Share

Bab 5. Bertemu

Setelah memastikan Putri tidur, Sulhan menggunakan motornya pergi sekedar berkeliling kampung untuk mengusir rasa jenuh. Sulhan sedang tidak ingin bicara dengan siapapun saat ini termasuk Marisa.

“Adik kamu mau kemana, Toni?” Toni yang kebetulan sedang memperbaiki mesin mobil di depan tidak tahu adik bungsunya mau kemana.

“Mana aku tahu, Bu!” Toni kembali melanjutkan kegiatannya. Sedangkan Irma, sedang asyik berjoget di depan kamera ponselnya tanpa malu jika ada Marni yang memperhatikan kelakuannya.

“Irma, kamu ngapain joget disitu?” Irma memutar kedua bola matanya dengan malas.

“Lagi eksis di tik tok, Bu. Dari sini Irma bisa terkenal dan bisa dapet duit. Ibu mana tahu soal beginian!” Irma kembali melanjutkan jogetnya di depan kamera tanpa teguran dari suaminya.

“Toni, istrimu itu–

“Sudahlah, Bu. Jangan kuno begitu mikirnya. Benar yang dikatakan Irma, jaman sekarang harus bisa memanfaatkan media internet untuk mendapatkan uang. Uang, Bu. Uang!” Jari telunjuk dan Ibu jarinya digesek-gesek di depan wajah Ibunya. 

“Ah, kalian ternyata sama!” Marni lebih memilih duduk di kursi dan melihat sikap Irma. Terkadang tertawa sambil joget terkadang berganti menirukan lagu seseorang tanpa suara. Tidak berapa lama, Rana pun bergabung bersama Irma dan tingkahnya ternyata sama. Keduanya tidak malu harus berjoget di depan kamera disaksikan banyak orang. Marni memilih diam daripada akan menyesal jika harus menasehati mereka berdua.

Sulhan melajukan motornya mengelilingi kampung dengan motor. Suasana kampung masih sama. Hamparan sawah masih mendominasi tanah kelahirannya, meski sudah banyak sekali rumah warga yang direnovasi menjadi lebih modern. Sungai mengalir dengan jernihnya, terdapat banyak sekali ikan mujair yang sengaja di ternak oleh beberapa petani dan siapapun boleh memanennya.

Sulhan memarkirkan motornya di dekat bebatuan dekat sungai. Sulhan memilih duduk di tepi sungai menikmati suara gemericik air yang meneduhkan pikirannya. 

“Sifa!” Tiba-tiba saja kenangan bersama Sifa kembali teringat lagi. 

“Kenapa kamu selalu membayangiku, Sifa! Aku akan selalu merasa bersalah!” Gumam Sulhan. 

“Sulhan, kemana saja kamu!” Fadil, teman masa kecilnya tengah melihatnya merenung di tepi sungai.

“Fadil, bagaimana kabarmu?” Fadil dan Sulhan kini saling berbincang di tepi sungai mengenang kebersamaan mereka. Sesekali bercanda dengan sahabatnya.

“Jadi kamu sekarang merantau ya!” 

“Iya. Aku merantau ke Jakarta!” Jawab Sulhan.

“Bagaimana dengan Sifa?” Seketika mulut berhenti bicara. Entah apa yang akan diucapkannya kepada Fadil.

“Aku menikah lagi, Dil. Semua karena Ibu menjodohkan aku dan aku terpaksa menikah lagi tanpa sepengetahuan Sifa!” Kedua matanya hanya menunduk tanpa mampu menatap wajah sahabatnya.

“Lalu dengan Risa?”

“Aku sudah berusaha melupakan semuanya, namun tetap saja gagal! Semakin lama aku disini semakin aku ingin menemui Sifa!” Fadil hanya menggeleng pelan dengan keputusan yang diambil temannya.

“Kamu katanya juga merantau, Dil?”

“Iya, merantau di Jakarta barat!” Sulhan terkejut jika sahabatnya ternyata merantau di tempat yang sama.

“Kerja dimana?”

“Halah, aku disana sebagai buruh pabrik saja, Han. Sambil buka usaha warung kecil-kecilan untuk menyambung hidup!” Sahut Fadil. Tidak terasa hari menjelang siang dan Fadil memilih berpamitan.

Fadil menggeleng pelan melihat Sulhan masih termenung di atas bebatuan tepi sungai.

“Bodoh kamu, Han. Aku saja berharap cinta Sifa, kamu malah mencampakkannya!” Fadil melakukan motornya untuk kembali ke rumah. Kebetulan rumahnya dekat dengan sekolah Risa.

Bibir Fadil tersenyum melihat Sifa tengah berdiri di depan gerbang sekolah Risa. Bisa dipastikan jika Sifa sedang menjemput Risa usai berjualan.

“Sifa, kamu tetap sama! Andai Allah mengizinkan aku memilikimu, aku pastikan kamu dan Risa bahagia bersamaku,” Gumam Fadil yang masih duduk di atas motornya melihat Sifa dan Risa.

“Sifa!” Sifa menoleh ke sumber suara yang memanggilnya.

“Kak Fadil!” Hati Fadil meleleh melihat senyum Sifa di depannya. Tanpa basa basi, Fadil turun dari motornya dan menghampiri Sifa.

“Dagangannya habis?” Fadil melihat keranjang kuenya sudah kosong.

“Alhamdulillah, Kak. Hari ini diborong sama Bu Rina lagi!”

Tidak berapa lama, Risa keluar sambil berlari ke arah Sifa. 

“Ibuuuu!” Risa menghamburkan pelukannya kepada Sifa.

“Ada apa, Sayang!”

“Nilai ulangan matematika Risa dapat seratus!”

“Alhamdulillah!” Sahut Fadil dan Sifa bebarengan. Risa tergolong anak yang cerdas. Pelajaran apapun pasti nilainya sangat memuaskan. Semua tidak lepas dari peran Sifa sebagai orang tua. Sifa selalu memantau perkembangan belajar Risa. 

“Om Fadil pulang kapan? Om Fadil jadi orang kota sekarang!” Risa sudah terbiasa dengan sosok Fadil. Selain orangnya ramah, Fadil sering mengobrol dengan Risa jika sedang pulang kampung.

“Kamu bisa aja, bocil! Om Fadil tetap jadi warga sini, Jakarta hanya tempat mencari nafkah!” 

“Meski lama kerja di Jakarta tapi Om Fadil nggak nikah-nikah. Biasanya orang Jakarta cantik-cantik, banyak artisnya lagi!” Celotehan Risa membuat Fadil tidak bisa menahan tawa. Baru juga kelas dua sekolah dadar, ucapan Risa begitu mengena di hati Fadil. Fadil sengaja tidak memikirkan wanita lain karena yang dipikirkan tepat berada di depannya.

“Risa mau es krim?”

“Mau dong! Apalagi Om Fadil yang traktir!”

“Kak, tidak perlu repot-repot–

“Tidak apa, Sifa. Aku senang bisa akrab dengan Risa.” 

Fadil beranjak ke sebuah toko terdekat dan membeli es krim kesukaan Risa. Es krim rasa coklat menjadi es krim favoritnya sejak dulu.

“Om Fadil baik deh. Terima kasih, Om! Sering-sering traktir Risa ya!” Sifa dan Risa berlalu usai berpamitan kepada Fadil. Tatapan kedua mata Fadil tidak lepas dari Sifa dan Risa yang berjalan menjauh. 

Di seberang sana, ada tatapan marah karena api cemburu. Sulhan ternyata tidak sengaja melihat kedekatan Fadil dengan anak dan istrinya. Ada hati yang tidak rela jika Sifa dimiliki seseorang.

“Biarkan Sifa bahagia!” Gumam Sulhan dengan memalingkan wajahnya.

“Tetapi, aku tidak rela dia bahagia dengan orang lain!” Benar-benar hati Sulhan sedang diambang keserakahan. Menginginkan wanita yang dicintainya hidup tanpa perubahan.

Sulhan berlalu dengan motor milik Irma dengan kecepatan tinggi menuju ke sebuah warung kopi di tepi jalan raya. Setidaknya dirinya bisa memikirkan lagi tindakan apa yang dilakukan untuk tidak bertemu Sifa.

Sore ini, Risa sudah siap berangkat mengaji di mushallah terdekat. Sifa tetap menyempatkan diri mengantar Risa meski pesanan cuci baju sedang banyak.

“Ibu, Risa sudah besar! Risa bisa berangkat sendiri!” Risa sebenarnya kasihan dengan Ibunya yang selalu memprioritaskan dirinya terlebih dahulu.

“Risa. Ibu hanya khawatir saja!” Kedua tangan Risa membingkai wajah Ibunya yang penuh dengan keringat. Kurang lebih lima ember cucian milik tetangga harus selesai hari ini dan besok bisa diantar kepada sang pemilik.

“Risa anak hebat. Tidak akan terjadi apapun pada Risa!” Akhirnya Sifa membiarkan Risa berangkat mengaji sendiri. Sepanjang perjalanan ke mushola, tidak hentinya mulut Risa melantunkan sholawat. Semua yang diajarkan Sifa pada Risa berhasil.

Tiba-tiba sebuah motor berhenti tepat di depan Risa. Tentu saja ini membuat Risa terkejut. Apalagi Risa merasa mengenalnya namun lupa.

“Risa!” Bibir Sulhan bergetar hebat saat berhadapan dengan Risa saat ini. Risa tidak ada respon melainkan hanya menatapnya saja tanpa berkata apapun.

“Siapa anda?” Dada Sulhan begitu sesak ketika anak kandungnya bahkan tidak mengenalnya.

“Aku ayahmu!” Kedua mata Risa membulat sempurna. Lelaki yang dirindukannya kini berada di depannya. Bibir Risa seakan terkunci karena kemunculan ayah kandungnya.

“A-Ayah?” Risa sedang berada dalam keraguan yang teramat besar. Sosok ayah tega meninggalkannya tanpa kabar selama bertahun-tahun. Bahkan saat pulang kampung, Sulhan tidak memberi kabar atau mampir ke rumahnya terlebih dahulu..

Tiin tiin

Sebuah motor yang dikendarai Rana berhenti di samping Sulhan. Risa yang tahu sosok Bude nya segera berlalu meninggalkan mereka berdua.

“Sulhan, buat apa kamu nemuin dia!” Rana melarang Sulhan bertemu Sifa dan anaknya.

“Dia anakku, Mbak!” Sulhan menatap punggung Risa yang mulai menjauh.

“Anaknya Sifa! Anakmu ya cuma Putri!” Sulhan bertambah emosi dan memilih pergi dari hadapan Rana. 

Rana kini berganti mengejar Risa yang berjalan menuju ke mushola.

“Heh, Bocil!” Risa berhenti dan menatap Rana dengan rasa tidak suka.

“Ada apa, Budhe?” Rana turun dan motornya dan kini berdiri dan berkacak pinggang di depan Risa.

“Jangan pernah lagi temuin Ayah kamu! Ayah kamu sudah menikah dan punya anak! Kamu tidak pantas menjadi bagian dari keluarga kami yang kaya!” Risa diam dan hanya memperhatikan Rana mengoceh saja.

“Sudah ngomongnya, Budhe?” Risa bersiap pergi dari hadapan Rana.

“Kenapa?”

“Risa mau mengaji dulu. Karena semua yang terlalu banyak bicara hal yang tidak penting adalah teman setan!” Seketika mulut Rana diam sempurna. Sebuah tamparan keras dari penjelasan anak kecil.

Rana tidak hentinya mengumpat dan mengoceh di tepi jalan karena ulah Risa padanya. Anak masih kecil namun sudah bisa membuatnya mati kutu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status