"Sus, saya mau keluar, kira-kira 2 jam. Tolong, kalau ada yang nyari saya, sampaikan untuk datang kembali nanti." Tutur Dimas kepada gadis muda yang selama setahun terahir ini menjadi sekretaris pribadinya. "Baik, Pak. Sebelumnya maaf, ini tadi Mbak Ramona nitip ini untuk diberikan kepada Bapak," gadis manis berkulit sawo matang itu menyerahkan sebuah kotak makan, yang dia sendiri tidak tau apa isinya."Apa ini?" Dimas membuka kotak makanan itu untuk memastikan apa isinya. Bakwan jagung manis, Ramona tau betul camilan kegemaran Dimas yang satu ini. Dan ketika mengingat itu pemberian dari Ramona, seketika minatnya terhadap camilan itu berkurang."Buat kamu aja, Sus. Saya memberikan ini bukan karena saya tidak suka, hanya saja saya sedang males sama yang ngasih,""Oh, gitu ya, Pak? Terima kasih, Pak," Susiana menerima kotak itu dengan senang hati. ***Dimas mengendarai mobilnya penuh semangat menuju kosan tempat Dewi tinggal. Senyum simpul terpatri di wajah laki-laki berwibawa itu,
"Assalamu'alaikum, Neng? Kenapa beberapa hari ini nggak menelepon, Ibu? Kamu baik-baik kan disana?""Wa'alaikumsalam, Bu, maaf, Dewi beberapa hari ini sibuk, sampai belum sempat hubungi keluarga, Dewi baik-baik kok disini, Bu." "Syukurlah kalau begitu. Pagi-pagi udah hujan aja ini, Neng,""Ya sama, Bu, disini juga hujan lebat, padahal Dewi belum berangkat ke tempat kerja," Dewi menatap keluar jendela kamar. Hujan belum juga menunjukan tanda-tanda akan mereda."Lagi siap-siap mau berangkat kerja ya, Neng? Neng sudah sarapan?"Pertanyaan itu membuat Dewi teringat dengan rasa lapar yang berusaha dia abaikan. Tangan kirinya mengelus perut. Sama sekali tidak ada yang bisa dia makan pagi ini, hanya ada air minum. "Sudah kok, Bu," katanya kemudian. "Ya sudah, Neng. Hati-hati di jalan ya? Ibu berdo'a, semoga segala urusan kamu dimudahkan sama Tuhan.""Aamiin ... Dewi kerja dulu ya, Bu," Dewi menutup sambungan telepon.Percakapan singkat, namun cukup menghangatkan hati gadis itu. Terlebih pa
Waktu menunjukan pukul 11.30 WIB. Hujan yang semula mengguyur perlahan mulai mereda. Specta Cafe mulai dipadati pengunjung di jam istirahat kerja seperti hari-hari biasanya."Mau pesan apa, Tuan?" tanya Erin dengan sangat sopan dan hati-hati tehadap tamu pria berbadan kekar yang kini duduk di meja nomor 7. Wajahnya begitu sangar didukung dengan tatto yang memenuhi lengan tanganya. Pria itu mengisyaratkan dengan jari telunjuk ke arah gadis waiters bersurai hitam panjang berparas menawan yang tengah menyajikan pesanan pengunjung. Dia menginginkan Dewi yang melayani dirinya."Meja nomor 7 memintamu melayaninya," Erin berbisik saat melewati Dewi yang tengah sibuk dengan pekerjaanya."Siapa dia?" Dewi bertanya sembari melihat ke arah pria yang meminta dilayani olehnya. "Mana aku tahu." Erin menjawab ketus sembari berlalu. Mimik wajahnya tak bisa menutupi atas rasa ketidak sukaanya terhadap Dewi.Dewi berjalan mendekati pria itu dengan tatapan penuh selidik. "Maaf, Tuan, ada yang bisa say
"Gimana hari pertama kerjamu?" tanya gadis bertubuh jangkung yang kini duduk bersama Dewi di atas lantai beralaskan tikar."Ya begitulah, Va. Ada enaknya, ada engganya juga." jawab Dewi yang kemudian menyuapkan pisang goreng ke dalam mulutnya.Hanya ada pisang goreng kaki lima dan secangkir teh hangat yang menemani bincang malam kedua gadis itu. Dari tempat kerja, Dewi mendapat jatah makan sekali, itupun sengaja dia ambil setelah jam kerja usai. Agar tak merasakan lapar saat hendak tidur malam. Bukankah sulit untuk memejamkan mata dan tertidur ketika perut dalam keadaan lapar?"Nggak enaknya?" Eva memegang cangkir dan meniup teh yang masih sangat panas, lalu menyesapnya sedikit. "Ada yang ketus banget, Va. Padahal aku yakin, aku nggak berbuat salah sama dia." Dewi mendengus. "Wajar, Wi. Namanya juga orang hidup. Mau kita sebaik apapun, pasti tetep ada yang nggak suka." Eva menepuk bahu Dewi pelan, mengisyaratkan agar Dewi tegar menghadapi situasi yang dia alami.Terdengar suara henta
[Mon, kamu lagi dimana? Lagi sama pacarmu ngga?]Satu pesan masuk ke ponsel gadis berambut ikal mayang yang saat ini tengah mondar-mandir di depan ranjang tidurnya. Pikirannya kalut, hingga sampai saat ini tak satupun pria yang dicintainya mengirim pesan kepadanya, bahkan Dimas selalu menghindar setiap mereka berpapasan di kantor.[Engga, Sha. Aku dirumah. Btw, tumben kamu ngechat aku, ada perlu apa?]Shasa Kusuma, gadis berambut pirang yang mengintai aktifitas panas yang dilakukan oleh dua sejoli di kos malam ini adalah teman seangkatan Ramona sewaktu SMA. Keduanya saling akrab, bermula dari kebiasaan mereka mendatangi klub malam yang sama, Liquid Exchange. [Barusan aku lihat cowo mirip pacarmu, Mon, lagi kissing sama tetangga kosan. Kalo aku ngga salah ingat sih, bener pacarmu si Dimas itu,]Butuh untuk meyakinkan ucapanya sendiri, Sasha hanya bertemu Dimas sekali, itupun di acara reuni SMA dua tahun yang lalu saat Ramona mengajak pacarnya di acara tersebut.[Ada bukti?] Ramona memb
Ramona kembali ke rumah dengan wajah sendu yang tak dapat disembunyikan. Ketika membuka pintu, ia mendapati sang ayah masih tetap diposisi semula, tak menyadari kepulangan anak gadisnya yang pulang dengan air mata bercucuran. Hanya ketenangan yang dibutuhkan gadis itu untuk saat ini, dan juga sepasang telinga untuk sudi mendengarkan jeritan luka batinnya yang menganga. Mona hanya tinggal berdua dengan ayahnya untuk saat ini, sedangkan profesi ibunya sebagai pramugari menjadikan beliau jarang pulang ke rumah. Ingin rasa hati mengadu kepada ayahnya atas kesialan yang menimpa gadis itu malam ini, namun dia sadar, sang ayah bukanlah pendengar yang baik. Gadis itu membanting pintu kamar dan mengambil posisi meringkuk, memeluk lutut di atas lantai. Buliran bening di pelupuk mata tak kunjung berhenti meloloskan diri, yang sama sekali tidak ia sadari, beriringan dengan sumpah serapah seorang wanita yang merasa terhianati.Bayangan tentang Dimas dan gadis itu terus menghantui pikiranya. Hati
Sang surya mulai menampakkan diri dari tempat persembunyiannya. Embun menetes beriringan dengan cuitan burung yang hinggap di ranting pohon cemara yang terletak di halaman depan Specta Cafe. Seperti biasa, para pekerja cafe tersebut bersiap merapikan cafe sebelum jam operasional berlangsung. Ada diantara mereka yang menyiapkan bahan masakan di dapur, mengelap alat makan dengan serbet, mengepel lantai, ada pula yang mengelap meja. Dewi memastikan setiap meja yang dia bersihkan mengkilap, hingga dia dapat melihat bayangan wajahnya tergambar pada tiap meja kaca yang ditemuinya. Cafe buka jam setengah tujuh pagi, biasanya para pengunjung akan menyesakki ruangan cafe itu untuk sarapan atau ada juga yang datang untuk memesan kopi sebelum memulai aktifitas kerja mereka.Seorang gadis berjalan keluar untuk menemui seorang pria yang datang membawa kotak bekal. Lalu kembali masuk melalui pintu kaca dan menaruh bekalnya di loker pekerja. Gadis itu kembali membawa cairan pembersih kaca dan juga
"Sejam berapa, Wi?" ucap seorang pria bartender sembari terus mengikuti gadis itu, tak peduli meski raut wajah gadis itu menunjukan ekspresi kesal. Pria itu menarik paksa tangan Dewi saat kata-katanya sama sekali tak digubris. Dengan paksa Dewi menghempaskan pegangan tangan pria itu. Ingin sekali ia berlari sekencang mungkin, namun saat terlepas dan akan berlari, tangannya kembali ditarik oleh pria yang sama. Lebih kuat dari sebelumnya."Lepasin, Dio, aku mau pulang," Dewi meronta sekuat tenaga, namun usahanya sia-sia. Pria itu lebih kuat darinya."Please, jangan jual mahal. Aku bersedia bayar berapapun, untuk malam ini saja," pinta Dio dengan kedua tangan mencengkram kuat, bak seekor elang yang berhasil mencengkram buruanya. "Lepasin, Dio, tanganku sakit," Dewi mengaduh dengan lirih. Berharap pria itu membebaskannya dari cengkraman kuat."Jawab lah, aku tau, kamu nggak bisu." pria itu menatap lekat, dia sangat bersungguh-sungguh ingin Dewi menemaninya malam ini.Tidak ada seorangpun