Share

Sahabat Lama

Terik matahari tak dirasakan Hardian. Ia terus semangat mengaduk semen meski perutnya keroncongan karena sedari pagi belum makan berat, hanya segelas kopi pahit dan sepotong roti pemberian Imam teman kerjanya tadi saat sampai, tidak mampu mengganjal perut dan tubuhnya yang dipakai untuk bekerja keras.

Kulitnya coklat terbakar matahari, peluh menetes dari pelipis juga punggung, terlihat dari kaosnya yang basah. Hardian bersemangat karena hari ini ia gajian. Airin pasti senang kalau uang gajinya lebih, mengingat itu ia seolah-olah lupa kejadian tadi pagi.

Baginya, Airin adalah perempuan yang sangat berharga, ia sadar belum bisa membahagiakannya. Maka dari itu ia tak akan menyerah menghadapi realitas kehidupan yang melelahkan ini.

Para kuli tersenyum senang setelah mendapat upah. Termasuk Imam yang sudah antre terlebih dahulu.

“Hardi, aku pulang duluan, ya!” seru Imam sembari melambaikan tangan.

Hardian hanya tersenyum sebagai balasan.

Sampailah gilirannya, Hardian mendekat dan bersikap sesopan mungkin.

“Saya seperti baru lihat kamu,” ujar lelaki gagah di hadapannya. Usianya mungkin tak jauh berbeda, yang membedakan hanya nasib. Lelaki itu terlihat putih bersih dengan wajah teduh.

“Saya awalnya bekerja di proyek pembangunan lain, Pak. Kemudian Pak Bos mengoper saya ke sini,” jawab Hardian pelan sembari menunduk. Tak berani menatap Bos barunya.

“Siapa nama kamu?”

“Hardian, Pak.”

“Hardian?” Lelaki itu mengulang nama Hardian seolah-olah sedang mengingat sesuatu.

“Kenapa kamu selalu menunduk? Lihat saya!” pintanya tegas.

Ragu, Hardian memberanikan diri menatap wajah atasannya.

Netra keduanya saling berserobok, sesaat keduanya terdiam. Memastikan bahwa mereka sepertinya saling mengenal.

“Arfan?” ucap Hardian antara terdengar dan tidak.

“Kamu Hardian?” Ia pun memastikan.

Sejenak keduanya terdiam, kemudian lelaki bernama Arfan itu berpaling, sedetik kemudian ia tertawa kecil.

Pertemuan tak sengaja itu membuat Hardian dan Arfan kembali akrab. Mereka adalah sahabat semasa SMA, tetapi Arfan pindah ke Jakarta dan kini ia kembali lagi ke tempat kelahirannya, Bandung.

...

Airin menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan. Seharusnya ia tidak bersikap seperti itu kepada Hardian yang tidak tahu apa-apa. Tidak ada gunanya menanggapi nyinyiran tetangga, toh bukan mereka yang memberinya makan.

Ia menuju dapur, kemudian mulai menyiangi kangkung untuk ditumis. Hardian tak pernah mengeluh soal makanan apa pun yang ia sajikan, mungkin ia sadar karena keuangan hanya mencukupi untuk beli lauk seadanya.

Airin membuka kulkas yang terlihat sudah tua itu, ternyata masih ada ikan asin dan segenggam cabai rawit. Senyumnya tersungging, ia melirik jam di dinding, sebentar lagi Hardian pulang untuk makan siang. Ia segera menggoreng tempe, lanjut menggoreng ikan asin. Sisa minyaknya sengaja tak ia buang, melainkan untuk menggoreng cabai rawit untuk dijadikan sambal.

Setelah itu ia memutuskan mandi terlebih dahulu, meskipun pakaian yang dikenakannya sederhana, tetapi jika badannya bersih, Hardian pasti akan senang, pikirnya.

“Assalamualaikum.”

Tepat pukul 12.45, terdengar ketukan di pintu.

“Waalaikumsalam,” jawab Airin sembari bergegas membukakan pintu. Namun, ia sedikit terkejut melihat suaminya pulang bersama seseorang.

“Ini teman Aa' namanya Arfan, dia Bos proyek yang baru di tempat Aa' kerja, nggak apa-apa ya dia mampir ke sini? Aa’ yang ajak dia,” ujar Hardian langsung menjelaskan tanpa Airin minta.

“Ini istriku, Fan. Namanya Airin.” Selanjutnya Hardian memperkenalkan istrinya itu.

“Airin?” ucap Arfan dengan raut wajah sedikit terkejut.

“Iya, kenapa, Fan? Ada yang salah?” tanya Hardian jadi bingung.

“Ah, nggak, Har. Aku cuma merasa familier aja.” Arfan berubah gugup.

“Oh, ya udah. Gak apa-apa, kok. Silakan masuk, sekalian makan siang,” balas Airin ramah.

Melihat istrinya sudah kembali tersenyum, dalam hati Hardian merasa lega. Sebenarnya ia tadi sempat ragu, takut Airin masih marah dan malah mengusir Arfan, tetapi ia salah menduga. Istrinya memang terbaik, Hardian merasa semakin menyayanginya, terlebih Airin selama ini jarang mengeluh.

“Silakan minum dulu, tapi maaf cuma air putih.” Airin menyuguhkan dua gelas berisi air.

“Makasih ya, Neng.” Hardian tersenyum sembari mengambil minum dan mulai meneguknya. Berbeda dengan Arfan yang sedari tadi memilih diam dan sesekali tersenyum membalas ucapan Airin.

Ia kagum dengan kesederhanaan rumah tangga sahabatnya. Meskipun Hardian hanya seorang kuli, tetapi Airin begitu terlihat menghormatinya. Ah, sebenarnya mungkin ia iri, mengingat hubungannya dengan Elsa begitu rumit. Istrinya memang cantik, pandai merawat diri, tetapi tak pandai melayani suami.

Andai ia memiliki istri seperti Airin, batinnya.

“Minum, Fan! Kamu nggak mau minum air putih ya? Terbiasa minum jus,” ujar Hardian dan berhasil membuyarkan lamunannya.

Ah, ia berpikir terlalu jauh.

“Enggak begitu kok, Har.” Merasa tak enak, Arfan pun meraih gelas dan meminumnya sedikit.

Netranya menyapu sekeliling, sangat jauh berbeda dengan isi rumahnya yang mewah. Namun, kehangatan di sini begitu terasa, berbeda dengan rumahnya yang selalu sepi. Ia dan Elsa selalu sibuk, kerja dan kerja.

“A', ke sini sebentar,” pinta Airin dari arah dapur.

“Istriku manggil, bentar ya. Aku tinggal dulu,” ujar Hardian sekilas melirik Arfan, dan dibalas anggukan oleh pria itu.

Arfan menatap kepergian Hardian sampai hilang di balik tirai. Lelaki itu sesegera mungkin merisik saku dan mengeluarkan ponselnya.

Sedetik kemudian debar di dadanya berdegup keras, lelaki itu menggeleng pelan, menunjukkan raut wajah tak percaya dengan sorot mata tajam sedangkan tangan kiri terkepal hingga buku jarinya memutih.

“Jadi, dia istrinya Hardian?” gumamnya nyaris tak terdengar.

Sementara, Hardian menghampiri Airin dan langsung memeluknya dari belakang.

“Neng udah nggak marah?” tanya Hardian memastikan.

Terdengar tawa kecil Airin. Suara meletup-letup terdengar dari wajan yang ditutupi dengan peranti berbahan kaleng.

“Lagi bikin buat sambel, cabai rawitnya aku goreng dulu, nanti diulek sama tempe goreng,” jelas Airin sembari mematikan kompor. Setelah dipastikan cabai rawit tidak pecah-pecah lagi, Airin langsung menyiapkan cobek.

Hardian melepaskan pelukannya, kemudian duduk di kursi, memperhatikan istrinya yang mulai mengulek.

“Neng?”

“Hmm,” jawab Airin lembut.

“Aa’, sebenarnya malu Arfan ikut ke sini, tadi dia sedikit maksa, katanya mau berkunjung ke rumah.” Hardian mengungkapkan kegelisahannya.

“Kenapa harus malu?” tanya Airin tanpa menoleh, tangannya cekatan mengambil tempe lalu menaruhnya di atas cobek, kemudian sedikit menekan-nekan tempe tersebut agar menyatu dengan sambal.

Airin terlihat kembali menyalakan kompor, setelah terlihat panas, ia menuangkan minyak panas tersebut ke atas tempe dan sambal yang sudah diulek.

Harum menguar tertiup angin, cacing-cacing di perut Hardian semakin meronta minta diisi. Ia tersenyum memandangi punggung Airin, yang di matanya pandai menyenangkan hati suami meski dengan hal sederhana.

Arfan pun mencium harum masakan rumahan yang sangat sederhana itu, ah, sebenarnya ingin sekali ia pergi, tetapi  cacing-cacing di perutnya sulit berdusta. Tarikan napasnya yang panjang menandakan dirinya sedang mencoba meredam amarah yang saat ini sedang menguasai.

Lagi pula, Hardian pasti akan menahannya karena harum masakan ini menandakan jamuan makan siang telah siap.

“Jangan sia-siakan kesempatan yang sudah ada di depan mata, Arfan! Cari tahu lebih banyak agar misimu berhasil,” batin Arfan menyemangati. Lelaki pemilik lesung pipi itu lalu bangkit melangkah pelan berniat untuk mengintip apa yang tengah dilakukan sepasang suami istri itu?

Ia sedikit menyibakkan tirai, hatinya terasa sesak sekaligus benci melihat Hardian sedang mencicipi masakan tersebut sembari disuapi Airin. Ia menginginkan hal itu terjadi juga pada dirinya. Namun, baginya itu mustahil.

“Tidak, Arfan. Kenapa kamu malah iri? Seharusnya kamu senang karena tidak perlu bersusah payah untuk menghancurkan kehidupan perempuan itu. Lihatlah! Dia tidak punya kuasa apa pun.” 

Arfan lagi-lagi menggeleng, mencerna lalu membenarkan bisikan kalbu jahat yang sering mendominasi akhir-akhir ini.

“A’, apa teman kamu itu bakalan mau makanan kaya gini?” tanya Airin seperti ragu.

“Aa’, nggak tahu, tamu kan harus kita jamu. Tapi ... ya adanya kita cuma ini, daripada nggak sama sekali.” Hardian mengedikkan bahu.

Airin menghela napas pelan. “Yaudah, Aa' bantuin bawa sayur kangkung sama ikan asinnya ya, aku bawa ini,” ujar Airin sembari membawa sebakul nasi dan cobek.

“Iya, Sayang ...,” jawab Hardian sembari melempar senyum. Airin hanya menggeleng melihat kelakuan suaminya, sedangkan Arfan bergegas kembali duduk.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status