Tergopoh pria itu memasuki rumahnya. Ia bahkan memerlukan bantuan sopirnya untuk membukakan pintu mobil. Ronny Wijaya juga memerlukan bantuan Sang Sopir untuk memapahnya masuk. Kabar mengejutkan dari asisten rumah tangganya membuatnya nyaris syok. Bagaimana mungkin putri tunggalnya berada di rumah? Sungguh, Diva sangat nekat, pulang ke tanah air tanpa memberitahu.
Entah apa yang ada di dalam pikiran putrinya. Apakah Diva tidak tahu betapa mereka yang berada di sini selalu mengkhawatirkannya? Bukannya ia tak ingin berkumpul bersama putri tunggalnya kembali, ia hanya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Diva. Seperti kejadian ini, misalnya. Sungguh, ia tak dapat memaafkan dirinya sendiri kalau putrinya sampai kenapa-kenapa.
"Gimana Diva, Ma?" tanya Ronny setengah berteriak kepada Della, bahkan ia belum mencapai lantai dua masih berusaha menaiki tangga. "Diva beneran pulang?"
Della bergegas keluar kamar mendengarnya, semakin panik melihat suaminya yang dipapah oleh Pak Tono, sopir mereka.
"Astaga, Papa!" Della memekik kaget. "Papa kenapa, Pa?"
Ronny menggeleng pelan, berusaha menenangkan istrinya yang sudah menangis sekarang. Ronny membiarkan Della yang memapahnya menggantikan Pak Tono, dan membawanya langsung ke kamar putri mereka.
"Astaga, Diva!" Ronny langsung menghampiri putrinya yang terbaring di tempat tidur dengan mata yang terpejam. Tangan besarnya menggenggam tangan Diva yang terasa dingin bersentuhan dengan tangannya. "Diva baik-baik aja, 'kan, Ma? Diva kenapa? Kok, bisa ada di rumah?"
Della makin merasa sedih saja mendengar pertanyaan itu. Semua ini merupakan salahnya yang tidak selalu mengontrol keadaan putri mereka. Terakhir dia berhubungan dengan Diva adalah seminggu yang lalu, saat putrinya itu menghubunginya melalui panggilan video.
Saat itu sedang malam di sana, Diva begadang mengerjakan tugas dari kantornya. Oh iya astaga! Kenapa dia baru mengingatnya? Bukankah Diva bekerja di salah satu perusahaan ternama di New York? Jika dia berada di sini, bagaimana dengan pekerjaannya?
Ah, sekarang bukan saat memikirkan itu. Yang terpenting adalah putrinya. Diva harus bangun dulu agar mereka bisa mengetahui bagaimana keadaannya.
"Diva baik-baik aja, Pa," ucap Della menjawab pertanyaan beruntun suaminya. "Benar kayak gitu, 'kan, Dokter?" Dia bertanya pada dokter Shahnaz yang masih berada di ruangan itu.
Dokter Shahnaz mengangguk. "Diva mengalami sakit kepala dan mimisan saja, Ron. Itu sebuah reaksi yang wajar karena adanya satu atau beberapa ingatan yang memaksa masuk ke memori otaknya." Shahnaz menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh orang awam. "Nggak lama lagi dia bangun, kok," ucapnya tersenyum.
Ada sedikit kelegaan di hati Ronny mendengar kata-kata Shahnaz, ia selalu memercayai perkataan sahabatnya ini. Meskipun begitu, ia tetap khawatir. Bagaimana kalau Diva tidak bangun lagi dan kembali koma?
Sungguh, ia tak ingin kejadian sepuluh tahun yang lalu kembali terulang. Cukup sekali ia dan istrinya mengalami, tak ingin terjadi lagi.
Saat itu adalah saat terburuk dalam hidup mereka. Nyaris kehilangan putri semata wayang, kemudian dia koma, dan ketika bangun kehilangan seluruh ingatannya adalah hal terburuk dan sangat menyakitkan bagi setiap orang tua.
Tidak dikenali oleh anak mereka, ditatap dengan tatapan seolah mereka adalah orang asing merupakan mimpi buruk. Jangan sampai hal itu terjadi lagi.
Shahnaz mengerti, dia paham apa yang dirasakan sepasang suami-istri itu. Setiap orang tua pasti memiliki kekhawatiran yang sama, tak ingin anak mereka kenapa-kenapa. Apalagi mereka sudah mengenal lama dan bersahabat.
Dia juga khawatir pada Diva. Sejak kecil perempuan itu sudah keras kepala dan terbilang nekat. Diva selalu melakukan sesuatu yang dianggapnya benar. Sepertinya kali ini juga seperti itu.
Mungkin dia menganggap kepulangannya ke tanah air bukanlah sesuatu yang salah, dia pasti menganggap semuanya benar, atau mungkin ada sesuatu yang membuatnya nekat pulang tanpa memberitahu.
Sebagai sahabat kedua orang tua Diva, juga sebagai dokter pribadi keluarga mereka sekaligus dokter yang merawat Diva sejak dia mengalami pendarahan hebat sepuluh tahun yang lalu yang disebakan praktek aborsi ilegal, dia merasa bertanggung jawab. Dia tidak akan pulang sebelum melihat Diva sadar dan membuka mata.
"Gimana dengan kondisi kamu sendiri, Ron?" Shahnaz bertanya sebagai seorang sahabat. Dia juga mengkhawatirkan keadaan Della dan Ronny. Tadi Della sudah diberikannya resep untuk obat penenang. Mungkin saja ,'kan, Ronny juga memerlukannya. "Kamu kayaknya juga butuh obat untuk menenangkan diri. Aku kasih resep, ya?" tawarnya. "Atau sama aja resepnya kayak punya Della? Kayaknya kamu cuman perlu istirahat banyak, jangan terlalu dipikirkan dulu. Mengenai Diva, kalian bisa menuntunnya pelan-pelan. Kalau dia bertanya, jawab sejujurnya, tapi dengan lembut. Kalo nggak jujur takutnya nanti dia tambah parah."
"Sama kayak Della aja, Naz," jawab Ronny tanpa menatap. Matanya terus tertuju pada wajah Diva yang pucat. Napas putrinya sangat teratur, sepertinya dia sedang tidur. "Va, kamu bangun dong, Sayang. Jangan bikin Papa sama Mama khawatir," pintanya.
Della menyentuh bahu suaminya yang tampak luruh. Bahu tempatnya bersandar itu tak lagi kokoh seperti sebelumnya. Dia yakin, kabar kepulangan dan sakitnya putri mereka sangat mengejutkannya. Ronny juga tampak terpukul dengan apa yang terjadi pada Diva.
Shahnaz menghampiri tempat tidur Diva. Perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu terlihat tenang dalam tidurnya. Dia seperti Putri Salju yang sedang menantikan ciuman pangerannya untuk membuatnya kembali terbangun.
Shahnaz duduk di sisi kosong tempat tidur Diva, memeriksa denyut nadi dan suhu badannya yang normal. Senyum terukir di bibir Shahnaz, Diva hanya tidur, sebentar lagi dia pasti akan terjaga.
Perkiraan Shahnaz benar, mata yang terpejam itu bergerak liar, beberapa detik kemudian terbuka perlahan. Diva sudah sadar. Yang pertama dilakukannya adalah mengedarkan pandangan ke sekeliling, memeriksa keadaan kamar, dan duduk dengan cepat. Tangannya terangkat memijit pelipis, pusing langsung menyergap karena gerakannya yang tiba-tiba.
"Diva, kamu nggak apa-apa, Sayang?"
Pertanyaan itu membuat Diva menatap orang yang bertanya. Papanya. Diva mengangguk, bibirnya mengulas senyum.
"Papa?"
Ronny mengangguk, memeluk putrinya erat. Lega yang luar biasa dirasakannya. Tak terbayang kalau seandainya Diva tidak bangun lagi dan kembali koma. Pasti akan menjadi sebuah pukulan yang sangat berat bagi keluarganya.
Ia melarang Diva yang mencoba bangkit dengan menggelengkan kepala. Tangannya terulur mengusap puncak kepala putrinya, membungkukkan tubuh untuk mengecup keningnya.
"Kamu baik-baik aja, Sayang?" tanya Ronny parau. Sedapat mungkin ia menahan air mata agar tidak menggenangi matanya.
Diva mengangguk. "Diva kangen Papa sama Mama makanya pulang tanpa ngasih kabar," ucapnya memejamkan mata. "Tapi, pas di depan tadi kepala Diva pusing tiba-tiba gara-gara liat bayangan anak cewek pake seragam SMA. Apa itu Diva, Pa?"
Ronny mengangguk. Itu adalah ingatan masa kecil Diva. Ia mengembuskan napas pelan melewati rongga hidung. Hanya mengingat masa kecilnya saja Diva sudah pingsan seperti tadi. Lalu, apa yang terjadi seandainya Diva bertemu pria itu? Arjuna.
Sudah lebih dari sepuluh tahun, tetapi ia masih belum dapat melupakannya. Mimpi buruk itu selalu datang berulang, bagai kaset rusak yang akan selalu memutar adegan yang sama. Adegan di mana ia kehilangan perempuan yang paling dicintainya. William Arjuna Dirgantara mengusap wajah kasar. Sama seperti malam-malam biasanya setelah mimpi itu datang, ia pasti terbangun dan tak pernah bisa lagi memejamkan mata. Kali ini pun sama, mimpi buruk itu membawa kantuknya pergi. membuat keinginannya untuk tidur sudah tidak ada lagi. Juna mengulurkan tangan ke arah nakas, meraih dua buah benda yang ada di sana. Jam digital dan sebuah pigura berukuran sedang dengan bingkai emas. Foto seorang gadis mengenakan seragam sekolah tersenyum manis menghiasi pigura itu. Juna meletakkannya di dada, memeluk erat seolah memeluk gadis yang ada di dalam foto. Tak peduli dengan dadanya yang kembali terasa ditindih bongkahan batu besar, juga bulir-bulir bening yang menuruni sudut matanya yang terpejam, ia akan terus
"Hitam kayak arang!"Juna mendelik. Ia sudah tahu siapa pemilik suara itu. Yang pasti bukan Arsyi Genero Wirata. Sahabatnya sejak SMP itu bukan seorang yang banyak bicara. Sejak dulu sampai sekarang Arsyi tetap urut kata. Hanya Kevin Januar yang boros kata-kata. Pria itu selalu mengomentari setiap penampilannya, sejak SMA tidak pernah berubah. Yang paling menyebalkan adalah Kevin bekerja sebagai sekretarisnya. Entah kenapa pria itu melamar pekerjaan di perusahaannya, padahal Ayah Kevin juga mempunyai perusahaan sendiri. Kevin menolak untuk memimpin perusahaan miliknya dan memilih bekerja padanya. Alasannya sangat konyol, Kevin tak ingin meninggalkannya seorang diri. Seolah ia anak kecil saja. "Pasti lu nggak tidur, 'kan, tadi malam?"Tebakan yang nyaris tepat. Bukan tidak tidur, ia hanya terbangun dan tidak bisa melanjutkan tidur lagi. Juna memutar bola mata. "Sok tau!" ketusnya. "Eh, gue bukan sok tau, ya, Jun, tapi gue emang beneran tau." Kevin tidak mau kalah. Ia duduk di kursi t
"Kamu mimpi apa, sih, Sayang, tadi malam? Kok, kayaknya kaget banget pas Mama bangunin." Seperti biasa, sarapan mereka selalu diwarnai dengan percakapan hangat Seputra yang terjadi tadi malam.Diva meringis, kepalanya menggeleng. Sebenarnya dia ingin menceritakan mimpinya, tetapi baik Mama maupun Papa pasti tidak akan percaya. Mereka juga tidak akan mau menanggapi, seperti yang sudah-sudah, apalagi mimpinya tetap saja seperti dulu, tentang seseorang yang memanggilnya 'Be'. Seorang pria tanpa sosok, hanya suaranya saja yang terdengar. Suara yang terasa familiar, tetapi dia tidak ingat di mana pernah mendengarnya. Orang tuanya akan menganggap mimpinya tidak berarti apa-apa. Mereka selalu mengatakan itu hanyalah bunga tidur saja. Padahal dia yakin mimpinya pasti berhubungan dengan masa lalunya. Seolah kedua orang tuanya menutupi. Tak ingin membuat Mama khawatir, Diva menyunggingkan senyum. "Nggak apa-apa, kok, Ma. Diva nggak mimpi. Cuman kaget aja pas liat Mama udah ada di samping Div
Tidak ada yang lebih menjengkelkan bagi Juna daripada mendapat pesan dari Tasya, pagi-pagi seperti ini. Ketika ia membuka mata, mengecek ponselnya kalau-kalau ada pesan atau panggilan telepon yang penting, dari sekian pesan yang masuk, salah satunya adalah dari Tasya. Juna tidak mengerti apa yang dipikirkan wanita itu. Sudah ditolak berkali-kali Tasya tetap kekeuh. Dia tipe wanita yang pantang menyerah untuk mendapatkan sesuatu. Sangat keren memang, dan sebenarnya ia membutuhkan wanita seperti itu sebagai pendamping. Dalam berbisnis, bukan sebagai pasangan hidup. Juna yakin, sepanjang harinya akan buruk nantinya. Apalagi hari ini ia tidak ke mana-mana. Maksudnya, tidak ada pertemuan yang harus dihadirinya sehingga ia akan berada di kantornya seharian. Tasya mengajaknya untuk makan siang. Ajakan yang tak bisa diterimanya. Ia tak berminat untuk makan berdua dengan wanita mana pun kecuali rekan bisnisnya, itu pun jika memang ada pembicaraan bisnis penting yang mereka lakukan. Jika tid
Diva tidak dilarikan ke rumah sakit. Dia terbangun lima belas menit kemudian, tanpa ada yang tahu apa yang sudah terjadi padanya. Tidak ada seorang pun yang mendatanginya ke dalam kamar, semuanya sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, termasuk Mama yang katanya akan pergi keluar sebentar lagi. Kemungkinan Mama masih merias diri di kamarnya, dan Papa yang belum pulang dari kantor. Diva bangkit perlahan, tangan kanannya berpegangan pada sofa untuk menopang berat tubuhnya. Tangan kirinya terangkat mengusap hidungnya yang terasa lembap, dia ingat tadi hidungnya mimisan sebelum dia pingsan. Dia harus segera membersihkannya sebelum ada yang melihat. Tidak ada yang boleh tahu apa yang tadi dialaminya, dia tak ingin membuat kedua orang tuanya khawatir. Diva menarik kakinya menuju kamar mandi dengan tergesa. Dia berdiri di depan cermin besar di atas wastafel, menatap wajahnya yang terpantul di sana. Wajahnya terlihat, darah yang mulai mengering di lubang hidungnya tampak kontras dengan
"Om Juna!" Eveline Romansa Wiraatmadja berlari kecil menghampiri pria kesayangannya. Melompat ke pelukannya ketika pria dewasa itu membungkukkan badan menyambutnya. "Om kenapa baru ke sini? 'Kan, Roma kangen."Juna tersenyum lebar melihat bibir mungil itu mengerucut. Tangannya terangkat mengacak sayang poni rata gadis kecil berusia sembilan tahun itu. Memang sudah hampir sebulan ia tidak berkunjung ke rumah sahabatnya, dan selama itu juga tidak bertemu dengan Roma, gadis kecil yang selalu mengingatkannya kepada Diva.Bukan karena kesamaan fisik, melainkan sifat Roma yang sedikit banyak mirip dengan almarhumah kekasihnya. Satu lagi, Roma lahir beberapa bulan setelah kematian Diva."Om kamu itu sibuk, nggak cuman ngurusin kamu, ya, Ro!" Helen yang menyahut. Sebagai seorang sahabat, dia mengerti bagaimana sibuknya Juna. Ke sana kemari, Juna hampir tidak pernah berdiam diri. Dia tahu, Juna sengaja menyibukkan dir
Diva terbatuk beberapa kali, tersedak air liurnya sendiri saat sedang meminta izin pada Papa untuk keluar rumah besok. Dia akan menyerahkan berkas lamaran pekerjaannya ke perusahaan milik Arsen. Dia sudah memberitahu sepupunya itu tadi sebelum makan malam, jika akan ke kantornya untuk melamar kerja. "Kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya Ronny khawatir. Mata Diva merah berair. Ia memajukan tubuhnya mengamati wajah putrinya yang memerah. Della yang duduk di sebelah Diva langsung memberikan air minum ke tangannya. "Kamu minum dulu, ya, Sayang!" pintanya dengan suara bergetar dan tangan yang mengusap-usap punggung Diva. Della baru pulang ketika Diva menyerahkan berkas lamaran kerjanya. Dia meminta papanya untuk memeriksa. Della bergabung dengan mereka di ruang keluarga. Baru saja Diva berbicara, meminta izin pada papanya, dia sudah terbatuk hebat. Tidak berhenti sampai meneteskan air mata. "Kamu kenapa, sih, Nak? Kok, batuknya sampe gini amat?" Della bertanya sambil terus mengusap punggung
Tidak ada yang lebih gila dari Juna. Fakta itu didapat Kevin setelah bosnya itu bercerita jika tadi malam dia tidur di sisi makam Diva dan anak mereka. Kalaupun ada tingkatan yang lebih tinggi dari gila, kata itu pantas disematkan pada Juna. Area pemakaman adalah tempat yang menakutkan bagi sebagian besar orang, tapi tidak berlaku bagi Juna. Entah ia harus kagum atau apa, yang pasti ia tidak dapat berkata-kata. Tercengang selama Juna menceritakan apa yang telah dilakukannya tadi malam. "Gue nggak tau harus bilang apa, Jun." Kevin menggeleng. "Tapi, kalo lu nggak keberatan gue sebut gila, gue bakalan bilang kayak gitu. Lu gila, Juna!" Tawa lirih meluncur dari mulut Juna. "Gue sama sekali nggak keberatan, Vin, karena tadi malam tuh gue ngerasa kalo gue emang udah gila." Juna menggeleng pelan beberapa kali. "Gue sadar itu, tapi gue tetap mau sama mereka. Gue kangen mereka, Vin."Suara Juna merendah. Kerinduan pada kekasihnya yang sudah tiada membuatnya nekat melakukan itu. Persetan den