Share

Bagian 9

Syauqi baru saja mengantarkan pesanan katering ke Shubra. Akhir-akhir ini, Shubra menduduki voting tertinggi di antara kota-kota lainnya yang sering memesan katering pada Syauqi. Lisannya tak henti mengucap syukur, hari ini ada sekitar 80 kotak pesanan katering yang semuanya dia antarkan ke Shubra. Sebenarnya bisa saja pesanan itu diantarkan menggunakan jasa ekspedisi, tetapi dia sengaja ingin mengantarnya sendiri sekaligus menemui beberapa Mahasiswa Indonesia yang merupakan kawannya di Shubra.

Biasanya, usai mengantar pesanan, Syauqi akan mampir sebentar ke dekat sungai nil untuk sekedar mengisi waktunya sembari mengetik naskah skripsi. Sungai nil memang salah satu tempat favorit yang biasa dia kunjungi. Menurutnya, melihat aliran sungai nil menjadikan hatinya terasa teduh, apalagi ditambah mendengar lantunan ayat-ayat kauni. Panasnya matahari Kairo pun seolah kalah dengan teduhnya aliran sungai nil.

Syauqi membawa dirinya untuk duduk di dekat rerumputan. Dia mulai mengeluarkan laptop dari ranselnya lalu mengaktifkannya. Belum sempat Syauqi membuka file skripsinya, terdengar suara seseorang yang memanggil namanya dengan lengkap.

"Syauqi Taiq!"

Dengan penuh tanda tanya, Syauqi mengalihkan pandangannya dari laptop ke beberapa arah, hingga pada satu titik dia menemukan seseorang yang memanggilnya tadi tengah berjalan ke arahnya.

"Ustadz Lukman." Syauqi membawa dirinya untuk menghampiri pria yang dia sebut Ustadz Lukman tadi dan kemudian menyalaminya.

"Ma syaa Allah. Saya nggak nyangka bisa bertemu kamu di sini. Awalnya saya ragu, ketika didekati ternyata benar, Syauqi Taiq!" Ustadz Lukman berbicara dengan begitu antusias.

Syauqi tersenyum dan mengajak Ustadz Lukman untuk duduk di tempat yang sejak tadi dia tempati. "Saya juga nggak nyangka bisa bertemu Ustadz di sini."

"Makin ganteng saja kamu, Qi," puji Ustadz Lukman.

"Ustadz Lukman dari dulu sampai sekarang paling bisa memuji santrinya. Kalau santrinya saja ganteng, apalagi gurunya ya, Ustadz?" Syauqi membalas pujian Ustadz Lukman dengan pujian yang mampu mencairkan suasana di antara keduanya. Ustadz Lukman tampak mesem-mesem.

"Saya kira Ustadz sudah lupa dengan saya," ujar Syauqi.

"Mana mungkin saya lupa pada santri berprestasi seperti kamu. Apalagi setiap kali jam pelajaran saya, kamu yang terlihat paling antusias."

Syauqi nampak tersipu.

"Oh iya, kamu sudah lama di Mesir?"

"Lumayan, Ustadz. Sudah hampir lima tahun."

"Wah. Kenapa dari awal tidak kabari saya kalau kamu sedang di Mesir? Kalau saya tahu pasti sudah saya ajak ke rumah."

"Saya kira Ustadz sudah kembali ke Indonesia sejak lulus dari Al-Azhar, ternyata Ustadz masih di sini."

Ustadz Lukman adalah guru Syauqi ketika dirinya menempuh pendidikan menengah pertamanya di pesantren. Namun, ketika Syauqi naik ke kelas delapan, Ustadz Lukman mengundurkan diri karena harus melanjutkan S3-nya di Mesir. Salah satu faktor yang membuat Syauqi bisa berada di Mesir adalah Ustadz Lukman. Dari sosoknya, Syauqi banyak mengambil ibroh, termasuk sikap pantang menyerah dalam ikhtiar lalu berserah diri kepada Sang Pencipta yang selalu diajarkan oleh gurunya itu.

Ustadz Lukman pernah berkali-kali mengikuti seleksi beasiswa di Universitas Al-Azhar untuk jenjang doktor, dan berkali-kali pula dia gagal. Namun, kegagalannya tak pernah dia sesali, justru hal itu yang menjadi pemicu untuk mencoba lagi dan lagi. Setiap kali Ustadz Lukman mengisi jam pelajaran di kelasnya dulu, tak jarang pula Ustadz Lukman berbagi kisah hidupnya yang banyak bisa dipetik.

"Setelah lulus, saya memang pulang ke Indonesia untuk menjemput anak dan istri saya dan menetap selama beberapa tahun ke depan di sini."

"Kalau boleh tahu, Ustadz tinggal di mana?"

"Alexandria," jawabnya. "Saya ke sini sebenarnya hanya iseng saja. Tadi habis dari rumah teman saya di Nasr City."

Syauqi mengangguk-angguk. "Cukup jauh juga, ya. Dari Alexandria ke Nasr City, lalu ke mari."

"Ya, begitu lah. Tapi kalau sudah biasa, perjalanan jauh pun tidak terlalu terasa," ungkap Ustadz Lukman.

Ustadz Lukman menatap Syauqi sejenak lalu mengalihkan pandangannya dengan lepas ke aliran air sungai nil. "Apa kesibukanmu saat ini, Qi?"

"Masih proses merampungkan skripsi saya, Ustadz. Rencananya pekan depan saya akan coba mengajukannya. Mohon doa dari antum, semoga saya lulus."

"Amin. Doa saya tidak akan pernah putus."

"Syukran, Ustadz." Syauqi mengembangkan senyumnya.

Ustadz Lukman mengangguk. "Kesibukan lainnya selain berkutat dengan skripsimu itu, apa ada?"

Syauqi menutup laptopnya, dia mengurungkan niatnya untuk mengetik. "Selain itu, saya juga mencoba bisnis kecil-kecilan. Membuat makanan katering jika ada pesanan, dan membuka jasa penerjemah bahasa Arab. Awalnya saya pesimis memulai bisnis ini, tapi saya ingat dengan kisah yang Ustadz sampaikan sepuluh tahun yang lalu tentang sahabat Ustadz yang juga jihad di Negeri Kinanah ini."

Ustadz Lukman tampak bahagia mendengar penuturan muridnya ini. Bagaimana pun hubungan antara murid dan guru tidak akan pernah putus meskipun sang murid sudah lulus ataupun sang guru sudah tidak lagi mengajar. Tidak ada yang namanya mantan murid ataupun mantan guru dalam kosakata kamus kehidupan.

"Sudah sangat mapan ternyata. Justru saat ini sepertinya sayalah yang cocok menjadi muridnya."

"Aduh. Tidak, Ustadz. Sampai kapanpun tetap sama, antum adalah guru saya dan saya adalah murid antum," ujar Syauqi.

Tak jauh dari sana, tampak beberapa gadis berpakaian syar'i melintas di tempat itu. Sepertinya mereka adalah mahasiswi asal Indonesia campur Malaysia yang sedang berkunjung ke tempat itu.

"Kapan rencana menikah, Qi?"

Mendengar pertanyaan sensitif dari Ustadz Lukman sontak Syauqi tersedak lalu menyeringai. "Belum kepikiran ke sana, Ustadz. Studi pun belum selesai. Lagipula siapa yang mau sama mahasiswa awet dan penjual makanan katering seperti saya?"

"Lha, penjual makanan katering bukan pekerjaan yang hina. Skripsimu juga sudah hampir selesai. Kalau dari segi kesiapan, saya yakin kamu sudah siap. Jadi, tunggu apa lagi?"

Syauqi mendadak mesem-mesem. "Yang jadi masalahnya, calonnya belum ada, Ustadz."

Ustadz Lukman menunjuk ke arah mahasiswi-mahasiswi berwajah Asia tadi. "Kamu tinggal pilih salah satu di antara mereka."

"Ustadz Lukman bisa saja candaannya."

"Lha, saya nggak bercanda, Qi. Tinggal pilih saja, cari tahu tentangnya lalu datangi walinya."

Syauqi membuah nafas pelan. "Apa Ustadz punya pandangan tentang perempuan yang cocok untuk saya?"

Ustadz Lukman nampak berpikir sejenak. "Mau tidak saya ceritakan tentang seorang gadis yang shalihah? Sepertinya sosok itu sangat masuk dalam kriteria kamu."

Syauqi mengira Ustadz Lukman sedang bercanda menanyakan perihal pernikahan kepadanya, nyatanya gurunya itu bertanya dengan serius.

"Bagaimana ceritanya, Ustadz?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status