Share

Bab 6. Tidak diakui

Risa kembali berjalan ke mushola dengan derai air mata yang akhirnya lolos juga. Rindu untuk ayah ternyata harus pupus karena keluarga ayahnya sendiri. Risa gegas mengusap air matanya dengan kasar ketika sudah memasuki pagar mushola.

“Tidak apa tanpa ayah! Asalkan ada Ibu!” Risa menyemangati dirinya sendiri. Risa berkumpul dengan teman sebayanya saat sudah sampai di mushola. Tawa Risa pecah ketika sudah bercanda dengan teman-temannya. 

Sulhan mengemas semua barang miliknya ke dalam koper tanpa berkomentar apapun meski ada Marisa di sampingnya.

“Mas, kamu mau pulang sekarang? Kenapa tidak besok saja, ini sudah sore!” Marisa yang sedang mengompres Putri terkejut melihat yang Sulhan lakukan.

“Hmm. Tetaplah disini, aku akan jemput kamu satu minggu lagi!” Tidak ada yang bisa Marisa ucapkan kecuali hanya diam. Sulhan terlihat muram dan benar-benar tidak bisa diganggu. Marisa terpaksa mengiyakan ucapan Sulhan karena tidak mungkin juga harus kembali ke kota dengan keadaan Putri yang masih sakit.

Usai berpamitan Sulhan melajukan mobilnya melintasi jalanan kampung yang tidak begitu baik. Beberapa badan jalan banyak yang berlubang karena terkikis air hujan.

Mobil dihentikan sejenak di tepi jalan, ditatapnya kembali rumah milik mendiang keluarga Sifa. Rumah yang pernah menjadi tempat tinggalnya dulu. 

“Kenapa anda kemari?” Sulhan terkejut melihat Risa sudah berada di sampingnya dengan tatapan tidak suka.

“Risa, Ayah kangen!” Teringat ucapan Rana yang mengatakan jika ayahnya sudah punya anak lagi.

“Anda bukan ayah Risa lagi. Untuk apa pulang kalau sudah punya pengganti Ibu!” Sulhan berjongkok memposisikan dirinya supaya sepadan dengan Risa.

“Tapi Ayah ini tetap–

“Sebaiknya Om pergi saja! Daripada Bude Rana menghina Risa lagi!” Risa berlalu meninggalkan Sulhan yang diam menatapnya menjauh darinya. Bocah sekecil itu sudah tidak menganggapnya sebagai seorang ayah lagi. Hati hancur berkeping-keping karena ucapan Risa. Hati Sulhan seperti mendapat tamparan keras dari seorang anak kecil.

Sulhan duduk di kemudi mobilnya, kedua tangannya mencengkram kuat merutuki nasibnya saat ini.

Tidak berapa lama, Sulhan kembali melajukan mobilnya kembali ke kota. Kota yang menjadikan Sulhan berubah.

“Assalamu alaikum!” Risa membuka pintu rumahnya sambil mengucap salam dan kemudian mencium punggung telapak tangan Ibunya.

“Waalaikum salam!” Sifa menyambut kedatangan Risa. 

“Ibu, Risa tadi ketemu ayah!” Dada Sifa bergemuruh mendengar cerita Risa. Risa menceritakan semua, bahkan saat bertemu Rana saat berangkat ke mushola.

Berkali-kali Sifa mengucapkan istighfar dan berkali-kali pula Sifa memberikan nasehat kepada anak semata wayang.

“Oh ya, Bu. Tadi Bu Endang menitipkan ini pada Ibu!” Risa membuka resleting ranselnya dan mengeluarkan sebuah kotak makan terbuat dari plastik. Risa memberikannya kepada Sifa sebagai bentuk amanah dari Bu Endang. Kedua mata Sifa berkaca-kaca saat melihat isi dari kotak plastik tersebut. Rendang daging yang selama ini diinginkan Risa sudah berada di tangannya.

“Alhamdulillah, Ya Allah! Engkau berikan rezeki kepada kami melalui orang yang baik!” Risa terlihat begitu gembira melihat rendang daging yang diinginkan sudah di depan mata. Aromanya bahkan sangat menggugah selera.

Malam ini mereka sangat bersyukur sekali bisa menikmati daging rendang yang diinginkan selama ini. 

“Ibu, ini enak sekali!” Sahut Risa saat makan.

“Risa. Sebaiknya makan jangan sambil bicara, nanti tersedak!” Risa hanya mengangguk dan melanjutkan makannya lagi. Sifa hanya mengambil sepotong saja dan bumbu yang lebih banyak. Bagi Sifa ini sudah lebih dari cukup mengingat Risa sangat menyukai daging rendang.

“Alhamdulillah, Risa kenyang!” Risa mengusap perutnya yang kekenyangan.

“Habis ini salat magrib dulu lanjut mengaji dengan Ibu!”

“Siap, Bos!” Risa segera ke kamar mandi dan mengambil air wudhu sebelum melakukan salat magrib berjamaah.

Brak brak brak

Tiba-tiba saja pintu digedor dengan sangat keras. Sifa berlari kecil untuk membuka pintu rumahnya. Kedua mata Sifa membola sempurna saat melihat Marisa dan Rana sudah berdiri di depan pintu dengan berkacak pinggang.

“Heh, wanita gatel! Apa yang kau lakukan pada suamiku?” Tiba-tiba saja Marisa mendorong Sifa hingga tersungkur. Hal ini membuat Rana tersenyum puas.

“Apa maksudmu? Dan kamu siapa?” Sifa bangkit dari posisinya yang jatuh tersungkur.

“Aku istri Mas Sulhan. Lelaki yang kamu cintai!”Sifa memicingkan kedua matanya menatap istri kedua suaminya.

“Harusnya kamu malu menyebut Sifa wanita gatal. Bukannya kamu yang wanita gatal?” Rana dan Marisa menoleh ke sumber suara. Di depan mereka berdiri sosok Bu Endang dengan melipat tangannya di dada. Rana memutar kedua bola matanya dengan malas melihat sosok wanita paruh baya yang dianggapnya terlalu ikut campur urusan keluarganya.

“Apa maksud anda?” Bu Endang maju beberapa langkah, keduanya bahkan menatap nyalang ke arah Rana yang tiba-tiba nyalinya menciut.

“Sifa, dia wanita yang pertama kali dinikahi Sulhan. Dan Risa, anak yang ditinggal menikah denganmu atas dasar perjodohan dengan alasan pergi merantau. Apakah mulutmu masih mau mengatakan jika dia wanita gatal?” Wajah Marisa seketika berubah pucat. Kegaduhan yang mereka buat menjadi pertunjukan beberapa warga yang kebetulan melintas.

“Oh, ini pelakor pilihan Marni!” Tatapan warga terlihat tidak suka kepada Marisa dan Rana. Sebutan pelakor menjadi momok menakutkan padanya.

“A-aku bukan pelakor!” Teriak Marisa pada warga yang berkumpul melihatnya. Rencana melabrak Sifa gagal dan berbalik kepadanya.

“Bu, sudah! Kasihan dia,” Sifa meminta Bu Endang untuk tetap tenang. 

“Tidak bisa! Sudah cukup kamu diperlakukan seperti ini. Mana si Sulhan, bilang ke dia, lebih baik ceraikan Sifa sekarang juga dan berbahagia dengan keluarga baru pilihan Ibunya!” Suara Bu Endang semakin meninggi membuatnya semakin ciut nyali.

Rana bahkan mulai ketar ketir karena beberapa warga mulai merekam kejadian ini. Rana dengan cepat menarik tangan Marisa dan pergi menjauhi kerumunan warga di depan rumah Sifa.

“Bisa hancur pamorku sebagai selebgram kalau aku disini!” Gumam Rana setengah berlari. Marisa di belakangnya bahkan terengah engah kesulitan berjalan cepat seperti Rana.

Marisa benar-benar terpukul mendengar kenyataan sebenarnya mengenai sosok Sifa. Ditatapnya Putri yang masih tertidur usai minum obat.

“Pantas saja dia mau pulang cepat!” Marisa baru sadar jika Sulhan tidak ingin berlama-lama di kampung.

“Apakah aku sejahat ini telah merebut suami orang?” Marisa terisak di samping Putri.

“Aku tidak sengaja sudah merebutnya dan aku tidak ingin Putri kehilangan ayahnya. Aku harus tetap mempertahankan Mas Sulhan bagaimanapun caranya!” Marisa menatap cermin memperhatikan wajahnya.

“Aku masih cantik, aku tidak akan tersaingi!” Marisa tersenyum licik di depan cermin.

Keesokan harinya Sifa kembali beraktivitas seperti biasanya. Berjualan kue buatannya sendiri keliling kampung. Bahkan Sifa juga menjajakan kue buatannya di depan sekolah karena banyak sekali orang tua menunggu anaknya sampai pulang sekolah.

“Sifa!” Suara yang amat dikenalnya. Dari kejauhan terlihat Fadil melambaikan tangan ke arahnya. Risa juga ternyata sudah bersama Fadil usai pulang sekolah.

“Kak Fadil, terima kasih sudah menjaga Risa. Sifa pikir Risa belum keluar kelas!” 

“Sama-sama, Sifa. Oh ya, besok aku kembali ke kota. Kamu dan Risa jaga diri baik-baik ya. Kata Bude, semalam ada kegaduhan di rumah kamu!” Ternyata Bu Endang menceritakan semua yang terjadi pada Sifa semalam.

“Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Sifa akan selalu aman bersama Risa!” Tatapan Fadil selalu terfokus pada Sifa.

“Kak Fadil hati-hati kalau berangkat!” sambung Sifa.

“Siap, Sifa!” Fadil kembali ke rumahnya, begitu pula dengan Risa dan Sifa.

Di tengah jalan yang cukup sepi keduanya kembali dihadang Rana dan Irma. Kedua iparnya yang tidak pernah puas menghinanya.

“Bu, kenapa ada patung di depan kita?” Sifa menahan tawa karena pertanyaan Risa, bahkan menganggap kedua Bude nya adalah patung.

“Hush! Tidak boleh begitu!” Meski begitu, Sifa tidak lantas mendukung ucapan Risa, karena memang tidak sepatutnya seperti itu.

Kini Sifa dan Risa tengah berhadapan dengan Rana dan Irma. Tatapan Rana dan Irma terlihat nyalang kepada Sifa.

“Heh, Sifa!” 

“Ada apa, Mbak?” Sifa terlihat santai menghadapi dua wanita di depannya. Sudah tidak ada lagi rasa takut padanya.

“Kamu tidak berhak tinggal di kampung ini!” Rana mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Sifa.

“Apa hak Mbak Rana hingga mau mengusir kami?” Rana terdiam, hal ini semakin membuat Sifa ingin mengerjainya.

“Ya pokoknya kamu harus pergi dari kampung ini!” Sungguh perkataan yang tidak masuk akal. Mengusir tanpa alasan yang jelas.

“Baiklah, asal dengan satu syarat!” Rana dan Irma saling bertatapan kemudian mengangguk.

“Ajukan saja!” Irma dengan wajah menantang Sifa.

“Mbak Irma dan Mbak Rana boleh mengusir kami di depan semua warga kampung!” Seketika Irma dan Rana terdiam. Tidak mungkin dirinya membuat gara-gara dengan warga kampung dengan cara mengusir Sifa tanpa alasan yang jelas.

“Bagaimana, Mbak? Berani?” 

Berani atau tidak ya,,,

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status