Share

Gagal Romantis

Hardian pun menyusul masuk, menyimpan helm di atas meja, kemudian melenggang ke dapur untuk sekadar mengambil minum. Dirasa kerongkongannya sudah tak lagi kering, Hardian berniat untuk menyusul Airin ke kamar, tetapi saat ia memutar kenop pintu malah dikunci.

“Lho, Neng, kok dikunci?” seru Hardian sembari mengetuk pintu.

“Biarin! Itu balasan buat suami yang gak pernah peka!” seru Airin dari dalam.

“Peka gimana, Neng? Aa' salah apa lagi?” tanya Hardian bingung. Niat hati ingin menghabiskan waktu berdua tak ingin sia-sia karena sudah terlanjur izin kepada Arfan untuk tak masuk kerja, malah dapat hal tak menyenangkan lagi dari Airin.

“Kamu pikir aja sendiri!”

Hardian menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Malah disuruh mikir, gimana sih? Batinnya.

“Aa’ gak ngerti, Neng. Memangnya Neng Airin mau apa? Bilang aja! Aa' gak ngerti kode-kodean, Neng.” Hardian to the point.

Terdengar derap langkah mendekat, kemudian kenop pintu terlihat berputar. Kepala Airin menyembul dari balik pintu.

“Dasar gak peka! Tadi kita ngobrolin apa di jalan?” tanyanya dengan raut wajah kesal.

Hardian terdiam. Berpikir keras.

“Oooh ... jadi Neng Airin mau sate?” tanya Hardian dengan wajah senang seolah-olah mendapatkan jawaban dari teka-teki silang.

“Dari tadi, kek!” Airin malah menutup pintu kembali.

“Malah ditutup lagi. Ya udah, Aa' beliin sekarang, ya. Tapi janji nanti gak bakal ngambek lagi.”

“Terserah!” seru Airin dengan sedikit berteriak.

Hardian menghela napas lega. Perempuan, begitu sulitnya ia harus berpikir hanya karena ingin sate saja.

“Neng ... Neng, apa susahnya minta, ngomong atuh kalau mau sate,” gumam Hardian sembari menggeleng heran.

“Ya udah, Aa' balik lagi, ya, beli sate buat kamu.”

“Terserah!” Lagi-lagi Airin menimpali dengan ketus.

Hardian segera berlalu, tak ingin membuang-buang waktu dan menambah kekesalan Airin. Ia pun bergegas menarik gas menuju warung sate yang dimaksud Airin.

*

Hardian celingukan, kemudian ia masuk ke warung sate tersebut. Pengunjungnya memang cukup ramai, pantas Airin tergiur untuk mencicipinya.

Baru saja duduk, seorang pelayan datang menghampiri.

“Mau berapa tusuk, A'?” tanya Si Pelayan to the point.

“Ng ... dua puluh tusuk aja,” jawab Hardian.

“Oke.” Pelayan itu hendak berbalik pergi.

“Eh, dibungkus, ya,” pinta Hardian.

Pelayan itu kembali menoleh, tak menjawab, ia hanya mengulas senyum sembari membentuk huruf ‘o’ dengan menempelkan ujung ibu jari dan telunjuknya.

Hardian merisik saku, sisa lembar biru satu-satunya. Semoga cukup, batinnya. Ia jadi berpikir, bagaimana nantinya jika Airin terus mengidam hal-hal yang berharga atau makanan yang mahal, sanggupkah memenuhinya? Ah, mengingat itu ia jadi sedih karena belum bisa jadi suami yang bisa menyejahterakan istri dengan baik.

Cukup lama menunggu, pesanan pun datang. Dari bungkusnya saja bisa dilihat tak seperti bungkus sate pinggir jalan yang hanya menggunakan kertas nasi lalu dibungkus plastik, Hardian sudah cemas, takut kalau uangnya tidak cukup.

Aroma khas sate menguar, membuat perutnya jadi lapar.

“Ini, A'!” Si Pelayan tadi menyerahkan bungkusan tersebut.

“Terima kasih, jadi berapa?” tanya Hardian ragu.

“Enam puluh ribu, A',” jawab Si Pelayan mantap.

Benar saja. Uangnya kurang, bagaimana ini?

“Aduh, gimana, ya?” Hardian bingung.

“Gimana apanya, A'?”

“Uangnya kurang, sa–saya boleh pulang dulu gak sebentar?”

“Gimana sih, A'? Kalau gak bisa bayar ya gak usah beli, saya ini masih banyak kerjaan, bukan cuma ngurusin satu orang doang, gimana saya bilangnya sama Pak Bos?” Si Pelayan nyerocos kesal.

Hardian menggaruk tengkuknya tak gatal. Wajahnya pasti sudah terlihat memerah di mata para pengunjung yang menoleh karena mendengar kegaduhan.

“Saya mohon, Teh. Istri saya lagi ngidam, saya ambil dulu kurangnya ke rumah, nanti saya balik lagi, tapi satenya saya bawa sekarang, ya.” Hardian memohon.

“Apalagi kaya gitu? Mana ada hari gini orang yang jujur, A'? Mau modus ya?” tuduhnya.

Hardian menggeleng, nasib jadi orang tak punya, sakit hati yang didapat.

“Ada apa ini?” ujar seseorang tiba-tiba.

Refleks Hardian dan Si Pelayan menoleh.

“Arfan?” gumam Hardian pelan.

“Ini, Pak. Mau sate tapi gak punya uang, malah alasan istri ngidam dan mau pulang dulu ngambil uang, dia pasti mau modus, Pak,” terang Si Pelayan.

“Gak, Fan. Bukan begitu,” sangkal Hardian.

“Udah, udah. Kamu balik ke dapur, atau layani pengunjung lain!”

“Tapi, Pak—“

“Udah, biar orang ini saya tangani!” tegas Arfan.

Si Pelayan sempat melirik Hardian tak suka, kemudian berlalu pergi.

Arfan mengusap wajahnya kasar, miris rasanya melihat nasib Hardian, sahabatnya seperti ini.

“Ya udah, Fan. Sebaiknya aku pulang aja,” ucap Hardian sembari meraih jaket jeans belelnya hendak berlalu.

“Tunggu, Har!” cegah Arfan.

Lelaki itu berhenti, keduanya saling berserobok.

“Ini, bawa aja! Gak usah bayar,” ujar Arfan sembari menyodorkan bungkusan.

Hardian menggeleng. “Gak, Fan. Aku malu sama kamu. Aku masih bisa bayar, aku ambil uang dulu sebentar,” balas Hardian sembari menepis lengan Arfan pelan. Lelaki itu memilih untuk pulang lebih dulu. Hari ini, ia merasa harga dirinya semakin menciut saja, terlebih saat tahu, warung sate tersebut lagi-lagi milik Arfan.

Arfan hanya diam, menatap kepergian Hardian sampai hilang. “Kamu egois, Har! Gengsi kamu tinggi, kasihan istrimu,” gumamnya pelan.

Tampak Airin duduk di kursi luar, perempuan itu sepertinya niat sekali menunggu kedatangan suaminya, rasa sate yang begitu nikmat seolah-olah sudah terasa sekali di lidahnya.

Hardian memarkirkan motornya, melepas helm dan langsung masuk rumah tanpa menyapa Airin.

“Lho, A' satenya mana?” tanya Airin sembari mengikuti langkah Hardian.

Lelaki itu tetap diam, sembari membuka lemari dan mengambil kotak tua di dalamnya. Ia duduk di tepi ranjang dan membukanya.

Beberapa lembar uang berwarna merah terdapat di dalamnya, ia mengambil satu dengan raut wajah masam.

“A’ kamu kenapa, sih?” tanya Airin lagi.

Hardian tetap diam, lelaki itu bahkan menjatuhkan beberapa pakaian saat menyimpan tabungannya dengan kasar.

“Kamu kenapa sih? Datang-datang kok mukanya ditekuk? Marah-marah gak jelas,” ujar Airin mulai kesal.

Hardian menoleh, menatap Airin tajam. Kemudian lelaki itu mendekat, mendekatkan wajahnya dengan Airin, membuat perempuan itu sedikit merasa takut karena sikap Hardian yang tak seperti biasanya.

“Aku lakukan semua ini untuk kamu, Neng. Jadi tolong, sedikit saja hargai aku!” ujarnya tegas dan berat.

Airin tak sempat membalas, karena suaminya itu bergegas keluar dan kembali pergi. Perempuan itu hanya bisa menatap Hardian sampai menjauh, entah kenapa ia jadi sedih hingga tak terasa lelehan bening mulai luruh dari kelopak matanya.

Ia takut, Hardian lelah lalu berubah karena sikapnya yang terus begitu. Namun, untuk bersikap lembut pun ia merasa enggan, entahlah ... Airin merasa serba salah.

Hardian memacu kuda besinya dengan cepat. Sesampainya di sana, ia langsung masuk. Ternyata Arfan masih duduk di meja tempatnya duduk tadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status