Share

Bab 2. Pulang

Sebenarnya Diva tidak masalah dengan semua yang didapatnya sekarang ini. Masih belum mengingat masa lalu dan semua orang yang dikenalnya juga dia tidak terlalu memikirkan. Satu-satunya yang menjadi masalah di dalam hidupnya adalah mimpi yang selalu datang setiap malam. 

Mimpi yang sama, seseorang yang memintanya untuk tetap bersama dan tidak meninggalkan walau apa pun yang terjadi. Yang dia yakin sebagai bagian dari masa lalunya. Diva sangat ingin mengingat kembali, atau setidaknya dia tahu siapa laki-laki di dalam mimpinya. Dia sangat ingin tahu apa arti laki-laki itu baginya. 

Sayangnya, kepalanya sangat sakit sampai rasanya ingin meledak setiap dia berusaha mengingat. 

"Kamu yang tenang aja di sana. Fokus sama penyembuhan kamu, jangan mikirin yang lain dulu. Ingat, 'kan, apa kata dokter Rebecca, kalo ingatan kamu pasti bakalan balik lagi."

Jeda, Mama menarik napas. Wajahnya yang masih terlihat cantik terlihat sedikit menegang sedetik, lalu di detik berikutnya menekuk. Semuanya tak lepas dari pengamatan Diva.

"Jangan maksain diri buat ingat. Mama yakin suatu saat ingatan kamu pasti balik. Kamu pasti bakalan ingat siapa diri kamu, siapa Mama, siapa Papa bagi kamu. Buat sekarang, Mama udah lega kamu baik-baik aja, udah nggak koma atau sakit kepala kayak dulu lagi."

Diva ikut menarik napas ketika dilihatnya Mama menarik napas. Apa yang dikatakan Mama memang benar, setidaknya dia sudah tidak berbaring di rumah sakit lagi seperti saat dirinya baru pertama kali sadar. Koma nyaris setahun karena sakit yang dia sendiri tidak mengingatnya merupakan sebuah kenangan yang sangat tidak menyenangkan, dan Diva tidak ingin itu terulang. 

"Kamu manggil Mama dengan sebutan Mama juga udah bikin Mama senang banget, Sayang."

Diva berdecak. Mama menangis, dan dia tidak suka itu. Dia benci melihat Mama menangis. Dadanya juga ikut merasa sesak. Bahkan rasanya jauh lebih sesak saat dia menonton sesuatu yang sedih di televisi. 

Itulah sebabnya dia tidak terlalu menyukai tayangan televisi apalagi opera sabun. Apa yang mereka lakukan hanya akting, bukan kejadian yang sebenarnya. Coba saja kejadian seperti itu benar-benar mereka alami, Diva jamin tidak ada lagi orang yang mau berperan menjadi orang tidak mampu dan seorang kekasih yang patah hati.

"Mama, kok, nangis?" tanya Diva dengan suara serak. "Jangan nangis, dong. Ntar Diva juga ikut nangis." Tangan Diva terulur mengusap layar ponsel, seolah mengusap air mata Mama. "Diva yakin sama apa yang Mama bilang. Hati Diva percaya kalo Mama, Papa, Arkan, dan semua keluarga kita adalah keluarga Diva." Dia tersenyum, menyebabkan dua bulir bening menuruni pipinya. "Diva sayang Mama, pengen meluk Mama."

"Duh, anak gadis Mama udah dewasa masih aja cengeng." 

Kata-kata itu tidak menghentikan tangis Diva. Air matanya justru semakin deras. Dadanya semakin sesak. Bukan hanya rindu pelukan Mama, tetapi dia sangat ingin melihat tanah airnya. Ingin kembali ke sana. Dia yakin ingatannya pasti akan kembali jika dia pulang ke tanah air karena di sanalah semuanya berawal. 

Namun, sekali lagi dia harus mengalah dengan air mata Sang Ibu. Entah kapan dia bisa kembali ke tempat dia dilahirkan. Di sini Diva yakin dia tidak akan mendapatkan apa-apa, buktinya sampai sekarang ingatannya masih belum kembali. 

"Cup, cup, cup. Jangan nangis dong, Sayang."

Diva mencoba tersenyum, hanya untuk menyembunyikan rasa sakit yang tiba-tiba menyerang kepalanya. Rasanya nyeri dan berdenyut. Sekelebat ingatan memasuki kepalanya. Mama yang selalu menghiburnya dengan kata-kata itu, selalu sama sejak dia masih kecil. Diva menggigit bibir, hatinya selalu benar. Mama Della memang mamanya. Diva mengambil tisu, mengusap air matanya. 

"Diva matiin, ya, Ma? Diva udah selesai ngerjain tugasnya, mau istirahat dulu."

Diva tersenyum, menggigit pipi dalamnya. Dia kembali membohongi Mama untuk yang kesekian kali malam ini. Mematikan ponsel dan mengembalikan ke tempat semula, Diva memilih kembali ke tempat tidur. Meski tidak akan bisa terlelap lagi, dia masih harus beristirahat. 

Diva menyandarkan punggung pada kepala ranjang, mendongak dan memejamkan mata. Menarik napas dan mengembuskannya dengan pelan melewati rongga hidung. Dia selalu melakukannya kala kepalanya berdenyut seperti sekarang ini. Denyutan yang disebabkan oleh dia mengingat sesuatu. 

Inilah yang menyebabkan kedua orang tuanya melarang untuk kembali ke tanah air sebelum ingatannya pulih. Mereka tidak ingin dia kenapa-kenapa, Diva mengerti itu. 

Namun, yang tidak dimengertinya adalah kedua orang tuanya yang seolah menyembunyikan sesuatu. Entahlah, mungkin itu hanya perasaannya saja. Akan tetapi, hatinya selalu benar dan dia tidak ingin kali ini juga benar. 

Dia harus yakin, apa pun yang dilakukan kedua orang tuanya, semua demi kebaikannya. Pasti seperti itu. 

Mata bulat Diva perlahan terbuka. Rasa sakit di kepalanya mulai mereda. Diva mengembuskan napas lega. Entah sampai kapan dia akan seperti ini, hidup tanpa ingatan masa lalu sangatlah tidak menyenangkan, seolah dirimu adalah seorang bayi di dalam tubuh dewasa. Sangat menyebalkan.

Seseorang yang ingin berbuat curang atau ingin menjatuhkanmu juga akan dengan mudah dapat melakukannya. Diva beruntung karena orang-orang di sekelilingnya tidak memiliki pikiran jahat seperti itu. Jangan sampai dia menemukannya. 

Namun, rasanya Diva sudah tidak tahan lagi. Dia merasa sangat terganggu dengan terus dihantui mimpi yang sama. Mimpi yang hanya memperdengarkan audio tanpa visual yang nyata. Mimpi yang sudah membuatnya kehilangan separuh waktu istirahatnya dalam sepuluh tahun terakhir. 

Mungkin ide yang saat ini terlintas di kepalanya bukanlah ide yang baik, sangat buruk malah. Namun, sepertinya dia akan melakukannya. Dia ingin mencari tahu siapa laki-laki di dalam mimpinya, dan apa hubungan mereka. Setelah tahu, mungkin saja dia bisa kembali mendapatkan kenyamanan tidur yang sangat diimpikannya. 

Untuk masalah orang tuanya, dia akan memikirkannya nanti di dalam perjalanan. Yang penting sekarang memesan tiket untuk penerbangan besok pagi. 

Dengan semangat yang kembali menyala, Diva meraih ponsel. Jari-jari rampingnya bergerak lincah di atas layar benda pipih persegi panjang itu. Tak sampai satu menit, senyum mengembang di bibirnya yang tanpa polesan apa-apa. Dia sudah mendapatkan apa yang diinginkannya. 

Selembar tiket atas nama Diva Sandora Wijaya, penerbangan menuju Indonesia dengan jadwal keberangkatan pertama, sudah dikantonginya. Sekarang yang harus dilakukannya adalah membereskan beberapa barang yang akan dibawa. 

Tidak semua, hanya beberapa. Dia tidak menetap di tanah airnya, pasti akan kembali ke sini juga. Mungkin. Entahlah, tidak ada yang tahu apa yang terjadi di masa depan. 

Meskipun demikian, Diva tetap hanya memasukkan yang penting saja menurutnya. Dia juga tidak membawa pakaian, hanya yang akan dikenakannya saja. Di dalam koper kecil yang akan dibawanya hanya berisi surat-surat penting saja. 

Hampir satu jam Diva berbenah. Angka lima tertera di jam digital di atas nakas sebelah kanannya ketika dia sudah menyelesaikan semuanya. Diva berlari kecil ke kamar mandi, dia hanya perlu mencuci muka sebelum berangkat ke bandara. 

Indonesia, I'm coming!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status