Share

Bab 3. Aku Pulang

Jakarta dengan segala kemacetan dan kesibukannya sudah menjadi makanan sehari-hari bagi warganya. Mereka tidak akan heran lagi. Begitu juga dengan Diva. Ini adalah pertama kali dia menginjakkan kaki di ibu kota tanah air setelah sekian tahun lamanya tidak pernah pulang. Meski baru sekali tapi rasanya sudah sangat familiar. Tentu saja seperti itu, 'kan? Dia lahir dan dibesarkan di sini. 

Diva merentangkan kedua tangan lebar, menghirup udara ibu kota yang dirindukannya. Udara Jakarta begitu berbeda dengan New York. Meski sama-sama kota sibuk dan tidak pernah tidur, udara Jakarta memiliki arti lebih baginya. Dia merasa lebih nyaman. 

Diva menstop sebuah taksi yang kebetulan memang singgah di depannya. Meminta sopir mengantar ke tempat yang disebutkannya. Sungguh, semua ini terasa tidak asing. Diva merasa dia sudah sering melewati setiap jalanan yang kini dilewatinya. Diva memijit pelipis saat taksi yang ditumpanginya melintas di depan sebuah gedung apartemen mewah. 

Samar sebuah bayangan berkelebat. Diva mengerutkan kening, pikirannya bertanya. Pernahkah dia mengunjungi gedung itu? Entahlah. Sampai taksi sudah melewati area gedung apartemen itu Diva masih mengamatinya. Berhenti begitu merasakan sedikit nyeri di lehernya, dia terlalu lama menoleh ke belakang. 

Taksi memasuki kawasan perumahan elit. Diva bertanya dalam hati, apakah orang tuanya tinggal di perumahan ini? Pantas saja Mama sering berkata ingin menghabiskan uang Papa. Ternyata keluarganya adalah keluarga berada. 

Kawasan perumahan ini sungguh tenang, tidak ada macet ataupun kendaraan berseliweran. Tidak seperti saat masih di jalan raya tadi. Kepalanya semakin berdenyut menyaksikan begitu banyaknya kendaraan memadati jalanan. Seolah semua kendaraan itu tumpah ruah di jalanan ibu kota. Sedikit mengerikan baginya karena di New York dia tidak pernah terjebak macet. 

Dia selalu menggunakan transportasi umum saat pergi dan pulang bekerja. Bukan karena tidak memiliki kendaraan pribadi. Dia memilikinya, sebuah SUV premium Lexus UX sudah menjadi penghuni garasinya sejak beberapa tahun yang lalu. Namun, dia tidak pernah menggunakan mobil pribadi untuk bekerja. Dia lebih senang menggunakan fasilitas publik, salah satunya menggunakan alat transportasi umum.

Lamunan Diva terhenti saat dirasa taksi yang ditumpanginya berhenti. Diva mengernyit melihat rumah yang disinggahi taksi ini. Benarkah ini rumahnya? Jujur, Diva sedikit tidak percaya. Rumah ini terlalu mewah untuk ditempati kedua orang tuanya. Maksudnya, kalau hanya mereka berdua. 

Namun, Diva tetap keluar dari taksi dan memasuki pintu gerbang yang entah kebetulan atau apa, tidak terkunci. Kepala Diva terasa berputar, beberapa bayangan masa lalu berkelebat di kepalanya. Seorang gadis kecil berlarian di halaman dengan membawa bola di tangannya. 

Hanya sedetik bayangan gadis kecil itu berubah menjadi bayangan seorang gadis remaja. Kali ini Diva dapat mengenalinya, gadis remaja itu adalah dirinya. Seorang gadis remaja mengenakan seragam sekolah sebuah sekolah tingkat atas bertaraf internasional. 

Diva memencet pangkal hidung merasakan cairan hangat mengalir turun. Cepat dia berlari, melewati halaman rumah yang cukup luas. Diva mengetuk pintu kuat, memencet bel beberapa kali karena pintu belum dibukakan juga. 

"Mama, ini Diva!" 

Akhirnya Diva memilih berteriak memanggil Mama. Dia rasanya sudah tidak dapat bertahan lagi. Kepalanya terasa semakin berdenyut dan berputar. Cairan panas di hidungnya juga semakin cepat mengalir, mereka seolah berlomba untuk keluar. 

"Mama!"

Teriakan Diva melemah, begitu juga dengan gedorannya pada daun pintu berwarna hitam. Diva sudah mencapai batas. Beruntung pintu terbuka, sosok Della Wijaya bersama bik Sumi, asisten rumah tangganya berdiri di belakang pintu. 

Della sangat terkejut dengan kehadiran putri tunggalnya. Apalagi melihat kondisi Diva yang sangat berantakan. Della memekik tertahan melihat cairan kental berwarna merah merembes dari tangan Diva yang menutupi hidung. 

"Astaga, Diva! Kenapa sampe kayak gini?" Della bertanya histeris. Memapah Diva cepat memasuki rumah. "Telepon dokter, bik Sum!" perintahnya panik. "Telepon Bapak juga habis itu."

"Siap, Bu!" 

Tergopoh bik Sumi menghampiri telepon yang berada di atas meja hias. Tangan tuanya gemetar memencet tombol-tombol yang terdapat pada benda itu. Sementara Della memapah Diva dengan dibantu pak Dudung dan satpam mereka, membawa Diva ke kamarnya sementara dokter belum tiba. Kamar yang dulu dipakai Diva saat dia masih remaja. 

Della tidak habis pikir kenapa putrinya pulang tanpa memberitahu. Diva tiba-tiba sudah berada di depan pintu rumah mereka. Astaga! Bagaimana mungkin dia bisa kecolongan? Apalagi sekarang keadaan Diva gawat. Ini sangat mengerikan. Sungguh, Della tidak ingin sesuatu terjadi pada putrinya. 

Inilah salah satu alasan kenapa dia tidak memperbolehkan Diva untuk pulang ke tanah air. Della tidak ingin hal buruk terjadi pada putri tunggalnya. Percayalah, tidak ada seorang Ibu pun yang ingin berpisah dari anaknya. Berpisah dari Diva adalah sebuah keputusan yang sangat berat. Dia harus meninggalkan Diva di negara orang sejak putrinya itu masih berusia remaja, dalam keadaan kehilangan ingatan. 

Namun, dia harus melakukannya, demi kebaikan Diva sendiri. Terlalu banyak hal yang membahayakan Diva di negaranya sendiri. Salah satunya adalah hal ini. Bukannya dia tidak ingin ingatan putrinya kembali, hanya saja dia juga tidak ingin Diva kenapa-kenapa. Dia ingin Diva mengingat semua masa lalunya secara perlahan. 

Lima menit kemudian, dokter Shahnaz, dokter keluarga yang dihubungi bik Sumi sudah tiba. Della membiarkan dokter seusia dengannya itu memeriksa Diva, semetara dirinya menunggu di dekat tempat tidur di mana Diva terbaring. Diva tadi pingsan begitu mereka tiba di kamar. 

"Gimana keadaan Diva, Dok?" tanya Della khawatir. Raut kecemasan begitu kentara di wajahnya yang masih terlihat cantik meski sudah berumur. 

Dokter Shahnaz Saraswati adalah dokter keluarga yang dulu menangani Diva saat perempuan itu kritis sepuluh tahun yang lalu. Dokter Shahnaz juga yang menyarankan Diva untuk dibawa ke luar negeri dan berobat di sana. 

Saat baru beberapa bulan dirawat di luar negeri, dokter Shahnaz selalu mendampingi Diva. Bagaimanapun Diva adalah pasiennya, dia harus terus memantau kondisinya. Sampai saat Diva dinyatakan koma oleh tim dokter di sana, dokter Shahnaz masih bertahan. Dia pulang kembali ke tanah air setelah beberapa bulan Diva masih belum sadar dari komanya. 

Dokter Shahnaz bukannya menyerah, dia terus memantau keadaan Diva dari tanah air. Dokter Shahnaz juga tahu keadaan Diva sekarang yang mengalami amnesia. 

Dokter Shahnaz menarik napas panjang sebelum menjawab. "Kita tahu penyebabnya, Della. Ada sebuah atau beberapa ingatan yang memaksa masuk ke otak Diva. Sepertinya ingatan masa kecil karena Diva melihat rumah ini."

Della memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut. Sebenarnya sejak melihat darah yang mengalir menuruni hidung Diva, dia sudah merasakannya, tapi Della menahannya. Baginya, sakit kepala yang dirasakannya tidak seberapa dengan sakit yang dialami Diva. 

"Lalu, apa Diva nggak apa-apa?" 

Dokter Shahnaz mengangguk. "Untuk sementara Diva nggak apa-apa, mimisan dan pingsan reaksi yang masih bisa disebut wajar. Tapi, kalau kondisi Diva lebih parah sebaiknya bawa ke rumah sakit."

"Astaga!" Della mengusap wajah. 

"Aku rekomendasikan salah satu teman aku. Dia juga seorang perempuan, namanya dokter Pratiwi. Dia seorang terapis juga psikiater, mungkin dia bisa membantu Diva."

Della mengangguk. Saat ini dia sangat bingung, dan sangat membutuhkan seorang dokter terbaik untuk membantu kesembuhan putrinya. Della berharap semoga dokter yang direkomendasikan dokter Shahnaz cocok dengan Diva. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status