Sudah lebih dari sepuluh tahun, tetapi ia masih belum dapat melupakannya. Mimpi buruk itu selalu datang berulang, bagai kaset rusak yang akan selalu memutar adegan yang sama. Adegan di mana ia kehilangan perempuan yang paling dicintainya. William Arjuna Dirgantara mengusap wajah kasar. Sama seperti malam-malam biasanya setelah mimpi itu datang, ia pasti terbangun dan tak pernah bisa lagi memejamkan mata. Kali ini pun sama, mimpi buruk itu membawa kantuknya pergi. membuat keinginannya untuk tidur sudah tidak ada lagi.
Juna mengulurkan tangan ke arah nakas, meraih dua buah benda yang ada di sana. Jam digital dan sebuah pigura berukuran sedang dengan bingkai emas. Foto seorang gadis mengenakan seragam sekolah tersenyum manis menghiasi pigura itu. Juna meletakkannya di dada, memeluk erat seolah memeluk gadis yang ada di dalam foto. Tak peduli dengan dadanya yang kembali terasa ditindih bongkahan batu besar, juga bulir-bulir bening yang menuruni sudut matanya yang terpejam, ia akan terus melakukannya sampai kerinduannya mereda. Hanya sedikit karena rasa rindunya tidak akan pernah reda sepenuhnya.
Mata karamel itu terbuka, mengerjap beberapa kali memeras cairan hangat yang masih memenuhi matanya. Tangan kiri Juna yang memegang jam digital terangkat. Angka tiga tertera di layar jam itu. Ia mengembalikan jam ke atas nakas, berbaring miring sambil masih memeluk pigura erat.
Usia dua puluh delapan tahun bukanlah usia yang bisa dibilang muda. Ia sudah dewasa, matang dan memiliki segalanya. Dilihat dari sudut mana pun seorang Arjuna tidak memiliki kekurangan. Itu jika dilihat dari luar. Di dalam, ia rapuh.
Cinta masa remaja yang bagi sebagian orang dinilai tidak berarti karena hanya dianggap sebagai cinta monyet justru tak dapat dilupakannya. Ia masih terjebak dalam bayang-bayang cinta pertama yang tak akan pernah bisa dimilikinya.
Kehadiran Eveline Romansa Wiraatmadja memang bisa membuatnya sedikit lupa. Hanya sedikit. Roma masih sangat kecil dan ia bukan seorang pedofil. Perasaannya pada gadis berusia sepuluh tahun itu hanya rasa sayang terhadap keponakan. Ia masih dan akan selalu mencintai wanitanya. Mungkin ia akan membawa cintanya sampai mati, seperti wanita yang dicintainya.
Katakan saja ia cengeng, Juna tidak akan menyangkal. Helen, sahabatnya –Ibu Roma, juga selalu menyebutnya seperti itu. Juna cengeng. Dua kata itu yang selalu diucapkan Helen bila melihatnya menangis seperti sekarang. Namun, ia tetap tak peduli karena Helen akan memeluknya dan ikut menangis setelah mengucapkan kata-kata itu.
"Be, aku kangen." Juna terisak. "Kamu kenapa ninggalin aku, Be? 'Kan, aku sayang banget sama kamu. Kamu jahat, Be!"
Juna terus meracau dengan kata-kata yang sama seperti malam sebelumnya saat ia terbangun dari mimpi bersama gadisnya. Sepuluh tahun dan ia tetap sama. Bukan, ia tidak gila, tidak juga depresi. Ia hanya merasa sangat kehilangan dan masih belum dapat merelakan kepergian selamanya perempuan yang dicintainya.
"Jangan tinggalin aku, Be. Kamu udah janji!"
***
"Jangan tinggalin aku, Be. Kamu udah janji!"
Mata cokelat Diva terbuka. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Mimpi itu kembali lagi, masih dengan suara dan panggilan yang sama. Be. Hanya saja kali ini kata-kata yang didengarnya berbeda. Diva menyingkirkan selimut yang menutupi lebih dari sepertiga bagian tubuhnya, duduk perlahan, dan mengusap wajah.
Diva mengernyit, pipinya terasa basah. Apakah dia menangis? Keringat tidak mungkin sebasah ini, ini pasti air mata. Astaga! Apa yang sudah terjadi padanya? Dia menangis di dalam mimpi.
Diva meraba dadanya yang terasa sesak, seolah ada bongkahan batu besar yang menindihnya. Jantungnya juga berdegup lebih cepat seperti saat dia baru saja berlari. Diva menggeleng pelan, mengakibatkan dua bulir bening menuruni pipinya.
Rasa sesak di dadanya membuatnya menangis tanpa sadar. Entah apa yang terjadi, tetapi dia yakin semua ini ada hubungannya dengan masa lalunya yang hilang. Suara pria di dalam mimpinya terdengar serak, Diva yakin pria itu menangis. Begitu juga dengannya, dia juga menangis, sampai sekarang.
Bahkan suara itu terdengar sangat jelas, seakan-akan nyata. Seolah apa yang dialaminya bukan mimpi. Seolah pria itu berada di sampingnya. Itukah yang menyebabkannya menangis seperti ini?
Diva menggeleng, menurunkan kaki, melangkah ke kamar mandi. Dia terhuyung, nyaris limbung. Mengalami mimpi yang menyedihkan dan menangis membuat kakinya menjadi selemas jelly. Diva terkejut melihat tangannya yang gemetar saat membuka pintu kamar mandi. Padahal tadi dia baik-baik saja, tidak ada getaran apa pun pada tubuhnya.
Diva menggelengkan kepala pelan sekali lagi. Mimpinya kali ini berdampak tidak baik pada tubuhnya. Bahkan sampai sekarang dia masih menangis, air matanya tidak mau berhenti mengalir. Seakan kesedihan yang dirasakannya begitu dahsyat.
Bukan kesedihan kamu, Va, tapi kesedihan cowok di mimpi kamu. Hatinya meralat. Namun, dadanya juga bergolak. Terasa sangat sakit mendengar suara pria itu yang mengiba. Apakah dia juga bersedih sama seperti pria di dalam mimpinya?
Diva lagi-lagi menggelengkan kepala. Tangannya memutar keran, masih dengan gemetar. Diva membasuh muka, ada sedikit kelegaan di dadanya kala air dingin menyentuh kulit wajahnya. Batu besar itu mungkin bergeser.
Diva mengembuskan napas melalui mulut, kepalanya terangkat menatap wajahnya dari pantulan cermin. Kulit wajahnya memerah karena baru saja menangis. Perlahan tangannya terulur ke arah cermin, menyentuh bayangan dirinya yang terpantul. Beberapa detik dia masih mengamati, sampai sekelebat bayangan diputar otaknya.
Diva memegangi kepalanya yang berdenyut. Dia yakin baru saja melihat kepingan masa lalunya. Sepasang remaja mengenakan seragam sekolah. Dia mengenali yang perempuan, itu adalah dirinya. Lalu, siapa remaja laki-laki yang bersamanya? Apakah pria di dalam mimpi yang selalu memanggilnya dengan sebutan Be? Apa arti Be? Apa hubungan mereka?
Wajah pemuda itu samar, dia tidak dapat melihatnya dengan jelas. Selalu seperti itu, seolah ada bagian dari otaknya yang tidak ingin mengingat pemuda itu. Diva menggeleng. Nyeri di kepalanya semakin menjadi. Dia harus segera keluar dari kamar mandi jika tidak ingin pingsan di tempat ini.
Dengan penuh perjuangan akhirnya Diva bisa mencapai tempat tidur. Dia tidak langsung berbaring, hanya duduk bersandar pada kepala ranjang. Dia takut akan benar-benar pingsan jika langsung berbaring.
Dia melakukan hal yang sama yang selalu dilakukannya setiap mimpi itu datang. Sesuai saat dari dokter Catherine.
"Be!"
Napas Diva tersengal, jantungnya memacu semakin cepat. Sampai-sampai dia takut pembuluh darahnya akan pecah karena detakan jantungnya yang menggila. Dua huruf itu sukses membuat pikirannya melayang ke mana-mana. Kata-kata pria di dalam mimpinya sekarang berseliweran, terus berulang di telinga.
"Aku sayang kamu, Be. Jangan tinggalin aku. Kamu udah janji!"
Astaga! Diva menggeleng kuat. Dia harus menghentikan suara itu jika tidak ingin menjadi benar-benar gila. Dia tidak ingin keputusannya pulang ke negaranya sendiri menjadi bumerang yang akan menyerangnya.
Pesta resepsi digelar pada malam harinya di sebuah hotel berbintang di ibu kota. Banyak tamu undangan yang hadir, selain rekan bisnis dari kedua keluarga mempelai, juga teman-teman mereka semasa sekolah dulu. Di antara teman-teman sekolah mereka yang hadir adalah Tasya. Meskipun tidak percaya, tetapi Tasya tetap datang sekedar hanya untuk memastikan karena undangan bukan berasal dari Juna atau Diva, melainkan dari Nora. Lagi pula, tak ada angin, tak ada hujan langsung ada undangan pesta resepsi pernikahan pria yang dicintainya. "Beneran datang ternyata!" Sejak awal memasuki lobi hotel, dada Tasya sudah berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin, keringat tak hanya membasahi pelipis, tetapi juga punggungnya yang polos. Dia sengaja mengenakan gaun hitam ketat dengan tali spaghetti yang terbuka di bagian punggung dan memiliki belahan dada yang rendah. Sengaja, agar tak terlihat seperti seseorang yang patah hati jika benar ini adalah pesta pernikahan Juna. Seruan dari suara yang s
Bandung merupakan salah satu kota yang ramah lingkungan di tanah air. Udaranya yang sejuk, ditambah dengan pemandangan yang indah, dan kuliner yang memanjakan lidah menjadikan Bandung sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak didatangi para wisatawan. Itulah salah satu alasan kenapa Juna memilih Bandung sebagai tempat pemberkatan pernikahannya, selain tentu saja karena Oma dan Opa Dirgantara yang tinggal di kota kembang. Dengan konsep garden party, pesta yang hanya dihadiri oleh keluarga dan orang-orang terdekat memilih warna putih sebagai dress code.Semua ide Diva, dengan Barbara yang sedikit meracuni otaknya. Sejak dulu, Barbara menginginkan pesta pernikahan Juna mengambil tema winter garden party. Sebuah tema yang aneh karena tidak akan ada orang yang mau mengadakan pesta kebun ketika musim dingin. Ide Barbara memang selalu ekstrem, beda dari yang lain. "Nggak perlu gugup kali, Va. Juna nggak bakalan gigit lo!" omel Echa melihat Diva yang mondar-mandir ke sana kemari di da
Juna mendelik. Astaga, Diva sangat konyol sekali. Baik pegawai apalagi pemilik butik tidak akan menanyakan pertanyaan yang tidak penting seperti itu. Mereka tidak akan mau mengurusi masalah pelanggannya. Lagi pula, ia sudah pernah datang ke butik itu saat mengukur tuxedo yang akan dikenakannya di hari pemberkatan dan resepsi setelahnya. "Bisa kasih alasan yang masuk akal nggak, sih, Be?" tanya Juna memutar bola mata jengah. "Alasan kamu itu konyol banget, tau, nggak, sih, Be?" Gemas, Juna mencubit pipi Diva yang tak lagi terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini pipi mulus itu terlihat selalu merona, bukan karena pemerah pipi, melainkan karena Diva yang tersipu. Diva membelalak. "Sakit!" katanya judes, menepis tangan Juna yang masih berada di pipinya. "Ya, habisnya kamu lucu banget, sih. 'Kan, aku gemes jadinya." Juna terkekeh. Diva tersenyum misterius, sebelah alisnya terangkat. "Sebab kamu udah nyubit pipi aku, kamu harus ikut kita pergi ke butik!" "What?" Diva tidak merespons
Suasana ruang sidang berubah menjadi kondusif begitu hakim mengetuk palu tiga kali setelah membacakan putusan hukuman untuk Hilda. Wanita itu harus menerima dihukum seumur hidup di dalam penjara atas semua kejahatan yang dilakukannya di masa lalu. Hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati karena terbukti Hilda merencanakan menggugurkan kandungan Diva, atau sama saja dengan pembunuhan berencana. Meskipun Diva selamat, tetapi calon bayinya tidak. Diva juga sempat dinyatakan meninggal oleh dokter sebelum akhirnya koma dan bangun satu tahun kemudian dalam keadaan kehilangan ingatan. Proses hukum Hilda tergolong cepat. Dalam waktu dua minggu semua berkas perkaranya sudah rampung dan langsung diajukan ke pengadilan untuk menjalani sidang. Hanya dua kali sidang hakim sudah memutuskan hukuman untuknya. Tidak ada yang memprotes, meskipun Arsen Dirgantara terlihat menekuk, tetapi pria yang mengenakan setelan berwarna hitam itu hanya diam saja. Di
"Katanya kamu punya bukti yang yang kuat buat jeblosin dia ke penjara seumur hidup. Mana buktinya?" tanya Arsen sambil menyatukan kesepuluh jarinya, menumpukan dagu di atas jari-jarinya itu. Ia juga menumpuk kakinya, kaki kanan di atas kaki kiri.Tanpa bersuara, Juna merogoh saku bagian dalam jasnya, mengambil ponsel, mengutak-atiknya sebentar, kemudian memberikan pada sang Ayah. Arsen menaikkan sebelah alisnya melihat video itu. Berlatar sebuah restoran, seorang wanita berbicara di bawah pengaruh alkohol, terus meracau mengakui semua yang sudah dilakukannya semasa dia masih sekolah dulu guna mendapatkan perhatian pemuda yang dicintainya. Sampai rela melalukan hal paling buruk, meneror kekasih pemuda itu dan mengakibatkannya tewas beserta calon bayi dalam kandungannya. Wajah tampan pria berusia lebih dari setengah abad itu memerah, rahangnya mengeras mendengar wanita itu yang mengaku bahagia saat mengetahui kekasih pemuda itu meninggal dunia berikut calon bayi mereka. Arsen merekam
Diva menarik napas dalam, menyimpannya beberapa detik di paru-parunya sebelum mengembuskannya dengan pelan melalui mulut. Dia terus mengulanginya beberapa kali, baru berhenti setelah mobil yang dikendarai Juna memasuki sebuah gerbang dengan daun pintu berwarna hitam keemasan. Mobil berhenti di halaman, tepat di depan undakan. Diva keluar lebih dulu, dia membuka sabuk pengamannya dengan cepat sebelum Juna melakukannya. Halaman rumah ini masih sama seperti sebelas tahun yang lalu, tak ada yang berubah sedikit pun. Air mancur yang berada di bagian kiri halaman, di tengah sebuah taman mungil. Bunga mawar merah yang merupakan kesukaan nyonya rumah tumbuh dengan subur di taman itu. Sekali lagi Diva menarik napas sebelum menahannya ketika Juna mendekat dan menciumnya dengan panas beberapa saat. Mata bulat Diva membelalak, tangannya terangkat memukul bahu Juna yang dianggapnya tak tahu malu, sementara pria itu justru tertawa kecil menanggapinya. Dengan santainya Juna menarik tangannya memas