Kedua matanya berkaca-kaca kala teringat beberapa tahun yang lalu terpaksa meninggalkan istri dan anak perempuannya yang masih berusia 2 tahun. Ya, lima tahun sudah Sulhan meninggalkan anak dan istrinya usai mendapat perintah dari Ibunya untuk menikahi salah satu anak dari rekannya di kota. Sulhan terpaksa melakukan supaya tetap bisa menikmati fasilitas dan mendapatkan warisan dari Bapaknya. Sehingga menggunakan alasan merantau untuk mendapatkan izin dari Sifa.
“Sifa, Mas rindu!” Butiran bening akhirnya keluar dari pelupuk matanya.“Sifa, Abang ingin bertemu kamu dan Risa!” Kaki ingin melangkah namun terasa sangat berat. Kaki seakan terkunci ditambah lagi rasa takut untuk bertemu Sifa karena kesalahan yang telah diperbuat.Drrt drrtPonselnya berdering, Sulhan gegas menerima panggilan dari istrinya. “Halo, Marisa!” “.....”“Baik, aku akan pulang!” Sulhan memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Ada rasa tidak ingin pulang ke rumah saat melihat Sifa membuka pintu dan melihatnya dari kejauhan.“Sifa, kamu semakin cantik!” Gumam Sulhan dengan nada lirih.“Pasti Risa memiliki kecantikan sama dengan kamu!” Setelah puas menatap Sifa dari jauh, Sulhan akhirnya kembali pulang ke rumah. Suasana rumah begitu ramai karena Putri, anak gadisnya tengah asik bercanda dengan Irma dan Rana termasuk Marisa. “Mas, kamu dari mana?” Marisa merasa ada yang aneh dengan Sulhan.“Hanya menikmati angin segar saja!” Jawab Sulhan sambil berlalu meninggalkan mereka di ruang keluarga. Sulhan merebahkan bobot tubuhnya di kamar miliknya. Lebih tepatnya kamar masa kecilnya.Bayangan Sifa melintas begitu saja dalam ingatannya. Kecantikan Sifa tidak lekang oleh waktu meski tidak pernah memakai semacam perawatan kulit. Kecantikan alami yang Sifa miliki sanggup membuat hati Sulhan luluh. Ditambah lagi perangai Sifa yang baik menjadikan Sulhan mantap meminangnya meski tidak pernah ada restu dari kedua orang tuanya. Sehingga terpaksa menikah tanpa restu dan Sifa sama sekali tidak pernah dianggap.Beberapa kali Sulhan didesak untuk menikah lagi setelah Sifa melahirkan Risa, buah hati mereka berdua. Sulhan mendapat peringatan dari kedua orang tuanya, jika menentang perjodohan, maka terpaksa Sulhan tidak akan dianggap sebagai anak dan tidak mendapatkan hak waris sedikitpun atas kekayaan yang dimiliki kedua orang tuanya. Sulhan terpaksa menyetujui permintaan kedua orang tuanya dan memilih untuk meninggalkan Sifa dan Risa saat berusia 2 tahun.“Mas, kamu tidur?” Marisa datang ke kamar dan melihat Sulhan tengah memejamkan kedua matanya, namun jari jemarinya bergerak.“Hmm, aku tidak bisa tidur, Marisa! Aku ingin kembali ke kota saja besok!” Marisa kecewa, keinginannya berlama-lama liburan di kampung ternyata gagal karena suamknya ingin kembali pulang ke kota.“Aku ingin satu minggu di kampung, Mas! Aku suka suasananya,” Marisa membujuk Sulhan supaya mau menuruti lebih lama di kampung. Tiba-tiba saja wajah Sulhan berubah marah dan menatap wajah Marisa.“Sekali tidak ya tidak! Besok kita pulang!” Sulhan kembali merebahkan tubuhnya dan membelakangi Marisa yang duduk di tepi ranjang. Ada rasa sesak saat pertama kali Sulhan berkata dengan nada tinggi untuk pertama kalinya.Sulhan tidak bisa berlama-lama di kampung karena tidak ingin dihantui rasa sesal yang teramat dalam. Semua kenangan bersama Sifa akan semakin mencekiknya jika berlama-lama di kampung.Marisa terpaksa mengemas barang-barangnya karena besok akan kembali ke kota. Kota Jakarta yang sangat padat dan sibuk.“Ma, kita menginap lama kan? Kenapa mengemas baju-baju kita?” Putri melihat Marisa tengah mengemas semua baju-bajunya ke dalam sebuah koper yang cukup besar.“Besok ayah ada pekerjaan, Sayang! Jadi kita harus pulang ke Jakarta besok!” Sudah bisa dipastikan jika wajah Putri berubah kecewa. Sulhan sudah menjanjikannya untuk liburan satu minggu di kampung, namun janji hanya sekedar janji. “Putri masih ingin berlama-lama di kampung, Ma!” Putri merengek pada Marisa supaya mau menuruti permintaannya.“Sayang, kali ini kamu harus nurut! Atau Mama akan hukum kamu!” Putri tersentak mendengar suara Marisa bernada tinggi. Putri terpaksa diam dan menurut apa kata Marisa.Keesokan harinya, tiba-tiba badan Putri panas sekali. Marisa dan Sulhan segera membawa Putri ke dokter praktek supaya Putri segera mendapat penanganan. Sulhan frustasi karena kembali ke Jakarta tertunda.“Bagaimana jika aku bertemu Sifa lagi?” Sulhan menutup wajahnya di salah satu ruang tunggu saat menunggu Putri sedang dalam ruang pemeriksaan.“Tidak, aku harus menghindarinya! Aku juga harus menghindari Risa!” Sulhan menghela napas besar. Keadaanya sedang berada di tengah dua istri. Usai mendapatkan penanganan, Putri diperbolehkan pulang ke rumah. Sedari tadi Sulhan hanya diam saja, berbeda dengan Marisa yang terus menerus menghibur Putri.“Bocah ini, membuatku harus tertahan di kampung!” Gumam Sulhan sambil melirik ke arah Marisa yang memangku Putri. “Mas, maaf ya! Kamu terpaksa menunda kepulangan kita ke Jakarta!” Sulhan hanya diam tidak menanggapi ucapan Marisa.“Mas!” suara Marisa mengejutkan Sulhan yang fokus mengemudi mobilnya.“Apa sih!” Suara Sulhan lagi-lagi terdengar bernada tinggi.“Kamu kenapa sih! Melamun saja dari tadi!” Kini suara Marisa juga mulai bernada tinggi.“Ma, kenapa bertengkar sama Ayah?” Marisa seketika diam. Ada rona penyesalan karena sudah mengeluarkan kalimat bernada tinggi membuat Putri ketakutan saat sakit. Begitu pula dengan Sulhan yang lebih memilih diam.Apa yang sedang dipikirkan Sulhan sampai berani membentak anak istrinya?Ikuti bab selanjutnya!”Setelah memastikan Putri tidur, Sulhan menggunakan motornya pergi sekedar berkeliling kampung untuk mengusir rasa jenuh. Sulhan sedang tidak ingin bicara dengan siapapun saat ini termasuk Marisa.“Adik kamu mau kemana, Toni?” Toni yang kebetulan sedang memperbaiki mesin mobil di depan tidak tahu adik bungsunya mau kemana.“Mana aku tahu, Bu!” Toni kembali melanjutkan kegiatannya. Sedangkan Irma, sedang asyik berjoget di depan kamera ponselnya tanpa malu jika ada Marni yang memperhatikan kelakuannya.“Irma, kamu ngapain joget disitu?” Irma memutar kedua bola matanya dengan malas.“Lagi eksis di tik tok, Bu. Dari sini Irma bisa terkenal dan bisa dapet duit. Ibu mana tahu soal beginian!” Irma kembali melanjutkan jogetnya di depan kamera tanpa teguran dari suaminya.“Toni, istrimu itu–“Sudahlah, Bu. Jangan kuno begitu mikirnya. Benar yang dikatakan Irma, jaman sekarang harus bisa memanfaatkan media internet untuk mendapatkan uang. Uang, Bu. Uang!” Jari telunjuk dan Ibu jarinya digesek-ge
Risa kembali berjalan ke mushola dengan derai air mata yang akhirnya lolos juga. Rindu untuk ayah ternyata harus pupus karena keluarga ayahnya sendiri. Risa gegas mengusap air matanya dengan kasar ketika sudah memasuki pagar mushola.“Tidak apa tanpa ayah! Asalkan ada Ibu!” Risa menyemangati dirinya sendiri. Risa berkumpul dengan teman sebayanya saat sudah sampai di mushola. Tawa Risa pecah ketika sudah bercanda dengan teman-temannya. Sulhan mengemas semua barang miliknya ke dalam koper tanpa berkomentar apapun meski ada Marisa di sampingnya.“Mas, kamu mau pulang sekarang? Kenapa tidak besok saja, ini sudah sore!” Marisa yang sedang mengompres Putri terkejut melihat yang Sulhan lakukan.“Hmm. Tetaplah disini, aku akan jemput kamu satu minggu lagi!” Tidak ada yang bisa Marisa ucapkan kecuali hanya diam. Sulhan terlihat muram dan benar-benar tidak bisa diganggu. Marisa terpaksa mengiyakan ucapan Sulhan karena tidak mungkin juga harus kembali ke kota dengan keadaan Putri yang masih sak
Irma dan Rana saling bertatapan, belum ada keputusan berani atau tidak mengusir Sifa di saksikan warga.“Sama saja dengan mencari gara-gara, Mbak Irma!” Bisik Rana kepada Irma. “Iya, bisa berabe kalau begini!” Sahut Irma. Dari jauh terlihat Bu Endang dan Fadil tengah memperhatikan mereka bertiga. Bu Endang hanya tersenyum simpul melihat Irma dan Rana mati kutu karena syarat dari Sifa.Tanpa menjawab sepatah kata, Irma dan Rana segera meninggalkan Sifa. Keduanya mulai mencari cara untuk mengusir Sifa dari kampungnya. Ketika sampai di rumah, Sifa terkejut dengan kehadiran sosok Marisa yang berdiri di depan pintu rumahnya. Ada rasa malas untuk menemuinya salah satu dari anggota keluarga Marni, namun tidak pantas jika Sifa membiarkannya menunggu.“Assalamu alaikum!” Marisa berbalik dan mendapati Sifa berada di belakangnya dengan membawa keranjang jualannya yang sudah kosong.“Waalaikum salam!” Jawab Marisa. Sifa membuka pintu dan mempersilahkan Marisa masuk.Marisa duduk di sebuah kursi
Kedatangan Marni yang tiba-tiba sontak membuat Sifa terheran-heran. Pasalnya, Sifa sudah mengalah dan menerima kenyataan tentang Sulhan. Namun, ternyata ujian tidak sampai disitu saja. Marni dan menantunya selalu datang untuk mengganggu dengan alasan yang tidak penting.“Dasar wanita miskin tidak tahu diuntung! Kamu apakan Rana dan Irma?” Sifa dan Risa saling berpandangan. Sifa memberi isyarat pada Risa untuk masuk ke kamarnya. Risa anak yang penurut, tanpa banyak bicara Risa langsung masuk ke kamar miliknya. Kedua mata Marni menatap nyalang ke arah Sifa.“Ada apa, Bu Marni?” Tidak lagi Sifa memanggilnya dengan sebutan Ibu seperti biasanya.“Kata Rana dan Irma barusan kamu menjelekkan aku di depan warga karena memberimu rendang basi tempo hari, kamu benar-benar tidak tahu diri!” Sifa mengernyitkan kedua alisnya. Dirinya sama sekali tidak merasa menyebarkan berita keburukan Marni kepada orang lain.“Boleh Sifa tahu, siapa saja yang menjadi saksi saat Sifa mengatakan yang Bu Marni maksu
Satu bulan sudah, Sifa dan Risa bisa merasakan hidup nyaman tanpa ada yang mengganggu dan tanpa ada lagi yang hanya suka menyuruhnya tanpa imbalan. Usaha kue yang dirintis mulai dikenal banyak orang. Meski promosi dari mulut ke mulut tetapi hasilnya cukup memuaskan. Hampir setiap hari Sifa mendapat pesanan dari warga sehingga Sifa sudah jarang sekali berkeliling.Sejak pukul satu dini hari, Sifa sudah berkutat dengan donat pesanan salah satu temannya untuk acara ulang tahun. Meski mengantuk, Sifa tetap berusaha menahan rasa kantuknya demi rezeki yang diterima. Tepat pukul tujuh pagi pesanan kue donat sudah siap diambil pemiliknya.“Ini uang pelunasannya, Mbak Sifa!” Rahmi yang sengaja memesan kue buatan Sifa karena rasanya cukup enak dan harga cukup terjangkau.“Sama-sama, Mbak Rahmi. Terima kasih sudah mempercayakan kepada Sifa!” Sifa melihat masih ada beberapa lebihan kue donat di nampan. Diambilnya sebuah kotak makan yang berbahan dasar kertas dan mulai mengisinya dengan beberapa b
Suara Marni terdengar sumbang hingga membuat beberapa tetangga keluar. “Heh, Marni! Kamu ini apa-apaan? Suka bener bikin ribut di depan rumah orang!” Salah satu tetangga yang mulai geram dengan sikap Marni.“Suka-suka aku, Mona! Kamu ngapain di rumah terus kayak janda sebelah rumahmu aja!” Mona benar-benar kesal karena jawaban Marni.“Bu Endang maksudmu?” “Iya, siapa lagi!”“Marni, asal kamu tahu ya. Bu Endang lebih berharga daripada kamu. Meski janda tapi Bu Endang tetap sederhana dan santun. Usahanya ada dimana-mana, nggak kayak kamu, ngandelin warisan doang. Makanya kelakuanmu kayak preman tua!” Marni menghela napas besar. Ucapan Mona sanggup membungkam mulut Marni.“Bubar, yuk! Disini pada julid semua!” Marni mengajak bubar perkumpulan mereka di pos kamling. Mona cukup tenang berhasil mengusir perkumpulan Ibu-ibu yang suka bikin ramai. Marni sengaja mengajak pindah ke rumahnya supaya bebas tidak ada ucapan tidak suka dari seseorang.“Dasar si Mona. Aku akan balas dendam sama ka
Sifa menatap Risa yang tengah memainkan boneka besarnya. Sudah lama sekali keinginannya belum menjadi kenyataan dan sekarang, ada orang baik yang menghadiahkan boneka yang selama ini diinginkan.Sifa memberanikan diri keluar rumah untuk menemui Fadil. Jantung berdetak begitu cepat ketika kaki sudah berada di ambang pintu."Ada apa denganku? Tidak sepatutnya aku seperti ini!" Gumam Sifa. Sifa melanjutkan langkahnya menemui Fadil di teras."Kak Fadil, maaf lama menunggu!""Oh, tidak apa-apa, Sifa. Maaf jika aku menganggumu!" Sifa memilin pinggiran baju, pikirannya mulai tidak karuan. Khawatir akan menjadi fitnah untuk yang lain jika melihat dirinya sedang berduaan drngan Fadil."Kak, maaf jika Sifa tidak mempersilahkan Kak Fadil masuk. Karena--"Tidak apa, Aku paham, Sifa!" "Baiklah. Sifa buatkan teh hangat dulu, Kak!" Sifa kembali melangkah masuk ke dalam untuk menenangkan gejolak hatinya sesaat. Diraihnya piring dan diisi beberapa bakwan sayur yang baru saja digorengnya. Sifa kembali
Obrolan mereka terhenti ketika Sifa keluar dan kembali menghampiri mereka.“Mbak Rina. Ini ada bakwan sayur untuk Mbak Rina bawa pulang. Maaf jika Sifa cuma bisa–“Bakwan sayur buatanmu enak. Aku terima bakwan ini!” Rina memotong ucapan Sifa kemudian meraih kantong plastik di tangan Sifa. “Alhamdulillah, terima kasih sudah mau menyukai makanan Sifa, Mbak!” “Makanan buatanmu semuanya enak. Andai kamu buka warung nasi, pasti ramai!” Ide yang cukup bagus bagi Sifa. “Iya, itu sangat bagus. Tapi–“Cukup jualan di depan rumah aja pasti laku! Siapa yang tidak kenal dengan masakanmu yang selalu enak!” Rina memuji masakan Sifa membuatnya malu. Sifa diam sejenak memikirkan ide dari Rina. Meski hanya tetangga tetapi Rina sosok yang baik kepada Sifa maupun dengan keluarganya.“Aku pulang dulu, Sifa. Terima kasih bakwannya!” Rina berlalu meninggalkan rumah Sifa. Kini tinggal Fadil dan dirinya di teras rumah. Hari sudah menjelang sore, Sifa merasa aneh jika harus berlama-lama bersama Fadil. Lagi