"Cepat putar keran Shower nya!" Gala terus memerintah Zalila dari depan pintu kamar mandi.
Keluar rintik-rintik deras air dari Shower, sedikit membasahi baju Zalila.
"Sudah," ucap Zalila.
"Ya sudah, berdirilah kau di bawah air yang mengalir itu,"
Zalila merasa keheranan dengan apa yang diperintahkan Gala. Apa maksudnya menyuruh Zalila berdiri di bawah air mengalir itu, tentunya akan membuat bajunya basah kuyup. Tentunya pula memang itu yang di inginkan Gala.
Gala menjadikan Zalila pelampiasan dendamnya, sedangkan Zalila sendiri tidak tahu bahkan tidak paham sama sekali maksud semua ini. Tetapi Gala begitu menikmati melihat Zalila yang basah kuyup seluruh tubuhnya. Seakan dendamnya benar-benar telah Ia balas pada orang yang melakukannya.
"Tuan Muda, apakah sudah selesai? Sa-Saya kedinginan," ucap Zalila gemetar, kedua tangannya memeluk dirinya.
"Belum, tetaplah disitu!" teriak Gala.
Zalila merasa kedinginan badannya, Ia memang sedang merasa tak enak badan namun Ia tetap kuat seolah baik-baik saja di depan ibunya. Agar Ibunya tak merasa khawatir.
Brukkk...
Zalila jatuh pingsan, tubuhnya tak kuat lagi menahan kedinginan. Sontak membuat Gala yang tengah tertawa-tawa menjadi terkejut.
Sementara di ruang dapur, sang Bibik telah selesai melakukan pekerjaannya.
"Bagaimana dengan gadis itu, ya?"
"Sepertinya tak terjadi apa-apa?"
"Apa gadis itu melayani tuan muda dengan baik, sehingga tuan muda luluh? Ah masa sih, saya tahu persis bagaimana tuan muda. Dia itukan, tidak mudah dijinakkan,"
"Ups, maksud ku tidak muda luluh,"
Begitulah sang ART terus berucap sendiri, bertanya-tanya sendiri. Ia merasa tuan mudanya itu menjadi begitu sangar kini.
"Bik! Bibik...!" teriak Gala dari depan pintu kamarnya.
Teriakkan Gala itu membuatnya kaget bukan main, padahal baru saja Ia berpikir tidak terjadi apa-apa antara Zalila dan Gala.
"Iya, tuan muda!" sahutnya sambil berlari mendekat pada Gala.
Dilain sisi, Betara dan Indrita tengah kegirangan. Sebuah kerjasama bisnis telah mereka tanda tangani, dengan menanamkan modal hingga ratusan juta.
"Kita akan semakin kaya, Pi!" ucap Indrita diselingi tertawa cekikikan.
"Tentu saja, Mi. Kita yang lebih besar menanamkan modal, tentu keuntungan untuk kita yang lebih besar pula," timpal Betara juga diselingi tawa kegirangan.
"Ya sudah, kita pulang, yuk, Pi!" ajak Indrita.
"Ya, ayo," sahut Betara.
Sementara seseorang yang mereka panggil Jono yang juga adalah teman bisnis mereka, telah pulang terlebih dahulu usai menerima uang dari Betara secara cash dalam sebuah koper.
Berjalan dengan tertawa kegirangan Betara dan Indrita mulai masuk ke dalam rumahnya.
"Tuan muda ada apa dengan gadis ini, mengapa Ia sampai pingsan di kamar mandi? bajunya pun sampai basah semua begini?" tanya sang ART.
"Sudahlah, Kau tak perlu banyak bertanya. Pakaikan saja Ia handuk," perintah Gala.
Zalila telah dibaringkan di atas tempat tidur Gala, dengan diselimuti handuk lebar milik Gala.
Gala melirik pada Zalila yang masih terpejam dalam pingsannya. Ia melihat lagi Zalila dari atas hingga bawah, seperti saat pertama melihat Zalila.
Betara dan Indrita melepas lelah di sofa tamu, Mereka membanting saja tubuh mereka hingga mengambul pada sofa empuk itu.
"Bik...!" panggil Indrita kepada ART nya.
Tak langsung mendapat sahutan dari ART nya tersebut, Indrita mulai kesal.
"Mana sih, si Bibik?" Indrita bertanya sendiri sembari mendongakkan kepalanya ke arah dapur.
Indrita bermaksud untuk dibuatkan minum kepada ART nya itu.
"Kemana sih, si Bibik, Pi?" tanyanya pada Betara.
"Kok, tanya aku? mana ku tahu?" sahut Betara.
Melangkah menuju dapur, Indrita mendengar suara berisik dari kamar Gala. Tak menunda lagi, Ia langsung ke sana.
"Ini bagaimana, Tuan muda. Gadis ini belum juga siuman," ucap si Bibik.
"Heh, aku tidak peduli!" ketus Gala.
Indrita masuk ke kamar Gala yang tak tertutup. Ia melihat sang asisten rumah tangganya tengah mengibaskan tangannya ke wajah Zalila sambil duduk di sampingnya. Sedangkan Gala, memalingkan wajahnya kesamping walaupun posisinya menghadap pada tempat tidur dimana Zalila terbaring.
"Ada apa, ini?" tanyanya.
Gala dan si Bibik langsung menoleh pada Indrita.
"Apa yang terjadi? kenapa dengan gadis ini?" tanyanya lagi keheranan melihat Zalila terbaring dan terpejam dengan baju basahnya tertutup handuk Gala.
"Dia pingsan, Nyonya," jawab Bibik.
"Pingsan? memangnya kenapa?" Indrita semakin mendekati Zalila.
Gala yang menjadi penyebabnya, tak jua menyahut. Ia tetap terlihat acuh, namun sesekali melihat pada Zalila.
"Kenapa gadis ini basah begini?" Indrita membuka handuk yang menutupi Zalila dengan baju basahnya.
"Gala! apa kau yang melakukannya?" Indrita menatap penuh selidik pada Gala. Sementara yang ditatap, memalingkan wajahnya lagi.
"Gala, kau balas dendam padanya?" Indrita mempertegas pertanyaannya.
"Sudah ku katakan, aku tidak mau ada suster," sahutan tajam Gala.
"Bik, ambilkan hairdryer di kamar ku!" titahnya pada Bibik.
Si Bibik berlari, langsung menuruti perintah Nyonyanya.
Entah jin apa yang membantunya, hingga si Bibik cepat kembali dari mengambil hairdryer milik Indrita yang ada di kamarnya dilantai atas.
"Nyalakan dan keringkan tubuh gadis itu!" titah Indrita tak memberi kesempatan untuk si Bibik berkata."Ini Nyonya,"
Suara deru mesin pengering rambut itu terdengar. Perlahan hawa panas dari benda itu mengeringkan baju Zalila.
Zalila terbangun dari pingsannya, dan begitu terkejut dengan orang-orang yang Ia lihat disekelilingnya. Yang pertama Ia lihat tentu si Bibik yang lebih dekat lalu Indrita yang tengah berkacak pinggang dan terakhir Gala.
Pada terakhir orang yang dilihatnya, yakni Gala. Zalila terlihat ketakutan, ketika Ia mulai teringat apa yang di lakukan Gala padanya di kamar mandi tadi.
Indrita tak merasa keheranan dengan tingkah Zalila yang ini, berbeda dengan si Bibik asisten rumah tangga. Ia menyerengit kebingungan.
"Nyonya, saya ingin pulang!" kata Zalila ketakutan pada Gala.
"Enak saja, kau harus tetap menjalankan tugas mu!" sahut ketus Indrita.
Gala melihat pada Zalila yang dengan sangat memohon pada Indrita. Gala belum melihat ada sesuatu antara Zalila dan Indrita. Ia masih berpikir Zalila adalah seorang suster yang ditugaskan untuk merawatnya.
"Tapi Nyonya, saya tidak bisa merawat orang gi--," ucapan Zalila terhenti yang tadinya Ia ingin mengatakan Gala gila, yang seperti Ia dapat informasinya dari seorang Ibu, tadi.
"Hey, kau ingin mengatakan aku gila, begitu?" protes Gala, mengerti ucapan Zalila yang terpotong tadi.
"Apa benar begitu? bahwa ucapan selanjutnya kau ingin mengatakan, putraku gila, hah?" marah Indrita.
Si Bibik menyembunyikan wajahnya tertawanya yang tertahan. Dalam pikirannya Ia membenarkan juga jika ucapan selanjutnya dari Zalila adalah ingin mengatakan Gala itu orang gila. Walaupun Ia tahu, Gala itu bukan orang gila tetapi sikap tuan mudanya itu memang seperti orang tidak waras.
Zalila bingung, bukan kah informasi yang Ia dapat memang begitu dan perlakuan Gala padanya membuatnya yakin jika informasi yang Ia ketahui adalah benar.
Dengan mendorong kursi rodanya sendiri, Gala lebih mendekat pada Zalila, Denis dan si bibi yang tengah membicarakannya."Nah, tu dia. Si tuan muda!" Pekik Denis.Zalila menatap nanar pada Gala, entah rasa apa yang dirasakannya. Ia pun tidak mengerti."Zalila!" Panggil Gala."Hey, tuan muda. Berdirilah, tunjukkan pada Zalila kalau kau sudah bisa berjalan," ucap Denis tajam.Gala tidak menyahut, Ia tetap duduk tenang pada kursi rodanya."Apa aku harus memaksamu?" Denis semakin mendekati Gala kemudian Ia memegang kerah baju Gala dengan kasar."Mas Denis!" Teriak Zalila terkejut.Si Bibi pun terkejut dengan apa yang dilakukan
"Baiklah, aku akan datang," ucap Zalila menutup perbincangannya melalui telepon.Di Lain tempat, Indrita turun dari lantai atas rumahnya tepatnya keluar dari kamarnya. Berniat untuk mengambil makanan di lemari es untuk menemaninya membaca novel, karena merasa belum mengantuk. Bak nyonya besar piyama yang ia kenakan pun terlihat mewah.Belum sampai pada lemari es langkahnya terhenti, Ia terkejut melihat Gala. Kemudian Ia segera sembunyi di balik tembok.'Gala!' gumamnya dengan wajah dan mata yang begitu terkejut. Dari balik tembok ia terus memperhatikan Gala sampai putranya itu masuk ke dalam kamarnya.Begitu Gala menutup pintu kamarnya, Indrita segera berlari menaiki tangga dengan tergesa-gesa.Terengah-engah masuk ke kamarnya, melihat pada Betara yang sudah terti
"Pulang denganku, kau mau kan, Zalila?" Tanya Arkan yang sebenarnya hanya untuk memancing kecemburuan Lucy."Oh, tentu aku mau. Kau tidak membawaku di depan, bukan? Lalu Lucy dibelakang," bercandanya Zalila.Arkan pernah meledek Zalila dengan tubuhnya yang imut, Arkan berkata akan membonceng Zalila tetapi posisinya Zalila di depan kemudi layaknya membawa anak kecil.Arkan dan Zalila tertawa bersamaan membuat Lucy semakin cemberut."Sudahlah, Arkan. Kau jangan membuat Lucy marah," ucap Zalila usai tawanya terhenti."Aku duluan, ya!" Pamit Zalila akhirnya."Hati-hati di jalan, okey!" Teriak Arkan."Oke, akur-akur lah kalian berdua," balas Zalila kemudian berlalu.****Zalila kembali menemui Gala yang tengah bersama kedua orang tuanya.Tak berkata-kata, Indrita dan Betara meninggalkan Gala bersamaan mendekatnya Zalila.Zalila tak mengerti dan tak mengetahui apa yang dibahas keluarga kecil itu, yang pasti tak a
"Bisakah kau pulangkan Zalila? ibunya sakit," ucap Denis menjawab pertanyaan Gala."Apa? Ibu sakit?" sosor Zalila mengambil handphone Gala dari tangan Gala.Gala yang sempat terkejut dengan aksi Zalila kini melihat Zalila sambil mengerutkan keningnya."Mas Denis! mas Denis! bagaimana keadaan ibu sekarang?" cecar Zalila panik."Ya, kau pulang dulu saja," sahut Denis."Iya, iya, Mas Denis. Aku pulang," sahut balas Zalila.Percakapan dalam sambungan telepon pun berakhir. Zalila baru tersadar jika kini Ia telah memegang handphone Gala."Maaf, tuan muda. Ini...handphonenya," perlahan dan malu-malu Zalila mengembalikan ponsel Gala."Tadinya kau bilang aku saja yang terima, akhirnya kau rebut juga handphoneku," ledek Gala."Maaf, tuan muda," wajah Zalila memerah."Tuan muda, saya harus segera pulang. Ibu saya, ibu saya," panik Zalila seketika teringat ibunya."Ya, pulang lah!" sahut Gala."Terimakasih, tuan
"Mas Denis memang atasan saya, tapi kami sudah pernah bertemu sebelumnya. Jadi sedikit akrab," jelas Zalila sambil menatap Gala."Oh!" timpal Gala pendek.Pagi harinya, Zalila memang tak pulang lagi semalam."Terimakasih, Mas Denis!" ucap Zalila mengakhiri dari menelpon Denis, untuk meminta lagi pertolongannya memberi kabar kepada Ibunya."Ini tuan muda, handphonenya." Zalila mengembalikan ponsel milik Gala yang Ia pinjam untuk menelpon Denis."Kau boleh pulang, Zalila! lupakan kesempatanmu dengan Mami," ucap Gala setelah menerima handphonenya."Maafkan aku!"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku pikir, kau adalah seorang suster yang bekerja untuk merawat ku, ternyata ini adalah tuntutan dari keluarga ku." Gala membelakangi Zalila, merasa tak enak dengan Zalila."Jadi, selama ini tuan muda tidak tahu siapa saya?" Zalila terhenyak. Dia mengira Gala telah tahu tentangnya dan perjanjiannya."Jadi...!" henyak Zalil
'Cepat datang kesini sekarang juga!' ucap Indrita dalam sambungan telepon.'Tapi, Nyonya, ini sudah malam sekali' sahut Zalila.'Saya tidak peduli' tandas Indrita.Tut...Sambungan telpon pun terputus.Zalila kebingungan dengan apa ia akan kesana, kendaraan umum tidak mungkin ada jam segini. Namun ada hal lain yang membuatnya lebih bertanya-tanya lagi, apa yang membuat Nyonya besar itu menyuruhnya datang semalam ini.'Apa ada hubungannya dengan tuan Gala? tapi apa yang terjadi dengan tuan Gala?' gumam Zalila.'Oh, Tuhan. aku sangat mengkhawatirkannya' gumamnya semakin khawatir.Tiba-tiba, Zalila teringat satu nama.'Mas Denis!'Zalila teringat akan ucapan Denis.'Kalau ada apa-apa, kau boleh meminta bantuan ku''Tapi, apa aku tidak mengganggunya malam-malam begini meminta bantuannya?' pikir Zalila.Zalila mondar-mandir kebingungan. Apakah Ia akan meminta bantuan Denis yang adalah bosnya.