Share

Renjana (Airin dan Hardian)
Renjana (Airin dan Hardian)
Penulis: Titania

Tetangga Nyinyir

“Mang, tempe sama kangkungnya,” pinta Airin. Sebenarnya ia ragu untuk berbelanja di Mang Asep, tetapi harga sayur-mayur di Mang Asep terbilang lebih murah dari tukang sayur yang lain, lumayan sisanya buat jajan cilok, pikir Airin. Namun, nyatanya ibu-ibu yang gemar bergosip itu tak akan membiarkannya pergi tanpa julid terlebih dahulu.

“Eh, Airin, masa tiap hari makannya tempe sama kangkung terus sih, pantes aja kamu belum hamil, lha makanannya aja kurang bergizi,” timpal Bu Ani wanita yang selalu memakai seluruh perhiasannya meski hanya untuk belanja sayur.

Airin hanya diam, malas sepertinya membalas ucapan Bu Ani yang sebenarnya menyakitkan hati.

“Berapa, Mang?” tanya Airin.

“Tujuh ribu, Neng,” jawab Mang Asep ramah.

Airin mengambil selembar uang sepuluh ribu lalu memberikannya pada Mang Asep.

“Kembaliannya tiga ribu ya, Neng.” Mang Asep merogoh tas pinggang usang yang selalu melingkar di pinggangnya.

“Kembalin segitu mah atuh dikasih Mang Asep aja, Rin. Pelit banget sih kamu,” timbrung Bu Yuli.

Airin melirik keduanya sekilas, telinganya sudah benar-benar panas mendengar celotehan mereka.

“Yaudah, Mang. Kembaliannya buat Mang Asep aja,” ujar Airin seraya bergegas pergi. Tak memedulikan panggilan Mang Asep yang memang berniat memberikan kembalian.

“Jangan begitu atuh, ibu-ibu. Kasihan Neng Airin, saya juga nggak mau mengemis kembalian,” ucap Mang Asep sembari meremas uang recehan seribu di tangannya, dalam hati berniat akan memberikannya pada Airin nanti kalau belanja lagi.

“Mang, dagingnya sekilo, ayam sekilo sama kangkungnya seikat ya,” ujar Bu Anis yang sedari tadi memilih diam. Membuat Bu Ani dan Bu Yuli menoleh tak percaya. Keduanya saling sikut sembari berbisik.

“Wah, alhamdulillah, dagangan saya diborong Bu Anis.” Mang Asep bersyukur senang. Ia segera membungkus pesanan Bu Anis dan memberikannya dengan semringah.

“Kembaliannya buat Mang Asep,” ujar Bu Anis sembari menerima plastik dari tangan Mang Asep.

“Jangan, Bu. Saya malu, tiap belanja kembaliannya dikasih ke saya,” tolak Mang Asep.

“Nggak apa-apa, Mang. Saya ikhlas.” Bu Anis tersenyum tulus.

“Terima kasih, Bu.” Mang Asep senang.

“Sama-sama, Mang. Saya pulang dulu ya, Bu Ani, Bu Yuli, Mang, mari.” Bu Anis menatap mereka bergantian. “Assalamualaikum,” sambung Bu Anis sebelum akhirnya pergi.

“Sok banget dia belanja banyak-banyak, paling duitnya dari anaknya yang jarang pulang itu, jangan-jangan anaknya kerja nggak halal lagi.”

“Hus! Bu Ani jangan suuzan terus, pamali. Sudah siang ini, saya mau keliling lagi,”  protes Mang Asep.

“Mang Asep, mentang-mentang dapat kembalian dari Bu Anis, langsung ngusir kita, begitu?” tanya Bu Ani kesal. Sedetik kemudian bibir bergincu merah itu mengerucut.

“Jadi semuanya berapa?” tanya Bu Yuli ikut judes.

“Dua puluh lima ribu, Bu Yuli,” jawab Mang Asep seramah mungkin.

“Nih!” Bu Yuli memberikan selembar uang berwarna hijau.

“Lho, kurang ini, Bu.”

“Ngutang dulu, Mang. Nanti saya bayar,” jawab Bu Yuli tanpa malu.

“Jadi lima belas ribu ya sama kemarin,” balas Mang Asep sembari memasukkan uang dengan menghela napas kasar.

“Terus Bu Ani jadinya beli apa?” tanya Mang Asep memastikan.

“Nggak jadi beli, tadinya mau beli dagingnya sekilo. Lha, ini tinggal setengah, mana cukup buat keluarga saya,” cetus Bu Ani.

“Biasanya juga Bu Ani suka belinya setengah atuh,” timpal Mang Asep.

“Iya kan biasanya, kalau hari ini awalnya mau beli sekilo, tapi keburu dibeli Bu Anis, jadi aku beli di tempat lain saja. Yuk, Bu Yuli. Kita pulang,” ajak Bu Ani. Keduanya pun melenggang pergi dengan mulut masih komat-kamit tak jelas.

“Astagfirullah ....” Mang Asep mengusap wajah dengan handuknya sembari menggeleng. Ia pun memutuskan untuk kembali jualan sambil berseru, “Sayur ... sayur ...!” Dengan lantang.

...

Airin berjalan sembari menunduk, beberapa kali ia mengusap buliran bening yang lolos dari matanya. Ucapan Bu Ani dipikir ada benarnya, mungkin ia tak kunjung hamil karena makanan yang dikonsumsi setiap hari kurang bergizi, jadi ia dan Hardian–suaminya– kurang subur.

Pandangannya buram karena air mata yang terus mendesak keluar, tetapi ia masih bisa melihat suaminya masih setia duduk di kursi rotan sembari menyeruput kopi pahit buatannya. Bahkan, ia tak mampu membeli gula karena Hardian belum gajian. Mengingat hal itu membuat hatinya semakin teriris.

Sejenak langkahnya terhenti, ada rasa marah timbul di lubuk hati. Rupanya Hardian menyadari itu, ia melambaikan tangannya kemudian berkata, “Neng, kenapa kamu diam di sana?” tanyanya dengan sedikit berteriak.

Arini mengusap kasar wajahnya, kemudian berjalan tergesa menghampiri Hardian.

“Aa’ mau berangkat, kok kamu lama belanjanya?”

Airin hanya diam, menjatuhkan kantong berisi sayur yang sedari tadi ditentengnya begitu saja.

“Kenapa, Neng?” tanya Hardian sembari bangkit saat menyadari Airin mulai terisak.

Tak menjawab, tangis Airin semakin menjadi. Hardian tak ingin terburu-buru bertanya, ia mengambil sayuran yang tergeletak, kemudian sebelah tangannya merangkul Airin untuk masuk.

Airin mengempaskan tubuhnya di sofa merah muda yang warnanya sudah pudar itu, sedangkan Hardian sigap mengambil minum.

“Minum dulu, biar Neng tenang.” Hardian menyodorkan gelas ke hadapan Airin.

Perempuan manis dengan hidung yang memerah akibat menangis itu menatap suaminya nanar.

Setelah itu ia malah menepis gelas yang penuh dengan air hingga jatuh dan pecah. Hardian tampak terkejut, rahangnya mengeras, tetapi lelaki itu seperti berusaha menahan amarahnya.

Hardian bangkit, membuang muka ke arah jendela sembari menyugar rambutnya kasar.

“Aa’ nggak tahu apa yang terjadi sama kamu. Aa' minta maaf kalau salah sama kamu. Udah siang, Aa' mau berangkat kerja dulu.” Hardian melenggang pergi memasuki kamar. Tak berselang lama ia keluar dengan pakaian yang biasa ia kenakan ketika hendak kerja.

“Assalamualaikum,” ucap Hardian berpamitan. Sekilas ia melirik istrinya itu, tetapi Airin masih saja menangis, bahkan kini perempuan itu menutupi wajah dengan tangannya.

Biasanya, Hardian akan mengecup dahi Airin sebelum pergi, kemudian Airin akan mencium tangannya. Kemarin, kehangatan itu masih menyelimuti, tetapi tiba-tiba hawa dingin hadir pagi ini.

Airin menutup pintu dengan kasar, hingga membuat Hardian yang sudah berjalan agak jauh pun menoleh, lelaki itu tampak menggeleng, kemudian memutuskan untuk tetap pergi.

Meskipun sebenarnya ia merasa lapar, karena Airin belum sempat memasak. Biasanya, setelah berbelanja Airin akan segera ke dapur lalu menyiapkan sarapan untuknya. Sesekali ia menggoda istrinya itu, kemudian saling bercanda.

Di mata Hardian, Airin adalah istri yang baik juga cantik. Ia bahkan selalu tergoda setiap Airin merengek kegelian saat ia mengganggunya ketika memasak.

“A’ jangan ganggu terus, ini susah geraknya,” ujar Airin saat Hardian malah memeluknya dari belakang.

“Liat kamu lagi masak, cantiknya jadi nambah, Aa' jadi pengen,” balas Hardian sembari mengecup tengkuk Airin sekilas.

“Kamu kan harus buru-buru berangkat kerja, nanti bos marah lho, kalau kamu telat,” ucap Airin lembut.

Bukannya berhenti, Hardian malah mematikan kompor, kemudian membopong Airin.

“A’ lepas!”

Hardian tak menggubris Airin yang terus merengek manja, ia semakin tertantang dan malah membawa Airin ke peraduan.

Duhai ... indahnya hari kemarin.

Sementara seorang lelaki yang diperkirakan berusia setengah abad tampak memperhatikan dari kejauhan. Rasa rindulah yang menggerakkan kakinya ke tempat di mana sepasang suami istri itu tinggal.

Sebenarnya ia ingin sekali bertamu dan berbincang membicarakan apa saja untuk sekadar melepas rindu, tetapi ego menjadi benteng pertahanan hingga dirinya mampu tetap mematung.

Ingatannya melayang tertuju pada suatu ketika seorang perempuan datang ke rumahnya, memohon agar cinta Airin dan Hardian diberi restu dengan alasan karena dirinya juga berhak ikut bersuara atas lanjut atau tidaknya hubungan mereka.

Ah, ia menggeleng keras, memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening. Ada banyak rahasia dalam hidupnya, rasanya ia sudah tak sanggup lagi untuk menyimpannya sendirian. Melihat Hardian yang memang begitu sabar membuat dirinya malu mengingat permintaan perempuan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status