Betapa hancurnya hati sang Ibu, ketika mendapati rendang pemberian mertua ternyata rendang yang sudah basi. Padahal Sifa sudah bekerja keras membuat rendang untuk pengajian empat puluh hari sang mendiang ayah mertua.
View MorePagi ini, Sifa sudah bersiap untuk ke rumah Ibu mertuanya. Di rumah Ibu mertuanya ada acara pengajian empat puluh harinya kematian ayah mertuanya sehingga Sifa mendapat tugas memasak untuk persiapan.
“Bu, nanti kalau di rumah Emak ada daging rendang, bawakan sepotong untuk Risa ya, Bu? Risa ingin sekali makan daging rendang!” Emak, sapaan untuk seorang nenek dari Ayahnya yang bernama Sulhan. Sudah lama sekali Sulhan tidak pulang dari merantau. “Baik, Sayang!” Ucap Sifa sambil mencium pipi anak perempuannya dari pernikahannya dengan Sulhan.Sifa pun pergi menuju ke rumah Marni yang terbilang cukup besar di desanya. Terlihat dua mobil kakak iparnya sudah berjajar rapi di halaman rumah. Baru juga kaki Sifa hendak melangkah memasuki tangga rumah, sosok yang paling dibenci Sifa sudah berkacak pinggang di depan mata.“Heh, Sifa! Lewat belakang!” Tanpa banyak protes, Sifa gegas lewat belakang. Lebih tepatnya lewat pintu dapur. Sesampai di dapur, Sifa sudah disambut dengan beberapa bahan makanan yang harus dimasak hari ini. Ada Soimah, salah satu pembantu mertuanya yang sudah mulai membersihkan beras dari beberapa kerikil. Ya, kampung ini masih menggunakan beras hasil pertanian sendiri, sehingga tidak jarang terkadang masih ada kerikil atau gabah di yang tercampur.“Non Sifa, harusnya datang agak siang saja!” Sifa hanya tersenyum mendengar ucapan Soimah.“Ndak apa-apa, Mbak. Lagian pekerjaan rumah sudah selesai kok!” Sifa mulai mengambil daging dan membersihkannya. Sifa ditugaskan membuat rendang daging hari ini. Sifa juga yang harus membuat santan dari tiga butir kelapa yang masih utuh.“Sifa, nanti jangan lupa rendangnya kamu sisihkan untuk Rana dan Irma. Besok mereka kembali ke kota dan minta dibawakan rendang!” Tiba-tiba Marni datang ke dapur menyampaikan sesuatu yang sangat membuat Sifa terkadang merasa iri.“Baik, Bu!” Hanya itu yang bisa Sifa jawab kepada Mertuanya. Sifa tergolong gadis penurut, sehingga apapun yang dikatakan mertuanya akan diterimanya.Marni kembali berkumpul bersama anak dan menantunya tanpa mau membantu kesibukan Sifa dan Soimah di dapur. “Non, kok betah sih sama mertua kayak begitu!” Sifa hanya menanggapi pertanyaan dengan senyum.“Tidak apa-apa, Mbak. Bu Marni adalah Ibunya Mas Sulhan. Jadi Sifa juga harus menganggapnya sebagai Ibu Sifa sendiri!” Soimah hanya bisa menggeleng kepala melihat kesabaran Sifa.Keduanya larut dalam pekerjaan masing-masing. Soimah bertugas memasak nasi, membuat apem dan roti kukus. Sedangkan Sifa harus mengaduk rendang sebanyak delapan kilo di dalam sebuah wajan yang cukup besar. Beberapa kali Sifa terlihat mengusap peluh yang sedari tadi membanjiri tubuhnya karena panas dari tungku yang digunakan.“Sudah sore, aku harus mengurus Risa sebentar!” Sifa sudah berencana meminta daging rendang untuk dibawanya pulang.Kaki hendak melangkah ke ruang keluarga. Disana terlihat Rana tengah asyik menikmati biskuit bersama Irma. “Mbak, Ibu dimana?” Kedua menantu Bu Marni mendelik ke arah Sifa dengan tatapan tidak suka.“Nggak tahu, cari aja sendiri!” Sifa terpaksa mencari ke ruang tamu. Namun tidak dijumpainya sosok Bu Marni.“Sifa, kenapa kamu disini? Harusnya kamu di dapur!” Hardik Marni kepada Sifa dengan berkacak pinggang.“Bu, Sifa minta izin mau pulang sebentar karena mau urus Risa. Kalau boleh, Sifa mau minta satu potong daging rendang untuk Risa,” ucap Sifa dengan rasa takut karena tatapan mertuanya.“Orang miskin makan saja ikan asin, kenapa harus rendang!” Sahut Rana dari samping Marni. Entah kapan datangnya dia, tiba-tiba saja sudah berada di samping Ibu mertuanya.“Sebentar, Ibu akan siapkan!” Bibir Sifa tersenyum ketika Marni bersedia membawakan permintaanya.Tidak berapa lama, Marni keluar dengan membawa sebuah kotak plastik berisi rendang yang masih hangat. Betapa bahagianya hati Sifa karena membawa daging rendang yang diinginkan Risa.“Nih ada rendang sisa kemarin. Baru juga Ibu hangatkan, lagian juga masih enak!” Sifa menerima kotak plastik dari tangan Mertuanya.“Terima kasih, Bu!” Ada hati yang merasa sakit ketika mertuanya memberikan daging rendang sisa kemarin kepadanya. Padahal ada daging rendang yang baru saja dimasak. Dengan kecewa, Sifa membawa pulang daging rendang sisa tersebut. Kedatangan Sifa disambut Risa di depan rumah. Risa gadis mandiri sejak kecil sehingga Sifa tidak begitu repot mengurus Risa disaat harus berjualan kue keliling kampung.“Ibu sudah pulang! Pasti itu rendang untuk Risa!” Rasa kecewa berubah bahagia kala melihat wajah Risa yang tengah berbahagia.“Iya, Nak! Ibu siapkan dulu di piring ya!” Risa mengekor Ibunya menuju ke dapur. Usai menyiapkan nasi, Sifa kemudian membuka kotak plastik tersebut. Baru juga dibuka, aroma aneh menyeruak begitu saja. “Kenapa aroma rendang ini begini?” Batin Sifa.“Wah! Banyak sekali rendangnya! Risa boleh cicip, Bu?” Hati semakin kecewa karena harapan Risa tidak sesuai kenyataan. Sifa memastikan rendang yang dibawanya masih layak dimakan. Usai mencicipi sedikit bumbu rendang itu, Sifa merasa ada rasa yang aneh. Rendang tersebut ternyata sudah basi.“Nak, Ibu minta maaf! Rendang ini basi!” Sebenarnya ada rasa tidak tega menyampaikan hal ini, tetapi jika tidak disampaikan akan berbahaya jika terlanjur dimakan.“Basi? Kok bisa, Bu?” Wajah Risa berubah muram usai mengetahui rendang yang dibawa ibunya sudah basi.“Mungkin Ibu tadi terlambat mengaduknya hingga rendangnya bisa basi!” Entahlah, Sifa mencari alasan sekenanya supaya Risa tidak kecewa.“Gini aja, malam ini kita makan telur dadar spesial saja ya! Besok kalau Ibu sudah ada rezeki lagi, ibu akan buatkan rendang daging terenak untuk Risa!” Akhirnya Risa mau menerima alasan Ibunya. Sifa akhirnya membuatkan telur dadar dengan banyak bawang daun sebagai menu makan malam Risa. Ada hati yang menangis melihat Risa begitu lahap menikmati telur dadar dengan banyak bawang daun. Bukan karena suka dengan bawang daun, tetapi telur yang dibeli oleh Sifa sengaja yang berukuran kecil karena harganya lebih murah.Usai magrib, Sifa kembali ke rumah mertuanya untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Sebenarnya Sifa malas sekali teringat rendang yang dibawanya ternyata basi. Karena rasa hormat yang dimilikinya, Sifa terpaksa datang untuk membantu acara keluarga suaminya.“Kamu lama banget sih! Nganter rendang gitu saja sampai selama ini!” Benar-benar panas sekali telinga Sifa mendengar ucapan mertuanya yang sudah berdiri di depan pintu dapur. “Ma-maaf, Bu.”Sifa kembali melanjutkan persiapan pengajian sebentar lagi dimulai. Rendang mulai ditata rapi di sebuah kotak berkat. “Dikasih rendang basi ya, Non. Tadi Mbak lihat Ibu memasukkan rendang yang tadi mau Mbak buang!” Sifa hanya bisa mengangguk tersenyum kecut tanpa bisa menjawab. Ada luka yang harus dia tahan untuk sementara waktu. Mbak Soimah sebenarnya cukup kasihan pada Sifa yang selalu menjadi bahan ejekan atau bahkan sebagai pembantu jika ada acara di rumah mertuanya.“Sabar ya, Non! Orang sabar pasti rejekinya lebar! Mbak doakan semoga Non Sifa selalu diberikan keberkahan dan kebahagiaan!” Dia Soimah menjadi obat dan penghibur hati Sifa yang tengah terluka.Pengajian berlangsung lancar, menantu dan anak Bu Marni semua ikut hadir dalam pengajian. “Sifa dimana, Bu? Kok hanya Sifa saja yang tidak hadir!” Raut wajah Bu Marni berubah ketika Bu Endang mempertanyakan keberadaan Sifa, menantu bungsunya.“Sifa tidak mau ikut pengajian, Bu. Dia lebih suka di dapur, jadi saya persilahkan saja semau dia. Memang dia cukup berani pada saya!” Bu Marni mulai bercerita yang tidak-tidak kepada tetangganya. Selama ini Bu Marni bersikap baik kepada Sifa jika berada di depan orang, tetapi akan berubah sebaliknya jika tidak ada orang.“Oh, ternyata dijadikan tukang masak to?” Seketika wajah Bu Marni menegang dan raut wajahnya terlihat malu ketika kenyataan tentang Sifa sudah diketahui tetangganya.Bagaimana reaksi Marni setelah ini?Tunggu bab selanjutnyaPov SifaBetapa beruntungnya aku, setelah pahitnya kehidupan selama tujuh tahun menikah dengan Mas Sulhan, aku mendapatkan sebuah kebahagiaan yang begitu besar. Menjadi istri dari seorang teman sejak kecil ternyata cukup menyenangkan. Kak Fadil selalu perhatian padaku meski usia pernikahan kami sudah menginjak lima tahun. Risa juga merasakan sosok ayah yang selama ini dirindukan kehadirannya.“Ibu, Risa lapar!” Sahut Risa sepulang sekolah. Aku menatap jilbab putih yang dikenakannya diletakkan begitu saja di sandaran kursi. Aku melihat Kak Fadil tersenyum ke arah Risa kemudian menasehatinya. Ternyata nasehat Kak Fadil berhasil membuat Risa paham arti jilbab sesungguhnya. Risa begitu penurut dengan ayah sambungnya meski mulai menginjak remaja, Kak Fadil memberikan aturan-aturan yang harus Risa patuhi. Aku sadar, aturan yang diberikan pada Risa adalah bentuk kasih sayang pada seorang anak perempuan.“Ibu, Ayah. Minggu depan Risa ada seleksi pertandingan karate. Doakan Risa agar lancar m
Waktu terus berlalu, Marisa gagal melancarkan aksinya membakar rumah Sifa di salah satu komplek. Anak buahnya berhasil digagalkan oleh warga setempat dan pelaku dibawa ke kantor polisi. Marisa yang mengetahuinya, lantas memilih kabur sehingga statusnya masuk dalam daftar pencarian orang. Marisa dibantu keluarganya, terpaksa kabur ke luar negri.Singkat cerita, lima tahun berlalu dan hari ini Marni dan juga Irma dinyatakan bebas. Sesuai rencana, mereka berdua pulang ke kampung dengan berbekal seadanya. Rumah terlihat sangat kotor karena sudah lima tahun tidak dibersihkan dan tidak ada tanda-tanda seseorang pulang ke rumah sekedar membersihkannya.“Marni, sudah bebas kamu?” Mona yang kebetulan lewat depan rumah Marni menjumpai teman lamanya itu. Akan tetapi wajah Marni tidak menunjukkan rasa senang saat disapa temannya. Malah menunjukkan tatapan angkuh.“Kamu nggak suka aku bebas, Mona?” Mona yang tadinya berharap perangai Marni berubah ternyata nihil. Perangainya masih tetap sama, bah
Uhuk uhukRana terbatuk usai melakukan shalat di sepertiga malamnya. Rana merasa dadanya sakit dan mengeluarkan bercak darah ketika batuk. Rana tidak pernah absen melakukan shalat sunnah.“Sakit!” Rintih Rana sambil memegang dadanya.“Ya Allah, hamba pasrah jika memang waktu hamba sudah dekat!” Gumam Rana sambil membersihkan bercak darah di telapak tangannya.Rana bergegas ke kamar mandi meski tubuhnya terasa lemas. Dengan gontai, Rana berusaha bisa sampai ke kamar mandi.BrukTubuh Rana limbung ke lantai, wajahnya berubah pucat dan saat itu juga Rana tengah menghembuskan nafas terakhirnya. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Rana sempat melafalkan kalimat syahadat.Keesokan harinya, salah satu tahanan menemukan Rana tewas di depan kamar mandi. Polisi segera membawa jenazah Rana ke rumah sakit untuk diotopsi. Toni yang sudah lama menyadari keadaan istrinya hanya bisa pasrah mendengar kabar duka. Toni diantar salah satu rekannya menuju ke rumah sakit untuk melihat wajah sang istri
Hari ini adalah hari pernikahan Sifa dengan Fadil. Satu bulan setelah tertangkapnya mereka bertiga, kehidupan Sifa kembali aman tanpa gangguan dari mantan mertua ataupun mantan ipar. Janur kuning melengkung di depan rumah Sifa menjadi pertanda ada sebuah acara bahagia.Pagi ini, Sifa terlihat sangat cantik dengan balutan kebaya nuansa putih. Begitu pula dengan Fadil yang sudah berada di depan penghulu dengan baju pengantin nuansa senada. Pernikahan digelar secara sederhana dan hanya dihadiri beberapa keluarga terdekat saja.“Sifa, ayo ibu antar!” Eli menggandeng tangan Sifa ke meja penghulu. Kehadiran Sifa membuat kedua mata Fadil tidak bisa berpaling dari kecantikan Sifa.“MasyaAllah calon istriku!” Gumam Fadil. Kecantikan alami yang dimiliki Sifa sejak dulu tidak pernah lekang oleh waktu meski usia bertambah.Ijab qobul segera dimulai, sedari tadi bibir Sifa menyebut nama Allah untuk meredam rasa grogi sebelum akad dilangsungkan.Penghulu dan Fadil mulai berjabat tangan dan mengikra
Marni dan Irma kini hendak dalam perjalanan dari bandara ke lokasi yang dituju dengan menggunakan jasa travel yang sudah dipesan. Namun alangkah terkejutnya ketika mobil travel yang ditumpanginya diberhentikan oleh orang tidak dikenal. Alhasil semua penumpang travel itu turun dan menjalani pemeriksaan. Tiba-tiba kedua tangan Irma dan Marni diborgol.“Loh, kenapa saya diborgol?” Pekik Marni ketika melihat dua tangannya sudah terborgol.Marni merasa cukup malu ketika tatapan semua penumpang tertuju padanya. Irma juga protes namun sebuah mobil polisi akhirnya datang dan membawa mereka berdua.Marni dan Irma kembali dibawa ke Jakarta dengan menggunakan mobil polisi. Kedua mata Irma dan Marni terbelalak melihat Rana sudah berada di kantor yang sama. Marni dan Irma memperhatikan penampilan Rana yang sudah berhijrah dari atas ke bawah.“Ini pasti karena kamu, Rana!” Irma menuduh Rana. “Dasar menantu durhaka!” Pekik Marni membuat gaduh kantor polisi tersebut. “Ibu, Mbak Irma. Semua perbuata
Kedua mata Fadil melihat sosok Marisa dari kejauhan seperti tengah mempersiapkan sesuatu. Marisa kini berada di bagian sudut lain seakan bersiap melakukan sesuatu. Fadil merasa tidak enak, berlanjut mengajak mereka berdua ke arah keramaian.“Om, Jerapahnya tinggi banget lehernya!” Fadil hanya fokus pada Marisa yang terlihat mencurigakan.“Om! Kok melamun sih!” Sifa melihat Fadil seperti memperhatikan sesuatu.“Ada apa, Kak? Apa ada sesuatu?” “Tidak ada apa-ap, Sifa. Kita agak kesana ya!” Fadil berbaur dengan pengunjung lain supaya Marisa tidak bisa menjalankan aksinya.“Istri Sulhan membawa pistol, ini gila!” Gumam Fadil Dor dor dor “Aaaa!” Risa terkejut dengan suara ledakan tidak jauh darinya. Kedua tangannya menutup kedua telinganya.Tiga peluru peluru melesat mengenai tiang besi yang tidak jauh dari Risa berdiri, semua pengunjung panik karena sebuah tembakan menyasar. Tanpa berpikir panjang, Fadil menggendong Risa dan menggenggam tangan Sifa mengajaknya menjauhi area berbahaya t
Marni gelisah menatap kedua menantunya yang tengah bersitegang. Niat hati ingin melerai mereka, khawatir menjadi sasaran amukan Marisa. “Dasar wanita sombong!” Pekik Irma pada Marisa di depannya.“Setidaknya masih ada yang bisa aku sombongkan daripada kamu, tukang ghibah!” Kedua mata Marisa juga melirik ke arah Marni. Marni seketika terdiam karena lirikan tajam dari Marisa.“Su-sudah! Jangan bertengkar lagi! Harusnya kita selesaikan semua rencana yang gagal ini!” Marni mengumpulkan keberanian untuk melerai mereka. Marni sendiri khawatir jika ada tetangga atau siapapun mendengar perdebatan mereka.“Ibu dan Irma saja yang pikirkan, aku ingin semua beres!” Marisa dengan santainya meminta semua beres. Irma yang tadinya duduk di sampingnya kembali berdiri menatap nyalang ke arah Marisa.“Kamu mau cuci tangan atas kejahatan yang kau rancang?” Irma bahkan menunjuk wajah Marisa yang tengah memperlihatkan kuku cantiknya.“Aku sudah membayar mahal kalian!” Marisa tetap tidak mau mengalah.“Irm
Sifa diam sejenak, ditatapnya wajah Risa seakan sangat menginginkan Fadil menjadi seorang ayah untuknya. Sifa tidak menyalahkan keinginan Risa, anak sekecil itu memang membutuhkan seorang ayah.“Aku tidak pernah salah pilih, bahkan aku rela menunggu sampai kamu menerima cintaku! Pencapaianku tidak ada artinya kecuali ada kamu disampingku!” Kedua mata mereka saling bertatapan. Eli sudah sangat berharap jika Sifa memberikan jawaban.“Sifa, mungkin keputusan ini cukup berat untukmu. Tetapi, Ibu sangat berharap jika kamu bisa menerima cinta Fadil! Ibu yakin jika Fadil akan membahagiakan dan menjaga kalian berdua. Kalian berdua hidup sendiri sudah membuat Ibu kepikiran.” Eli memegang kedua tangan Sifa seolah memohon kepadanya.“Bu Eli memang wanita yang sangat baik seperti Bu Imah. Apakah Bu Eli tidak ingin memiliki menantu yang lebih baik dari Sifa?” “Jika di depan Ibu sudah ada kamu, maka tidak ada keinginan memiliki menantu lain selain kamu, Sifa!” Eli menunduk pasrah jika nanti Sifa m
Marni dan juga Irma sangat terkejut usai membaca pesan bernada emosi dari Marisa yang mengatakan jika Sifa dan Risa masih hidup.“Ba-bagaimana bisa mereka berdua masih hidup?” Marni jatuh terduduk usai menerima pesan berisi foto Sifa dan Risa. Wajah Marni yang biasanya terlihat angkuh dan sombong, kini berubah pucat.“Penampilan Sifa berubah seperti orang kaya!” Irma kembali menelisik foto Sifa dan Risa. Penampilan yang dulunya sering dia bilang dekil dan udik sekarang berubah menjadi wanita yang anggun dan cantik. Ada rasa iri melihat kecantikan yang dimiliki Sifa. Kecantikan yang baru terlihat ketika sudah membuangnya bahkan hampir melenyapkannya.“Bagaimana jika Sifa akan melaporkan kita kepada polisi?” Pandangan Irma sudah terlalu jauh, bahkan takut jika harus mendekam di balik jeruji.“Kita seret juga Marisa bersama kita. Dia menjadi dalang di balik pembakaran rumah Sifa!” sahut Marni seolah tidak terima jika Marisa nantinya tidak ikut terseret dalam proses hukum.“Semoga Sifa t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments