Sebenarnya Diva tidak masalah dengan semua yang didapatnya sekarang ini. Masih belum mengingat masa lalu dan semua orang yang dikenalnya juga dia tidak terlalu memikirkan. Satu-satunya yang menjadi masalah di dalam hidupnya adalah mimpi yang selalu datang setiap malam.
Mimpi yang sama, seseorang yang memintanya untuk tetap bersama dan tidak meninggalkan walau apa pun yang terjadi. Yang dia yakin sebagai bagian dari masa lalunya. Diva sangat ingin mengingat kembali, atau setidaknya dia tahu siapa laki-laki di dalam mimpinya. Dia sangat ingin tahu apa arti laki-laki itu baginya.
Sayangnya, kepalanya sangat sakit sampai rasanya ingin meledak setiap dia berusaha mengingat.
"Kamu yang tenang aja di sana. Fokus sama penyembuhan kamu, jangan mikirin yang lain dulu. Ingat, 'kan, apa kata dokter Rebecca, kalo ingatan kamu pasti bakalan balik lagi."
Jeda, Mama menarik napas. Wajahnya yang masih terlihat cantik terlihat sedikit menegang sedetik, lalu di detik berikutnya menekuk. Semuanya tak lepas dari pengamatan Diva.
"Jangan maksain diri buat ingat. Mama yakin suatu saat ingatan kamu pasti balik. Kamu pasti bakalan ingat siapa diri kamu, siapa Mama, siapa Papa bagi kamu. Buat sekarang, Mama udah lega kamu baik-baik aja, udah nggak koma atau sakit kepala kayak dulu lagi."
Diva ikut menarik napas ketika dilihatnya Mama menarik napas. Apa yang dikatakan Mama memang benar, setidaknya dia sudah tidak berbaring di rumah sakit lagi seperti saat dirinya baru pertama kali sadar. Koma nyaris setahun karena sakit yang dia sendiri tidak mengingatnya merupakan sebuah kenangan yang sangat tidak menyenangkan, dan Diva tidak ingin itu terulang.
"Kamu manggil Mama dengan sebutan Mama juga udah bikin Mama senang banget, Sayang."
Diva berdecak. Mama menangis, dan dia tidak suka itu. Dia benci melihat Mama menangis. Dadanya juga ikut merasa sesak. Bahkan rasanya jauh lebih sesak saat dia menonton sesuatu yang sedih di televisi.
Itulah sebabnya dia tidak terlalu menyukai tayangan televisi apalagi opera sabun. Apa yang mereka lakukan hanya akting, bukan kejadian yang sebenarnya. Coba saja kejadian seperti itu benar-benar mereka alami, Diva jamin tidak ada lagi orang yang mau berperan menjadi orang tidak mampu dan seorang kekasih yang patah hati.
"Mama, kok, nangis?" tanya Diva dengan suara serak. "Jangan nangis, dong. Ntar Diva juga ikut nangis." Tangan Diva terulur mengusap layar ponsel, seolah mengusap air mata Mama. "Diva yakin sama apa yang Mama bilang. Hati Diva percaya kalo Mama, Papa, Arkan, dan semua keluarga kita adalah keluarga Diva." Dia tersenyum, menyebabkan dua bulir bening menuruni pipinya. "Diva sayang Mama, pengen meluk Mama."
"Duh, anak gadis Mama udah dewasa masih aja cengeng."
Kata-kata itu tidak menghentikan tangis Diva. Air matanya justru semakin deras. Dadanya semakin sesak. Bukan hanya rindu pelukan Mama, tetapi dia sangat ingin melihat tanah airnya. Ingin kembali ke sana. Dia yakin ingatannya pasti akan kembali jika dia pulang ke tanah air karena di sanalah semuanya berawal.
Namun, sekali lagi dia harus mengalah dengan air mata Sang Ibu. Entah kapan dia bisa kembali ke tempat dia dilahirkan. Di sini Diva yakin dia tidak akan mendapatkan apa-apa, buktinya sampai sekarang ingatannya masih belum kembali.
"Cup, cup, cup. Jangan nangis dong, Sayang."
Diva mencoba tersenyum, hanya untuk menyembunyikan rasa sakit yang tiba-tiba menyerang kepalanya. Rasanya nyeri dan berdenyut. Sekelebat ingatan memasuki kepalanya. Mama yang selalu menghiburnya dengan kata-kata itu, selalu sama sejak dia masih kecil. Diva menggigit bibir, hatinya selalu benar. Mama Della memang mamanya. Diva mengambil tisu, mengusap air matanya.
"Diva matiin, ya, Ma? Diva udah selesai ngerjain tugasnya, mau istirahat dulu."
Diva tersenyum, menggigit pipi dalamnya. Dia kembali membohongi Mama untuk yang kesekian kali malam ini. Mematikan ponsel dan mengembalikan ke tempat semula, Diva memilih kembali ke tempat tidur. Meski tidak akan bisa terlelap lagi, dia masih harus beristirahat.
Diva menyandarkan punggung pada kepala ranjang, mendongak dan memejamkan mata. Menarik napas dan mengembuskannya dengan pelan melewati rongga hidung. Dia selalu melakukannya kala kepalanya berdenyut seperti sekarang ini. Denyutan yang disebabkan oleh dia mengingat sesuatu.
Inilah yang menyebabkan kedua orang tuanya melarang untuk kembali ke tanah air sebelum ingatannya pulih. Mereka tidak ingin dia kenapa-kenapa, Diva mengerti itu.
Namun, yang tidak dimengertinya adalah kedua orang tuanya yang seolah menyembunyikan sesuatu. Entahlah, mungkin itu hanya perasaannya saja. Akan tetapi, hatinya selalu benar dan dia tidak ingin kali ini juga benar.
Dia harus yakin, apa pun yang dilakukan kedua orang tuanya, semua demi kebaikannya. Pasti seperti itu.
Mata bulat Diva perlahan terbuka. Rasa sakit di kepalanya mulai mereda. Diva mengembuskan napas lega. Entah sampai kapan dia akan seperti ini, hidup tanpa ingatan masa lalu sangatlah tidak menyenangkan, seolah dirimu adalah seorang bayi di dalam tubuh dewasa. Sangat menyebalkan.
Seseorang yang ingin berbuat curang atau ingin menjatuhkanmu juga akan dengan mudah dapat melakukannya. Diva beruntung karena orang-orang di sekelilingnya tidak memiliki pikiran jahat seperti itu. Jangan sampai dia menemukannya.
Namun, rasanya Diva sudah tidak tahan lagi. Dia merasa sangat terganggu dengan terus dihantui mimpi yang sama. Mimpi yang hanya memperdengarkan audio tanpa visual yang nyata. Mimpi yang sudah membuatnya kehilangan separuh waktu istirahatnya dalam sepuluh tahun terakhir.
Mungkin ide yang saat ini terlintas di kepalanya bukanlah ide yang baik, sangat buruk malah. Namun, sepertinya dia akan melakukannya. Dia ingin mencari tahu siapa laki-laki di dalam mimpinya, dan apa hubungan mereka. Setelah tahu, mungkin saja dia bisa kembali mendapatkan kenyamanan tidur yang sangat diimpikannya.
Untuk masalah orang tuanya, dia akan memikirkannya nanti di dalam perjalanan. Yang penting sekarang memesan tiket untuk penerbangan besok pagi.
Dengan semangat yang kembali menyala, Diva meraih ponsel. Jari-jari rampingnya bergerak lincah di atas layar benda pipih persegi panjang itu. Tak sampai satu menit, senyum mengembang di bibirnya yang tanpa polesan apa-apa. Dia sudah mendapatkan apa yang diinginkannya.
Selembar tiket atas nama Diva Sandora Wijaya, penerbangan menuju Indonesia dengan jadwal keberangkatan pertama, sudah dikantonginya. Sekarang yang harus dilakukannya adalah membereskan beberapa barang yang akan dibawa.
Tidak semua, hanya beberapa. Dia tidak menetap di tanah airnya, pasti akan kembali ke sini juga. Mungkin. Entahlah, tidak ada yang tahu apa yang terjadi di masa depan.
Meskipun demikian, Diva tetap hanya memasukkan yang penting saja menurutnya. Dia juga tidak membawa pakaian, hanya yang akan dikenakannya saja. Di dalam koper kecil yang akan dibawanya hanya berisi surat-surat penting saja.
Hampir satu jam Diva berbenah. Angka lima tertera di jam digital di atas nakas sebelah kanannya ketika dia sudah menyelesaikan semuanya. Diva berlari kecil ke kamar mandi, dia hanya perlu mencuci muka sebelum berangkat ke bandara.
Indonesia, I'm coming!
Pesta resepsi digelar pada malam harinya di sebuah hotel berbintang di ibu kota. Banyak tamu undangan yang hadir, selain rekan bisnis dari kedua keluarga mempelai, juga teman-teman mereka semasa sekolah dulu. Di antara teman-teman sekolah mereka yang hadir adalah Tasya. Meskipun tidak percaya, tetapi Tasya tetap datang sekedar hanya untuk memastikan karena undangan bukan berasal dari Juna atau Diva, melainkan dari Nora. Lagi pula, tak ada angin, tak ada hujan langsung ada undangan pesta resepsi pernikahan pria yang dicintainya. "Beneran datang ternyata!" Sejak awal memasuki lobi hotel, dada Tasya sudah berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin, keringat tak hanya membasahi pelipis, tetapi juga punggungnya yang polos. Dia sengaja mengenakan gaun hitam ketat dengan tali spaghetti yang terbuka di bagian punggung dan memiliki belahan dada yang rendah. Sengaja, agar tak terlihat seperti seseorang yang patah hati jika benar ini adalah pesta pernikahan Juna. Seruan dari suara yang s
Bandung merupakan salah satu kota yang ramah lingkungan di tanah air. Udaranya yang sejuk, ditambah dengan pemandangan yang indah, dan kuliner yang memanjakan lidah menjadikan Bandung sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak didatangi para wisatawan. Itulah salah satu alasan kenapa Juna memilih Bandung sebagai tempat pemberkatan pernikahannya, selain tentu saja karena Oma dan Opa Dirgantara yang tinggal di kota kembang. Dengan konsep garden party, pesta yang hanya dihadiri oleh keluarga dan orang-orang terdekat memilih warna putih sebagai dress code.Semua ide Diva, dengan Barbara yang sedikit meracuni otaknya. Sejak dulu, Barbara menginginkan pesta pernikahan Juna mengambil tema winter garden party. Sebuah tema yang aneh karena tidak akan ada orang yang mau mengadakan pesta kebun ketika musim dingin. Ide Barbara memang selalu ekstrem, beda dari yang lain. "Nggak perlu gugup kali, Va. Juna nggak bakalan gigit lo!" omel Echa melihat Diva yang mondar-mandir ke sana kemari di da
Juna mendelik. Astaga, Diva sangat konyol sekali. Baik pegawai apalagi pemilik butik tidak akan menanyakan pertanyaan yang tidak penting seperti itu. Mereka tidak akan mau mengurusi masalah pelanggannya. Lagi pula, ia sudah pernah datang ke butik itu saat mengukur tuxedo yang akan dikenakannya di hari pemberkatan dan resepsi setelahnya. "Bisa kasih alasan yang masuk akal nggak, sih, Be?" tanya Juna memutar bola mata jengah. "Alasan kamu itu konyol banget, tau, nggak, sih, Be?" Gemas, Juna mencubit pipi Diva yang tak lagi terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini pipi mulus itu terlihat selalu merona, bukan karena pemerah pipi, melainkan karena Diva yang tersipu. Diva membelalak. "Sakit!" katanya judes, menepis tangan Juna yang masih berada di pipinya. "Ya, habisnya kamu lucu banget, sih. 'Kan, aku gemes jadinya." Juna terkekeh. Diva tersenyum misterius, sebelah alisnya terangkat. "Sebab kamu udah nyubit pipi aku, kamu harus ikut kita pergi ke butik!" "What?" Diva tidak merespons
Suasana ruang sidang berubah menjadi kondusif begitu hakim mengetuk palu tiga kali setelah membacakan putusan hukuman untuk Hilda. Wanita itu harus menerima dihukum seumur hidup di dalam penjara atas semua kejahatan yang dilakukannya di masa lalu. Hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati karena terbukti Hilda merencanakan menggugurkan kandungan Diva, atau sama saja dengan pembunuhan berencana. Meskipun Diva selamat, tetapi calon bayinya tidak. Diva juga sempat dinyatakan meninggal oleh dokter sebelum akhirnya koma dan bangun satu tahun kemudian dalam keadaan kehilangan ingatan. Proses hukum Hilda tergolong cepat. Dalam waktu dua minggu semua berkas perkaranya sudah rampung dan langsung diajukan ke pengadilan untuk menjalani sidang. Hanya dua kali sidang hakim sudah memutuskan hukuman untuknya. Tidak ada yang memprotes, meskipun Arsen Dirgantara terlihat menekuk, tetapi pria yang mengenakan setelan berwarna hitam itu hanya diam saja. Di
"Katanya kamu punya bukti yang yang kuat buat jeblosin dia ke penjara seumur hidup. Mana buktinya?" tanya Arsen sambil menyatukan kesepuluh jarinya, menumpukan dagu di atas jari-jarinya itu. Ia juga menumpuk kakinya, kaki kanan di atas kaki kiri.Tanpa bersuara, Juna merogoh saku bagian dalam jasnya, mengambil ponsel, mengutak-atiknya sebentar, kemudian memberikan pada sang Ayah. Arsen menaikkan sebelah alisnya melihat video itu. Berlatar sebuah restoran, seorang wanita berbicara di bawah pengaruh alkohol, terus meracau mengakui semua yang sudah dilakukannya semasa dia masih sekolah dulu guna mendapatkan perhatian pemuda yang dicintainya. Sampai rela melalukan hal paling buruk, meneror kekasih pemuda itu dan mengakibatkannya tewas beserta calon bayi dalam kandungannya. Wajah tampan pria berusia lebih dari setengah abad itu memerah, rahangnya mengeras mendengar wanita itu yang mengaku bahagia saat mengetahui kekasih pemuda itu meninggal dunia berikut calon bayi mereka. Arsen merekam
Diva menarik napas dalam, menyimpannya beberapa detik di paru-parunya sebelum mengembuskannya dengan pelan melalui mulut. Dia terus mengulanginya beberapa kali, baru berhenti setelah mobil yang dikendarai Juna memasuki sebuah gerbang dengan daun pintu berwarna hitam keemasan. Mobil berhenti di halaman, tepat di depan undakan. Diva keluar lebih dulu, dia membuka sabuk pengamannya dengan cepat sebelum Juna melakukannya. Halaman rumah ini masih sama seperti sebelas tahun yang lalu, tak ada yang berubah sedikit pun. Air mancur yang berada di bagian kiri halaman, di tengah sebuah taman mungil. Bunga mawar merah yang merupakan kesukaan nyonya rumah tumbuh dengan subur di taman itu. Sekali lagi Diva menarik napas sebelum menahannya ketika Juna mendekat dan menciumnya dengan panas beberapa saat. Mata bulat Diva membelalak, tangannya terangkat memukul bahu Juna yang dianggapnya tak tahu malu, sementara pria itu justru tertawa kecil menanggapinya. Dengan santainya Juna menarik tangannya memas