Fadil beserta Faisal, sang ayah melongo mendengar jenazah Sifa dan Risa tidak ditemukan. Sungguh ini pernyataan tidak masuk akal. “Bisa dipastikan jenazah sudah melebur sebab api yang membakar rumah ini terlalu besar!” Mulai muncul argumen menyakitkan terkait tidak ditemukannya jenazah Sifa dan Risa.“Bagaimana bisa tulang-tulang bisa melebur? Sedangkan—Fadil berusaha menyangkal pernyataan dari tim evakuasi yang menurutnya tidak masuk akal.“Fadil, tenangkan pikiranmu! Nyatanya Sifa dan Risa tidak ditemukan!” Faisal paham jika Fadil belum bisa menerima kenyataan akan tewasnya Sifa dan Risa.“Sifa,” Fadil jatuh terduduk, butiran bening kembali mengalir begitu derasnya karena kehilangan Sifa untuk kedua kalinya. Bahkan untuk selamanya.“Kita pulang, Nak. Kita doakan Sifa dan Risa supaya tenang disana!” Tatapan Fadil begitu lekat menatap rumah yang sudah hancur menjadi arang, rumah yang sempat menjadi tempat utama untuk mampir jika sedang berlibur ke kampung. Kenangan akan senyum dan p
Pagi ini Rana sudah bersiap pergi dari rumah mertuanya. Dirinya juga bakalan tidak mau kembali ke rumah yang berisi orang jahat seperti Marni dan Irma. Kedua mata Marni membola sempurna ketika melihat Rana tengah menyeret koper besarnya saat dirinya tengah mengobrol bersama anak lelakinya.“Mas, aku sudah siap. Kita pulang yuk!” Meski masih terlihat pucat namun Rana memilih untuk segera pulang.“Kamu mau pulang? Jadi Toni kemari karena jemput kamu?” Marni terlihat tidak suka dengan kepulangan Rana yang mendadak.“Rana rindu rumah, Bu. Maafkan Rana tidak bisa menemani Ibu!” Rana berlalu dibantu Toni memasukkan kopernya ke dalam bagasi. Di balik spion, Rana melihat jelas wajah Marni yang seolah tengah marah padanya. Rana sudah tidak peduli lagi, hanya pulang dan menjauh dari mertuanya yang dia inginkan.Suasana warga kampung masih berkabung, garis polisi masih membentang di lokasi kejadian. Fadil menatap lekat garis polisi yang mengelilingi lokasi kejadian. Eli di atas balkon rumahnya
Dua bulan sudah, Sifa tinggal di kota. Risa juga sudah menemukan sekolah yang baru untuknya. Untung saja beberapa dokumen sempat dibawa saat pergi dari rumah malam itu.“Ibuuuu!” Risa berlari ke arah sang Ibu yang sudah menunggunya di gerbang sekolah.“Risa, tidak perlu lari-lari!” Tegurnya kepada Risa.“Bu, teman-teman Risa baik sekali!” “Benarkah?”Keduanya bercerita sepanjang jalan pulang ke rumah miliknya yang berada di komplek tidak jauh dari lokasi sekolah. Penampilan Sifa pun terlihat berbeda. Eli dan Soimah berkali-kali mengingatkan Sifa untuk tetap merawat diri. Akhirnya, kecantikan Sifa mulai terpancar, meski sudah cantik dari lahir, Sifa melakukan perawatan sesuai arahan Eli dan Soimah.“Risa suka tinggal di kota. Ternyata kota tidak seseram itu!” Sesampai di rumah, Sifa mulai berkutat dengan ponsel pintarnya. Atas kebaikan dari teman sekolahnya yang sudah memiliki usaha butik, Sifa mencoba mengikuti jejaknya. Sifa memasarkan produk salah satu temannya dengan sistem drops
Sesampai di rumah, kedua tangan Marisa bergetar hebat setelah mengetahui orang yang sangat mirip dengan Sifa dan Risa.“Ti-tidak mungkin mereka orang yang sama!” Marisa menatap cermin yang seakan tengah menertawakan kegagalannya. PrangMarisa melempar vas bunga ke cermin hingga pecah. Pecahan cermin berceceran dimana-mana. Diraihnya ponsel miliknya untuk menghubungi Irma dan Marni untuk memastikan kondisi Sifa dan Risa.Tuut tuutBerkali-kali dia memanggil namun panggilannya sekaan diabaikan oleh ipar dan mertuanya.“Dasar semuanya matre!” Teriak Marisa hingga menggema ke penjuru ruangan.“Kalian pembohong!”Bukan hanya Marisa saja yang terkejut dengan kemunculan Sifa, Sulhan pun diam-diam sudah mengetahuinya. Hanya saja Sulhan tidak mau membuat keributan dengan Marisa untuk sementara waktu.“Sifa, kau sangat cantik sekali!” Sulhan menatap sebuah foto yang kemarin diambilnya saat berada di pusat perbelanjaan yang sama dengan Sifa.“Kenapa takdir mempermainkan kita?” Tangis Sulhan pec
Marni dan juga Irma sangat terkejut usai membaca pesan bernada emosi dari Marisa yang mengatakan jika Sifa dan Risa masih hidup.“Ba-bagaimana bisa mereka berdua masih hidup?” Marni jatuh terduduk usai menerima pesan berisi foto Sifa dan Risa. Wajah Marni yang biasanya terlihat angkuh dan sombong, kini berubah pucat.“Penampilan Sifa berubah seperti orang kaya!” Irma kembali menelisik foto Sifa dan Risa. Penampilan yang dulunya sering dia bilang dekil dan udik sekarang berubah menjadi wanita yang anggun dan cantik. Ada rasa iri melihat kecantikan yang dimiliki Sifa. Kecantikan yang baru terlihat ketika sudah membuangnya bahkan hampir melenyapkannya.“Bagaimana jika Sifa akan melaporkan kita kepada polisi?” Pandangan Irma sudah terlalu jauh, bahkan takut jika harus mendekam di balik jeruji.“Kita seret juga Marisa bersama kita. Dia menjadi dalang di balik pembakaran rumah Sifa!” sahut Marni seolah tidak terima jika Marisa nantinya tidak ikut terseret dalam proses hukum.“Semoga Sifa t
Sifa diam sejenak, ditatapnya wajah Risa seakan sangat menginginkan Fadil menjadi seorang ayah untuknya. Sifa tidak menyalahkan keinginan Risa, anak sekecil itu memang membutuhkan seorang ayah.“Aku tidak pernah salah pilih, bahkan aku rela menunggu sampai kamu menerima cintaku! Pencapaianku tidak ada artinya kecuali ada kamu disampingku!” Kedua mata mereka saling bertatapan. Eli sudah sangat berharap jika Sifa memberikan jawaban.“Sifa, mungkin keputusan ini cukup berat untukmu. Tetapi, Ibu sangat berharap jika kamu bisa menerima cinta Fadil! Ibu yakin jika Fadil akan membahagiakan dan menjaga kalian berdua. Kalian berdua hidup sendiri sudah membuat Ibu kepikiran.” Eli memegang kedua tangan Sifa seolah memohon kepadanya.“Bu Eli memang wanita yang sangat baik seperti Bu Imah. Apakah Bu Eli tidak ingin memiliki menantu yang lebih baik dari Sifa?” “Jika di depan Ibu sudah ada kamu, maka tidak ada keinginan memiliki menantu lain selain kamu, Sifa!” Eli menunduk pasrah jika nanti Sifa m
Marni gelisah menatap kedua menantunya yang tengah bersitegang. Niat hati ingin melerai mereka, khawatir menjadi sasaran amukan Marisa. “Dasar wanita sombong!” Pekik Irma pada Marisa di depannya.“Setidaknya masih ada yang bisa aku sombongkan daripada kamu, tukang ghibah!” Kedua mata Marisa juga melirik ke arah Marni. Marni seketika terdiam karena lirikan tajam dari Marisa.“Su-sudah! Jangan bertengkar lagi! Harusnya kita selesaikan semua rencana yang gagal ini!” Marni mengumpulkan keberanian untuk melerai mereka. Marni sendiri khawatir jika ada tetangga atau siapapun mendengar perdebatan mereka.“Ibu dan Irma saja yang pikirkan, aku ingin semua beres!” Marisa dengan santainya meminta semua beres. Irma yang tadinya duduk di sampingnya kembali berdiri menatap nyalang ke arah Marisa.“Kamu mau cuci tangan atas kejahatan yang kau rancang?” Irma bahkan menunjuk wajah Marisa yang tengah memperlihatkan kuku cantiknya.“Aku sudah membayar mahal kalian!” Marisa tetap tidak mau mengalah.“Irm
Kedua mata Fadil melihat sosok Marisa dari kejauhan seperti tengah mempersiapkan sesuatu. Marisa kini berada di bagian sudut lain seakan bersiap melakukan sesuatu. Fadil merasa tidak enak, berlanjut mengajak mereka berdua ke arah keramaian.“Om, Jerapahnya tinggi banget lehernya!” Fadil hanya fokus pada Marisa yang terlihat mencurigakan.“Om! Kok melamun sih!” Sifa melihat Fadil seperti memperhatikan sesuatu.“Ada apa, Kak? Apa ada sesuatu?” “Tidak ada apa-ap, Sifa. Kita agak kesana ya!” Fadil berbaur dengan pengunjung lain supaya Marisa tidak bisa menjalankan aksinya.“Istri Sulhan membawa pistol, ini gila!” Gumam Fadil Dor dor dor “Aaaa!” Risa terkejut dengan suara ledakan tidak jauh darinya. Kedua tangannya menutup kedua telinganya.Tiga peluru peluru melesat mengenai tiang besi yang tidak jauh dari Risa berdiri, semua pengunjung panik karena sebuah tembakan menyasar. Tanpa berpikir panjang, Fadil menggendong Risa dan menggenggam tangan Sifa mengajaknya menjauhi area berbahaya t