Share

Mengidam

“Kamu kenapa sih? Kok malah ngelamun? Bukannya bikinin aku teh panas misalnya.” Sindir Airin.

Hardian tersenyum samar, sebagai seorang suami ia memang belum se-peka yang diinginkan Airin.

“Sebentar, ya, Sayang. ‘Aa bikin dulu,” ujar Hardian kemudian bangkit berdiri dan keluar menuju dapur.

Tak lama lelaki itu kembali, membawa secangkir teh panas dengan asap yang masih mengepul.

“Pelan-pelan minumnya, masih panas,” ucap Hardian sembari memberikannya pada Airin. 

Perempuan itu menerimanya dengan perlahan, berniat untuk menghirup aroma teh yang begitu khas tetapi ia mendadak mual.

“Ih, kok bau melati,” ujar Airin cepat memberikannya kembali pada Hardian, hingga sedikit air teh tersebut tumpah.

“Lho, iya. Ini kan teh kesukaan kamu yang ada aroma melatinya.” Hardian bingung.

“Pokoknya aku nggak suka. Aku mau ganti yang biasa aja,” pinta Airin.

“Enggak ada, Neng. Harus beli dulu.”

“Ya beli dulu dong. Gimana sih?” Airin begitu tampak kesal.

Hardian hanya menghela napas panjang, menetralkan debar amarah yang mulai merambat. Lelaki itu menyesap teh buatannya, sayang kalau dibuang, pikirnya.

“Lho, kok kamu malah minum teh-nya?”

“Sayang, Neng kalau dibuang.”

“Siapa yang nyuruh dibuang?”

Hardian terdiam, menatap istrinya bingung.

“Aku mau kamu buru-buru ke warung, beli teh yang biasa.” Kali ini ucapan Airin diakhiri suara decak dari mulutnya.

Hardian tak meneruskan dan memilih untuk buru-buru pergi sebelum semuanya menjadi rumit. Ia segera mengganti sarung dan bergegas ke warung Bu Anis.

Beberapa kali Hardian mengucap salam, barulah wanita itu keluar.

“Beli apa, Har?” tanyanya ramah.

“Teh sachet-an,” pinta Hardian.

Bu Anis bergegas mengambil teh sachet dan memberikannya.

“Ini, 'kan?”

“Oh, bukan, Teh. Yang biasa aja, jangan ada aroma melatinya.”

“Biasanya Airin beli yang ini.” Bu Anis mengerutkan dahi.

“Tadi juga saya bikin yang itu, Teh. Tapi dia malah mau muntah, katanya nggak mau, mau yang biasa aja,” jelas Hardian.

“Muntah? Airin sakit?” Bu Anis memastikan.

“Kayanya iya, Teh. Saya ajak ke puskesmas dia nggak mau.” Raut wajah Hardian berubah bingung.

Sejenak Bu Anis terdiam, terlihat sedang berpikir.

“Jangan-jangan istrimu hamil, Har!” seru Bu Anis antusias.

Hardian terkesiap, kenapa ia tidak sampai berpikir ke sana? Sikap Airin yang berubah-ubah, dan pagi ini dia seperti orang yang masuk angin.

Setelah berkata demikian Bu Anis kembali mengambil teh sachet biasa dan memberikannya sembari berkata, “Segera periksa saja, Har. Siapa tahu memang hamil.”

“Iya, Teh. Ini uangnya.” Hardian menyodorkan selembar uang lima ribu.

“Enggak usah, Har.” Bu Anis menolak.

“Kenapa, Teh? Ini, Hardian beli kok.” Hardian merasa tak enak.

“Enggak usah, Har. Cuma teh, kok. Dulu, Kang Yajid sering banget bantuin Teteh saat lagi susah, Teteh nggak bisa bantu banyak, jadi enggak usah bayar, ya.”

Hardian menatap Bu Anis, mencari ketulusan di sana.

“Makasih, ya, Teh.”

Bu Anis mengangguk. “Iya. Udah sana, buruan, istrimu udah nungguin.”

Hardian lalu pamit dan bergegas pulang dengan wajah yang semringah. Berharap ucapan Bu Anis memang benar. Sepertinya ia juga harus sedikit memaksa Airin agar mau ke puskesmas.

*

“Enak?” tanya Hardian saat Airin usai menyesap teh manis buatannya.

“Ya, manis. Namanya juga teh manis,” jawab Airin datar seraya menyerahkan gelas pada Hardian.

“Kita periksa, yuk!”

“Males, ah, gimana kalau hasilnya negatif lagi?” Airin berpaling, nada bicaranya terdengar putus asa.

“Ya dicoba aja, dulu. Yuk! Mau, ya.”

Airin beralih menatap suaminya itu, ia mendapati sorot mata Hardian yang penuh harap. Ia pun berharap, semoga kali ini hasilnya memang positif.

*

Tak mau antre, Airin meminta untuk periksa di Bidan Delima langganannya saja ketika ia sakit atau pun memeriksa keadaan rahimnya. Bukan tak ingin ke rumah sakit, tapi tahu sendiri keuangannya tidak mencukupi.

Bu Bidan berkacamata dengan usia kira-kira setengah abad itu terlihat kalem dan menyodorkan pispot kepada Airin untuk menampung air seninya.

Meski bukan dokter mahal, tapi Airin merasa nyaman, bahkan kalau perempuan itu kebablasan bercerita, maka dengan senang hati Bu Bidan itu mendengar keluh kesahnya, tak lupa memberi wejangan, maka dari itu Airin langsung ke pikiran untuk periksa ke sini.

Usai menampungnya di pispot, Airin bergegas memberikannya pada Bu Bidan yang sudah siap dengan test pack di tangannya.

“Sebentar, ya, Teh,” ucapnya lembut.

“Iya, Bu,” balas Airin sembari mengangguk.

Airin kemudian kembali duduk di samping Hardian. Suaminya itu langsung meraih tangannya dan mendaratkan kecupan lembut.

“Gimana hasilnya?” tanyanya tak sabar.

“Belum, A'.”

“Oh, kirain udah.” Hardian terkekeh.

Airin mencebik kesal, menepis tangan Hardian sedikit kasar. Suaminya itu hanya menghela napas pelan, Airin memang begitu, sering marah tak beralasan.

Netra Airin menjelajah, timbangan bayi, beberapa tips melancarkan ASI, serta gambar-gambar ibu dan bayi yang begitu lucu dan menggemaskan mengusik hatinya. Mungkinkah naluri keibuannya mulai hadir karena ia memang hamil?

“Teh, maaf nunggu lama,” ujar Bu Bidan tiba-tiba dan berhasil membuat Airin dan Hardian menoleh.

“Nggak apa-apa kok, Bu.” Airin mengulas senyum, kemudian perempuan itu duduk berhadapan dengan Bu Bidan, sedangkan Hardian tetap di tempatnya sembari menunggu hasilnya dengan harap-harap cemas.

“Alhamdulillah, Teh. Garis dua, hasilnya positif,” jelas Bu Bidan.

“Alhamdulillah,” timpal Hardian senang, matanya terlihat berbinar-binar.

Airin hanya terdiam. Antara bahagia dan ... rasa lainnya, ia sedikit merasa aneh.

“Terakhir haid tanggal berapa, Teh?”

“Ng ... kalau enggak salah ... 24 Mei, Bu.” Airin mencoba mengingat kapan terakhir kali ia terlambat datang bulan.

Bu Bidan itu terlihat mencoret-coret sesuatu di atas kertas. Sesekali terlihat berpikir, kemudian ia tersenyum seperti menemukan hasil.

“Jadi perkiraannya udah lima minggu, Teh. Hari perkiraan lahirnya 3 Maret,” terangnya.

Airin hanya mangut-mangut. Sementara Hardian tak henti menatap istrinya penuh cinta.

Bu Bidan mengambil buku KIA dan mulai mengisi biodata lengkap calon ibu. Tak lupa mengukur tinggi badan Airin, berat badan serta lingkar lengannya.

Sebelum pulang Bu Bidan berpesan agar Airin tidak terlalu banyak pikiran, karena Bidan tersebut tahu, Airin sering berkeluh kesah padanya.

Keduanya pulang dengan perasaan bahagia, terlebih dengan Hardian. Lelaki itu mengendarai sepeda motor dengan senyuman yang terus terukir dari bibirnya.

“A’?” panggil Airin agak sedikit keras.

“Apa, Sayang?” jawab Hardian lembut.

“Warung sate yang baru itu ramai ya, pengunjungnya,” ucap Airin sembari mengeratkan pelukan pada pinggang Hardian, dagunya juga tertambat di pundak suaminya itu.

Tak ada mobil mewah, melainkan hanya sepeda motor yang kadang sering mogok yang bisa membuat hubungan keduanya jadi romantis.

“Ya pasti ramai, Neng. Kan baru,” balas Hardian sembari sebelah tangannya mengusap lutut Airin sekilas.

“Pasti enak, ya,” ucap Airin lagi.

“Kalau pengunjungnya banyak, bisa dipastikan enak, Neng.”

Airin terdiam. Sudah cukup jauh keduanya melewati warung sate tersebut.

“Terima kasih ya, Neng. Akhirnya kamu hamil juga,” ucap Hardian senang.

Airin tetap diam. Entah mengapa ia tiba-tiba merasa sedih dan lagi-lagi kesal terhadap Hardian. Baginya, lelaki sulit sekali untuk bisa mengerti perasaan dan apa maunya.

Rumah mungil itu sudah terlihat.

“Alhamdulillah,” ucap Hardian sesampainya di halaman. Sedangkan Airin bergegas turun dan langsung masuk ke rumah dengan wajah yang ditekuk.

“Apa lagi?” batin Hardian bertanya. Baru tadi di jalan sikap Airin bersahabat dan mau mengajaknya mengobrol, sekarang sudah beda lagi. Nasib. Namun, meskipun begitu, Hardian tetap bahagia, karena impiannya menjadi ayah akan segera terwujud.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status