Share

Bab 4. Hanya Ingatan Masa Kecil

Tergopoh pria itu memasuki rumahnya. Ia bahkan memerlukan bantuan sopirnya untuk membukakan pintu mobil. Ronny Wijaya juga memerlukan bantuan Sang Sopir untuk memapahnya masuk. Kabar mengejutkan dari asisten rumah tangganya membuatnya nyaris syok. Bagaimana mungkin putri tunggalnya berada di rumah? Sungguh, Diva sangat nekat, pulang ke tanah air tanpa memberitahu. 

Entah apa yang ada di dalam pikiran putrinya. Apakah Diva tidak tahu betapa mereka yang berada di sini selalu mengkhawatirkannya? Bukannya ia tak ingin berkumpul bersama putri tunggalnya kembali, ia hanya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Diva. Seperti kejadian ini, misalnya. Sungguh, ia tak dapat memaafkan dirinya sendiri kalau putrinya sampai kenapa-kenapa.

"Gimana Diva, Ma?" tanya Ronny setengah berteriak kepada Della, bahkan ia belum mencapai lantai dua masih berusaha menaiki tangga. "Diva beneran pulang?" 

Della bergegas keluar kamar mendengarnya, semakin panik melihat suaminya yang dipapah oleh Pak Tono, sopir mereka. 

"Astaga, Papa!" Della memekik kaget. "Papa kenapa, Pa?"

Ronny menggeleng pelan, berusaha menenangkan istrinya yang sudah menangis sekarang. Ronny membiarkan Della yang memapahnya menggantikan Pak Tono, dan membawanya langsung ke kamar putri mereka. 

"Astaga, Diva!" Ronny langsung menghampiri putrinya yang terbaring di tempat tidur dengan mata yang terpejam. Tangan besarnya menggenggam tangan Diva yang terasa dingin bersentuhan dengan tangannya. "Diva baik-baik aja, 'kan, Ma? Diva kenapa? Kok, bisa ada di rumah?" 

Della makin merasa sedih saja mendengar pertanyaan itu. Semua ini merupakan salahnya yang tidak selalu mengontrol keadaan putri mereka. Terakhir dia berhubungan dengan Diva adalah seminggu yang lalu, saat putrinya itu menghubunginya melalui panggilan video. 

Saat itu sedang malam di sana, Diva begadang mengerjakan tugas dari kantornya. Oh iya astaga! Kenapa dia baru mengingatnya? Bukankah Diva bekerja di salah satu perusahaan ternama di New York? Jika dia berada di sini, bagaimana dengan pekerjaannya? 

Ah, sekarang bukan saat memikirkan itu. Yang terpenting adalah putrinya. Diva harus bangun dulu agar mereka bisa mengetahui bagaimana keadaannya. 

"Diva baik-baik aja, Pa," ucap Della menjawab pertanyaan beruntun suaminya. "Benar kayak gitu, 'kan, Dokter?" Dia bertanya pada dokter Shahnaz yang masih berada di ruangan itu. 

Dokter Shahnaz mengangguk. "Diva mengalami sakit kepala dan mimisan saja, Ron. Itu sebuah reaksi yang wajar karena adanya satu atau beberapa ingatan yang memaksa masuk ke memori otaknya." Shahnaz menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh orang awam. "Nggak lama lagi dia bangun, kok," ucapnya tersenyum.

Ada sedikit kelegaan di hati Ronny mendengar kata-kata Shahnaz, ia selalu memercayai perkataan sahabatnya ini. Meskipun begitu, ia tetap khawatir. Bagaimana kalau Diva tidak bangun lagi dan kembali koma? 

Sungguh, ia tak ingin kejadian sepuluh tahun yang lalu kembali terulang. Cukup sekali ia dan istrinya mengalami, tak ingin terjadi lagi. 

Saat itu adalah saat terburuk dalam hidup mereka. Nyaris kehilangan putri semata wayang, kemudian dia koma, dan ketika bangun kehilangan seluruh ingatannya adalah hal terburuk dan sangat menyakitkan bagi setiap orang tua. 

Tidak dikenali oleh anak mereka, ditatap dengan tatapan seolah mereka adalah orang asing merupakan mimpi buruk. Jangan sampai hal itu terjadi lagi. 

Shahnaz mengerti, dia paham apa yang dirasakan sepasang suami-istri itu. Setiap orang tua pasti memiliki kekhawatiran yang sama, tak ingin anak mereka kenapa-kenapa. Apalagi mereka sudah mengenal lama dan bersahabat. 

Dia juga khawatir pada Diva. Sejak kecil perempuan itu sudah keras kepala dan terbilang nekat. Diva selalu melakukan sesuatu yang dianggapnya benar. Sepertinya kali ini juga seperti itu. 

Mungkin dia menganggap kepulangannya ke tanah air bukanlah sesuatu yang salah, dia pasti menganggap semuanya benar, atau mungkin ada sesuatu yang membuatnya nekat pulang tanpa memberitahu. 

Sebagai sahabat kedua orang tua Diva, juga sebagai dokter pribadi keluarga mereka sekaligus dokter yang merawat Diva sejak dia mengalami pendarahan hebat sepuluh tahun yang lalu yang disebakan praktek aborsi ilegal, dia merasa bertanggung jawab. Dia tidak akan pulang sebelum melihat Diva sadar dan membuka mata. 

"Gimana dengan kondisi kamu sendiri, Ron?" Shahnaz bertanya sebagai seorang sahabat. Dia juga mengkhawatirkan keadaan Della dan Ronny. Tadi Della sudah diberikannya resep untuk obat penenang. Mungkin saja ,'kan, Ronny juga memerlukannya. "Kamu kayaknya juga butuh obat untuk menenangkan diri. Aku kasih resep, ya?" tawarnya. "Atau sama aja resepnya kayak punya Della? Kayaknya kamu cuman perlu istirahat banyak, jangan terlalu dipikirkan dulu. Mengenai Diva, kalian bisa menuntunnya pelan-pelan. Kalau dia bertanya, jawab sejujurnya, tapi dengan lembut. Kalo nggak jujur takutnya nanti dia tambah parah."

"Sama kayak Della aja, Naz," jawab Ronny tanpa menatap. Matanya terus tertuju pada wajah Diva yang pucat. Napas putrinya sangat teratur, sepertinya dia sedang tidur. "Va, kamu bangun dong, Sayang. Jangan bikin Papa sama Mama khawatir," pintanya. 

Della menyentuh bahu suaminya yang tampak luruh. Bahu tempatnya bersandar itu tak lagi kokoh seperti sebelumnya. Dia yakin, kabar kepulangan dan sakitnya putri mereka sangat mengejutkannya. Ronny juga tampak terpukul dengan apa yang terjadi pada Diva. 

Shahnaz menghampiri tempat tidur Diva. Perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu terlihat tenang dalam tidurnya. Dia seperti Putri Salju yang sedang menantikan ciuman pangerannya untuk membuatnya kembali terbangun. 

Shahnaz duduk di sisi kosong tempat tidur Diva, memeriksa denyut nadi dan suhu badannya yang normal. Senyum terukir di bibir Shahnaz, Diva hanya tidur, sebentar lagi dia pasti akan terjaga. 

Perkiraan Shahnaz benar, mata yang terpejam itu bergerak liar, beberapa detik kemudian terbuka perlahan. Diva sudah sadar. Yang pertama dilakukannya adalah mengedarkan pandangan ke sekeliling, memeriksa keadaan kamar, dan duduk dengan cepat. Tangannya terangkat memijit pelipis, pusing langsung menyergap karena gerakannya yang tiba-tiba.

"Diva, kamu nggak apa-apa, Sayang?" 

Pertanyaan itu membuat Diva menatap orang yang bertanya. Papanya. Diva mengangguk, bibirnya mengulas senyum. 

"Papa?" 

Ronny mengangguk, memeluk putrinya erat. Lega yang luar biasa dirasakannya. Tak terbayang kalau seandainya Diva tidak bangun lagi dan kembali koma. Pasti akan menjadi sebuah pukulan yang sangat berat bagi keluarganya. 

Ia melarang Diva yang mencoba bangkit dengan menggelengkan kepala. Tangannya terulur mengusap puncak kepala putrinya, membungkukkan tubuh untuk mengecup keningnya. 

"Kamu baik-baik aja, Sayang?" tanya Ronny parau. Sedapat mungkin ia menahan air mata agar tidak menggenangi matanya. 

Diva mengangguk. "Diva kangen Papa sama Mama makanya pulang tanpa ngasih kabar," ucapnya memejamkan mata. "Tapi, pas di depan tadi kepala Diva pusing tiba-tiba gara-gara liat bayangan anak cewek pake seragam SMA. Apa itu Diva, Pa?" 

Ronny mengangguk. Itu adalah ingatan masa kecil Diva. Ia mengembuskan napas pelan melewati rongga hidung. Hanya mengingat masa kecilnya saja Diva sudah pingsan seperti tadi. Lalu, apa yang terjadi seandainya Diva bertemu pria itu? Arjuna. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status