Share

Bagian 8

Enam minggu lalu Zea mendapatkan kabar bahwa dirinya diterima untuk melanjutkan S2-nya di Universitas Al-Azhar. Kini dia telah memulai studi pascasarjananya itu di tahun pertama. Allah telah menjawab doanya. Ya, ini adalah salah satu alasan terkuatnya mengapa dia menunda S2-nya dan belum membuka hati untuk universitas-universitas lain yang ada di Kairo, karena memang dia ingin melanjutkan studinya secara linear di Universitas Al-Azhar.

Tepat di bulan Agustus lalu, Zea sempat mengikuti ujian masuk program S2 yang diadakan setiap tahunnya di Universitas Al-Azhar. Segala berkas dan persyaratan sudah disiapkan olehnya sejak jauh-jauh hari sebelum mendaftar, termasuk doa dan restu dari orang tuanya. Kalau ini, memang berkas persyaratan utama yang paling sakral.

Bibit yang dia tanam dan dia rawat ternyata kini sudah tumbuh menjadi bunga yang indah. Ketika itu, matanya memerah, ujung bibirnya terangkat, serta lisannya tiada henti bersyukur ketika melihat rangkaian namanya ada di antara beberapa nama mahasiswi baru program pascasarjana di Universitas Al-Azhar.

"Mbak Zea, handphone Mbak bunyi," ujar Noura secara tiba-tiba seraya memberikan benda kecil berwarna hitam di tangannya pada Zea.

Suara Noura memecah konsentrasi Zea yang sedang asyik berselancar membaca kitab Ayat al-Ahkam di kamar sebelah. Memang sengaja, Zea meninggalkan ponselnya di kamar tidur untuk di-charger. Hari ini adalah yaumul 'uthlah (hari libur), maka dari itu penghuni flat ini lengkap semua. Biasanya flat mereka akan sepi penghuni di hari-hari selain hari libur.

"Dari siapa, Nour?"

"Aku lihat sekilas, sepertinya dari Abinya Mbak Zea."

Zea mengangguk lalu meraih ponselnya dari Noura. Setelah Zea menerima ponselnya, Noura pamit kembali ke kamar sebelah.

Ponsel itu masih mengeluarkan bunyi nada dering yang Zea pakai jika ada panggilan masuk, lalu Zea membawa ibu jari kanannya untuk memijat layar ponselnya. Terdengar suara di seberang sana mengucap salam untuk Zea, suara yang pertama kali mengumandangkan azan di dekat telinga mungilnya ketika dia dilahirkan ke dunia ini. Zea menjawab salam itu.

"Bagaimana kabarnya, Putri Abi?" Sosok pria yang sangat Zea sayangi dan hormati itu tersenyum di seberang sana, meskipun Zea tidak melihatnya, tetapi Zea bisa merasakannya.

"Alhamdulillah, Abi, Zea baik-baik saja di sini. Bagaimana kabar Abi, Umma dan juga Mas Aufa?"

"Alhamdulillah, kami juga baik-baik saja di sini, Nak."

Zea melukiskan senyum di wajahnya. "Alhamdulillah ...."

"Nak," panggil sang Abi dari seberang sana.

"Iya, Abi?"

"Pulanglah dulu ke Indonesia. Umma-mu kangen katanya. Sudah dua tahun ini kamu tidak pulang."

Zea bergeming sejenak. Memang tidak biasanya kedua orang tuanya memintanya untuk pulang ke Indonesia. Apakah karena rasa rindu yang sudah begitu memuncak terhadap putrinya ini? Atau ada hal penting lain sehingga Zea harus pulang ke Indonesia secara mendadak?

Semenjak liburan tahun keduanya di Mesir, memang Zea sudah jarang kembali ke Indonesia, bahkan tidak pernah. Dia memilih untuk tidak pulang ke Indonesia karena tidak ingin merepotkan kedua orang tuanya jika harus membeli tiket untuknya setiap tahun.

Zea hanya mampu menebak-nebak dalam benaknya lalu bertanya, "Abi ... Umma sehat, kan?"

"Umma-mu sehat, dia cuma kangen sama kamu katanya."

"Zea juga kangen sama Umma, Bi," ucapnya lirih. Tidak pernah berubah, meskipun sudah memasuki usia dewasa, nada bicaranya dengan sang Abi terdengar seperti gadis kecil yang manja.

"Kalau begitu pulanglah dulu untuk menjenguk kami di sini. Tinggalkan sejenak tugas-tugas kuliahmu di pascasarjana ini, untuk beberapa waktu saja."

"Pulanglah sebentar, Nak ...." Suara wanita itu sungguh tak asing lagi di telinganya. Suara wanita hebat yang karena perjuangannya selama sembilan bulan Zea bisa berada di muka bumi ini.

Tak terasa airmata di ujung pelupuk matanya merembes. Zea mengusap ujung matanya supaya airmata itu tidak menganak sungai.

"Iya, Umma. Zea akan pulang ke Indonesia. Secepatnya ...." Gadis itu tersenyum di ujung suara.

Cukup lama Zea berbicara dengan Abi dan Ummanya melalui telepon. Setelah dirundingkan, besok sore Zea akan pulang ke Indonesia. Tadinya Zea hendak membeli tiket pesawat dengan tabungannya sendiri, karena selama ini Zea sengaja menabung untuk ongkos pulang ke Indonesia ketika dirinya sudah menyelesaikan studi pascasarjananya nanti. Namun, sang Abi memintanya untuk menyimpan tabungan tersebut, karena tiket untuknya sudah disiapkan. Zea hanya tinggal bersiap dan berangkat.

Entah ada apa, tetapi Zea yakin ada sesuatu yang sangat penting sehingga kedua orang tuanya meminta dirinya untuk pulang secara mendadak seperti ini. Harap-harap cemas mulai menyeruak dalam benaknya. Semoga saja alasan kedua orang tuanya meminta dirinya untuk pulang bukan karena sesuatu yang akan membuatnya sedih.

"Ada apa, Mbak?" tanya Wafa yang ketika itu tak sengaja lewat. Wafa melangkah masuk ke dalam kamar tempat Zea berada.

"Abi dan Umma mendadak memintaku pulang."

"Ke Indonesia?"

Zea mengangguk lemah.

"Ada apa?"

"Aku nggak tahu. Abi cuma bilang kalau Umma lagi kangen sama aku. Tapi ini nggak seperti biasanya." Zea menatap Wafa. "Hampir setiap aku teleponan sama mereka, mereka pasti bilang kalau mereka kangen. Tapi nggak sampai minta aku pulang mendadak seperti ini," lanjutnya.

"Mbak." Wafa menyentuh pundak kanan Zea lalu tersenyum. "Jangan berpikir macam-macam dulu, ya. Mungkin saja orang tua Mbak ingin memberikan kejutan untuk Mbak."

Zea membuang nafasnya berat lalu mengangguk.

"Jadi, rencananya Mbak kapan akan pulang ke Indonesia?"

"Besok sore, Waf."

Wafa tampak terkejut.

"Benar-benar mendadak, bukan?"

"Yakinlah, Mbak. Sampai di Indonesia Mbak pasti mendapatkan kejutan yang akan membuat Mbak bahagia dari Abi dan Umma Mbak." Wafa berusaha membuat Zea tenang.

Lagi-lagi Zea membuang nafas berat. "Kalau begitu, aku harus siap-siap dulu."

"Aku bantu!"

Tak lama, Noura yang baru saja menyetrika pakaian menghampiri Zea dan Wafa.

"Ada apa, Mbak?" Noura memandangi Zea seraya melangkah masuk.

"Mbak Zea mau pulang ke Indonesia, Mbak," sahut Wafa tanpa menunggu Zea yang menyahutnya.

"Lho, kenapa mendadak sekali?"

"Justru itu, Nour. Aku nggak tahu kenapa bisa mendadak seperti ini." Zea memasukkan beberapa setel pakaian ke dalam koper hitam miliknya.

"Abinya Mbak nggak bilang untuk apa?"

"Nggak, Nour. Abiku cuma bilang kalau kalau Umma lagi kangen sama aku, dan beliau minta aku untuk pulang."

Noura menatap Zea dengan tatapan yang dalam. Zea yang sedang merapikan pakaiannya di koper nampak risih mendapatkan tatapan dari Noura.

"Kamu kenapa sih, Nour?"

"Jangan-jangan ... Beliau minta Mbak untuk pulang karena ada yang mau khitbah Mbak." Lagi-lagi gadis ini menggoda Zea.

Zea mendelik. "Hus! Ngawur kamu, Nour."

Noura tertawa lalu disusul dengan Wafa.

"Bisa jadi lho, Mbak. Kok aku nggak kepikiran ke situ, ya," timpal Wafa yang juga ikut menggoda Zea.

"Kalian berdua ini, sama saja ...." Zea berdiri mengambil kerudung hitam kesayangannya yang dia terima dari almarhum sang nenek sebelum dirinya menginjakkan kaki di Negeri Kinanah ini.

"Ngawur!" lanjutnya.

Noura dan Wafa tertawa geli melihat Zea yang nampak salah tingkah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status