Share

Jamuan Sederhana

Arfan mencoba bersikap biasa saja, ia tersenyum saat Hardian dan Airin menghampirinya dengan membawa makanan.

“Makan siang dulu, Fan. Tapi seadanya, ya.” Hardian menaruh tumis kangkung dan ikan asin di atas meja.

Sisi lain hati Arfan diam-diam tersentuh, semacam merindukan kehangatan yang sama, tetapi semua itu seperti mustahil.

Sangat, sangat sederhana di mata Arfan. Namun, mau sesederhana apa pun makanan itu, akan terasa nikmat jika disantap berdua dengan orang terkasih. Seperti yang dilakukan Airin dan Hardian saat ini.

Perempuan itu kembali ke dapur dan mengambil tiga buah piring beserta sendok.  Kemudian ia mengambilkan nasi untuk suaminya.

“Makasih, Neng,” ucap Hardian sembari tersenyum. Airin pun hanya tersenyum sebagai balasan.

Setelah itu ia menyodorkan piring ke arah Arfan yang termenung, lelaki itu awalnya berharap Airin akan mengambilkan nasi untuknya juga.

“Eh, iya.” Arfan gelagapan. Ia menyendok nasi sedikit, takut tidak habis, pikirnya.

Airin dan Hardian saling pandang, merasa tak enak. Mereka menduga, mungkin Arfan mengambil nasi sedikit karena sebenarnya tak ingin makan dan hanya menghormati dirinya saja.

Ah, sudahlah. Airin tak ingin ambil pusing, ia pun menyendok nasi lalu mengambil tempe yang sudah bercampur dengan sambal dan mengambilkannya juga untuk Hardian.

Setelah Airin, Arfan pun tergiur untuk mencoba, ia mengambil tumis kangkung yang terlihat enak.

Suasana jadi sedikit canggung, Arfan sekilas melihat Airin dan Hardian yang makan hanya menggunakan tangan. Bukannya tak ingin, karena belum terbiasa, ia memutuskan untuk pakai sendok saja.

Suapan pertama, Arfan berhenti mengunyah. Rasa pedas dan gurih mendominasi lidahnya. Ini adalah tempe dan tumis kangkung terenak yang pernah ia rasakan.

Arfan kembali memutar giginya berirama. Awalnya ia meragukan makanan itu, tetapi rasanya membuat ia ketagihan.

Nasi yang diambilnya hanya sedikit, tentu saja cepat habis. Ragu, ia kembali menyendok nasi dan melakukan hal yang sama yaitu mengambil tempe dan tumis kangkung. Alhasil lauk yang sedikit itu tersisa semakin sedikit.

Hardian sampai keheranan, Arfan doyan atau memang lapar? Batinnya.

“Enak,” ucap Arfan dengan mulut penuh.

“Terima kasih,” jawab Airin sembari mengulas senyum.

“Hardi, masakan istrimu sangat enak, kenapa kalian nggak bikin rumah makan aja,” ujar Arfan kemudian.

Hardian tertawa kecil dan menyudahi makannya, ia beranjak menuju dapur untuk mencuci tangan. Tak lama ia segera kembali.

“Kamu ini, Fan. Ada-ada aja, modal dari mana aku bikin rumah makan?” Hardian menyayangkan keuangannya yang tak memungkinkan.

“Bagaimana kalau pinjam sama aku?” Tawar Arfan setelah meneguk habis air.

Airin hanya terdiam. Setelah selesai ia membereskan semuanya ke dapur.

“Bayar dari mana?”

“Nyicil, Har.” Arfan meyakinkan.

“Fan ... Fan ... kamu ini, bercandanya kebangetan.” Hardian menggeleng.

“Aku serius, Hardi.” Arfan menatap Hardian memastikan.

Hening. Airin kemudian duduk di samping Hardian.

“Apa pendapat kamu?” tanya Hardian sembari meraih lengan Airin dan menggenggamnya.

“Terserah kamu aja, A'.” Airin bingung.

Hardian tampak ragu, sedangkan Arfan terlihat sangat serius.

“Aku pikir-pikir dulu, Fan.” Akhirnya jawaban itu yang Hardian lontarkan.

“Oke, kalian nggak usah buru-buru, kalian boleh berunding dulu, kalau mau, kamu hubungi aku.” Arfan menatap Hardian.

Setelah memberikan kartu nama dan b**a-basi, Arfan memutuskan untuk pulang.

Airin dan Hardian mengantar sampai ke depan. Arfan terlihat melambaikan tangan dari dalam mobil, sebelum akhirnya benar-benar pergi.

Airin dan Hardian beriringan masuk. Setelah duduk santai, ia merogoh saku dan memberikan amplop coklat itu ke tangan istrinya.

“Gajian bulan ini, alhamdulillah ada lebih,” ujar Hardian sembari tersenyum.

Airin menerimanya, melihat isi amplop tersebut cukup lama.

“A’, bagaimana kalau kita periksa ke dokter?” saran Airin.

Hardian terdiam, mengingat biaya untuk cek ke dokter itu tidaklah sedikit.

“Nanti aja, kalau Aa' punya uang lebih.” Akhirnya jawaban itu dilontarkannya.

Airin membuang napas kasar, sedih karena sudah berusaha semaksimal mungkin untuk bisa mendapatkan momongan, tetapi belum juga membuahkan hasil.

“Kapan, A? Aku cape mendengar kata 'nanti' dari kamu.” Lagi, Airin mulai menunjukkan wajah kesal.

Hardian menatap istrinya lekat, akhir-akhir ini istrinya itu mudah sekali marah, entah apa alasannya? Mungkinkah lelah menjalani hidup seperti ini?

“Sabar, Neng!” Hanya itu, Hardian tak tahu harus mengatakan apa lagi.

“Sabar sampai kapan, A?” Airin bangkit berdiri.

“Percaya sama Allah,” ucap Hardian sembari mendongak.

“Cape, A'. Aku cape!” pekik Airin sembari melemparkan amplop berisi uang itu ke pangkuan Hardian.

Rahang Hardian mengeras. Baru beberapa menit yang lalu sikap Airin bersahabat, tetapi kini sudah berubah lagi.

“Sebenarnya kamu kenapa sih?” tanya Hardian penasaran.

“Aku malu, A'. Malu digosipkan terus sama tetangga, katanya aku sulit hamil karena makanan yang aku konsumsi itu kurang bergizi,” ungkap Airin akhirnya. Perempuan itu tak kuasa membendung air matanya.

“Astagfirullah ... Neng, Neng, jadi itu penyebabnya.” Hardian mengusap wajah kasar.

“Pokoknya kamu harus kerja lebih keras lagi, biar kita bisa cek ke dokter. Titik!” Airin menekan kata 'titik' lalu berlalu ke kamar sambil terisak.

Hardian hanya menggeleng tak percaya, melihat tingkah kekanak-kanakan Airin akhir-akhir ini.

Ia melirik jam yang menempel di dinding. Teringat belum menunaikan kewajibannya, ia bergegas  ke kamar mandi untuk membersihkan diri, setelah itu akan berangkat kerja lagi dan pulang sore hari.

*

“Nikahi gadis itu, Hardi! Kasihan dia, keluarganya hancur gara-gara bapakmu.”

“Tapi, Bu.”

“Justru Ibu merasa sangat bersalah kalau kamu tidak menikahinya.”

“Tapi, Bu.”

“Ibu mohon, Hardi. Ibu mohon, itu pesan bapakmu.”

Ucapan ibunya dua tahun lalu mengganggu konsentrasinya. Kerja sedikit pun jadi terasa melelahkan. Hardian memilih untuk berteduh sejenak, ia melepas topi yang dikenakan dan mengibaskannya seperti kipas. Gerah rasanya, meski sudah hampir sore, tetapi cuaca masih terasa menyengat.

Airin ... gadis manis yang sudah tak memiliki ibu. Ia tak tahu apa maksud dari ucapan ibunya kalau keluarga Airin hancur karena ulah bapaknya.

Sebelum Hardian bisa mendapatkan jawaban itu, ibunya lebih dulu kembali ke haribaan-Nya.

Semua itu masih menjadi teka-teki. Yang pasti, kini ia hanya menjalani wasiat itu.

Hardian tak memiliki sanak saudara, kehidupannya sedari dulu memang menyedihkan.

Malam itu ....

Hardian sedang berjalan seorang diri setelah membeli obat untuk ibunya. Namun, dari gang buntu terdengar teriakan seseorang yang meminta tolong. Ia bergegas mencari asal suara.

Dua orang preman sedang mencoba untuk melakukan tindakan asusila. Hardian geram, kemampuan silat yang dimilikinya ternyata tak sia-sia, ia mampu menghajar dua preman sampai tunggang langgang.

Meski tangannya sempat terluka karena seorang dari mereka membawa sebilah pisau.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya gadis itu terdengar cemas.

Hardian menoleh, dan betapa terkejutnya ia mendapati seorang gadis yang ternyata pernah ditunjukkan ibunya dalam sebuah foto. Sebenarnya sebelum pindah dulu, beberapa kali ia pernah berpapasan dengan Airin. Hardian mengingatnya, tetapi sepertinya tidak dengan gadis itu.

“Namanya Airin. Gadis itu sangat terpukul karena mamanya meninggal. Bahagiakan dia Hardian, tebus semua dosa bapakmu.”

“Hei!” Gadis itu menyadarkan Hardian.

“Aku nggak apa-apa, kok.” Hardian mencoba bangkit berdiri.

Namun, keseimbangan belum sempurna, ia pun oleng, tetapi sekuat tenaga gadis itu menahannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status