarga yang jauh berada di kampung kelahiranya. Hanya bayang-bayang wajah keluarga yang sanggup membuatnya bertahan sejauh ini.

Menjadi perempuan penghibur bukanlah profesi impianya, itu dilakuakanya karena terpaksa. Terpaksa karena tak sampai hati membiarkan ibu yang melahirkanya harus berjuang sendirian menghidupi ayah dan adik-adiknya yang masih menginjak usia sekolah.

Layar smartphone yang tadinya hitam nampak menyala. Dengan malas Dewi meraih benda itu, sembari menguatkan hati jika yang diterimanya adalah kabar buruk tentang ayahnya yang kini tengah berjuang melawan sakit.

[Hari ini aku pulang lebih awal, aku boleh kan datang jemput kamu?] Tersenyum sembari menghela nafas panjang. Hatinya merasa lega, ternyata pesan yang masuk dari Dimas. Dengan sigap jemarinya membalas pesan itu.

[Iya, Dim, jemput aku begitu jam kerjamu usai.]

Hanya menerima pesan dari Dimas cukup membuat hati yang dipenuhi lara itu terhibur.

"Terimaksih, Tuhan! Sudah menghiburku melalui pesan dari Dimas!", gumamnya dalam hati sembari menyeka air mata yang tak disadari mengalir tanpa disadari.

...........

"Mam, Dewi pamit, udah dijemput", pamit Dewi sopan kepada sang mucikari. Matanya enggan menatap wajah itu, hatinya masih dipenuhi dengan rasa takut dan trauma dengan kejadian semalam.

"Iya. Kali ini jangan berbohong lagi, setor uang yang banyak untukku!", perintahnya sembari memainkan ponsel ditanganya, dia sama sekali tidak menoleh ke arah Dewi.

"Selama ini dia mengeksploitasi tubuhku, harusnya aku yang dapat bayaran penuh atas kerjaanku!" keluh Dewi dalam hati.

"Baik, Mam." jawab Dewi sembari berlalu.

Matanya berbinar begitu mendapati teman prianya membukakan pintu mobil dan mempersilahkan dirinya untuk masuk. "Tuhan, seperti ada harapan baru setiap kali aku bertemu pria ini!", Dewi tersenyum dengan perasaan haru menyelimuti hatinya.

Menutup pintu dan hendak memasang sabuk pengaman, tersenyum menatap gadis disebelahnya. Kedua mata Dimas membulat, menyadari adanya luka yang menodai wajah Dewi.

"Kenapa?", tanya Dimas sembari menunjuk luka diwajah Dewi.

"Ceritanya panjang, Dim. Bisakah kamu membawaku pergi dari sini?"

"Oh. Okay!"

Mobil yang mereka naiki berhenti di suatu tempat yang indah. Sebuah taman dengan pemandangan danau yang terletak disudut kota. Warna jingga mulai menghiasi langit yang membuatnya tampak menenangkan. Tempat yang sangat sesuai untuk memperbaiki kondisi hati gadis malang itu.

Dimas berjalan menuntun tangan Dewi untuk duduk di sebuah kursi besi yang dibalut dengan cat warna putih. Dari luka diwajah itu, Dimas tahu kalau suatu hal buruk telah menimpa teman perempuanya. Suasana hening untuk sejenak, hingga pertanyaan yang dilontarkan Dimas mampu memecah keheningan diantara mereka.

"Kapan kamu mau bercerita? Aku tau seseorang sudah dengan sengaja membuat luka itu diwajah kamu, Wi," tanya pria itu dengan tatapan teduh.

Dewi hanya bergeming, perlahan air mata mulai mengalir. Tangisnya mulai pecah, tangan Dimas menenggelamkan kepala gadis itu dibahunya. Isak tangisnya melukiskan betapa besar kesedihan yang selama ini disimpan dengan rapi.

"Kamu boleh nangis semaumu, Wi. Ceritakan kepadaku jika dirasa kamu sudah siap,"

"Aku udah nggak kuat hidup seperti ini, Dim ..." ucap gadis itu dengan lirih dan terisak.

Dimas mengelus kepala gadis yang bersandar dibahunya, berusaha sebisa mungkin untuk menenangkannya.

Langit senja telah berganti dengan redum sinar rembulan, disusul lampu-lampu taman yang dinyalakan secara serentak.

"Sudah mulai lega, Wi? Mau cerita mungkin?", tawar Dimas sembari menyerahkan sebotol air mineral yang barusan dia beli di toserba dekat taman.

Dewi tersenyum dan meneguk air itu. Menarik nafas panjang dan mulai menceritakan apa yang terjadi di malam itu.

"Terus, kenapa kemarin kamu menolak uang pemberianku, Wi? Ujung-ujungnya kamu yang susah kan," Dimas merasa bersalah atas kejadian yang menimpa Dewi.

"Dim, kita teman kan? Tolong jagan merasa bersalah atas kejadian itu. Sejujurnya aku sudah terlalu muak, Dim. Aku ingin hidup tenang sebagaimana gadis-gadis seusiaku. Bekerja pagi, sore pulang, berkumpul dengan keluarga. Tapi himpitan ekonomi yang mengantarkan aku dijalan ini." terangnya sembari kembali meneguk air mineral.

"Ternyata kamu terpaksa ya, Wi bekerja seperti itu,"

"Iya, Dim. Aku terpaksa. Mulanya karena himpitan ekonomi sampai ahirnya salah seorang teman memperkenalkan aku dengan nenek-nenek kejam itu!"

"Sebaiknya kau hentikan saja pekerjaanmu itu, Wi. Carilah kerjaan lain,"

"Mauku begitu, Dim. Aku juga pengen banget mengahiri pekerjaan itu, menjalani pekerjaan yang baik, dan memulai hidup baru. Tapi mau kerja apa ya, Dim?" tanya Dewi menghela nafas panjang. Matanya terlihat sembab usai menangis.

Dimas diam, namun pikiranya terus bekerja. Dia berpikir langkah apa yang sebaiknya dia ambil untuk menolong gadis malang itu, hingga muncul ide untuk membawa gadis itu pergi dari tempatnya mengais rezeki sebelumnya.

"Dewi, aku akan membantumu mencari tempat tinggal, tapi berjanjilah untuk tidak kembali ketempat itu? Setelah kita menemukan tempat tinggal untukmu, aku akan bantu kamu nyari kerjaan! Setidaknya kamu keluar dulu dari sana ..."

"Pergi dari sana maksudmu, Dim?", Dewi menatap heran. Dahinya mengkernyit, bagaimana mungkin dia bisa pergi meninggalkan tempat itu begitu saja, tempatnya mengais rezeki sejak 3 tahun belakangan ini.

"Tapi gimana dengan barang-barangku disana? Masih ada pakaian dan sedikit uang." Dewi tertunduk lesu. Raut kesedihan dan kebimbangan masih terlihat jelas bersarang dalam dirinya.

"Uang tidak seberapa sih, tapi setidaknya masih cukup untuk makan seminggu kedepan. Sembari aku nyari-nyari kerjaan."

"Wi, kamu nggak usah mikirin soal itu, berapa uang yang tertinggal disana? Aku ganti deh! Aku akan biayain hidupmu selama kamu belum dapat kerja!"

Dewi tertegun dengan jawaban tegas dari mulut Dimas. Rasa haru membuatnya reflek memeluk pria yang ada di depanya.

"Makasih ya, Dim! Aku tidak akan lupa dengan segala kebaikanmu, aku janji!"

Jantung Dimas berdebar dalam pelukan gadis itu. Kawatir kalau-kalau gadis itu merasakan kencangnya detak jantung itu.

"I-iya, Wi. Tolong boleh dilepas?" ucap Dimas terbata mengimbangi degup jantung yang tak karuan.

"Maaf, Dim. Aku reflek! Hahaha!"

Dimas merasa lega melihat Dewi tersenyum. Ternyata usahanya untuk menghibur tidaklah sia-sia.

..........

Kendaraan roda empat itu berhenti didepan rumah dengan pagar kayu yang cukup tinggi. Terdapat sebuah papan bertuliskan 'Terima Kost Putri', yang dari situ Dewi paham. Disana adalah kos-kosan khusus untuk perempuan.

"Aku di depan rumahmu, bisa keluar sebentar, Ron?"

Dimas melakukan panggilan telepon dengan seseorang yang Dewi sama sekali tidak tau dengan siapa. Berselang 3 menit sejak panggilan telepon itu, seorang laki-laki bertubuh jangkung berpakaian santai keluar dari balik pagar tinggi itu.

"Ada perlu apa, Dim?", tanya laki-laki itu sembari tersenyum, memberi anggukan menyapa perempuan yang datang bersama Dimas.

"Ini, Ron, kami sedang mencari kosan. Ada yang kosong ga?" tanya Dimas memulai percakapan.

"Ada, Dim, tapi di lantai atas, gimana?"

"Boleh kami lihat dulu?"

"Boleh, boleh! Silahkan masuk!", jawab pemilik kos itu sembari berjalan mendahului mereka berdua.

Menunjukan tempat yang dia maksudkan dipercakapan sebelumnya.

Sebuah ruangan berukuran 3×5 meter dengan pemandangan danau disebalik jendela. Sudah dapat ditebak, itulah danau yang mereka kunjungi sore ini.

"Aku tinggal sebentar ya, kalian lihat-lihat dulu!", ucap pemilik kos sembari berjalan keluar meninggalkan mereka berdua.

"Gimana, Dew? Suka nggak dengan tempat ini?" tanya Dimas dengan mata menatap sekeliling.

"Suka, Dim! Ngomong-ngomong, kamu kenal dengan pemilik kos tadi?"

"Itu Roni, temanku sewaktu SMA. Anaknya baik, kok."

"Oh, gitu ya. Kira-kira harga sewa perbulan kamar ini berapa ya, Dim?"

"Udah, kamu ngga perlu pikirkan soal itu. Mau kamu tempati hari ini juga?"

Dewi terduduk diatas ranjang, menghela nafas panjang mengingati keadaan dirinya saat ini.

'Bagaimana dengan kelangsungan hidupku kedepanya? Bagaimana dengan sekolah adik-adiku yang harus ku biyayai?' Dewi merintih dalam hati. Hatinya kian gusar saat mengingat wajah-wajah keluarga yang begitu dia cintai.

"Jangan sungkan meminta tolong padaku jika kamu membutuhkan sesuatu." Ucap Dimas yang tepat mengenai sasaran.

Memang, saat ini Dewi membutuhkan uang. Akankah dia berani meminjam uang kepada Dimas untuk membayar spp Riska yang sebentar lagi ujian? Sebaiknya jangan! Dimas sudah banyak menolong sejauh ini. Dewi terhanyut dalam lamunan dengan tangan menyangga dagu.

"Dewi!" ucap Dimas sembari menggerakan telapak tangannya.

"Oh, maaf Dim. Sudah larut, kamu pulang ya? Aku butuh waktu untuk sendiri. Bukannya bermaksud mengusir ya, Dim, tapi -"

"Iya, Dewi. Aku bisa ngerti kok, hubungi aku jika kamu butuh sesuatu, aku pamit ya," pamit Dimas sembari menyerahkan kunci ruangan kepada Dewi. "Akan ku sampaikan jika ruangan ini kau tempati hari ini juga."

"Dimas, terima kasih untuk hari ini." ucap Dewi sembari tersenyum melambaikan tangan kepada pria tampan itu.

Pria itu hanya tersenyum, berjalan menuruni tangga dengan nenenteng jas hitam miliknya.

Beberapa pasang mata perempuan mengamati Dimas yang berjalan menuruni tangga. Tersirat kekaguman dari setiap pandangan mata yang melihat Dimas. Sudah seperti melihat seorang dewa saja.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status