Share

Bab 5. Mimpi Yang Terhubung

Sudah lebih dari sepuluh tahun, tetapi ia masih belum dapat melupakannya. Mimpi buruk itu selalu datang berulang, bagai kaset rusak yang akan selalu memutar adegan yang sama. Adegan di mana ia kehilangan perempuan yang paling dicintainya. William Arjuna Dirgantara mengusap wajah kasar. Sama seperti malam-malam biasanya setelah mimpi itu datang, ia pasti terbangun dan tak pernah bisa lagi memejamkan mata. Kali ini pun sama, mimpi buruk itu membawa kantuknya pergi. membuat keinginannya untuk tidur sudah tidak ada lagi. 

Juna mengulurkan tangan ke arah nakas, meraih dua buah benda yang ada di sana. Jam digital dan sebuah pigura berukuran sedang dengan bingkai emas. Foto seorang gadis mengenakan seragam sekolah tersenyum manis menghiasi pigura itu. Juna meletakkannya di dada, memeluk erat seolah memeluk gadis yang ada di dalam foto. Tak peduli dengan dadanya yang kembali terasa ditindih bongkahan batu besar, juga bulir-bulir bening yang menuruni sudut matanya yang terpejam, ia akan terus melakukannya sampai kerinduannya mereda. Hanya sedikit karena rasa rindunya tidak akan pernah reda sepenuhnya. 

Mata karamel itu terbuka, mengerjap beberapa kali memeras cairan hangat yang masih memenuhi matanya. Tangan kiri Juna yang memegang jam digital terangkat. Angka tiga tertera di layar jam itu. Ia mengembalikan jam ke atas nakas, berbaring miring sambil masih memeluk pigura erat. 

Usia dua puluh delapan tahun bukanlah usia yang bisa dibilang muda. Ia sudah dewasa, matang dan memiliki segalanya. Dilihat dari sudut mana pun seorang Arjuna tidak memiliki kekurangan. Itu jika dilihat dari luar. Di dalam, ia rapuh. 

Cinta masa remaja yang bagi sebagian orang dinilai tidak berarti karena hanya dianggap sebagai cinta monyet justru tak dapat dilupakannya. Ia masih terjebak dalam bayang-bayang cinta pertama yang tak akan pernah bisa dimilikinya. 

Kehadiran Eveline Romansa Wiraatmadja memang bisa membuatnya sedikit lupa. Hanya sedikit. Roma masih sangat kecil dan ia bukan seorang pedofil. Perasaannya pada gadis berusia sepuluh tahun itu hanya rasa sayang terhadap keponakan. Ia masih dan akan selalu mencintai wanitanya. Mungkin ia akan membawa cintanya sampai mati, seperti wanita yang dicintainya. 

Katakan saja ia cengeng, Juna tidak akan menyangkal. Helen, sahabatnya –Ibu Roma, juga selalu menyebutnya seperti itu. Juna cengeng. Dua kata itu yang selalu diucapkan Helen bila melihatnya menangis seperti sekarang. Namun, ia tetap tak peduli karena Helen akan memeluknya dan ikut menangis setelah mengucapkan kata-kata itu. 

"Be, aku kangen." Juna terisak. "Kamu kenapa ninggalin aku, Be? 'Kan, aku sayang banget sama kamu. Kamu jahat, Be!" 

Juna terus meracau dengan kata-kata yang sama seperti malam sebelumnya saat ia terbangun dari mimpi bersama gadisnya. Sepuluh tahun dan ia tetap sama. Bukan, ia tidak gila, tidak juga depresi. Ia hanya merasa sangat kehilangan dan masih belum dapat merelakan kepergian selamanya perempuan yang dicintainya.

"Jangan tinggalin aku, Be. Kamu udah janji!"

***

"Jangan tinggalin aku, Be. Kamu udah janji!"

Mata cokelat Diva terbuka. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Mimpi itu kembali lagi, masih dengan suara dan panggilan yang sama. Be. Hanya saja kali ini kata-kata yang didengarnya berbeda. Diva menyingkirkan selimut yang menutupi lebih dari sepertiga bagian tubuhnya, duduk perlahan, dan mengusap wajah. 

Diva mengernyit, pipinya terasa basah. Apakah dia menangis? Keringat tidak mungkin sebasah ini, ini pasti air mata. Astaga! Apa yang sudah terjadi padanya? Dia menangis di dalam mimpi. 

Diva meraba dadanya yang terasa sesak, seolah ada bongkahan batu besar yang menindihnya. Jantungnya juga berdegup lebih cepat seperti saat dia baru saja berlari. Diva menggeleng pelan, mengakibatkan dua bulir bening menuruni pipinya. 

Rasa sesak di dadanya membuatnya menangis tanpa sadar. Entah apa yang terjadi, tetapi dia yakin semua ini ada hubungannya dengan masa lalunya yang hilang. Suara pria di dalam mimpinya terdengar serak, Diva yakin pria itu menangis. Begitu juga dengannya, dia juga menangis, sampai sekarang. 

Bahkan suara itu terdengar sangat jelas, seakan-akan nyata. Seolah apa yang dialaminya bukan mimpi. Seolah pria itu berada di sampingnya. Itukah yang menyebabkannya menangis seperti ini?

Diva menggeleng, menurunkan kaki, melangkah ke kamar mandi. Dia terhuyung, nyaris limbung. Mengalami mimpi yang menyedihkan dan menangis membuat kakinya menjadi selemas jelly. Diva terkejut melihat tangannya yang gemetar saat membuka pintu kamar mandi. Padahal tadi dia baik-baik saja, tidak ada getaran apa pun pada tubuhnya. 

Diva menggelengkan kepala pelan sekali lagi. Mimpinya kali ini berdampak tidak baik pada tubuhnya. Bahkan sampai sekarang dia masih menangis, air matanya tidak mau berhenti mengalir. Seakan kesedihan yang dirasakannya begitu dahsyat. 

Bukan kesedihan kamu, Va, tapi kesedihan cowok di mimpi kamu. Hatinya meralat. Namun, dadanya juga bergolak. Terasa sangat sakit mendengar suara pria itu yang mengiba. Apakah dia juga bersedih sama seperti pria di dalam mimpinya? 

Diva lagi-lagi menggelengkan kepala. Tangannya memutar keran, masih dengan gemetar. Diva membasuh muka, ada sedikit kelegaan di dadanya kala air dingin menyentuh kulit wajahnya. Batu besar itu mungkin bergeser. 

Diva mengembuskan napas melalui mulut, kepalanya terangkat menatap wajahnya dari pantulan cermin. Kulit wajahnya memerah karena baru saja menangis. Perlahan tangannya terulur ke arah cermin, menyentuh bayangan dirinya yang terpantul. Beberapa detik dia masih mengamati, sampai sekelebat bayangan diputar otaknya. 

Diva memegangi kepalanya yang berdenyut. Dia yakin baru saja melihat kepingan masa lalunya. Sepasang remaja mengenakan seragam sekolah. Dia mengenali yang perempuan, itu adalah dirinya. Lalu, siapa remaja laki-laki yang bersamanya? Apakah pria di dalam mimpi yang selalu memanggilnya dengan sebutan Be? Apa arti Be? Apa hubungan mereka? 

Wajah pemuda itu samar, dia tidak dapat melihatnya dengan jelas. Selalu seperti itu, seolah ada bagian dari otaknya yang tidak ingin mengingat pemuda itu. Diva menggeleng. Nyeri di kepalanya semakin menjadi. Dia harus segera keluar dari kamar mandi jika tidak ingin pingsan di tempat ini. 

Dengan penuh perjuangan akhirnya Diva bisa mencapai tempat tidur. Dia tidak langsung berbaring, hanya duduk bersandar pada kepala ranjang. Dia takut akan benar-benar pingsan jika langsung berbaring. 

Dia melakukan hal yang sama yang selalu dilakukannya setiap mimpi itu datang. Sesuai saat dari dokter Catherine. 

"Be!"

Napas Diva tersengal, jantungnya memacu semakin cepat. Sampai-sampai dia takut pembuluh darahnya akan pecah karena detakan jantungnya yang menggila. Dua huruf itu sukses membuat pikirannya melayang ke mana-mana. Kata-kata pria di dalam mimpinya sekarang berseliweran, terus berulang di telinga. 

"Aku sayang kamu, Be. Jangan tinggalin aku. Kamu udah janji!"

Astaga! Diva menggeleng kuat. Dia harus menghentikan suara itu jika tidak ingin menjadi benar-benar gila. Dia tidak ingin keputusannya pulang ke negaranya sendiri menjadi bumerang yang akan menyerangnya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status