Share

Awal yang Salah

Pertemuan itu membuat peluang Hardian semakin dekat dan mudah. Airin yang selalu murung, perlahan semangatnya kembali semenjak bertemu dengan dirinya. Keduanya sama-sama saling membutuhkan, hingga akhirnya memutuskan untuk menikah.

Airin tak peduli dengan keadaan Hardian, yang ia tahu, Hardian adalah teman, sekaligus orang yang berhasil membuatnya kembali bangkit untuk menjalani hidup.

Tentu saja ayah Airin menentang. Jelas, karena mereka beda kasta serta sebuah rahasia yang masih ia simpan rapat.

“Kenapa, Yah?” tanya Airin waktu itu.

“Pokoknya kamu nggak boleh nikah sama dia.” Ayah Airin kekeh.

“Nggak bisa, Pa. Aku cinta sama dia.”

“Makan itu cinta. Memangnya kamu hidup kenyang cuma makan cinta.”

Sikap keras kepala Airin tak jauh beda dengan ayahnya. Keduanya tetap menikah dengan wali hakim.

Sepertinya, perempuan itu akhir-akhir ini menyesali keputusannya. Semenjak menikah pun ia tak pernah kembali ke rumah. Ada rasa rindu yang menjalar, tetapi egonya begitu keras. Ayahnya pasti akan mengejek atau bahkan mengusirnya.

Jika rasa rindu itu muncul, Airin akan menggeleng kuat, kemudian memutuskan untuk tidur.

Hal itu pula yang dirasakan Hardian. Airin sepertinya mulai bosan dengan kehidupan seperti ini. Maka ia teringat tawaran Arfan. Apa sebaiknya ia menerima tawaran itu? Ah, Hardian dilema.

*

Suara 'klik' terdengar kala sakelar dinyalakan, lalu tampaklah ranjang ukuran queen dengan seprei putih dan di atasnya terbaring seorang wanita yang usianya genap 48 tahun.

Langkah Arfan terayun pelan, beberapa detik kemudian tepian kasur itu melesak ketika bokongnya mendarat.

“Selamat ulang tahun, ya, Ma.” Arfan mendaratkan kecupan di kening wanita yang telah melahirkannya. Namun, jangankan ucapan terima kasih, raut wajah bahagia pun sedikit saja tak terlihat dari wanita dengan tahi lalat di atas bibir sebelah kanan itu.

Tatapan Arfan beralih pada sepiring makan malam yang belum tersentuh, kenapa Bik Iyam tidak menyuapinya? Pikir Arfan.

Lelaki itu melepas jas, menaruhnya asal lalu mengendurkan dasi serta menggulung lengan kemeja hingga siku, berniat untuk menyuapi sang mama.

“Jangan buat Arfan semakin sedih karena melihat Mama makin kurus. Tolong! Mama makan, ya,” ujar Arfan seraya menarik lembut tubuh mamanya untuk bangkit, ia menaruh bantal agar mamanya nyaman ketika bersandar.

Tatapan wanita itu kosong, kehadiran Arfan seolah-olah tak kasat mata.

“Makan dulu, Ma,” ujarnya seraya menyendok sedikit nasi dan diarahkan ke mulut mamanya.

“Ayo, Ma!” Arfan setengah memohon tatkala bibir itu terkatup.

“Dari tadi aku juga udah mencoba menyuapinya, Mas. Tapi Mama malah menggeleng terus,” timpal seseorang.

Arfan menoleh, mendapati—Elsa—istrinya berdiri diambang pintu. Lelaki itu berpaling seraya berdecak kesal.

“Makan dulu, Ma!” pinta Arfan sekali lagi. Namun, mulut mamanya seolah-olah enggan untuk mangap.

“Biarlah, Mas. Buat apa kita gaji Bik Iyam kalau untuk menyuapi Mama aja dia gak bisa.”

“Diam, Elsa!” 

Netra keduanya saling berserobok, perempuan dengan rambut sebahu berwarna kecokelatan itu tampak sedikit terkejut dengan nada bicara suaminya yang tak biasa.

Hening sejenak mengambil alih. Arfan kembali menaruh piring disusul tarikan napasnya yang terdengar berat.

“Sebenarnya aku sakit hati dibentak-bentak, Mas. Tapi karena aku sayang sama kamu, jadi aku maafkan,” ucap Elsa seraya berbalik hendak pergi.

“Mau ke mana kamu?” tanya Arfan berhasil mencegah langkahnya.

“Ke cafe-lah, Mas. Emangnya mau ke mana lagi?”

Arfan mengusap wajah kasar.

“Makan malam udah siap,” tambah Elsa.

“Bisa temani aku malam ini?” Arfan bertanya sembari menatap Elsa dengan tatapan yang sulit diartikan.

Sudut bibir Elsa tertarik, “Tumben,” balasnya.

Arfan tersenyum kecil, benar juga apa kata istrinya. Tidak heran jika Elsa berucap demikian.

“Kamu kesambet apa sih, Mas? Biasanya juga cuek aja, bodo amat gitu kalau aku pergi. Udah ah, keburu malem, aku berangkat sekarang, ya.” Elsa tak ingin berbincang lebih lama lagi dengan Arfan, ia tahu ujungnya akan berakhir dengan adu mulut.

Arfan terdiam, menatap kepergian Elsa yang mulai menjauh. Kehangatan sederhana antara Hardian dan Airin kembali menari-nari di benaknya. Ah, ia merasa benci terhadap dirinya sendiri, permintaannya pada Elsa baru saja seolah-olah efek dari apa yang dilihat di rumah sahabatnya tadi siang.

Lelaki itu lantas menunduk, menggeleng pelan menetralkan segala rasa yang seharusnya dienyahkan.

“Mama makan, ya, please!” Arfan beralih menatap mamanya yang sedari tadi tetap dengan ekspresi datar.

Tak putus asa, Arfan kembali menyodorkan sesendok nasi dan diarahkan ke mulut mamanya.

“Mama harus ma—“

“Aku gak mau makaaan!!!”

Rahang Arfan mengeras tatkala sendok dan piring di tangannya terlempar akibat tepisan sang mama hingga menimbulkan denting gaduh dan berserakan.

“Astagfirullah!” Terdengar pekikan wanita yang usianya di perkirakan lebih tua dari ibu majikannya. Ia tergopoh-gopoh menghampiri, bergegas jongkok memunguti beberapa pecahan yang besar.

Arfan menatap mamanya sendu, dalam hati ia bertekad tidak akan melemah ketika sisi lain dalam dirinya yang kesepian lebih mendominasi. Ia harus menjalankan misi balas dendamnya. Segera.

*

“Assalamualaikum,” ucap Hardian saat memasuki rumah sehabis pulang dari musala.

Tak ada jawaban, biasanya Airin sudah berkutat di dapur, meski sekadar membuat pisang goreng dan kopi pahit yang sering kehabisan gula. Namun, berbeda dengan pagi ini.

Hardian melangkah menuju kamar, ia berucap istigfar dalam hati. Dilihatnya Airin masih tertidur dengan selimut tebal yang membalut tubuhnya hampir kepala.

“Neng, kok belum bangun? Kamu lagi datang bulan, ya?” Hardian menebak. Mungkin saja istrinya itu tidak salat karena sedang berhalangan.

Airin menggeleng, terlihat lemah.

Hardian berniat untuk mengusap rambut Airin, tetapi lelaki itu terperanjat karena hal lain.

“Ya Allah, Neng. Kamu kok pucat? Sakit?” tanya Hardian cemas.

“Nggak tahu. Aku kayanya masuk angin. Malas salat, pegang air dikit aja dingin.”

“Jangan ngomong gitu, Neng. Selama kamu masih kuat, kamu harus melakukannya, itu kewajiban lho.” Hardian sedikit tersentil dengan kata 'malas' yang keluar dari mulut istrinya.

“Kamu gimana sih, 'A? Orang sakit malah diceramahi.” Airin kesal.

“Hanya mengingatkan, Neng. Lagi pula ini sudah habis waktunya. Sekarang kita ke puskesmas aja, ya. Periksa, takutnya kamu kenapa-kenapa,” saran Hardian.

“Nggak usah lah, cuma nggak enak badan biasa.” Tolak Airin. Perempuan itu berusaha untuk bangkit, sigap Hardian membantunya.

Airin bersandar sembari memejamkan mata, rambutnya terlihat acak-acakan, tetapi bagi Hardian di sanalah letak pesonanya. Ada rasa sesak dalam hati karena sudah dua malam ini Airin selalu membelakanginya. Ia tak berani meminta, karena Airin akan lebih marah.

Ingin sekali ia menjatuhkan diri lalu mengecup bibir mungil itu dan menggapai indahnya cinta pagi ini. Namun, segera ia menepisnya. Ia tak boleh egois, Airin perlu waktu untuk menenangkan diri, dari segala kemelut kehidupan yang tak sesuai ekspektasi, mungkin karena itulah istrinya jadi tak berhasrat akhir-akhir ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status